Satu minggu berlalu, Rey sudah seperti karyawan biasa di kafe Kinan – dengan cepat beradaptasi dengan kondisi di sana. Ia telah belajar banyak hal dan cukup menambah pengalamannya, bahkan ia pun tetap diberi uang gaji meskipun selalu menolaknya karena merasa tidak enak sudah tinggal di situ.
Karena sekolah sudah mulai masuk, Rey hanya bisa membantu ketika sore hingga malam – diselingi dengan belajar, mengerjakan PR dari sekolah, dan persiapan untuk OSN Provinsinya. Dua minggu lagi ia akan berangkat menuju kantor gubernur untuk seleksi.
Bunda Kinan sangat memahami situasi ini sehingga beliau pun tidak terlalu memaksa Rey bekerja keras. Semakin lama Rey tinggal di sini semakin beliau anggap seperti anaknya sendiri. Begitu juga Kinan yang sudah sangat akrab dengan Rey.
Oh, bagaimana dengan Shafira?
((flashback))
Kinan yang melihat gerak gerik aneh Rey mencoba mendekati temannya itu – menuju ke bangku pojok tempat Rey merapikan sekarang. Belum sampai di sana, tiba-tiba.
"Diam!" bentak Rey sangat keras.
Langkah Kinan mendadak menjadi beku, seluruh pasang mata mengalihkan atensinya pada Rey yang sekarang masih berdiri menunduk. Tampak menahan tangis. Kinan yang mulai sadar akan hal itu menjadi cepat-cepat menghampiri temannya.
Berusaha menatap wajah temannya yang sedang menunduk itu – menatapnya dari bawah sana, Rey masih kaku. Kinan tidak bisa menyeretnya – tubuhnya kalah berat dan tenaga yang ia miliki tak sebanding. Kinan menyerah ikut berdiri diam di sisi Rey. Tak lama, Rey mengangkat wajahnya dan tersenyum. Senyum itu sangat tulus, batin Kinan. Senyumnya penuh arti. Kinan masih mengagumi temannya itu dari samping kanan. Rey juga menoleh ke arah Kinan – masih sama dengan senyum yang tadi. Kali ini, senyum yang ia tunjukkan pada Kinan seolah-olah ia ingin bilang "Aku tidak apa-apa, jangan khawatir."
Senyum itu memudar diiringi dengan Rey yang menuntaskan pekerjaannya yang sempat terjeda tadi. Seluruh karyawan juga telah kembali pada tugasnya masing-masing. Kafe sudah hampir siap untuk buka. Bahkan sudah ada beberapa pelanggan yang datang dan menunggu di parkiran.
Tapi tidak dengan Kinan.
Ia masih bergelut dengan pikirannya, banyak pertanyaan yang ingin ia ajukan pada temannya itu sekarang juga. Berpikir tentang jawaban-jawaban yang akan dijawab oleh temannya itu atau hanya sekedar bagaimana cara ia bertanya tentang masalah itu atau mungkin lebih baik untuk tidak dibahas terlebih dahulu. Sungguh pikirannya saat ini sangat bertolak belakang dengan fisiknya yang hanya duduk termenung di sofa pojok kafe.
Kafe sudah buka. Rey yang sudah mengetahui bahwa ia akan diinterogasi oleh temannya itu segera menemui dan ingin langsung meluruskan masalahnya. Mereka berdua duduk berdampingan – tidak saling bicara namun pikiran mereka saling bergelut satu sama lain. Hingga...
"Kinan." / "Rey."
Mereka sama-sama ingin membuka percakapan.
"Ah, kamu dulu aja." Kalah Kinan.
Yang diberi kesempatan bicara terlebih dahulu kembali menunduk. Merasa tiba-tiba kepercayaan dirinya diseret habis. Mencoba meyakinkan diri sendiri. Rey menghela nafas panjang dan mulai mengangkat kepalanya.
'Sial, ia sudah memperhatikanku daritadi.' Batin Rey.
"Emm… jadi maaf, kalau semisal tadi ngebuat kamu khawatir? Soalnya tadi banyak yang aku pikirin, aku jadi takut sama banyak hal, aku takut tentang mama papa, takut tentang osn atau bahkan takut bakal diusir dari tempat ini, mau kemana lagi aku?"
Kinan yang awalnya serius mendengar temannya yang sedang menjelaskan apa yang terjadi sebelumnya menjadi menahan tawa. Menurutnya, cukup lucu.
'Gemes.' Batinnya.
"Kok ketawa, sih?"
"Ya lagian kamu, aneh-aneh pake takut sama poin yang terakhir." Ejek Kinan.
Yang direspon seperti itu pun tidak terima dan berakhir meruncingkan mulutnya itu seraya memandang Kinan dengan tajam. Kinan yang sudah kelewat gemes dengan perlakuan temannya ini pun mencubit pelan mulut Rey yang sudah meruncing itu.
"Apa? Mau aku usir beneran?"
Rey menggelengkan kepalanya secara brutal, ia sangat kesal dengan Kinan saat ini. Lalu ia bergegas menuju kamar mandi.
'Kalau kaya gini tiap hari, jantung aku ga akan aman, Rey.'
***
Brakkk!
Bantingan pintu kamar mandi terdengar sangat nyaring mungkin hingga terdengar keluar. Nafas Rey terengah-engah, upayanya membohongi Kinan berhasil. Karena tidak mungkin kan jika Rey memberi tahu tentang keberadaan Shafira? Apalagi dengan perkataannya tadi.
'Rey, kamu pasti mau bantu aku, kan?'
