Chapter 22 - Episode 22

Alna :

Aku bersama dengan dua Z ditambah dengan tiga lelaki di belakangku hanya berjalan mengekori Miss Alexandra yang berjalan di depanku.

Kalian tahu apa yang aku pikirkan bukan? Ya, tepatnya sekarang aku akan di pindahkan di kelas tingkat atas, tingkat kelas paling tinggi di Akademi dengan Lisensi-A. Itu luar biasa!

Zahra dan Zrine mungkin masih kesal denganku karena tidak memberitahu mereka lebih awal. Padahal bukan salahku jika aku saja baru di beri tahu setelah mereka.

Asrama Akademi Purnama Tingkat Tinggi berada sekitar 600 kilometer di depan Asrama kami tinggal dulu. Awalnya aku ragu menginjakkan kakiku memasuki gerbang Asrama yang empat kali lipat lebih besar dari Asrama Akademi Purnama Tingkat Awal. Tapi melihat kelima sahabatku itu sangatlah tenang membuatku ikut merasakan ketenangan mereka.

Kami di sambut oleh para jajaran Staf yang berada di Asrama Akademi Tingkat Tinggi atau di singkat AAPTT, para murid tentu masih berada di Akademi sekarang. Mulai awal saat kami turun dari kapsul terbang Akademi bahkan sampai di ajak berkeliling melihat-lihat seluruh penjuru AAPTT. Tak banyak yang berubah di sini, hanya beberapa tempat yang lebih besar dan canggih, juga pemisahan Asrama putra dan putri yang sangat ketat. Aku suka, pun dengan yang lainnya.

Kami terus berjalan melewati beberapa ruangan di setiap kooridor hingga sampai kembali di gerbang utama AAPTT. Kami kembali di jemput oleh kapsul terbang. Miss Alexandra akan mengajak kami ke APTT atau Akademi Purnama Tingkat Tinggi, dimana kami akan melanjutkan pendidikan kami di sana.

Aku bahkan lebih kagum lagi saat kapsul terbang yang aku naiki semakin mengambang tinggi dengan kelajuan sedang. Ternyata APTT berada pada ketinggian 7000 kaki di atas tanah, aku bahkan bisa melihat gelombang awan yang menari indah seperti halnya di laut lepas. Mengagumkan!

Dari jauh aku dapat melihat sebuah bangunan super besar dan tinggi. Terlihat sekali jika bangunan itu sangat mewah, megah dan juga pasti sangat canggih.

Sebuah gerbang kristal dengan tinggi 8 meter yang di lapisi dengan butiran kristal menyambut kedatangan kami. Sebuah tulisan Akademi purnama Tingkat Tinggi berbentuk hologram mengambang di atasnya. Jangan lupakan lambang mahkota tiara kristal biru yang mengambang di atas tulisan hologram.

Gerbang Akademi terbuka otomatis saat kami akan memasukinya. Di sambut oleh para jajaran Staf dan para guru APTT saat kapsul terbang kami mengambang turun.

"Kita turun anak-anak," intruksi Miss Alexandra pada kami.

Aku baru tahu beberapa hari yang lalu jika kelas Lisensi-A berada di Akademi yang berbeda dari empat kelas lain. Kelas ini berada jauh di tempat lain, tepatnya di APTT ini sekarang. Pantas saat aku memperhatikan lagi, tidak ada orang lain lagi yang memiliki name tag dengan Lisensi-A di Akademi sebelumnya kecuali tiga senior kembar itu.

Pandanganku mengedar ke sekitar penjuru APTT. Sangat luar biasa kami berada di sini.

Aku dan yang lain tetap mengekori Miss Alexandra yang berjalan di depan kami. Hingga berhenti di depan sebuah tangga yang berisi 10 anak tangga.

Miss Alexandra di sambut baik oleh para Staf dan dewan guru yang mengajar di APTT.

"Ini akan menjadi pengalaman yang luar biasa bagiku, Na." ucap Zrine tiba-tiba. Ia bersiri di sisi kiriku, dan Zahra di sisi kananku.

