Chapter 23 - Episode 23

Alna terlonjak kaget karena lagi-lagi duo Z itu mengagetkannya.

"Kalian bilang apa tadi?" tanya Zrine. Entah ia benar-benar tidak mendengarkan atau hanya ingin mengulang.

Wajah Isla kini berubah serius, menatap duo Z dan Alna bergantian. "Iya, kisah tragedi kecelakaan keluarga Kerajaan."

"Memangnya mengapa dengan tragedi itu?" sela Zahra dengan pertanyaannya.

Hadley kini ikut merubah raut wajahnya menjadi sangat serius.

"Ada kisah jika Ratu Natashalmeera dan keluarganya tidak semuanya meninggal dalam kejadian itu."

Zahra dan Zrine tersentak dengan pernyataan peristiwa itu. Mereka saling tatap tak percaya.

"Aku tidak tahu bagaimana kisahnya, tapi aku senang jika kalian mau berbagi dengan kami," kata Zahra yang membuat Hadley tersenyum senang.

"Aku senang jika kalian juga mengetahuinya."

Selanjutnya, mereka berhenti berbicara lagi karena Alexandra yang dengan segera menutup acara pada malam hari ini.

"Akhir kata, ku ucapkan terimakasih. Semuanya telah selesai dan kalian di persilahkan kembali ke kamar Asrama masing-masing."

Alexandra menuruni podium tanda jika ia selesai berbicara. Seluruh murid Akademi beranjak kembali ke kamar Asrama mereka masing-masing.

Alna bersama duo Z dan duo Bundaran HI -Hadley dan Isla- berjalan beriringan menuju kamar Asrama mereka. Sungguh sebuah perkenalan yang baik bagi mereka.

"Wah, wah, wah... sebuah pertemuan yang baik. Benar 'kan, Clara?"

"Ya, Delancey,"

Langkah mereka berhenti tepat setelah menuruni jembatan penghubung antara Asrama dan Taman.

Betapa terkejutnya Alna, Zahra dan Zrine yang mengetahui jika Delancey dan Clara berada di AAPTT.

"Bagaimana kalian bisa berada di sini?" tanya Alna dengan bodohnya. Hadley menatap Isla yang juga sama bingungnya dengan pertanyaan bodoh Alna.

"Mudah, jika kalian bisa memiliki kesempatan untuk di pindahkan ke Akademi Putri Purnama Tingkat Tinggi, maka aku lebih dari bisa, memiliki semua yang kau dapatkan," jawab Delancey dengan sombongnya.

Alna menatap Delancey tak percaya. Perkataan Delancey memang benar, ia yang terlalu bodoh untuk menanyakan hal seperti itu padanya.

Suara kekehan kecil terdengar memasuki pendengaran mereka berlima. Hadley dan Isla menatap dua orang di depannya ini dengan sorot mata tidak suka. Mereka sudah tahu jika dua orang di depannya ini suka sekali menganggu Alna di setiap kelas Dame Devin.

"Bukankah sudah jelas jika kaum rendahan sepertimu tidak pantas berada di Akademi ini!" Lagi-lagi Delancey berkata sinis dengan melontatkan kalimat pedas untuk Alna.

Zrine dengan berani maju berhadapan dengan Delancey. "Jaga mulutmu! Setidaknya ia bersikap dengan baik menjaga sopan santun. Bukan sepertimu yang rendah akan harga diri!"

Clara menatap Delancey yang tersentak kaget. Baru pertama kali dalam hidupnya ada seseorang yang berani melawannya.

Zahra dan Alna saling tatap. Sahabat mereka satu ini jika sudah nekat pasti tidak akan memikirkan tahta atau martabat seseorang yang ia ajak bicara.

Sedangkan Hadley dan Isla saling tatap dan tersenyum bangga. Rupanya ada juga yang bisa melawan seorang Delancey yang sangat di hindari oleh semua orang.

