Chereads / Duniaku, Duniamu / Chapter 11 - Chapter 11 - Confess

Chapter 11 - Chapter 11 - Confess

Hari ini adalah hari terakhir Rey berada di vila kantor pusat. Sudah hampir seminggu ia di sana, dari karantina, pemberian informasi, gladi bersih, uji coba, pelaksanaan hingga pengumuman telah dilewati satu per satu – ditemani oleh Shafira tiap saat dan Raka si roommate-nya ia menjadi tidak kesepian selama sepekan kemarin. Juga – Rey merasa kedekatannya dengan Shafira mulai ada peningkatan, bagaimana tidak? Dari bangun tidur hingga tidur lagi, Shafira selalu berada di samping atau di dekat Rey. Mereka berdua sudah tidak merasakan kecanggungan – bahkan dengan satu kalimat yang masih sering Shafira tanyakan, sudah seperti menjadi candaan bagi Rey.

Kini Rey sudah selesai membereskan seluruh barang-barangnya untuk dimasukkan ke dalam koper sedang berwarna abu-abu itu. Ia ingin sekali segera kembali ke rumah – kedua, ya benar, di kafe Kinan. Sudah lima hari Kinan merajuk ke Rey – yang bahkan Rey tidak tahu pasti penyebabnya apa. Maka dari itu ia ingin cepat-cepat pulang dan ingin mendengar penyebab temannya seperti ini.

Pengumuman sudah keluar sejak kemarin, Rey berada pada urutan ke-6 yang berarti tidak lolos dalam babak seleksi, karena yang dipilih hanya urutan 1, 2 dan 3. Sempat membuatnya kecewa – namun dimarahi habis-habisan oleh Shafira kemarin malam.

((flashback))

Setelah dari auditorium untuk mendapat beberapa informasi terbaru dan melihat pengumuman para peserta yang lolos, muka Rey tertekuk tak bersemangat – terlihat lesu. Shafira yang berada di kamar menunggu datangnya sang pangeran dengan kabar terbarunya, langsung mengetahui kabar seperti apa yang Rey terima.

Tanpa melepas sehelai pakaian pun, Rey langsung mengambrukkan badannya pada kasur single bed di kamarnya itu. Masih setia membisu sejak masuk ke kamar, Shafira berniat untuk menghiburnya kali ini.

"Rey?"

"…"

"Reyy."

"…"

Masih belum ada jawaban juga.

Merasa kesal atas perilaku yang seperti ini, Shafira berteriak – yang tentunya membuat Rey sangat kaget. Entah karena memang Shafira berteriak tepat di telinga Rey atau kaget karena ini pertama kalinya Shafira berteriak seperti itu, dibandingkan biasanya yang berbicara dengan nada lembut.

"Apa? Aku lagi cape, ntar aja kalo lagi ngomong." Jelas Rey.

Shafira yang mendapat jawaban seperti itu meruncingkan bibirnya, dahinya mengernyit menyebabkan kedua alisnya hampir bersatu. Tatapannya sangat tajam, jika memiliki sinar leser itu akan membuat sesuatu terbelah. Emosinya sudah memuncak.

"Ih, kamu kok gitu, sih? Yang semangat, dong. Kalo udah tau pengumumannya ngga sesuai sama ekspetasi kamu, itu ngebuktiin kalo kamu harus lebih giat lagi belajarnya, lebih banyakin ngerjain soal latihan, minta tes sama guru. Jangan malah lesu kaya gini, mereka yang ngga lolos kaya kamu mungkin udah pada bangkit lagi, udah upgrade diri, ngga ada yang tau strategi mereka kaya gimana. Memang ini pilihan kamu bakal mau kaya gimana selanjutnya, tapi kalo bisa milih yang lebih baik kenapa ngga? Kamu berpotensi, Rey. Kamu berbakat, kamu pinter, kamu bisa. Yang nyelesein soal kemarin bukan aku, tapi kamu." Ceramah Shafira panjang lebar.

Rey perlahan mengangkat kepalanya, bangkit dari posisi tidurnya – mengusap air mata yang masih terbendung di pelupuknya. Ucapan Shafira ada benarnya, ia tidak harus begini. Ia harus membuktikan di lain kesempatan, jalannya masih panjang.

"Sedih ngga papa, tapi jangan lama-lama. Kamu juga perlu untuk bangkit. Kamu ngga boleh stuck di sini aja. Nanti Tuhan sedih, loh, udah ngasih kamu skill tapi ngga di apa-apain." Ceramahnya lagi.