Aku mengangguk menjawab perkataan Zrine. Tidak salah, aku juga senang mendapatkan sebuah kesempatan yang luar biasa dari Miss Alexandra.

"Mari kita masuk anak-anak." kami mengangguk serempak dan mulai beranjak mengikuti Miss Alexandra kembali.

"Yang laki-laki bisa melanjutkan langkah kalian bersama Mr. Raff menuju Akademi Putra Purnama," lanjut Miss Alexandra dengan menunjuk seseorang di sisi kanannya.

Ketiga lekaki itu hanya diam tanpa menjawab atau mengangguk. Mereka bergegas berjalan menuju Mr. Raff yang Miss Alexandra maksud. Mereka menuju Akademi Putra Purnama Tingkat Tinggi.

***

Aku mendengar suara seruan tertahan dari dua Z di kedua sisiku. Aku juga sempat akan berseru tadi.

Kami berada di mansion Akademi yang besar dan megah setelah berjalan melewati pintu utama yang tingginya mencapai 6 meter dengan lebar 4 meter.

Kami terus berjalan mengikuti Miss Alexandra hingga melewati pintu kedua. Pintu itu terbuka dengan akses izin kartu pengenal milik Miss Alexandra yang menjadi Kepala seluruh Akademi.

Aku, Zahra dan Zrine benar-benar berseru kencang kali ini. Lihatlah betapa besar dan megahnya Akademi ini.

"Ini adalah kooridor Lord, di sebelah kiri kalian bisa melihat Ruang Dunia dan Teknologi yang canggih dan modern. Akademi ini telah berdiri sejak 5 abad yang lalu sebelum aku memimpin."

Miss Alexandra benar, Ruang Dunia dan Ruang Teknologi memang terlihat sangat canggih dan modern. Bahkan saat melihat kedua ruangan itu dari kooridor, di luar sekat kaca transparan.

Kami beranjak menaiki piring terbang masing-masing lalu kembali mengambang berkeliling. Setiap ruangan kelas di pisah dengan jembatan penghubung di kooridor. Cukup sepi untuk saat ini, karena semua murid berada di kelas masing-masing mengikuti jam KBM yang masih berlanjut.

For you information, APTT adalah Akademi yang memiliki waktu jam KBM yang berbeda. Saat pukul tujuh pagi dilaksanakan dengan KBM yang mengajarkan pelajaran umum hingga pukul sembilan, lalu di lanjut dengan tambahan beberapa materi khusus yang hanya di ajarkan pada para bangsawan di sore harinya seperti sekarang ini.

Tidak ada Kelas Tambahan lagi di Akademi ini. Seluruh murid di fokuskan untuk belajar mengenai hal-hal yang berkaitan dengan sopan santun, karakteristik, sifat, yang biasanya hanya di lakukan oleh para bangsawan. Akademi ini akan meluluskan muridnya di setiap tahun dan suatu keberuntungan lagi bagi kami karena tidak perlu mengulang lagi.

Mengapa begitu? Karena rata seluruh murid di APTT ini adalah para bangsawan yang di ajarkan untuk bersikap dan bertata krama yang sesungguhnya harus mereka lakukan. Selain itu juga ada beberapa murid yang berasal dari kalangan rendah mendapatkan beasiswa untuk menjadi seorang Wanita Kehormatan atau yang di sebut Lady Royal.

Jika mereka berhasil menjadi seorang Wanita Kehormatan, maka seluruh kehidupan mereka tidak akan berbeda jauh dengan kehidupan seorang Putri Bangsawan. Mereka akan menjadi seseorang Penasehat Kepercayaan Putri mereka di Kerajaan manapun nantinya, posisi mereka sangat penting di butuhkan.

Miss Alexandra sudah mengenalkan kami dengan tempat-tempat juga seluruh ruangan di penjuru Akademi ini. Ruang Serbaguna dan Ruang Simulasi Bertarung di kooridor Mega. Juga di kooridor Marga yang di isi dengan berbagai ruang Laboratorium.

