Chapter 27 - Episode 27

"Oke, gue jujur." lirih Voltra membuat seluruh atensi terfokus ke arahnya.

Hening...

"Iya." ucap Voltra membuat yang lain terlonjak senang.

Beliung memeluk Kristal di sebelah kanan, dan Voltra di sebelah kirinya. Berucap, "Akhirnya kakak kita--"

"Tetap sportif, itu yang kalian mau 'kan?" Beliung bungkam saat ucapannya di potong Voltra. "Gue nggak anggap dia lebih, kita sportif jaga dia dan mereka."

Kristal dan Beliung saling tatap, mereka bungkam. Kenapa kakaknya itu malah memukul mundur keduanya?

Sedangkan lima remaja 16 tahun saling tatap. Tidak mengerti mengapa tiga kembar utama itu malah membawa mereka dalam masalah Voltra.

"Kak Liu sama kak Kristal sportif apaan sama kak Voltra?" tanya Pyro yang membuat Beliung merinding dan Kristal yang sudah berkeringat dingin.

"Sportif aja buat anggap mereka adik kita dan buat---" Lagi-lagi ucapan Beliung terpotong.

"Dapetin dia."

"What?" heboh semua orang yang ada di ruang tamu.

Freeze langsung membuka matanya sempurna, mengangkat kepalanya dari pangkuan Pyro.

"Hah! Gimana?" Gamma menggaruk telinganya yang mungkin saja salah dengar karena banyak kotoran yang menumpuk di dalamnya.

Balak yang dari tadi hanya diam kini ikut terkejut walaupun ia juga tidak tahu kenapa ia juga ikut berteriak tadi.

Kini Voltra tersenyum miring saat matanya bertatapan dengan Zahra dan Sophia. "Lo kira cuma gue yang punya perasaan ke dia 'kan?"

Tidak ada jawaban atau pergerakan apapun dari Zahra. Sedangkan Sophia mengalihkan pandangannya menatap Beliung yang cengegesan dan Kristal yang diam menunduk.

Merliah yang tahu arah keadaan akan kembali tegang mengambil alih pembicaraan lebih dulu sebelum Voltra yang menyela.

"Nggak ada salahnya kalian suka, semua manusia pasti memiliki nafsu, dan itu wajar saja jika kalian anggap Alisa lebih dari perasaan kalian masing-masing," seluruh atensi kini beralih pada Merliah yang berbicara.

"Ibu dukung kalian, asalkan kalian tetap sportif dan saling mendukung. Jangan karena sebuah perasaan yang sama merusak hubungan kalian sebagai saudara kembar hingga terpecah belah."

Tiba-tiba di sela ucapan Merliah, Balak menangis tersedu, berlari memeluk Kristal dan Beliung yang terkejut hampir terjungkal jika sofa yang mereka duduki tidak ada sandarannya.

"Eh? Al kenapa nangis?" tanya Kristal.

"Untung kakak nggak jantungan." Ucap Beliung yang mendapat tatapan tajam dari semua orang di ruang tamu.

Balak menatap manik Kristal lekat, menyorot kesedihan yang dalam saat Kristal balas menatap manik emerald di depannya.

"Nggak usah suka sama orang kak! Kakak mau kita semua pisah kayak dulu karena perasaan kalian sama?"

Hening...

Seorang Balak bisa berkata seperti itu, bahkan di saat semua orang telah paham dengan dunia yang luas, tidak dengan Balak yang hanya paham dengan dunianya sendiri.

Lagi dan lagi, Freeze kembali melotot saat mendengarkan kalimat pertanyaan yang tidak di sangka akan keluar dari adiknya yang terkenal polosnya na'udzubillah!

Bryant dan Nolan kompak melongo, empat perempuan beda umur menggeleng takjub dengan tingkah Balak. Pyro terkekeh kecil sembari menepuk-nepuk pundak Freeze membuatnya meringis. Jangan tanyakan Gamma yang sudah menutup wajahnya dengan bantal sofa, malu.

Beliung menggaruk kepalanya --yang tidak gatal-- menatap kepolosan sang adik yang kini menangis takut.

"Nggak gitu maksudnya Al," ucapan lembut Kristal menciptakan kerutan di dahi Balak yang menatapnya bingung. "Nggak papa kok suka orang. Kita udah janji nggak akan kemana-mana lagi 'kan?"

Balak mengangguk. "Ya, udah nggak papa. Kita udah janji 'kan."

