Chereads / Duniaku, Duniamu / Chapter 5 - Chapter 5 - Part Time

Chapter 5 - Chapter 5 - Part Time

Semalam hujan mengguyur sangat deras, membuat para pengunjung kafe betah hingga hujan mereda. Bertepatan dengan keadaan kafe yang memang ramai, membuat seluruh pekerja kafe sibuk bahkan Kinan dan Bundanya turut membantu, hujan semalam seperti telah ditakdirkan untuk menjebak seluruh pelanggan agar tidak cepat-cepat pulang. Mereka yang awalnya hanya take away, akhirnya memutuskan untuk dine-in.

Hujan mereda setelah 2 jam mengguyur tanpa henti, hanya hujan di luar – tidak ada suara petir yang menakutkan menyambar, hanya kilatan-kilatan yang tak bersuara disertai gemuruh dan angin yang lumayan berhembus kencang.

Para pelanggan dan pengunjung kafe mulai meninggalkan kafe karena dirasa hujan telah reda. Kafe perlahan mulai kosong, sesekali Kinan mengecek Rey yang ada di dalam kamarnya – masih belum ada tanda-tanda untuk bangun. Kembali ke area kafe, ia bertanya kepada penjaga kasir kafenya – mencari keberadaan Bundanya dan baru saja penjaga kasir itu menjawab, Bunda Kinan muncul dari pintu masuk membawa sapu dan pengki yang tidak bermuatan apapun.

***

"Kamu pasti ada alasan, kan?"

Kinan mengangguk kecil.

"Reyhan ada masalah di rumahnya, Bun."

Kening Bundanya mengerut, "Masalah apa?"

Ketika Kinan menjelaskan dan menceritakan kepada Bundanya, lagi-lagi reaksi Bundanya tidak bisa ditebak yang membuat Kinan pasrah akan apapun yang akan keluar dari mulut Bundanya setelah ia selesai bicara.

"Jadi, gimana, Bunda?"

Kinan benar-benar tidak siap mendengar apa yang akan dikatakan oleh bundanya, kedua tangannya sudah menyatu dari tadi, bibirnya menekuk ke dalam menunggu jawaban sang Bunda. Memerhatikan tiap gerak-gerik Bundanya yang kini tengah berpikir tepat di depannya, tangannya menyilang sempurna di depan dada – lalu menghela napas berat.

"Oke, Bunda kasih izin," jawaban yang sangat diinginkan oleh Kinan terucap lancer di mulut sang Bunda, "tapi,"

Senyum Kinan memudar, tangannya yang mengepal mengisyaratkan 'yes' melemah, takut akan apa lanjutan kata dari Bundanya.

"Tapi?" tanya Kinan penasaran.

"Kamu yang tanggung jawab atas seluruh tingkah laku Reyhan selama tinggal sementara di sini."

Mendengar syarat yang dilontarkan oleh Bundanya itu membuatnya lega dan langsung mengangguk-amggukkan kepalanya dengan antusias, termasuk syarat yang mudah, bukan? Toh teman barunya itu tampak seperti anak baik-baik yang tipenya bila diberi tahu akan nurut-nurut aja.

Malam ini Kinan menginap di kamar milik Bundanya yang ada di kafe, letaknya pun bersebrangan dengan kamarnya yang sekarang sedang ditempati oleh Rey. Tidak mungkin mereka tidur dalam satu kamar bukan? Hal itu juga yang akan memunculkan opini-opini aneh dari sekitarnya.

Rey masih tertidur lelap dengan dengkuran pelan khas orang tidur, sesekali ia mengigau yang entah sedang mimpi apa namun hal itu membuat Kinan tertawa kecil – gemas melihatnya, rasanya ingin merekam temannya yang tertidur pulas ini. Kinan keluar dari kamar itu, menutup pintunya sangat hati-hati agar suara yang tercipta tidak membagunkan temannya yang tertidur pulas di dalam. Menghela napas dan masuk ke dalam kamar yang ada di sebrangnya.