Rey mengembangkan senyumnya – tipis. Ia mengangguk-angguk tanda paham dan sangat mengerti ucapan Shafira.

"Makasih, lagi, ya? Tapi emang sekarang aku lagi cape, jadi mau tidur dulu. Kamu juga cepetan tidur, udah malem." Ucap Rey yang langsung menata posisi tidurnya dan menarik selimut.

Shafira yang diperlakukan seperti itu rasanya panas api membakar tubuhnya, seolah dilempar ke neraka – ucapan Rey barusan membuatnya melayang ke antah berantah. Ingin rasanya ia terbang di angkasa sekarang juga, meneriakkan bahwa ia sangat senang karena hala ini.

((flashback off))

Waktu pulang telah tiba, tidak seperti keberangkatan enam hari yang lalu – dipamiti oleh Kinan dan bundanya, diantar oleh kedua kakaknya, sangat berbeda dengan hari ini. Ia pulang sendiri, tidak, sekarang Rey bersama Shafira di dalam taksi online yang sudah dipesankan oleh Kak Zia – mungkin sebagai ganti dan permintaan maaf karena tidak bisa menjemput dan mengantar pulang.

Selama perjalanan, Rey banyak merenung. Memikirkan Kinan sedang apa dan kenapa, karena memang biasanya setiap hari mereka saling bertukar pesan teks, dan secara tiba-tiba menjadi tidak sama sekali. Hembusan napas panjang hangat yang keluar bercampur dengan dinginnya suhu AC di dalam mobil. Seraya melihat, menikmati pemandangan sepanjang jalan melalui kaca mobil, sekilas ia mengingat kedua orang tuanya. Perasaan rindu pasti ada – Rey pasti langsung menemui kedua orangtuanya jika mereka tidak seperti sekarang ini.

Hanya mengetahui kabar keduanya melalui kakak-kakaknya, namun hanya seperti kabar tidak penting dan terlihat dibuat-buat agar Rey merasa baik-baik saja. Rey tahu pasti, kedua orangtuanya pasti sangat berantakan saat ini.

Mengetahui posisi saat seleksi ia berada di urutan nomor enam, ada baiknya ia tak pulang. Mengapa baik? Karena jika kedua orangtuanya kini dalam kondisi baik-baik saja, normal seperti dulu, ia pasti akan kena marah habis-habisan oleh ayahnya yang seorang dosen di sebuah universitas ternama di daerahnya. Mengingat ia pernah meraih posisi dua di sebuah olimpiade, ia pernah mendapat hukuman yang cukup tidak ingin jika diulangi kembali.

Semakin lama, ia semakin terlarut dengan suasana. Sedari tadi Shafira juga ikut diam – sibuk memerhatikan pemandangan luar dari jendela kaca.

"Sha." Panggil Rey.

Shafira langsung menoleh.

'Kenapa juga aku memanggilnya.'

"Mau ngasih perintah ke kamu, boleh?"

Shafira mengangguk.

"Kalo semisal aku sama manusia lain, atau lagi sama Kian dan bundanya, bisa jangan ngajak aku bicara, ngga? Jangan ganggu dulu, boleh, ya? Mudahnya kaya gini, kalo mau ngomong sama aku, pas lagi berdua aja." Mintanya.

Shafira terdiam, ia sangat tau kata apa yang membuatnya membeku seperti ini. Ya, baru saja Rey mengatakan 'berdua' hal itu membuat Shafira cukup gila untuk memroses kata itu terlebih dahulu. Karena memang Shafira mampu untuk melakukan apa yang diminta Rey, setelah bengong cukup lama, ia mengangguk antusias.

Yang permintaannya disetujui tersenyum lega. Ia tidak ingin terlihat aneh di depan orang-orang, dan juga ia tidak mau identitas Shafira terungkap.

***

Setelah berpikir banyak hal selama perjalanan, tidak terasa belokan tempat kafe Kinan sudah ada di depan. Rey segera menata barang bawaannya untuk memudahkannya nanti ketika turun. Karena, menyuruh Shafira untuk membantu juga tidak mungkin bisa.

Terlihat dari dalam mobil, Kinan sedang mengelap meja di depan sana. Terlihat sangat lelah, mungkin dengan absennya Rey selama hampir satu minggu ini membuat Kinan bekerja cukup keras dari biasanya.

Tidak ingin berlama-lama, setelah mengambil koper dari bagasi belakang dan menenteng beberapa tas plastik, Rey segera menuju ke dalam kafe. Kedatangannya cukup mencuri perhatian, jangan heran karena Rey terkenal dengan parasnya yang sudah tak manusiawi lagi.