Anggukan kecil dari Kristal menjawab permintaan Balak. Detik selanjutnya, Balak kembali duduk di samping Gamma yang masih menutup wajahnya dengan bantal sofa.

"Gue nggak percaya, sumpah." ucap Gamma, meletakkan bantal sofa di pangkuan Balak.

Kembali dengan sifat tidak peduli, Freeze mengambil bantal sofa yang yang di bawa Balak, bantal itu tadi ia pakai saat tidur di ambil paksa oleh Gamma.

"Gue tarik kalimat gue tadi. Bukan guru nikung murid, tapi kembar tiga saling nikung." celetukan Pyro mengundang lemparan batu kristal yang tepat mengenai kepalanya.

"Sekali bilang gitu lagi kakak masukin ke kandang Mega Blu, tau rasa kamu!"

Pyro meneguk salivanya susah payah, menutup mulutnya rapat mendengar nama ikan peliharaan Freeze di sebut Kristal. Ancaman kakaknya yang satu ini tidak pernah bercanda, ia tidak mau jadi umpan pancingan untuk ikan kesangan Freeze. Masih mau nikah katanya.

"Nggak lucu kak."

Gelak tawa tercipta di ruang tamu. Pyro menekuk wajahnya, antara takut dengan ancaman Kristal dan kesal menjadi bahan lelucon.

"Tapi itu tergantung Alisa juga," ucapan Zrine mengalihkan atensi semua orang, menghentikan suara tawa di ruang tamu. Zrine kembali melanjutkan. "Percuma tetap sportif jika kenyataannya Alisa tidak akan memilih siapapun di antara kalian."

"Nah, itu. Bahkan perlakuan lebih yang di kasih kak Voltra selama ini ke dia aja nggak ada tuh yang mempan." tambah Bryant menyetujui ucapan Zrine.

Kini Nolan mengangguk, ikut membenarkan. "Permainan kak Liu dan perhatian kak Kristal juga nggak akan ada yang lolos masuk ke hatinya yang udah beku."

Tiga kembar utama itu berpikir dengan caranya masing-masing. Kristal mengerutkan dahinya, Beliung menggaruk kepalanya, dan Voltra yang membuang napas kasar. Tiga cara berbeda dengan satu pikiran yang sama. Bener juga, pikir ketiganya.

"Sebenarnya Alisa itu apa sih?"

"Ya, manusia kak!" seru Gamma menjawab pertanyaan Pyro.

Pyro mengerutkan dahi. "Siapa tau separuh alien juga, mana ada alien punya hati?"

"Ada."

Alfa membuang napas kasar, sedikit tersinggung. Ia juga tidak yakin dengan seruan Nolan dan Bryant yang tidak mungkin tidak jujur.

Nolan menepuk pundak Bryant kesal. "Tiru-tiru aja."

"Lo yang niru gue! Enak aja." bantah Bryant tak Terima, balas menepuk muka Nolan.

"Maksud kalian gimana?" tanya Sophia yang tidak paham dengan penjelasan Zrine. Membiarkan Nolan dan Bryant sibuk.

Balak tidak ingin ambil pusing dengan percakapan orang-orang di sekitarnya yang membuatnya bingung sendiri, menghabiskan waktunya dengan bersantai sambil menonton kartun kesukaannya di televisi hologram di atas meja. Mulutnya penuh dengan makanan.

"Trauma." bukan Zahra atau Zrine yang menjawab, atau Alfa yang sedari tadi menjelma sebagai es batu di samping Nolan.

Atensi mereka teralihkan pada seseorang yang menjawab.

"Trauma tentang perasaannya?" tambah Gamma. Kembali fokus mendengarkan percakapan, membiarkan pertanyaannya terpendam.

Pyro sudah tidak menyahut lagi, ia lebih memilih menemani Balak yang menonton kartun. Ikut pusing memikirkan masalah perasaan tiga kakak kembar di atasnya.

Tak perlu waktu lama bagi seorang Sophia menebak, ia bisa paham dengan cepat arti kata yang di ucapkan Voltra menyangkut Alisa. Itu artinya Alisa pernah merasakan trauma dengan perasannya hingga membuatnya tidak ingin kembali membuka perasaannya untuk siapapun lagi.

Ada rasa bersalah di hati Merliah saat ia menebak percakapan barusan. Salahkah jika ia hanya tidak ingin membuat tiga kembar utama merasa kecewa dengan merahasiakan segalanya? Lalu bagaimana jika mereka tahu nantinya?