"Oh, ada satu hal yang ingin aku sampaikan pada kalian. Dan aku berharap kalian menerimanya,"

Kami berhenti di sebuah taman Akademi yang luas dan indah. Miss Alexandra menatap kami bertiga dengan sorotan mata tenang.

"Iya, Miss." jawab Zahra mewakili kami.

"Sayangnya aku tidak bisa menyatukan kalian di Asrama. Tidak masalah?"

Kami tertegun sejenak memikirkan sebelum akhirnya Zahra kembali berbicara. "Hanya kamar, kami akan selalu bersama di lain tempat."

Ucapan Zahra benar, tidak apa walau hanya di lain tempat. Dan mungkin kami juga akan sering tidak bertemu dengan tiga lelaki yang sekarang juga berbeda Akademi setelah di pisah juga di Asrama. Protokol peraturan yang melarang dua jenis berbeda di satukan di dua tempat itu memang di junjung tinggi.

"Baiklah, aku lega mendengarnya."

Setelahnya, kami di antar kembali ke Asrama dengan beberapa kapsul terbang Akademi lain, sudah waktunya pulang. Kali ini tidak ada tiga lelaki itu. Dan aku harus lebih berani karena kamar kami yang di pisah satu sama lain, aku berada di kamar dengan label Pi/A1, Zahra dengan label Pi/A5 dan Zrine yang paling jauh di label Pi/A12. Dimana masing-masing kamar juga berisi 3 orang.

Aku memantapkan langkahku menuju kamar yang di tunjukkan oleh kartu Akses Pengenal yang baru saja Miss Alexandra berikan padaku saat akan memasuki gerbang Asrama.

Sudah pukul enam lebih sepuluh malam, aku berharap tidak akan terjadi apa-apa di kamar ini sekarang. Aku mendekat ke arah pintu dan secara otomatis akan meng- scan kartu akses yang aku bawa.

Pintu kamar terbuka, tanpa banyak cakap aku langsung masuk menemui siapa penghuni kamar ini.

***

"Oh, hai!" sapa seorang remaja perempuan dengan rambut pirang di ikat tinggi dan membawa satu bola sepak berwarna lilac. Juga peri kecilnya yang sayap dan bajunya berwarna serasi dengannya.

"Hai, juga," jawabku canggung. Ada satu remaja lagi yang sedang duduk telentang sambil berkutat dengan kartu hologram dan headphone di kepala dengan rambut merah yang ia sanggul dengan dua tusuk, dan juga peri kecil di sampingnya.

"Biar ku tebak. Alisa A salah satu pemenang lotere di APTA?" aku hanya mengangguk membenarkan. "Mau bermain bola?"

Tanpa persetujuan dariku, remaja itu sudah lebih dulu menendang bolanya ke arahku. Aku yang belum siap langsung menyingkir membuat bola itu menatap dinding dan terpantul mengenai peri kecil dan membuatnya juga ikut terpental menghantam dinding kaca ruangan. Bola itu kembali memantuk ke arah remaja yang duduk di atas ranjang, ia sempat mengelak walau akhirnya terjerembab di samping ranjangnya. Bola itu berhenti setelah terpantul kasur ranjang dan masuk ke dalam keranjang sampah.

"Oh, good. Kau sangat beruntung," aku tak memperdulikan remaja berambut pirang. Aku beralih membantu remaja yang terjerembab tadi.

"Kau baik-baik saja em---"

"Isla," jawabnya cepat memikirkan aku yang tidak tahu nama mereka.

"Dan aku Hadley, ini Angel, dan Melody." aku mengangguk. Hadley dan Isla, nama yang bagus. Juga peri kecil mereka.

"Yah, kau sangat beruntung bisa berada di sini." ucap Isla kembali ke topik awal.

"Why?" tanyaku tak faham.

"Banyak dari mereka yang memegang beasiswa sebagai pemenang lotere itu tidak bisa melanjutkan pendidikan mereka ke jenjang yang lebih tinggi," jelas Hadley padaku.

Aku masih tetap diam mendengarkan, penasaran dengan lanjutannya dan aku tak berniat menyela.

"Tidak semuanya bisa lulus dengan nilai sempurna karena mereka tahu jika mereka bukan seorang bangsawan."