Tanpa menaruh dan melepaskan barang bawaannya yang berat itu, ia langsung menuju pada tujuan pertamanya, Kinan.

"Um… Hai." Sapa Rey.

Kinan terlihat kaget dengan kedatangan Rey, manusia yang sudah ia hindari beberapa hari ini. Namun, kembali memasang raut tidak peduli pada Rey, bersikap tak acuh dan kembali melanjutkan pekerjaannya. Rey benar-benar tidak paham apa yang membuat Kinan seperti ini.

Merasa barang bawaannya terlalu berat, ia langsung masuk ke kamarnya untuk menata dan merapikan barang. Hingga kini, Shafira masih menemaninya – di sudut ruangan.

"Sha, sini." Panggil Rey dengan menepuk lantai di sebelahnya.

Shafira mengikuti arahan Rey, ia segera duduk sesuai apa yang dimaksud oleh Rey. Menemaninya dari dekat, dari mengeluarkan baju dan memilah dari yang kotor dan mana yang masih bersih. Hingga menunggu Rey selesai membasuh diri. Ia sangat suka dengan apapun yang berhubungan dengan manusia yang bernama Rey ini.

Lagi-lagi Shafira menunggu Rey yang baru saja keluar, sempat berpamitan untuk membuat makanan karena merasa lapar setelah menempuh perjalanan jauh. Namun, tak perlu lama, Rey sudah kembali masuk ke kamar membawa semangkuk mie dan sebotol air dingin.

"Makan, nih. Minta yang banyak juga ngga papa." Tawar Rey pada Shafira.

Yang ditawari hanya menggeleng.

"Jangan minta kalo udah aku makan."

Shafira mengangguk dan Rey segera memulai kegiatan makannya dengan Shafira yang berada di depannya memerhatikan dirinya yang sedang menikmati makanan. Sempat berpikir kasihan pada makhluk aneh di depannya ini tapi kemudian ia membuang jauh-jauh pikiran seperti itu, karena memang Shafira itu aneh.

Selesai makan, Rey mencoba merelakskan diri dengan sesekali berbincang ringan dengan Shafira. Gelakan tawa terkadang muncul ketika membahas topik yang lucu. Namun, percakapan ini didominasi oleh sang manusia, makhluk aneh itu hanya menanggapinya saja.

Tanpa disangka, ucapan mereka sedari tadi didengar seseorang di balik pintu – membuat Rey kaget dan segera meraih ponselnya untuk berpura-pura.

"Rey."

"H-hah, i-iya?" Jawab Rey dengan gelagapan.

"Kamu telfon sama siapa?" Tanya Kinan.

"Sama temen aku, kok."

"Oh." Kinan beranjak keluar dari kamar Rey.

Masih memproses apa yang terjadi, Rey menyia-nyiakan waktu penting saat ini. Setelah sadar ia mengejar Kinan yang belum jauh dari kamarnya dan menarik masuk ke dalam. Rey memerhatikan tiap inci dari wajah temannya – raut wajah kesal Kinan tampak tergambar jelas di sana. Rey mendudukkan temannya itu di atas kasurnya, sekarang mereka duduk berdampingan namun saling memandang.

"Kamu kenapa?" Tanya Rey.

"Ngga papa."

"Beneran ngga papa? Terus kenapa beberapa hari terakhir ngga ada kabar?" Tanya Rey lagi.

"Menurut kamu?" Balas Kinan dengan nada yang agak meninggi dibandingkan dengan jawaban pertama.

"Ya aku ngga tau, Kinan. Kamu kenapa kaya gini." Emosi Rey mulai tersulut.

"Kaya gini gimana emang? Bukannya kaya biasanya?"

Rey frustasi, memegang kepalanya yang sudah pening karena Kinan hanya memutar pertanyaan. Lagi-lagi menghela napasnya – mencoba menetralkan emosinya. Ia tak ingin merusak kesempatan berbicara dengan Kinan.

"Kemaren kenapa kok ngga bales chat-ku lagi? Ngga ada kabar pula." Ucapnya lembut.

Kinan menghela napasnya, mulai menatap intens mata sang lawan bicara – bersiap untuk beragumen.

"Kamu siapa, sih? Butuh banget kabar dari aku, butuh banget sama chat-ku, ngga penting juga, kan?"

