Setelah berpamitan dengan Bunda Kinan, Rey menuju parkiran yang didampingi Kinan di sebelahnya – membawakan beberapa kotak Tupperware berisi bungkusan makanan dari Bunda Kinan.
"Makasih," Ucap Rey setelah Kinan menyodorkan beberapa kotak Tupperware itu yang sudah terbungkus rapi di dalam totebag, "untuk hari ini."
Lagi-lagi Rey berhasil membuat Kinan membeku dan bertanya-tanya, "Aku ngga tau pasti, tapi sama-sama." Ucap Kinan sambil mengembangkan senyumnya itu.
Tidak mau larut dalam kecanggungan lagi, Rey segera menyalakan motor miliknya – memperhatikan sekitar kafe itu mengecek apakah 'sosok' itu masih ada di sana apa tidak, "Aku balik dulu, ya, see you."
"Iya, ati-ati." Kinan melambai-lambaikan tangannya – dan lari masuk menuju pintu utama kafe yang sudah mulai buka itu.
Berjalan cepat dan menundukkan kepalanya – menahan senyumnya yang tidak bisa berhenti mengembang membuat bundanya ikut tertular dan sudut mulutnya perlahan tertarik ke atas – tertawa kecil melihat reaksi anak semata wayangnya itu.
Kinan melemparkan dirinya ke atas kasur menendang-nendangkan kakinya tak tentu arah, memeluk bantal dengan sangat erat dan menenggelamkan kepalanya – menjerit kesenangan dalam diam agar siapapun di sekitarnya itu tidak mendengarnya. Kembali mengingat apa saja yang dilakukan dengan teman barunya tadi membuat jantungnya tidak berdetak tidak karuan.
Tok tok tok..
Kaget dengan suara ketokan pintu kamarnya Kinan langsung duduk terkesiap – ternyata bundanya yang membawakan beberapa paket yang baru saja sampai, "Ah, Bundaa, aku kira siapa coba pake acara ketuk pintu segala."
"Emang kamu ngarepnya siapa, sih?" Goda bunda pada anaknya sendiri seraya mencubit pelan hidungnya dan duduk di sebelahnya. Kinan sedari tadi menahan senyumnya berusaha tetap biasa saja di depan bundanya ini yang tampak tertular senyum putri semata wayangnya itu.
"Anak tadi ganteng, ya?" Goda bunda lagi.
"Ih, Bunda apa, sih? Gajelas tau," elak Kinan memalingkan muka yang senyumnya sudah tidak tertahankan lagi dan semakin mengeratkan pelukann pada bantal yang sedari tadi sudah tersiksa itu, "menurut Bunda g-ganteng juga, ya?" Lanjutnya malu-malu namun sudah berani menatap wajah bundanya itu.
"Idihh, tadi sok malu-malu sekarang malah nanya."
"Kan, pertanyaanku apa Bunda jawab apa," dengus kesal Kinan yang didengar orang di sampingnya itu mengundang gelak tawa ringan, "udah, ih, ayoo Bunda keluarr." Kata Kinan sambil mendorong pelan Bundanya keluar kamar.
"Aduh, iya-iya, putri Bunda ini masih pengen lanjutin mesem-mesem, ya?" Goda Bunda kesekian kalinya dan berjalan cepat menjauhi kamar putrinya itu sebelum diamuk.
Kinan berhasil dibuat kesal dengan tingkah Bundanya yang seperti itu. Kembali menutup pintu kamar dan kembali melemparkan badannya di atas kasurnya yang sudah using itu membuatnya berdenyit pelan.
Alunan lagu dari luar yang sudah terdengar menandakan bahwa kafe sudah buka, Kinan menatap langit kamarnya dan sedikit demi sedikit peristiwa yang baru saja dialaminya tadi. Telinganya sibuk menikmati lagu, matanya terpejam sedari tadi menghayati isi lirik lagu yang disampaikan – dan tak terasa bibirnya kembali terangkat.
"Lagu ini kaya kamu tadi." Batinnya.
Kinan terkekeh kecil. Suasana hatinya kini sangat bagus sekali bak kucing jalanan yang kelaparan berhari-hari dan diberi makan oleh orang-orang baik yang mau berbagi. ((Ganyambung gapapa, maafin))
Hari ini seperti hari-hari lainnya Kinan membantu di kafe yang sudah menjadi kebiasaannya ketika punya waktu luang – namun hari ini beda.
Wajahnya terlalu berseri-seri, melakukan seluruh pekerjaan kafe dengan ringan hati disertai senyuman yang selalu terukir sempurna di wajah cantiknya itu – ia menjadi lebih semangat dalam melakukan seluruh kegiatan kafenya hari ini.
Mengantar satu persatu pesanan para pengunjung bahkan para pelanggan premium dengan wajah yang sangat menularkan kebahagiaan ke seluruh penjuru atmosfer kafe milik Bundanya itu.
Sedangkan di belahan bumi lainnya, di kediaman Keluarga Mahaputra sekarang sangat diwarnai dengan suara perdebatan, teriakan dan bantingan benda-benda tumpul bahkan kaca yang sangat nyaring ketika terbanting. Perkelahian kedua orang tua Rey tidak terelakkan – membuat anak bungsunya hanya menutup kedua telinganya yang sudah berada di pojok kamarnya sendiri, beberapa kali ketika bantingan terjadi Rey segera menutup kedua matanya rapat-rapat berharap tidak membayangkan apa yang terjadi di lantai 1 rumahnya sendiri.