Aku menunduk, benar juga. Apa semua yang aku lakukan di sini juga akan tetap berakhir sia-sia karena aku memegang beasiswa itu?

"Permisi!" serempak kami bertiga menoleh ke arah pintu. Ada satu peri kecil berwarna biru yang baru saja masuk.

"Oh, Hai Bianca!" sapa Hadley.

"Apa ada murid yang bernama Alisa A di sini?"

"Me," tunjukku pada diriku sendiri.

"Hai, aku Bianca. Asisten Putri pribadimu," bahkan aku juga memilikinya sendiri sekarang.

Aku mengangguk. Mengucapkan terimakasih padanya.

"Kau seorang Putri?" aku menatap Hadley yang juga menatapku dengan sorot intimidasi.

Aku menggeleng tidak menjawab apapun karena aku tidak tahu. Sebaliknya, aku melontarkan pertanyaan padanya.

"Kakak sendiri?"

"Putri, Isla juga dan jangan memanggilku seperi itu, kami sepantaran denganmu. Sekarang dia sedang sibuk membuat sebuah lagu."

"Benarkah? Boleh kau memutar musiknya untuk kami, Isla?" Isla diam. Ia malah menutup mode laptop di kartu hologram miliknya.

Aku paham, itu artinya ia tidak mengizinkan kami mendengarkan musiknya. "Tidak apa jika kau belum siap,"

***

Pukul tujuh lebih 20 menit. Aku sudah mandi dan mengganti pakaianku dengan seragam Akademi ini. Kemeja putih panjang yang di lapisi rompi berwarna aqua dengan dasi merah muda yang terpasang rapi di kemejaku. Bawahan rok motif kotak-kotak berwarna biru yang aku lapisi dengan celana angkle puff berwarna senada dengan roknya. Jangan lupakan kerudung pashmina yang senada dengan rompi seragam. Kaos kaki putih selutut dan sandal high heels biru aqua yang sangat tinggi.

"Em... Alisa, benarkah kau bukan seorang Putri?" tanya Hadley lagi. Ia bahkan sudah menanyakan hal yang sama selama empat kali tadi, dan ini yang ke lima.

Isla hanya terkekeh kecil. Aku beranjak duduk di ranjang Isla, bergabung bersama mereka.

"Aku bukan seorang Putri atau pun Wanita Kehormatan yang kau maksud, aku hanya murid di sini. Dan takdirku bergantung di tempat ini." jawabku dengan tenang, tidak mungkin aku akan berteriak karena tidak sabar menghadapi mereka. Bisa-bisa aku membeku terkena kekuatan Kinetik Hadley atau pukulan berdentum milik Isla.

"Tapi wajahmu tidak asing, benar 'kan Isla?"

Isla mengangguk. "Mungkin, sekilas seperi mirip dengan seorang Ratu yang aku kenal."

Aku menggeleng. "Aku bukan berasal dari sini, jadi tidak mungkin."

Mereka mengangguk menyetujui ucapanku kali ini. Ku harap mereka tidak akan membahas hal ini lagi nanti.

Ting...

Suara dentingan dinding kamar mengalihkan pendengaran kami, mode speaker di aktifkan.

Seluruh murid ATT, harap berkumpul di taman Asrama sekarang juga. Kami beri waktu satu menit.

Ting...

Mode speaker di non- aktifkan.

"One minute!" seru kami bertiga serempak.

Aku beranjak berdiri di susul dengan Hadley dan Isla. Niatku yang ingin keluar terhenti saat tiga peri kecil menghampiri kami.

Bianca terbang ke arahku membawa alat make up di tangannya lalu dengan cepat mengoles lip balm, dan menabur bedak di wajahku.

Angel dan Melody juga melakukan hal yang sama dengan dua majikannya. Kami bertiga kemudian di dorong paksa keluar dari kamar.

"Aku baru tahu itu," Hadley dan Isla terkekeh kecil mendengarku bergumam seperti itu.

Kami bertiga berjalan beriringan menuju taman Asrama sesuai intruksi dari Staf Asrama.