Entahlah, ia hanya berharap jika suatu saat seluruh kebenaran telah tercipta, para Elemental tetap pada diri mereka masing-masing.

Tidak ada yang bertanya atau menyela saat Zahra dan Zrine menjelaskan, mereka yang sedang sibuk sendiri tetap mendengarkan walau fokus pada kesibukan mereka, juga Freeze yang mendengarkan dengan telinga super tajamnya, walaupun sudah berpindah ke dunia lain alias dunia mimpi.

Hembusan napas kasar terdengar serentak keluar dari masing-masing orang yang benar-benar fokus mendengarkan penjelasan duo Z tadi.

Sophia menggeleng, lantas menatap tiga kembar utama dan duo Z bergantian. "Jika kita menghapus memori ingatannya bagaimana?"

"Amnesia dong?"

"Hapus memori buruk doang maksudnya kak." Pyro hanya ber-oh pelan menanggapi Gamma.

Teknologi Galaksi Andromeda yang semakin berkembang canggih memang telah menyediakan sebuah alat yang di ciptakan untuk menghapus sebuah memori yang berada dalam ingatan otak manusia, selain itu juga dapat mengembalikan memori yang hilang dalam ingatan otak manusia tergantung pada batas ingatan manusia tersebut. Ingatan yang di hapus tidak hilang secara permanen, tapi di pindahkan pada sebuah alat penyimpanan memori yang di ubah menjadi bentuk perangkat lunak yang dapat di lihat langsung, seperti data, foto-foto atau video yang dapat di simpan oleh pemilik jika ingin mengembalikan memorinya kembali.

Alat itu di ibaratkan seperti data dalam perangkat lunak yang dapat di pindahkan ke data lain menggunakan perantara perangkat dan dapat di kembalikan lagi jika membutuhkan data tersebut. Sangat canggih sekali bukan?

"Kita bisa coba." seru Zrine, wajahnya terlihat antusias.

Begitu juga dengan Zahra yang menyetujui usulan Zrine. Keduanya memang sudah lama merasa sedih jika melihat Alna yang masih begitu terlarut dengan traumanya. Mungkin dengan cara itu bisa membuat Alna kembali tersenyum tanpa beban lagi, keduanya sudah terlalu lelah melihat senyum palsu yang menghiasi wajah Alna selama ini.

"Kita juga setuju." tambah Bryant.

Nolan mengangguk, berucap, "Jika perlu, hapus semua memori yang buruk dalam ingatannya."

"Gue bilang Amnesia -in aja sekalian."

Anggukan antusias dari semua orang telah menjadi syarat setujunya usulan Sophia. "Alisa pasti bisa menerima perasaan kalian bertiga dengan pemikiran awalannya."

"Tidak!"

***

Angin berhembus kencang menerpa wajah gadis remaja yang terduduk di atas rumput yang basah. Tetesan air hujan turun semakin deras menemani perasaannya yang kini juga kembali sakit, ketakutan akan traumanya dulu kembali berputar saat ingatannya seakan memutar video tiga dimensi di depan matanya. Butir bening luruh bercampur tetesan air hujan, suara isakannya terdengar senyap terkalahkan dengan suara dentingan air yang jatuh menghantam tanah.

Dalam remang hujan di tengah gelapnya langit, membuat sekitar gadis itu gelap, si tambah dengan jutaan pohon rimbun mengelilingi sekitar, tidak ada cayaha yang masuk walau sang mentari mencoba menyapa dengan cahayanya. Sayangnya, kapas hitam di lautan langit lebih kuat meresap cahaya sang mentari. Seakanengerti jika gadis itu butuh waktu sebentar untuk melupakan perasaannya tanpa ingin ada yang mengetahui.

Gadis itu menangis, tidak kencang, namun membuat siapapun yang melihatnya ikut tersayat pilu. Niatnya yang akan kembali mengantarkan Blair ke rumahnya setelah bermain bersamanya dan juga dua sahabatnya --Hadley dan Isla-- di taman, terurungkan saat mendengar semua pernyataan tentang tiga senior kembar --panggilan yang masih tetap-- menyatakan perasaan mereka padanya.

Bukankah mudah untuk menerima semua perasaan yang mereka berikan? Bahkan siapapun yang mendapatkan perlakuan baik, kasih sayang tulus dan juga perhatian dari mereka juga pasti akan menerima perasaan mereka, bahkan lebih untuk hanya sekedar menerima, tapi juga membalas dengan cara memilih. Mengapa baginya sulit sekali?

