Suara sahutan sirine ambulan dan mobil polisi masih saling bersahutan memecah suara keramaian orang-orang yang penasaran akan apa yang terjadi di tempat kejadian perkara. Hingga kini Rey masih belum bertemu dengan kakaknya, ia terlalu takut.
Namun, siap tak siap ia harus menghadapinya sebelum terlambat. Dengan berani ia menanyakan pada salah satu anggota polisi yang bertugas menanyakan keberadaan sang korban kecelakaan malam itu. Sang polisi dengan suka hati menuntun Rey untuk menuju ke ambulan setelah menanyai Rey beberapa pertanyaan sebelum menemui korban.
Sekarang Rey sudah berada di dalam ambulan yang masih berhenti menunggu prosedur lanjutan. Akan tetapi, korban yang ada di depan Rey kini tak bergerak sama sekali, badannya pun telah tertutupi oleh sehelai kain putih yang dipenuhi bercak-bercak darah yang tersebar dari atas hingga bawah. Hanya dengan melihatnya, membuat bulu kuduk merinding.
Salah satu petugas mulai membukakan kain yang menutupi kepala sang korban, secara otomatis kedua mata Rey terpejam erat – ia takut. Hanya ada pikiran negatif di otaknya sekarang. Tidak mungkin korban di depannya ini masih bernyawa. Karena jika memang masih bernyawa dan memiliki harapan untuk hidup, ambulan ini akan langsung melesat untuk pergi ke rumah sakit terdekat – bukan hanya berhenti di sini untuk menunggu prosedur lanjutan.
"Dek, ini keluarga kamu?" Tanya salah satu petugas yang membukakan kain pada korban.
Mau tidak mau, siap tidak siap, Rey harus berani dengan segala sesuatu yang ada di depannya, ia mengatur napas – tangannya bergemetar sejak tadi. Perlahan ia membuka matanya, memberanikan diri untuk melihat wajah yang tadinya tertutup itu.
Matanya membulat sempurna – kaget. Ia kaget akan apa yang ada di depannya sekarang, ia kaget akan apa yang ia tatap sekarang. "Ini bukan kakakku." Ucap Rey pada petugas ambulan.
Sang petugas ikut terkejut.
"Mana kakakku, Pak?" Tanya Rey lirih, ia sudah berputus asa.
"Mungkin kakakmu berada di ambulan satunya, sudah pergi sejak 10 menit yang lalu." Jelas salah satu petugas ambulan.
Rey yang mendengar itu, langsung berterima kasih pada kedua petugas dan keluar dari ambulan. Menuju pada motornya yang terparkir sembarang di pinggir jalan. Dengan cepat ia melesat mencari rumah sakit terdekat, bodohnya ia tadi tidak menanyakan pada para petugas rumah sakit mana yang dituju.
Jalanan malam itu sangat macet karena memang sudah semingguan ini ada perbaikan jalan – membuat Rey semakin khawatir. Menyelip di antara mobil-mobil dan berusaha mencari jalan pintas dengan menggunakan aplikasi maps.
Rumah sakit yang ia tuju sudah di depan sana, memarkir motor sportnya pada parkiran rumah sakit dan berlari menuju UGD. Napasnya sudah sangat memburu, keringatnya menghiasi seluruh pelipis dan dahinya – ia menjadi pusat perhatian pengunjung rumah sakit di sana.
Rey masuk ke ruang UGD dan bertanya pada resepsionis yang sedang bertugas di balik meja besar – sibuk dengan komputernya.
"Kak, hahh… hahh…" Napasnya tersengal-sengal, "mau… cari kakak… saya."
"Atas nama siapa, ya?"
"Riondra As-Shafel Mahaputra."
"Sebentar, ya, dek."
Tak perlu lama untuk menunggu, akhirnya sang resepsionis mengonfirmasi bahwa kakaknya berada di rumah sakit ini sekitar 45 menit yang lalu dan sedang berada di ruang operasi.
Rey agak bernapas lega mendengar hal itu – kakaknya masih hidup. Rey duduk di depan ruang operasi kakaknya, ia mengirimkan doa terbaik untuk kakaknya, agar tetap berjuang di dalam sana. Merogoh ponsel di sakunya yang sudah bergetar sejak tadi, banyak panggilan tak terjawab dan spam pesan teks dari Kak Zia. Rey langsung menelepon kakak keduanya itu untuk memberi kabar terbaru tentang Kak Rio.
"Halo, Dek, gimana Kak Rio?"
"Kak Rio di ruang operasi, Kak."
"Astaga… syukur masih hidup, di berita ada yang meninggal satu, kakak udah ngga tenang daritadi, kamu juga ngga bisa dihubungin, udah penuh pikiran negatif."