Beberapa kali aku memperhatikan sekitar dan tidak menemukan keberadaan Zahra atau Zrine di sekitar sini.

"Ada apa?" tanya Hadley yang melihat raut wajah bingungku.

Aku hanya menggeleng kecil mengatakan jika tidak ada apa-apa. Lalu menarik keduanya untuk segera bergegas.

***

Taman AAPTT cukup luas dan indah. Aku tidak bisa menjabarkan nya kali ini, entahlah. Terlalu indah.

Aku langsung cepat beranjak duduk saat melihat kursi yang kosong. Tak lupa juga menarik Hadley dan Isla agar mereka tidak bingung mencari kursi kosong lagi. Syukurlah, setidaknya baris ke lima dari depan tidak terlalu jauh dengan podium di depan sana.

Kami bertiga duduk tenang sembari menikmati semilir angin yang berhembus melewati kami.

Seketika aku menoleh saat merasakan sebuah tepukan di pundakku. Aku melihat sebuah wajah berlukiskan senyuman manis dan satu lagi berwajah dengan lukisan cengiran kuda.

"Ehem, hai! Boleh berkenalan?" aku terkekeh kecil mendengar candaan itu.

Kalian pasti bisa menebak mereka siapa?

Yap, benar. Zahra dan Zrine, merekalah pelakunya.

Aku membalas sapaan mereka dengan sedikit menambah candaan. "Tentu, Alisa A. Ini Hadley dan Isla, teman baruku."

Kedua wajah itu berubah sendu. Zrine menatapku dengan datar.

"Secepat itu melupakan kami?"

Aku kembali terkekeh. "Tentu saja tidak, aku hanya bercanda Zrine."

Zahra menyenggolku, "Pelankan intonasi suaramu saat memanggil nama kami."

Bergegas aku segera menutup mulut dengan tangan kanan dan tangan kiriku yang terbuka meminta mereka santai.

Untunglah tempat ini sedikit ramai, jadi tidak ada yang mendengar.

Aku memanggil Hadley dan Isla yang fokus dengan keadaan di sekitar. Mereka menatapku dengan tatapan bertanya. Aku menunjuk dua orang di samping kiriku, memperkenalkan mereka dengan sahabatku.

"Ini Fa Za dan Rin, mereka sahabatku." Hadley dan Isla mengangguk lalu menyalami keduanya dan saling berkenalan. Betapa leganya aku saat mengetahui perkenalan yang damai ini.

"Kalian baik-baik saja dengan datanganya penghuni baru bukan?" tanya Zrine tampak serius.

Hadley dan Isla saling tatap sejenak sebelum akhirnya mereka terkekeh pelan.

"Cukup untuk membuat kami takjub." jawab Hadley.

Takjub? Untuk? Aku bahkan tidak bertingkah konyol ataupun melawak di depan mereka berdua tadi.

"Sangat luar biasa dengan beberapa tingkahnya," Isla menambahi jawaban Hadley yang membuatku semakin bingung.

Mereka bercanda?

"Apa yang sudah Alisa lakukan bersama kalian?" tanya Zahra. Dari raut wajahnya ia juga tampak bingung.

Zrine menyipitkan kedua matanya. "Kau tidak bertingkah konyol seperti pelawak, bukan?"

"Heh, sembarangan!" mereka berempat tertawa. Apa yang lucu?

Hadley menepuk pundakku pelan. "Ya, sperti inilah. Kadang polos, canggung, atau malu-malu."

Eh!

"Beruntungnya ia tidak memalukan,"

Mereka kembali tertawa. Mereka mengerjaiku begitu? Dasar tidak duo Z, duo Bundaran HI, mereka sama saja rupanya.

"Ehem, bisa kita mulai acaranya?"

Aku bernapas lega, setidaknya mereka berempat kini tidak menistakan aku lagi dengan suara seseorang di atas podium.

Semua murid kini berfokus memandang seseorang yang berdiri di atas podium. Seorang Kepala Akademi yang anggun dan berwibawa, siapa lagi jika bukan Miss Alexandra?

