Alunan musik dari pengeras suara di setiap sudut kafe yang semakin samar akan derasnya hujan membuat Rey sedikit menengok ke arah luar – begitu deras dan angin yang kencang membuat pohon-pohon di luar sana bergoyang dan condong mengikuti hembusan angin yang sangat kuat.
Ia duduk di sini ditemani segelas milkshake matcha yang sudah ia pesan setengah jam yang lalu – tidak hanya minuman di depannya itu, melainkan ada juga seorang gadis yang baru ia kenal tadi pagi.
Memerhatikan gerak-gerik sang gadis yang sedari tadi hanya bermain-main dengan telepon genggamnya – terkadang ia tertawa kecil hingga terbahak-bahak, kembali dengan raut wajah datar lalu tersenyum tipis dan secara tiba-tiba mengerutkan dahinya tampak seperti khawatir. Terlarut menikmati pandangan yang ada di depannya, tak terasa salah satu ujung mulutnya sedikit terangkat yang membuat insan di depannya sadar dan bingung.
"Kamu mau ikut nonton juga?" Tawar Kinan.
"Ah, engga-engga. Lanjutin aja gapapa." Balas Rey dengan sigap karena sikapnya tadi yang ketahuan oleh Kinan, "Benar-benar memalukan." Batinnya sambil menunduk dan berpura-pura sibuk dengan handphonenya sendiri.
"Nonton bareng juga gapapa, kelihatannya tadi kamu tertarik?" Tanya Kinan, lagi.
"Ah, engga, kok. Gapapa, tadi kayanya kamu asik banget nontonnya." Mendengar penjelasan Rey, Kinan hanya membulatkan bibirnya yang tak bersuara itu sambil memanggut-manggutkan kepalanya.
Mereka berdua kembali ke aktivitas masing-masing, sibuk pada benda kotak yang sedang mereka genggam.
Pikiran Rey kembali mengajak pada kejadian di parkiran tadi.
"Shafira…" gumamnya lirih yang tidak sama sekali menarik perhatian Kinan yang terlalu fokus dengan apa yang ia tonton saat ini.
Mengingat bagaimana penampilan Shafira tadi, Rey membuat opininya sendiri tentang bagaimana dia bisa menjadi seperti itu, "Meninggal? Toh sudah pasti, bentukan dia aja bisa ditembus cahaya lampu mana ada orang masih hidup kaya gitu?" Gelut Rey dengan pemikirannya sendiri sambil memijat-mijat kepalanya yang sedang berpikir keras itu.
Sosok bukan manusia yang ia temui tadi baru membuatnya sadar bahwa mungkin sosok itu makhluk yang baik – tidak seperti sosok yang ia temui di masa lalu. Memikirkan hal itu, juga membuat Rey penasaran akan apa tujuan menemui dirinya dan darimana Shafira bisa mengenalnya – mengapa Shafira selama ini memanggil—anggilnya? Begitu banyak pertanyaan-pertanyaan yang tak berhasil terjawab di otak Rey. Sampai-sampai Rey yang awalnya ingin menghindari sosok itu, sekarang ingin cepat-cepat menemuinya lagi.
((flashback))
"Namaku Shafira, Kamu Reyhan, kan?" ucapnya sambil menatap manusia yang selama ini ia incar itu.
Yang merasa disebut namanya hanya mengangguk-angguk kebingungan, tersenyum kikuk di bawah gelapnya malam. Belum lama mereka berdua berinteraksi, kini langit yang tak berpihak kepada mereka. Rintik hujan yang semakin lama menderas membuat Rey segera lari menuju kafe dan meninggalkan Shafira di depan parkiran – dengan badan yang tembus oleh air hujan.
Shafira masih berdiri dengan koordinat yang sama dan tak merubah tempatnya sedikitpun seraya melihat punggung Rey yang semakin menjauh – dan sesekali melihat ke arahnya. Tampak rasa sedikit khawatir bercampur dengan bingung menghiasi raut muka Rey saat itu, ingin mengajak Shafira berteduh ke dalam kafe namun Shafira sendiri tidak peduli dengan dirinya sendiri yang mungkin sudah beribu-ribu bahkan berjuta-juta rintik hujan menembus dirinya – sambil tersenyum.