Dinginnya malam menusuk hingga permukaan kulit menjadi merinding, memang letak kafe milik Bundanya ini terletak di kaki gunung yang membuat tiap malam selalu lebih dingin. Bisa dihitung dengan jari Kinan menginap di kafe, sangat jarang tidur di sini kecuali pada istirahat siang.

***

Pagi ini dihiasi oleh suara dering alarm dari HP Kinan yang tak kunjung dimatikan oleh pemiliknya yang masih nyaman di alam mimpi. Dibuat risih oleh suara alarmnya sendiri, Kinan segera membuka mata – mengerjap-kerjapkan melihat sekitarnya dengan pemandangan asing – kamar Bundanya.

"Rey!" pikirannya langsung tertuju pada manusia yang dari semalam sekarat itu. Ia bergegas bangun dan menuju kamarnya – tok tok tok.

"Rey?" tanyanya halus yang ia lemparkan untuk orang di dalamnya, "Aku masuk, ya?"

"Kamu gapapa, kan?"

Karena manusia di dalam kamar itu hening tanpa suara, Kinan memutuskan untuk langsung masuk saja. Siapa tahu si Rey terlibat kecelakaan kecil di dalam, misalnya? Ya mungkin sewaktu ingn turun dari tempat tidur, kepalanya masih pusing dalam keadaan badan masih sangat lemas tak berdaya lalu terpeleset jatuh kebentur sesuatu? Kecelakaan, kan, namanya? Ya, ok, dilarang nethink dulu.

Setelah berhasil masuk kamarnya dengan cara mengendap-ngendap, Kinan bernafas lega karena melihat temannya saat ini juga masih tertidur pulas – atau memang ajalnya sudah menjemput? Kinan buru-buru menempelkan jari telunjuknya ke bawah hidung milik Rey memastikan temannya itu masih hidup, nafasnya menderu dengan teratur, Kinan juga memeriksa pergelangan Rey, "Huhh, masih berdenyut ternyata."

Merasa lega temannya masih hidup, Kinan mengambrukkan setengah badannya itu di pinggiran kasur dengan setengah badan lainnya terduduk di kursi plastik. Masih dalam posisi seperti itu, Kinan memandangi wajah Rey yang kini sudah normal dibandingkan semalam yang tampak merah panas dan berkeringat. Menyadari kain penyekanya sudah tidak di tempatnya lagi, Kinan terduduk memeriksa setiap permukaan kasur yang bisa ia jangkau.

Ternyata, makanan, minuman dan obat yang diberikan Bundanya kemarin telah habis tak bersisa – seraya Kinan hanya membulatkan bibirnya dengan manggut-manggut tanda paham bahwa temannya ini sudah sempat bangun. Senyumnya tersimpul di ujung bibirnya.

"Laper, ya, seharian bobo?" Batinnya.

Bingung harus membangunkannya atau tidak, Kinan malah bermonolog ria di samping temannya yang masih tertidur pulas itu, memandang wajahnya yang sudah tidak sepucat kemarin dan nafasnya yang menderu bak kereta api yang lewat. Sesekali menempelkan punggung tangannya di dahi milik temannya itu – khawatir masih melanda dirinya. Suhu tubuh temannya itu menurun, walau masih terasa agak hangat.

"Rey?"

"Aneh tau, kalo kamu sakit kaya gini."

"Masa?" Jawabnya pada diri sendiri.

"Iya, loh. Mending diem-dieman gitu, masih kelihatan idup, hihi."

"Ya, emang kamu masih hidup si, apasih aku alay banget, ya?"

Kinan masih saja meneruskan hal itu, menanyakan sendiri – dijawab sendiri. Merasa kesepian semenjak temannya terlelap sejak kemarin sore. Tidak lama memang, namun mungkin karena kali pertamanya ia merasa aneh.