"Maaf, Kak. Tadi aku lagi nyari rumah sakit yang dituju sama ambulannya Kak Rio, jalanan macet juga jadi ngga bisa tepat waktu." Jawab Rey dengan nada lesu.
"Ngga papa, Rey. Alhamdulillah kalo begitu, semoga Kak Rio baik-baik aja. Sekarang ada di rumah sakit mana?"
"RS Harapan Indah, Kak. Deket tempat kerjanya Papa."
"Oh, oke-oke, kamu tunggu di sana, ya? Tenangin diri kamu dulu, doain kakakmu juga. Udah, ya? Kakak tutup mau langsung otw ke sana."
Tuttt.
Panggilan dari Kak Zia terputus, kini tinggal Rey berada di lorong depan ruang operasi sendiri – sunyi, tiada orang yang berlalu lalang. Ia menunduk dan memijati kepalanya sendiri, wajahnya berantakan dihiasi bekas air mata yang sudah mengering sejak tadi.
"Rey."
Rey sangat mengenali suara itu, suara lembut nan parau – ya, itu Shafira. Mendengar suara itu Rey dengan spontan mengangkat wajahnya yang sedari tadi tertunduk itu. Menoleh ke sana ke mari mencari keberadaan sosok tak kasat mata.
"Aku di sini, di depan kamu."
Melihat Shafira sudah berada di depannya, dengan refleks Rey memeluk tubuh mungil milik Shafira – membuat sang empu membelalakkan matanya, terkejut. Rey meluapkan seluruh emosinya, membasahi pundak Shafira dengan tangisannya yang semakin lama semakin menjadi. Shafira hanya mengelus pelan kepala hingga turun ke punggung Rey – menepuk-nepuknya dengan hati-hati agar sang pemilik merasa nyaman.
Cukup lama mereka berdua dalam posisi itu – hingga tangisan Rey mereda. Mengendurkan pelukan yang terhitung lama itu, mengusap sisa dan bekas air matanya. Ia masih sesenggukan.
"Udah baikan?"
Rey mengangguk.
Shafira yang daritadi berdiri di depan Rey, kini berpindah dan ikut duduk ke sisi kanan Rey. Menemani si manusia pujaan hatinya yang tengah bersedih. Antara Rey dan Shafira, kesunyianlah yang mendahului membuka mulut. Shafira tak berani mengawali percakapan karena situasinya tak bisa terbaca sama sekali. Rey menyandarkan tubuhnya pada tembok, kepalanya mendongak ke atas dan matanya terpejam.
Sudah setengah jam sejak Kak Zia menutup panggilan dan tak kunjung datang. Mungkin ada keperluan lain yang harus diurus pikirnya. Ia ingin memecah keheningan antara ia dan Shafira, namun mood-nya terlalu berantakan saat ini, dan memutuskan untuk diam.
Tak berselang lama, suara derap kaki menggema di lorong. Rey yang mendengarnya langsung membuka mata dan berdiri untuk segera menemui orang itu. 'Pasti Kak Zia.' Batinnya gembira.
Tanpa disangka, yang datang malah orang yang paling tidak ingin ia temui saat ini. Raut mukanya berubah drastis, ia sama sekali tidak menginginkan kedatangan orang ini. Orang yang sempat menjadi rumah terindah baginya namun sekarang menjadi kenangan paling kelam untuk diingat.
"Kakakmu baik-baik aja?" Tanyanya mengawali percakapan.
Rey hanya diam, menatap sinis pria yang sudah terlihat banyak keriput di wajahnya itu, dengan menenteng sekantong plastik buah-buahan, Rey yakin bahwa pria ini tidak ke sini secara kebetulan. Mungkin Kak Zia yang memberi tahu.
"Abis kerja tadi, Papa langsung ke sini pas Kak Zia telepon kalo Roy kecelakaan, sekarang lagi di dalam?"
Rey masih terdiam tak menjawab ataupun menggubris pertanyaan papanya, ia bersikap tak acuh – masih kecewa akan keputusan yang papa dan mamanya buat. Sangat egois, menurutnya. Tak berselang lama, suara dentuman heels terdengar dari kejauhan. Rey tau pasti ini bukan Kak Zia, karena kakaknya itu membenci heels dan lebih sering menggunakan sneakers.
'Mama?' Tebaknya.
Dan, ya. Satu lagi orang yang paling tidak ingin ia temui saat ini akhirnya muncul. Lengkap sudah. Ternyata memang Kak Zia yang melakukannya. Wanita itu tak menyapa Rey seperti yang dilakukan papanya – bahkan menatapnya pun tidak dan malah sibuk dengan ponselnya. Lagi-lagi ia kecewa.
'Di mana Kak Zia?'