"Mungkin tidak perlu." Kata Rey.
((off))
"Rey," panggil lirih Kinan pada temannya yang melamun sedari tadi, "Rey! Kebiasaan, sih, ngelamun sampe segitunya." Kinan agak menaikkan nada suaranya yang membuat Rey menghentikan aktivitas melamunnya tadi.
"Ah, iya maaf, kenapa, Nan?"
"Kamu mau ke gunung?" kata Kinan sambil memerhatikan tas carrier milik Rey yang terlihat sangat penuh itu.
Rey yang ditanyai seperti itu hanya menggeleng ringan lalu tersenyum tipis – membuat orang di depannya yang menanyakan dibuat penasaran akan alasan dibaliknya. Sebelum menjawab pertanyaan Kinan, Rey menghela nafasnya kasar dan membantingkan tubuhnya di sofa, mencari posisi ternyaman sambil memejamkan mata, dan kembali duduk agak membungkuk sambil mengusap wajahnya itu.
"Aku nginep di sini boleh?" tanyanya setengah yakin.
"Hah? Maksut kamu?" wajah Kinan berubah 100%, menjadi wajah yang benar-benar kaget.
Reyhan yang paham bahwa temannya ini telah salah paham menjelaskan semuanya – kedatangannya pada hari kemarin dan tadi pagi, juga malam ini. Derasnya hujan di luar mengiringi malam yang semakin larut tidak menghalangi sesi bercerita mereka berdua – yang semakin lama menjadi lebih serius dibandingkan awal tadi.
***
Setelah sesi bercerita selesai, Kinan tampak menunduk – bibirnya kelu, kaku, tidak bisa berkata apa-apa. Hanya bisa berkata sabar seraya mengusap halus pundak orang di sampingnya itu. Ya, di sampingnya. Beberapa saat yang lalu Kinan pindah ke samping Rey saat air mata Rey yang sudah membendung di pelupuk matanya itu jatuh satu persatu – perlahan.
Bingung harus bersikap seperti apa, Kinan hanya bisa menenangkan teman barunya itu. Tangan kirinya merangkul sampai ke belakang bahu kiri Rey, begitu juga tangan kanannya yang sekarang berada di bahu kanan Rey – mengusap perlahan berharap bisa membantu temannya untuk tenang.
Kinan tahu, melewati hidup seperti itu tidak mudah. Memang ia tak tahu persis seperti apa rasanya, namun yang pasti itu akan menjadi sangat sulit untuk melewatinya.
"Aku ke toilet sebentar." Ucap Rey dengan lesu lalu berdiri meninggalkan Kinan yang hanya membalas anggukan kecil.
15 menit sudah berlalu. Rey belum kembali dari toilet, Kinan mengeratkan kedua tangannya, kepalanya celingukan melihat ke arah toilet sambil menggigiti bibir bawahnya yang mengering itu. Kesabarannya sudah habis, Kinan menuju toilet pria. Sesampainya di sana Kinan hanya berada di luar dan berharap temannya baik-baik saja dan tidak melakukan hal-hal aneh.
"Om, Kinan minta tolong boleh ngga?" ucapnya dengan nada sangat putus asa pada OB kafenya yang baru saja mau masuk.
"Boleh, Mba. Kenapa, ya?"
"Anu, Om. Boleh minta tolong carikan temen saya di dalam? Temen saya pake celana item, kaos putih, oh sama jaket denim, iya itu, trus ganteng." Kinan berusaha mengingat-ingat apa yang Rey pakai tadi dan menekankan perkataannya tiap apa yang ia sebutkan.
OB yang dimintai bantuan olehnya mengangguk-angguk paham dan segera ngacir ke dalam mencari orang yang diminta oleh Kinan.