Bahkan di saat ia sendiri yang mendapatkan semua itu tidak dapat menerimanya. Rasa takutnya lebih besar daripada rasa kepercayaannya pada tiga orang itu, traumanya akan perasaan telah menjadi sebuah dinding penghalang di hatinya. Satu kata yang menggambarkan hatinya, beku.

Alna dengan rasa takutnya memilih untuk mempertahankan ego tentang traumanya.

Flashback on

"Tidak!"

Seluruh atensi kini teralihkan pada seruan di ambang pintu rumah.

"Maksudku... mmm..."

"Blair." potong Sophia.

Blair hanya berjalan menuju sang kakak saat namanya di panggil.

"Hadley, Isla." tanya Zrine cemas melihat kedatangan mereka yang hanya bertiga.

"Kenapa cuma kalian bertiga yang pulang?" tambah Zahra, tangannya terkepal cemas.

Tidak ada jawaban. Keadaan kembali semakin tegang saat melihat Hadley dan Isla hanya kembali bersama Blair, tidak dengan Alna.

Alfa dan Freeze dengan kepekaan mereka, melihat raut wajah bingung dari keduanya, memutuskan bertanya.

"Lo berdua baik-baik aja?" sialnya mereka bertanya serempak.

Isla mengangguk. Hadley hanya diam.

"Kita pulang sama kak Alisa kok tadi, tapi kak Alisa tiba-tiba pergi. Mungkin ada urusan." ucap Blair menjelaskan.

Nolan dan Bryant saling tatap. Bahkan Alfa juga ingat jika mereka tidak ada jadwal kelas lagi hari ini.

"Alisa nggak pernah pergi sendirian di tempat asing tanpa kita, jam segini juga sudah bebas, jadi mana mungkin ada urusan mendadak."

Nolan mengangguk, membenarkan ucapan Bryant. Alna tidak pernah pergi sendirian di tempat asing, tidak ada jadwal janji yang selalu Alna beritahu.

"Atau jangan-jangan---"

"Alisa dengar semua percakapan kalian sebelum pergi gitu aja ninggalin kita." sela Isla memotong ucapan Pyro dan Gamma.

Hening...

"Alisa nggak bilang apa-apa ke kita, tapi kita tahu waktu Alisa pergi dia udah nangis dengerin percakapan kalian." ucap Hadley membelah keheningan.

"Termasuk percakapan---"

"Iya." potong Hadley menyela ucapan Beliung.

Zahra menarik Zrine berlari keluar rumah, tak lupa mengkode semua sahabatnya untuk ikut. Dengan gesit, Zahra melaju terbang cepat di atas awan menggandeng Zrine, kelima sahabatnya yang lain menyusul.

Tanpa pikir panjang, para Elemental bergegas menyusul kelimanya. Sophia juga bergegas menyusul setelah pamit pada Merliah dan Blair.

Flashback off

Zahra dan Hadley masih melaju di atas awan, sedikit menurunkan ketinggian agar bisa melihat dengan jelas di tengah derasnya hujan. Zrine memilih mencari di bawah bersama Isla, banyak pepohonan rimbun di sekitar tempat yang mereka lewati. Alfa bersama Bryant menunggangi Elang bayangan Alfa untuk menyusuri daerah yang sama, dan juga Nolan dengan gesit berlari di setiap celah-celah pepohonan.

Sudah cukup lama mereka menyusuri tempat itu. Melalui feeling Zahra yang merasa jika Alna suka tempat sepi tanpa gangguan namun nyaman memungkinkan keberadaan Alna ada di Bukit Crystalize, lumayan jauh untuk menuju bukit ke Distrik Bukit Hijau. Mereka berpencar di sekitar, dan akan memberi sinyal melalui kartu akses mereka jika ada yang menemukan Alna.

Sesekali kapsul terbang yang di kendarai Gamma turun kebawah, meminta Balak dengan kekuatannya menggunakan Teknik Bahasa Alam agar dapat merasakan, mendengar, dan melihat segala yang ada di sekitar mereka.

Kapsul terbang kembali mengambang turun. Balak keluar dengan sebuah daun besar yang menjadi payung agar tubuhnya tidak basah terkena air hujan yang semakin deras, mulai menyentuh tanah dengan telapak tangannya, semburat cahaya hijau tipis keluar dari tangganya dan terus mengalir ke seluruh penjuru. Detik selanjutnya, cahaya itu hilang, Balak menggeleng mengatakan jika tidak menemukan Alna.