"Kata Bunda, kamu diizini kok tinggal di sini sementara – selama apapun yang kamu mau. Tapi kamu sembuh dulu, ya?" Bisik Kinan yang kian mendekatkan mulutnya pada telinga Rey yang masih terlelap itu.

"Iya, aku udah sembuh, kok." Suara serak khas orang bangun tidur mengangetkan Kinan yang sedari tadi mengkhawatirkan orang di depannya ini. Rey sudah bangun semenjak suara bermonolog ria milik Kinan cukup mengusik tidur nyenyaknya. Perlahan ia bangun dan mendudukkan dirinya di atas kasur yang ia tempati dari kemarin sore.

"I-ini kamu beneran bangun?" Gagap Kinan getahui Rey yang bangun secara tiba-tiba.

Rey hanya membalas senyuman juga anggukan, memegangi kepalanya yang mungkin masih pusing itu. Mengedarkan pandangan matanya ke teman yang ada di depannya ini, sudah berpakaian rapi dan ya…masih terlihat cantik – batinnya.

Matahari tampak sudah sangat terang di luar sana. Berjalan malas dengan handuk yang ia sampirkan di pundak kanannya, Rey segera menuju kamar mandi yang dibarengi dengan keluarnya Kinan dari kamar tersebut. Tidak sampai 10 menit, ia telah menuntaskan kegiatan bersih-bersih dirinya. Tercium bau wangi sabun mandi, shampoo, dan parfum yang ia gunakan menghiasi ruangan itu. Mengeringkan rambutnya secara asal-asalan dan melempar handuk ke atas kasur.

Setelah mengganti baju dengan baju lainnya yang sudah sengaja ia bawa di dalam ranselnya, secara tiba-tiba Kinan masuk membawa segelas air dan beberapa obat menjadi berhenti di depan pintu setelah ia membukanya. Matanya terpejam dan hidungnya sibuk mengendus aroma yang tersebar di seluruh ruangan itu.

"Kamu mandi parfum, ya?" Ejek Kinan pada temannya yang baru selesai mandi itu.

"Ngawurr." Jawaban singkat yang Kinan dapatkan disertai cubitan kecil di hidungnya dari Rey yang ngacir keluar kamar.

Yang diperlakukan seperti itu membeku di tempat, senyumnya sedari tadi mengembang sempurna seakan tidak mau berhenti mengendurkan senyum itu sedikitpun. Beruntungnya manusia yang membuatnya seperti itu sudah meniggalkan tempat, jika tidak bisa-bisa ia mati karena malu.

Segera menyusul Rey yang keluar dari ruangan, Kinan mencari temannya itu – kepalanya sibuk memindai dari setiap sudut kafe. Ada beberapa pekerja kafe yang sibuk untuk menyiapkan dan membersihkan kafe karena sebentar lagi akan mendekati jam buka. Terlihat di ujung kafe sana, Rey sedang mengelap meja dengan mengenakan seragam kerja yang lengkap dengan celemek hitam khas kafe itu dengan logo di dada kiri.

Memperhatikan dari kejauhan, temannya itu terlihat sangat sibuk seperti karyawan lainnya. Mengelap satu meja ke meja yang lain, menata dan merapikan – tampak tidak bisa diganggu sedikitpun. Ucapannya ternyata sungguh-sungguh tentang ingin tinggal di kafenya. Benar-benar bekerja keras seperti karyawan lainnya.

Namun, satu hal yang Kinan rasa aneh. Di seberang sana, temannya tampak sedang berbicara – awalnya Kinan mengira temannya itu sedang bernyanyi mengikuti alunan musik yang diputar di kafe atau mendengarkan musik dari earphonenya. Namun ini tidak. Musik kafe sedang mati dan ia tidak memasang earphone di telinganya. Wajahyna terlihat sedikit muram.

"Diam!" Rey tiba-tiba membentak sangat keras, ruangan yang sepi itu tiba-tiba mendadak menjadi mencekam. Seluruh karyawan – juga Kinan memperhatikan dirinya.