Tidak lama setelah OB itu masuk ke dalam area toilet pria, OB itu tampak tergesa-gesa dengan raut wajah yang tidak bisa diprediksi, "Mba, temen mba pingsan di dalem."
Mendengar penjelasan seperti itu, mata Kinan membulat sempurna – tanpa babibu ia langsung masuk ke dalam toilet yang untungnya sedang kosong itu. Diikuti oleh OB yang membantunya tadi, Kinan melihat Rey tengah terduduk tidak berdaya pada dudukan toilet. Tidak henti-hentinya Kinan menggoyang-goyangkan badan Rey berharap temannya segera bangun.
Tidak ada tanda-tanda Rey untuk membuka matanya, OB yang bersama Kinan itu menyarankan untuk di bawa ke kamarnya saja. Kinan yang sudah tidak bisa berpikir dan kehabisan akal hanya bisa mengangguk brutal – pasrah bagaimana, asal temannya itu tertolong.
"Ada apa, Sayang?" Tanya Bunda cemas saat mengetahui OB nya berlari menggendong Rey menuju kamar Kinan yang ada di kafe.
"Reyhan, Bunn, pingsann." Ucap Kinan yang sedari tadi sudah menumpahkan air matanya.
Mereka berdua segera menyusul Reyhan yang sudah tergeletak tak berdaya di atas kasur. Kinan masih berusaha menenangkan dirinya, pandangannya kepada Rey tidak teralihkan sama sekali – menggenggam tangannya erat.
Bunda Kinan yang baru masuk ke dalam kamar membawa baskom air hangat dan handuk kecil yang sudah dilipat. Bunda Kinan mengompres penuh kasih sayang, Rey seperti sudah dianggap anaknya sendiri. Setelah mengompres, Bunda Kinan menyiapkan beberapa obat, makanan dan air putih di nakas guna berjaga-jaga bila Rey bangun.
Kinan dan Bundanya meninggalkan dalam kamar itu sendiri, membiarkan istirahat sementara – karena mungkin di rumahnya ia tidak mendapatkan istirahat yang baik. Kinan dan Bundanya kembali ke aktivitas semula, menjaga dan melayani pengunjung di kafe.
Sedari tadi, pandangan Kinan tidak putus dari Bundanya – matanya mengikuti setiap pergerakan dari ibunya. Suhu badannya menurun, keringat dingin mulai membasahi tubuhnya. "Jika tidak mengatakannya sekarang, kapan lagi?" batinnya. Ia harus memenuhi janjinya pada Reyhan selaku teman dekatnya – oh, apa sudah bisa dibilang teman dekat?
"Bunda," belum mengatakannya pun lidahnya terasa kelu membayangkan seperti apa jawaban Bundanya nanti. Sedangkan yang ditanyai hanya mengangkat kedua alisnya sebentar lalu melanjutkan bersih-bersih sisa pengunjung.
"Bundaa,"
"Hmm?"
"Bunn…"
"Ada apa, Anakkuu…" Bunda berhasil dibuat gemas oleh tingkah anak semata wayangnya yang seperti itu.
"Mau tanya, tapi jangan marah." Ucapnya lirih sambil memainkan jari-jarinya yang menandakan ia sangat gugup.
Bunda Kinan yang merasa anaknya ingin bilang sesuatu yang penting mulai mendudukkan diri di pojok kursi lalu mengusap bahu anaknya itu, "Apa, nih?"
"Itu, Bun, si Reyhan…"
"Reyhan kenapa?"
"Mau nginep di sini sementara," ucapnya ragu-ragu, "Reyhan bisa tidur di kamarku, Bunda." Bunda Kinan yang mendengar itu – ekspresinya tidak bisa dideskripsikan dengan jelas. Entah marah atau hanya sekedar kaget, tidak ada yang tau. Raut wajah Bunda Kinan memasang mimic aneh dengan matanya yang membesar.
"Kamu pasti ada alasan, kan?"