'Nanti aku pasti bantu Rey balik, kok.'
'Rey, bantu aku, ya?'
'Rey, Rey, Rey, Rey.'
Rey membasuh mukanya kasar pada wastafel, menutup telinganya rapat-rapat karena suara-suara yang keluar dari mulut Shafira masih menghantuinya. Terputar berkali-kali sampai telinganya mendengung. Mencoba merelakskan diri, mengambil nafas panjang dan mengaturnya hingga ia merasa nyaman. Ia tidak ingin dikendalikan oleh makhluk itu.
((off))
Seperti biasa, pada jam-jam seperti ini adalah waktu paling efektif untuk belajar di kafe – tidak terlalu ramai juga tidak terlalu sepi, suasananya nyaman. Mulai membuka satu persatu buku-buku tebal khas buku soal latihan olimpiade dan beberapa kertas yang Rey biasa gunakan untuk sekedar coret-coretan.
Hari menuju seleksi provinsi semakin dekat, membuat Rey kian hari terus menambah jam belajar dan latihannya. Sesekali Kinan turut serta sebagai timer ataupun berpura-pura layaknya pengawas. Mereka berdua sudah sangat akrab saat ini, seperti dua bersaudara ataupun teman lama yang baru saja bertemu.
Keduanya saling mendukung satu sama lain, saling percaya dan juga merasa nyaman – seolah-olah mereka berdua telah bersama bertahun-tahun. Rey masih menetap di kafe itu, dengan keseharian yang berbeda semenjak dua minggu terakhir, beberapa kali memang kakak-kakaknya berkunjung – sekedar menjenguk adik bungsunya atau hanya mampir ke kafe untuk menyeruput secangkir kopi.
Rey mengetahui kondisi kedua orang tuanya dari kedua kakaknya, entahlah Rey selalu menghindari topik ini. Ia ingin fokus terlebih dahulu pada olimpiadenya kali ini.
***
Malam ini kafe dipenuhi oleh sekelompok muda-mudi yang terlihat asik bercengkrama. Rey menatap ke arah gerombolan itu, ia tersenyum – tentunya karena ada Kinan di sana yang sedang terlarut dalam canda gurau. Sesekali Kinan menatap balik pada temannya itu, balik melemparkan senyum yang sukses membuat Rey malu bukan kepalang. Berpura-pura fokus pada bukunya kembali adalah jalan ninjanya.
"Rey."
Lagi-lagi Kinan sukses membuat Rey kalang kabut saat dipanggil olehnya, Kinan yang melihat Rey seperti itu sedikit menarik sudut mulutnya. Kinan yang menghampiri Rey disusul oleh satu temannya, ia berniat mengenalkan pada Rey. Namun, seketika kedua mata Rey membulat sempurna ketika melihat siapa yang dibawa oleh Kinan.
"Rey, kenalin ini Dinda – temenku. Din, ini Rey yang aku ceritain dari kemaren."
Mereka yang dikenalkan hanya tersenyum kikuk, Rey yang memang kurang suka bersosialisasi dan Dinda yang merasa canggung membuat Kinan menghela nafasnya – mengambil kedua tangan manusia yang senyam-senyum canggung di depannya itu untuk saling menjabat.
"Kalian ini mau kenalan apa lomba senyum, sih?" Omel Kinan pada kedua temannya yang baru saja berkenalan itu, karena masih saja saling pandang dan senyam-senyum Kinan menjadi kesal, "Jangan-jangan kalian sebelumnya udah kenal, ya?"
"Iy-." / "Ah, belum, baru pertama kali ketemu, kok."
"Yaudah, kenalan dulu sama temenku yang paling aku sayang, nih. Dia cantik, loh. Masa gamau kenalan."
"Kan tadi udah." Balas cuek Rey sambil kembali menghadap buku-bukunya.
Kinan yang merasa tak puas langsung memegang kedua bahu bidang milik Rey dan menghadapkan pada temannya itu, "Kenalan yang sah, dong. Itu tadi cuma senyum-senyuman mana ada disebut kenalan. Kamu bakal lebih sering ketemu sama dia tau," jelas panjang lebar Kinan, "ih, buruan."
Mereka berdua saling menjabat tangan dan kembali melempar senyum. Kalau kata Rey "Cari aman aja, lah."
"Aku Rey, temen barunya Kinan."
"Aku Dinda, temen lamanya Kinan. Salken, ya."
Karena adanya penggunaan kata 'baru' dan 'lama' yang ditekankan, membuat mereka tertawa. Namun, reaksi Rey yang seperti awal tadi membuat Kinan sedikit curiga – tapi karena Rey sendiri yang bilang kalau mereka baru saja bertemu ia langsung buang jauh-jauh asumsi negatifnya.
"Kinaann," Di sela candaan mereka bertiga, Bunda Kinan memanggil anak semata wayangnya itu untuk mendatanginya, mungkin karena butuh bantuan – pikir mereka berdua.
Setelah Kinan melesat ke dalam dapur untuk menemui bundanya, Dinda tertawa secara spontan di depan Rey – ia langsung dihadiahi pelototan dari mata Rey yang mengisyaratkan untuk diam.
"Kenapa, sih? Takut banget sama Kinan."
"Diem, ga?"
"Aduh, galak banget sih, Mas sama mantan doinya," celetuk Dinda pada Rey yang semakin memelototinya itu, "jangan diterusin ntar mata kamu copot aku gamau tanggung jawab, ya." Lanjutnya.
"Hah? Mantan doi?"