Suasana menjadi tegang dan canggung setelah Kinan membuka pintu kamar Rey secara tiba-tiba. Semakin curiga dengan gerak-gerik Rey yang ditambah dengan gelagapan itu, membuat argumennya semakin yakin. Keduanya sempat berseteru saling berdebat dan bersahutan merasa argumennya paling benar dan akurat bak diagram matematika.
Shafira berdiam diri di sudut ruangan, menyaksikan pertengkaran dua manusia yang jika salah satu dari mereka tidak ada yang mengalah, maka tidak akan ada selesainya. Terlihat Rey sedang berhenti untuk mengendalikan emosi dan egonya – tak mau memperumit dan memperpanjang masalah sepele dengan Kinan.
Suara mereka berdua memelan – tidak sekeras sebelumnya. Masalah keduanya terpecahkan, membuat keduanya tersipu malu karena Kinan yang terceplos satu kata yang seharusnya tidak ia katakan, keduanya saling melempar senyum. Momen ini sedikit membakar api kecemburuan milik Shafira. Namun kembali lagi pada awal perkataan Kinan, 'Dia siapa?'
Setelah Kinan keluar dari ruangan, Rey masih saja tersenyum sempurna dengan memandangi langit-langit kamarnya belum sadar akan keberadaan Shafira yang masih menetap di situ. Namun, tak lama untuk menyadarinya – karena sedari tadi ia merasa ada yang terus memerhatikannya dari pojok sana. Tanpa merasa takut dan sudah tahu bahwa itu perbuatan Shafira, Rey cukup menoleh ke arah Shafira berada. Perasaannya tak pernah salah, tampak Shafira dengan posisi yang sama sedang terduduk di pojok sana.
"Sha." Panggilnya dengan tersenyum. Mood-nya sangat bagus hari ini.
Tak ingin merusak mood sang lelaki, Shafira membalas senyumnya. Shafira tahu, ia sangat tahu, tentang fakta – siapa yang membuat lelakinya tersenyum lebar seperti ini. Yang pasti bukan dia.
"Mau jalan-jalan ntar malem?" Tawar Rey tiba-tiba.
Shafira tersenyum dan mengangguk, tampak setuju dengan tawaran dari Rey baru saja. Merasa sangat senang, senyumnya terukir sempurna di wajahnya – membuat ia memamerkan kecantikan rahasianya. Sedikit membuat Rey terkagum.
Tidak ingin mengulur waktu lebih lama lagi, Rey mengganti bajunya dengan seragam kafe. Ingin sedikit membantu walau beberapa jam lagi akan tutup karena memang hari sudah gelap. Seluruh rasa pegalnya akibat perjalanan tadi sudah hilang semenjak percakapannya dengan Kinan untuk meluruskan masalah tadi.
Keluar dari kamar menuju kafe, ponselnya bergetar panjang di saku kiri celananya. Membaca nama yang tertera siapa yang meneleponnya malam-malam begini, ternyata Kak Zia. Tidak berpikir yang negatif terlebih dahulu, mungkin ada kabar bahagia atau hanya sekedar menanyakan kabar – Rey mengangkat panggilan dari kakak perempuannya itu.
"Halo, Kak Ziaa! Kenapa, nih? Pasti kangen aku, ya?" Sapa Rey dengan semangat, karena memang jika dirasa sudah lama mereka tidak bertemu, terakhir kali hanya saat mengantar Rey untuk seleksi ke kantor pusat. Kak Zia belum menjawab sapaan Rey tadi, ia masih terdiam di seberang sana.
"Rey…"
"Iya Kak?" Rey mulai ragu dengan adanya kabar baik atau hanya sekedar sapaan ringan.
"Papa sama Mama udah…"
"Udah apa, Kak? Mereka berdua rujuk? Alhamdulillah ya, Kak, akhirnya." Senyumnya masam.
"Udah cerai. Mereka udah resmi cerai. Kakak pulang ke rumah buat ambil berkas kuliah S1 dulu, ketemu sama papa trus cerita." Jelas Kak Zia.
Kakaknya sangat ragu bercerita tentang hal ini pada adik bungsunya, namun cepat atau lambat adiknya itu pasti akan mengetahuinya, maka dari itu ia memilih untuk memberitahukannya sekarang. Begitu juga sang kakak tertua, Roy, juga telah mengetahui kabar ini.
Sambungan telepon antara Kak Zia dan Rey masih tersambung. Di sini, Rey diam tak bergeming. Berbagai momen bahagia keluarganya yang dulu terputar kembali secara otomatis di kepalanya.
Mengenang seluruh kenangan yang masih bisa ia kenang dan ia ingat. Sungguh besar rasanya ia ingin mengulang tiap peristiwa paling membahagiakan dalam hidupnya saat liburan tahunan keluarga.
"Dek?"