Sudah berhari-hari keadaan rumahnya seperti ini setelah mamanya tertangkap basah mendua dengan pria lain yang bukan suaminya sendiri. Mamanya ketahuan ketika sedang berada di salah satu mall besar di ibukota bersama seorang pria tak dikenal yang diduga simpanan atau biasa disebut selingkuhannya, dan hal ini diketahui sendiri oleh Papanya Rey – yang pada waktu itu Papa Rey dan Rey sedang berkeliling mencari peralatan berkemahnya Rey dan malah disuguhi pemandangan yang seharusnya tidak terjadi.
Pada awalnya Mama Rey sangat menentang bahwa beliau berselingkuh dengan pria lain, namun karena dihujani banyak pertanyaan dari suaminya sendiri membuatnya naik pitam dan secara tidak sadar membentak.
"Ya, saya selingkuh dari kamu!"
***
Suasana rumah Rey yang sudah benar-benar tidak mengenakkan membuat si anak bungsu ini ingin melarikan diri dari rumahnya sekarang juga. Apa yang ada di otaknya kini sudah benar-benar berantakan – akal sehatnya hampir tidak berguna lagi ketika ia memutuskan menyayat tangannya namun dihentikan oleh notif yang muncul di handphone-nya.
+6281XXXXXXXXX
Aku Kinan
Satu notif itu – menjadi sangat berpengaruh dalam kehidupan Rey saat ini. Menghentikan kegilaan yang akan dilakukannya, akal sehatnya mulai bekerja kembali tersadar akan apa yang ia pegang saat ini dan segara melemparkan ke sembarang arah.
Pikirannya kini hanya dipenuhi oleh satu tempat, satu orang – satu tujuan.
Benar, Kinan dan Kafenya.
Mengemasi beberapa baju dan kebutuhannya ke dalam tas carrier 50 liternya. Mengendap-endap keluar rumah ketika keadaan rumah sudah sepi dan tenang yang meninggalkan kesunyian di sana. Menoleh ke kanan dan ke kiri memastikan keadaan di sekitarnya benar-benar aman – kakinya terus melangkah hingga sampai di garasi, terdengar suara pintu kamar yang terbuka membuat Rey cepat-cepat mengeluarkan motornya tanpa suara.
Tidak butuh lama untuk sampai di kafe Kinan, setelah memarkir motornya ia segera menuju Kafe – namun terhenti.
Melihat sosok yang berdiri tidak jauh di depannya membuat Rey menghentikan langkahnya, matanya terbelalak detak jantungnya menjadi sangat terpacu saat ini.
"Hai." Sapa sosok itu sambil melambai dengan muka datarnya. Ini kedua kalinya sosok itu menampakkan dirinya, namun kali ini benar-benar jelas.
Seolah baru sadar akan hal itu, Rey cepat-cepat menundukkan kepalanya dan memejamkan kedua matanya dengan rapat. Ia tidak ingin lagi bertemu dengan jenis makhluk seperti ini lagi seperti 2 tahun lalu sampai mengakibatkan kekacauan dan trauma mendalam.
Rey sangat tidak mengharapkan bisa mendengar suara sosok yang kini ada di depannya itu. Kepalanya sedang sibuk berpikir apa yang harus ia lakukan saat ini – meninggalkannya? Bagaimana jika sosok itu jahat dan berakibat ia yang akan kena imbasnya? Ia sedang bergelut dengan pikirannya sendiri – hingga ia memberanikan mengangkat kepalanya dan membuka mata.
Matanya semakin terbuka lebar melihat sosok itu kini ada di depannya persis dengan wajah pucat datarnya yang sedari tadi tidak berganti. Menghela napas panjang dan memutuskan berinteraksi dengan makhluk yang tidak ia inginkan kehadirannya saat ini.
"Hai, juga." Sapa Rey balik pada sosok itu dan tersenyum tipis.
"Kamu beneran bisa liat aku, kan?"
Mendapat respon yang tak sesuai dengan ekspetasinya, Rey tentu terkejut, "Iya, hehe." Balasnya yang sudah mencoba santai.
"Beneran, kan?" Ucap sosok itu yang semakin menaikkan nada bicaranya dan lebih eksprektif daripada tadi. Ditanya seperti itu lagi untuk yang kedua kalinya, Rey hanya mengangguk-anggukan kepalanya dan menggaruk tengkuknya yang sebenarnya tidak gatal sama sekali.
Dinginnya malam saat ini tidak berhasil menembus kulit Rey yang hamper seluruh badannya tertutupi oleh kain tebal. Langit yang tampak berawan menutupi cahaya bulan purnama yang seharusnya bersinar terang di atas sana. Sosok yang ada di depannya ini adalah seorang gadis yang mengenakan dress putih selutut yang sangat usang namun tampak elegan dipakainya. Badannya membelakangi kafe dengan lampu yang terang membuat badannya tembus dengan cahayanya.
Rey yang masih sibuk memandang sosok di depannya dari atas sampai bawah menjadi terpecah lamunannya ketika sosok itu mendekati wajahnya, "Aku aneh, ya?"
Rey dengan sigap menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Namaku Shafira, kamu Reyhan, kan?"