Khawatir, cemas, takut sangat di rasakan oleh Zahra sekarang. Pikirannya tidak bisa jernih mengingat daerah yang mereka lewati sangat luas. Belum ada notifikasi yang berdenting di kartu aksesnya, berarti belum ada yang menemukan keberadaan Alna.

Mencoba sedikit tenang, Zahra mengajak Hadley untuk mengambang turun, mungkin jika jarak lebih dekat bisa melihat lebih jelas.

"Fa Za, Hadley!" seruan panggilan nama mereka itu menghentikan keduanya yang akan beranjak turun.

Zahra dn Hadley mengalihkan atensi mereka ke arah seruan yang datang dari belakang. Ada Straidyzie dan Skyfly yang terbang ke arah mereka.

"Apa yang kalian lakukan di sini?" tanya Hadley.

"Twicalucia meminta kami mencari kalian semua." jawab Straidyzie.

Zahra menggeleng. "Tidak untuk saat ini Dyzie, kami masih harus mencari---"

"Alisa bersama Lucia." potong Skyfly dengan nada dinginnya.

"Ayo, naik." tanpa ba-bi-bu lagi, Zahra dan Hadley langsung menunggangi kedua hewan itu.

Lalu gesit melesat terbang menuju tempat Alna dan Twicalucia berada.

Di tempat lain, Zrine dan Isla yang juga di jemput oleh Flutterain dan Blice segera bergegas menunggangi kedua hewan itu menyusul yang lainnya.

***

"What are you doing in here?" pertanyaan itu membuyarkan segala pikiran Alna, ia mengangkat kepalanya, melihat ke arah sumber suara. Delapan hewan dengan pangkat tinggi kini berada di hadapannya.

"Kalian pergi cari yang lain dan kembali bersama mereka! Aku yang menemaninya di sini."

Tujuh hewan mengangguk dan segera bergegas melaksanakan perintah Putri mereka.

Alna masih menatap Alicorn Kristal yang berjalan menuju ke arahnya. Tatapan matanya sayu, butir bening masih mengalir deras di pipinya.

"Alisa." panggil Alicorn itu.

Sedangkan Alna hanya menatapnya dengan wajah datar. Perlahan ia berdiri, berhadapan dengan Alicorn itu --Twicalucia.

"What are you doing in here?" ulang Twicalucia lagi.

Bodoh jika Twicalucia bertanya 'Are you okay?' karena jelas tatapan mata Alna terlalu sayu.

Bukannya menjawab, Alna malah kembali menangis tersedu. Twicalucia yang tidak tega dengan keadaan Alna jauh dari kata baik-baik saja, menundukkan kepalanya, tanduknya bersinar, beberapa saat cahaya lembut keluar mengarah pada Alna. Setidaknya sihirnya untuk membuat pelindung sementara untuk Alna agar tidak terkena air hujan lagi, bisa bertahan sampai yang lain kembali.

"Lucia." panggil Alna, suaranya pelan di telan derasnya hujan, tapi Twicalucia masih bisa mendengarnya.

Twicalucia menatap lembut Alna. "Why?"

Kepala Alna menunduk, lantas beranjak duduk, di ikuti Twicalucia yang ikut duduk berhadapan dengan Alna.

"Salahkah jika aku tidak membalas perasaan seseorang yang telah tulus memberikan perasaannya padaku?"

Tentu saja Twicalucia langsung paham dengan Alna yang bertanya seperti itu, mendengar banyak cerita dari semua sahabat Alna selama ini membuatnya begitu paham dengan kehidupan Alna yang begitu menyakitkan jika di dengar. Bagaimana dengan Alna yang merasakan semuanya sendiri?

"Alasannya?" Twicalucia sengaja bertanya balik, walau ia sudah tahu, tapi ia tetap ingin mendengarkannya sendiri lewat Alna.

Hembusan napas kasar terdengar, Alna menutup matanya. "Aku trauma Sya. Aku tidak bisa mempercayai seseorang yang telah memberikan perasaannya padaku lagi."

Andai saja jika Twicalucia tidak ada tugas di daerah Distrik ini pasti ia tidak akan tahu ada hal yang menimpa Alna sekarang. Mungkin saja keadannya sudah lebih parah jika tidak ada yang tahu, Alna itu tipe orang yang pandai mencari tempat untuknya bersembunyi walau hanya sekedar mencari ketenangan.