"I-iya, Kak. Mau gimana lagi, kita juga ngga bisa ngapa-ngapain juga, kan? Itu keputusan mama sama papa."
Tak ingin kakaknya mendengar suara tangis, Rey langsung memutus panggilan. Kembali masuk ke dalam kamar mengurungkan niat untuk bekerja hari ini. Ternyata ia memang benar-benar lelah. Membaringkan tubuh dengan asal di atas kasur, bertengkurap dan menutup kepalanya dengan bantal. Berharap tidak ada yang akan masuk ke dalam kamar sewaannya itu. Ia ingin menangis tanpa diganggu.
Belum lima menit setelah panggilan Rey dengan Kak Zia terputus. Kak Zia menelepon lagi. Rey bersikap tak acuh, karena berpikir mungkin Kak Zia akan bercerita seputar perceraian mama dan papanya. Menolak panggilan Kak Zia tiga kali.
Yang di seberang sana merasa kesal teleponnya ditolak secara beruntun – tidak sabar akan perlakuan adiknya yang seperti ini, Kak Zia langsung mengirimkan sebuah pesan teks.
WhatsApp//Kak Ziaa
Kak Roy kecelakaan deket persimpangan kafenya Kinan.
Deg.
Perasaannya sudah tercampur aduk. Nasi sudah menjadi bubur. Kabar buruk terus menimpanya secara berkala. Tanpa babibu, Rey mengganti bajunya dengan cepat dan menyabet jaket yang tergantung pada gantungan. Mengambil kunci motor dan bergegas menuju ke parkiran.
Kinan yang melihat Rey terburu-buru segera membuntutinya – penasaran akan mau pergi kemana 'temannya' itu. Rey sudah berada di parkiran, memakai helm dan perlengkapan lainnya.
"Rey!"
'Sial.' Batinnya, ia berusaha tersenyum ketika Kinan mengahmpirinya di parkiran.
"Kamu mau ke mana?"
"Deket sini, kok."
"Mau ikut boleh?"
Rey tersenyum, kedua tangannya memegang lengan sang gadis di depannya, "Besok aja, ya ikutnya? Aku ada urusan mendadak."
Kinan terdiam seakan menyetujui tawaran Rey barusan. Memanfaatkan keadaan Kinan yang masih membeku, ia segera menyalakan motor dan melesat pergi ke jalan raya. Berbagai doa sudah ia panjatkan, berharap kakaknya baik-baik saja. Meskipun ia tahu, musibah seperti kecelakaan mobil tidak akan menimbulkan luka kecil.
Berharap semoga ia tidak terlambat, menjemput kakaknya.
Tidak perlu 10 menit, Rey sudah tiba di lokasi. Suara khas ambulan dan mobil polisi saling bersahutan, suara keramaian juga sudah mendominasi. Rey berusaha membelah kerumunan itu untuk melihat apakah ada korban dan memastikan seperti apa kecelakaan yang di alami kakak tertuanya itu.
Ia masih berharap kakaknya baik-baik saja ketika menerobos kerumunan orang yang sedang melihat itu. Ia berhasil melewati puluhan orang yang menghalangi tkp, dan sekarang ia menyaksikan mobil kakaknya penyok menabrak bagian belakang truk. Kepalanya celingukan mencari keberadaan sang kakak – ia tidak bisa menemukannya.
"Pak, kakak saya di mana, Pak?" Tanyanya kebingungan pada polisi yang sedang bertugas di situ.
"Anda keluarganya?" Dengan cepat Rey mengangguk-anggukkan kepalanya.
Akhirnya ia diarahkan pada satu mobil ambulan yang tak jauh dari tkp, tanpa proses yang rumit dan panjang, polisi tersebut mengantarnya dengan senang hati. Sejujurnya ia takut, ia takut menghadapi apa yang terjadi di sini, ia takut melihat kondisi kakaknya sekarang seperti apa, ia tidak tahu harus bersikap seperti apa.
Kini, ia sudah berada di depan ambulan – ia dengan sekilas melihat sebuah kain menutupi sesuatu. Tidak ingin berburuk sangka terlebih dahulu, tapi-
"Kakak?" ucapnya sambil berjalan masuk ke dalam ambulan yang masih terparkir itu. Masih menunggu Rey yang mengaku sebagai anggota keluarga.
Ia sudah sedari tadi menangis, ia tak kuasa menahan air matanya. Pipinya sudah basah, wajahnya berantakan, bahkan kemungkinan yang tak ia inginkan semakin terlihat jelas di depannya. Namun, ia masih berharap dan terus berharap bahwa kakaknya baik-baik saja. Ia masih berharap hari ini tak ada kecelakaan yang menimpa kakaknya. Ia sangat berharap bahwa seseorang yang tertutupi kain putih di depannya ini adalah orang lain.
Apakah?