Decakan kesal keluar dari bibir Delancey, ia tak membalas perkataan Zrine yang membuatnya berhasil di pukul mundur dengan ucapan telak Zrine. Delancey menarik tangan Clara, beralih pergi dari taman.

Tepukan pelan di kedua pundak Zrine mengalihkan perhatiannya pada Hadley dan Isla.

"Tadi itu sangat berani," puji Isla.

"Ya, belum pernah aku melihat ada murid lain yang berani melawan telak Delancey. Kau menjadi salah satunya, Rin." tambah Hadley.

Alna yakin setelah ini Zrine pasti akan menunjukkan sikap PD-nya yang pasti karena senang ia di puji.

"Oh, ya. Tentu saja, itu hal yang biasa ku lakukan," Zrine melipat kedua tangannya di dada.

Tebakan Alna benar jika Zrine mulai bertingkah. Zahra hanya terkekeh kecil melihat sahabatnya yang memiliki tingkat percaya diri yang tinggi. Setidaknya masih berada di ambang batas.

Hadley dan Isla tertawa mendengar jawaban Zrine yang menurut mereka sangan percaya diri, tentu.

Mereka melanjutkan kembali langkah mereka yang terhenti, menuju kamar Asrama mereka masing-masing dengan beberapa percakapan kecil antara Zrine dan duo Bundaran HI.

***

Pagi ini Alna sudah rapi dengan seragam Akademi yang baru. Tiga menit lagi Alna dan duo Bundaran HI akan pergi ke kantin untuk melaksanakan sarapan pagi mereka sebelum berangkat ke Akademi tentunya.

Setelah di rasa semuanya telah siap, mereka keluar kamar menuju kantin Asrama.

Mereka duduk satu meja bersama seperti makan malam kemarin malam. Bedanya mereka memesan makanan yang berbeda di setiap waktu yang berbeda. Dan dengan situasi yang berbeda juga.

Berbeda dengan kantin Asrama APTA yang dimana akses pesan makanan bisa di lakukan secara otomatis dengan kartu hologram para murid. Di kantin Asrama APTT, para murid melakukan pesan makanan secara manual dengan memilih menu makanan dan minuman lewat sebuah layar hologram di pintu masuk, dimana layar hologram itu di buka melalui kartu akses murid yang nantinya akan menampilkan berbagai macam menu. Makanan dan minuman yang mereka pesan akan di siapkan langsung dan di letakkan di meja hidangan yang di sediakan agar para murid bisa mengambilnya sendiri.

Alasan akses kantin AAPTT di buat seperti itu karena ingin melatih potensi para murid agar bisa tetap bersikap mandiri jika suatu saat mereka berada di sebuah tempat asing entah-berantah.

Kembali ke Alna dan duo Bundaran HI. Sedari tadi dirinya bingung ingin memesan apa, bahkan berkali-kali Alna meminta murid lain untuk lebih dahulu memesan. Bahkan Hadley dan Isla sempat di buat bingung dengan tingkah Alna yang luar biasa tidak terduga.

Entah apa masalahnya yang membuat Alna bingung. Alna mengatakan jika ia ingin memesan semua menu tapi tidak bisa membawanya. Jadilah ia hanya berdiri sambil sesekali memikirkan menu apa yang kiranya cocok di makan uantuk sarapan perkenalan pagi ini.

Untunglah hanya tiga belas menit Alna berdiri. Ia akhirnya memutuskan untuk memesan satu porsi bakso kotak merah dengan jus apel biru, di tambah dengan roti keju dengan toping cherry di atasnya.

Delancey yang duduk berhadapan dengan Clara terus memperhatikan gerak-gerik Alna. Ia merotasi kan matanya saat melihat tingkah aneh Alna yang menurutnya sangat memalukan bagi kaum bangsawan seperti dirinya.

"Wickellia, kemari!" panggil Delancey pada asisten peri kecilnya yang berwarna merah hati.