Di atas sana Miss Alexandra membuka suara, beliau menyapa kami beberapa sambutannya yang tentu akan di sambut baik oleh seluruh penjuru murid Akademi.

"Awalnya aku ingin mengucapkan selamat pada mereka yang memegang beasiswa pemenang lotere Akademi tahunan, yang dimana masih bisa bertahan hingga semester kedua ini,"

Aku tertegun, begitu juga dengan Zahra dan Zrine. Miss Alexandra menyinggung kami bertiga dalam sambutannya walaupun aku tahu tidak hanya kami bertiga saja yang memegang beasiswa itu.

"Memulai kembali semester baru di awal Pin kali ini, aku berharap kalian selalu bersikap, dan berkarakter seperti apa yang kami ajarkan pada kalian di semester awal kalian berada di Akademi ini,"

"Malam ini kita memulai kembali tantangan besar dalam hidupmu, melatihmu mejadi seorang Putri Kerajaan atau Wanita Kehormatan, pekerjaan penting yang ada di seluruh penjuru galaksi."

Aku mendengarkan dengan seksama. Mencerna dengan baik setiap kalimat yang di katakan Miss Alexandra.

"Rekan kelas kalian, Lorraine dan Josette membantu membawakan mahkota pelatihanmu yang kedua."

Aku memperhatikan dua remaja putri yang di maksud Miss Alexandra, mereka berjalan membawa ratusan mahkota pelatihan dengan kekuatan Kinetik mereka. Mahkota-mahkota pelatihan itu mengambang di depan setiap murid. Mahkota itu di pakai setiap semester pelatihan para murid, setiap semester akan diberi mahkota yang berbeda. Mahkota itu di bedakan setiap bentuk satu kristal yang terpasang di mahkota itu.

Tak kusangka jika Bianca yang membantuku untuk memasangkan mahkota pelatihan itu di atas kepalaku. Bianca sedikit kesulitan karena mahkota itu hampir jatuh, licin terkena kerudungku. Aku membantunya membenarkan posisi mahkota pelatihan yang ku kenakan.

Setelah di rasa cukup sempurna, aku berterimakasih pada Bianca sebelum ia pergi meninggalkanku.

"Ku ingatkan untuk jangan pernah lupa tidak memakainya," intruksi Miss Alexandra kembali terdengar.

Aku kembali fokus pada intruksi Miss Alexandra selanjutnya.

"Hanya mereka yang berhasil dalam semester ini dan selanjutnya yang akan mendapatkan mahkota yang sebenarnya,"

"Gagal dalam latihanmu, maka kau tidak akan di mahkotai."

Aku kembali tersentak, lagi. Keempat orang di kedua sisiku menatapku serempak. Duo Z yang khawatir dan duo Bundaran HI yang bertanya-tanya.

Mencoba tetap tidak peduli dengan mereka, aku kembali mendengarkan perkataan Miss Alexandra.

"Kami mempunyai penilaian yang sangat tinggi di sini. Kalian harus menghadiri setiap kelas, tepat waktu, berseragam resmi, dan nilai-nilai kalian harus luar biasa."

Bahkan Akademi ini memiliki tingkat peraturan yang lebih tinggi dari Akademi sebelumnya.

"Kukatakan, aku percaya jika kalian memiliki bakat untuk menjadi seorang Putri Kerajaan. Bekerja keras, tetaplah bededikasi, dan kalian akan mendapatkannya."

Sejenak suara riuh tepukan tangan menggema dari setiap murid, mengisi keheningan malam ini.

Tiba-tiba Hadley kembali menepuk ku, aku tersentak pelan. Bisa tidak ia tidak mengagetkaku seperti ini.

"Mau tahu sebuah kisah?" bahkan dengan santainya ia bertanya seperi itu di saat Miss Alexandra masih berbicara di depan sana.

Entahlah, aku tidak tahu harus menjawab apa. Aku memutuskan mengangguk menanggapi pertanyaannya.

"Kisah apa?"

"Tragedi kecelakaan keluarga Kerajaan."

"Apa?"

***

Next episode 23...