Masih diam, Twicalucia tidak berniat menyela, membiarkan Alna mengeluarkan segala yang ia pendam sekaligus mendengarkan segala yang Alna rasakan darinya sendiri.

"Aku takut Sya. Aku selalu membuat semua sahabatku khawatir." Alna kembali menangis.

Andaikan saja Twicalucia adalah manusia, ia akan memeluk manusia di hadapannya sekarang. Sayangnya ia tidak dapat melakukannya, hanya tundukkan dalam yang dapat ia lakukan, hati nuraninya seakan berkata jika ia memang harus menjaga Alna mulai sekarang.

"Seandainya aku tahu dari awal, aku tidak akan pernah menemui mereka lagi. Rasanya seakan aku memberikan sebuah harapan pada mereka, pada nyatanya aku tidak pernah melakukannya."

Entah mengapa rasanya Twicalucia ingin sekali ia menangis, ikut merasakan kepedihan yang selama ini Alna rasakan.

Alna menatap Twicalucia yang menunduk, ia tahu Twicalucia tidak tega menatap wajahnya lama-lama.

Sesaat kemudian, Twicalucia berani menatap Alna. "Mereka sangat menyayangimu."

"I know." Alna mengalihkan pandangannya menatap pepohonan di sekitarnya. "Mereka menyayangiku, tapi aku hanya menganggap mereka tidak lebih dari seorang kakak."

Kini Twicalucia benar-benar mengerti betapa dalam rasa trauma yang Alna miliki. Walau ia tidak mengerti siapa 'mereka' yang Alna maksud.

"Aku selalu membuat semua sahabatku khawatir, cemas, bahkan ikut merasakan ketakutan yang sama saat aku kembali seperti ini. Aku hanya ingin bersikap biasa, tapi tidak bisa.

Twicalucia sesekali melihat tujuh sahabatnya yang datang bersama dengan tujuh sahabat Alna juga sejak beberapa menit yang lalu. Tapi ia mengkode lewat tatapannya untuk tetap diam di tempat, mendengarkan semua penjelasan Alna.

"Aku tidak mau membuat mereka cemas. Sudah cukup selama ini aku selalu merepotkan semua sahabatku Sya."

"Kau tidak pernah merepotkan kami." Zahra melangkah maju mendekat ke arah Alna. Zrine hanya mengikuti langkah Zahra.

Diam, tidak ada suara lagi dari Alna.

Isla ikut menyusul maju mendekat ke arah Alna, di ikuti dengan Hadley di sampingnya. "Tidak ada kata merepotkan yang pernah tertulis dalam sejarah persahabatan."

"Persahabatan adalah sebuah ikatan yang terjalin karena adanya sebuah kenyamanan, kasih sayang, kepercayaan, dan kesetiaan di dasari sebuah unsur keharmonisan yang tulus." entah apa yang membuat Straidyzie juga ikut angkat bicara.

"Dan yeah, sama seperti unsur-unsur Magic of Harmony yang memberikan sepuluh Elemen paling penting dalam sebuah sihir keharmonisan dalam Galaksi yang selama ini kami jaga, seperti apa yang kalian jaga juga." bahkan Blice -- untuk pertama kalinya mereka tahu-- juga bicara dengan nada yang santai.

"Bahkan dengan melakukan semua itu tidak membuat kami merasa di repotkan sama sekali. Bukankah memang sudah menjadi tugas dan tanggung jawab kami melindungi apa yang di jaga? Benar 'kan Skyfly?"

Skyfly menatap datar Flutterain yang menodongkan pertanyaan padanya. Dengan datar ia menjawab, "Sedikit."

Oke, sepertinya Flutterain salah bertanya tentang masalah ini pada Skyfly yang notabenya adalah hewan dengan sifat paling dingin.

Nolan menyahut dari belakang, tidak ikut maju. "Jadi jelas bukan? Tidak ada yang namanya seorang sahabat merepotkan sahabatnya yang lain. Justru keberadaan kita semua yang selalu bersama akan menjadi sebuah pelindung dari apa yang di jaga pada setiap masing-masing untuk diri sendiri dan kita semua."

Hujan yang tadinya masih deras kini berhenti seketika kalau Alna mengusap air matanya. Seakan alam benar-benar mengerti jika keadaan Alna sudah sedikit membaik.

***

Next episode 28...