"Siapa gimana? Kamu temenku, Kin-." Belum menyelesaikan kata-katanya, perkataan Rey sudah disela oleh Kinan yang tak mau kalah.

"Teman, kan, Rey? Sebagai teman kamu ngga ada hak, ya, ngekang aku kaya gini." Tegas Kinan.

"Hah? Kenapa? Kamu kenapa sekarang kaya gini, Kinan? Sebelumnya kita berdua fine-fine aja temenan kaya biasa."

"Iya, kita fine-fine aja sebelum ini, sebelum kamu punya pacar!" Bentak Kinan dengan keras seraya memalingkan mukanya, emosi sudah menguasai dirinya.

"H-hah? P-pacar katamu? Aku nggak ada, ya, Kinan. Kamu tau ini dari siapa?" Tanya Rey yang merasa difitnah itu.

"Kamu ngga usah ngelak, ya. Temenku yang juga ikut seleksi bareng kamu, ngeliat dengan mata kepalanya sendiri, kalo kamu deket sama peserta lain di sana. Tau juga kok, sama dia kamu dipanggil ganteng, kan? Pantes ngga lolos ternyata cari pacar, ya, di sana?"

Rey yang merasa tidak melakukan itu membelalakkan matanya, darimana Kinan mendapatkan informasi itu? Ia sangat terheran-heran, ia tidak bisa membantah pernyataan dan pertanyaan Kinan, walau tidak benar ia tak memiliki bukti apapun. Jika ia memberikan alasan, Kinan tidak akan mudah percaya dan mungkin akan memperburuk suasana. Rey berpikir keras cara membantah seluruh kalimat yang keluar dari mulut Kinan.

"Kenapa diem? Bener ya, yang aku omongin? Cih."

Rey tidak memiliki waktu lagi, ia harus memutuskan apa yang harus diucapkan pada Kinan. Namun tiba-tiba otaknya sama sekali tidak memiliki persediaan kata-kata saat ini. Digenggamnya kedua tangan Kinan, diusapnya perlahan sambil tersenyum.

"Aku tau aku ngga punya bukti tentang itu, aku ngga tau juga kamu denger kalimat itu darimana, yang pasti itu ngga bener. Please, trust me. I don't have girlfriend, Kinan."

Kalimat yang baru dilontarkan oleh temannya itu sedikit menggetarkan hati milik Kinan, jantungnya kini mulai berdetak cepat – tidak terkontrol.

"Jadi, ini yang ngebuat kamu marah sama aku?" Tanya Rey.

"Iya, aku ngga suka ya liat kamu deket sama cewek lain selain aku."

"Karena kamu suka sama aku?" Tanya Rey, lagi.

"Iya!" Ucap spontan Kinan, "E-eh? ENGGGAAA YA!"

"Oh, engga?" Tanya Rey, lagi – dengan sedikit menggoda temannya yang wajahnya sudah memerah bak kepiting rebus itu.

"Aku bilang ngga, ya ngga." Kinan meruncingkan bibirnya, wajahnya sangat merah dan ia sangat kesal dengan Rey.

"Yauda iya ngga, tapi cewek itu cantik, loh. Namanya siapa, ya, oh Sas-."

Kinan membungkam mulut Rey dengan tangannya, "Aku bilang ngga suka kalo kamu deket sama cewek lain, ya berarti aku ngga suka, aku benci banget sama orang namanya Rey."

Tingkah Kinan yang seperti ini, sungguh membuat Rey gemas setengah mati. Menggoda temannya yang baru saja tidak sengaja menyatakan perasaannya melalui pertanyaan jebakan yang dibuat Rey sangat mengasyikkan. Karena sekarang ia tahu, ia tidak jatuh hati sendirian, cintanya kini tidak bertepuk sebelah tangan.

Kinan yang sudah dibuat malu di dalam ruangan itu cepat-cepat kabur dari dalam sana, suhu di sana cukup panas. Ia mengibasi wajahnya menggunakan telapak tangan dengan tujuan agar merasa sejuk dan menetralkan rona merah wajahnya. Merasa jengkel dengan diri sendiri karena bisa-bisanya terjebak dengan pertanyaan kecohan yang dibuat oleh temannya sendiri – terlebih yang ia sukai. Mau ia taruh mana mukanya. Ia benar-benar malu,

Berbeda dengan Rey yang senyumnya kini mengembang sempurna tanpa celah. Memikirkan betapa lucunya Kinan tadi.

Dan, ternyata, percakapan kedua manusia itu disaksikan oleh Shafira yang berada di pojok ruangan.