Wickellia yang sedang bermain kartu poker dengan partner kecilnya Grace -asisten peri Clara- segera meletakkan kartu dan terbang menghampiri Delancey.

Lantas Delancey membisikkan sesuatu di telinga Wickellia, memberikan peri kecilnya itu sebuah tugas.

Wickellia mengangguk sebagai jawaban, dengan segera ia terbang melaksanakan tugas dari Delancey.

Tidak ada yang tahu saat Wickellia melaksanakan tugasnya dengan baik. Ia mengikat ujung rok seragam Alna dengan sebuah tali, dan ujung lainnya ia ikat di salah satu kaki meja yang sedang di duduki oleh Alna. Suatu keberuntungan bagi Delancey dan Wickellia karena meja kantin ini tidak mengambang, melainkan tertanam di lantai.

Alna yang sibuk makan bersama Hadley dan Isla yang saling melempar lelucon membuat ketiganya sama sekali tidak sadar sesuatu yang buruk akan menimpa Alna.

"Sudah cukup! Selesaikan ritual makanmu Isla, sebelum bel berdenting." Hadley memutus candaan mereka.

Alna mengangguk dengan sisa tawanya. "Sebaiknya kalian selesaikan ritual makan kalian dulu, aku akan kembali setelah meletakkan milikku,"

Hadley dan Isla mengangguk, hanya karena sebuah candaan lelucon mereka belum sempat menghabiskan sarapan mereka.

Alna kembali meletakkan gelas dan mangkuk di atas nampan. Segera ia membawa nampan itu dan beranjak dari duduknya.

Belum genap lima langkah saat berbalik, Alna merasakan sesuatu menarik pergelangan kakinya. Ia yang merasa tubuhnya tidak seimbang langsung terjatuh dengan spontan melemparkan nampan berisi gelas dan mangkuk kosong ke sembarang arah.

Prang!

"Arghh!"

Sialnya saat Alna menyadari dirinya melempar nampan itu ke tempat yang salah. Kini seluruh atensi para murid yang ada di kantin mengalihkan pandangan mereka padanya dan juga...

"You again," sentak Delancey marah karena nampan yang berisi gelas dan mangkuk kosong yang Alna lempar tepat mengenai dirinya.

Zahra dan Zrine yang melihat kejadian itu segera berlari menuju tempat Alna yang terjatuh, meninggalkan aktivitas sarapan mereka dengan khawatir.

Alna yang merasa di perhatikan seluruh murid langsung berdiri dan membenarkan seragamnya. Ia menatap Delancey dengan sorot mata menyesal.

"Aku minta maaf, aku tidak bermaksud seperti itu, sungguh!" ucapnya pada Delancey yang kini menataonya tajam.

"Kau baik-baik saja?" tanya duo Z setelah mereka sampai di tempat Alna.

Tidak ada jawaban dari Alna, ia fokus menatap Delancey berharap memaafkannya.

"Arghh! Mengapa di setiap langkahmu membawaku dalam sebuah bencanamu?" hardik Delancey.

Seluruh murid yang melihat Delancey menghardik Alna membuat nyali mereka semakin ciut.

Tidak ada perlawanan dari Alna atau duo Z dan duo Bundaran HI yang baru saja bergabung. Tapi mereka sangat kesal melihat perilaku Delancey yang begitu berbanding jauh dengan tahtanya.

Zrine yang ingin maju di tahan oleh Isla yang mengkode Zrine untuk tetap diam. Karena jika Zrine tetap maju, maka mereka akan menjadi sorotan bagi seluruh murid.

Sekali lagi Alna mengucapkan maaf pada Delancey. "Iya, kali ini aku yang salah, Delancey. Aku minta maaf!"

Setelahnya Alna melepaskan tali yang mengikat kakinya, dengan langkah cepat ia segera keluar dari kantin Asrama meninggalkan para murid yang bernapas lega karena tidak ada perdebatan di antara kedua pihak.

Tapi tidak berarti Delancey bisa terlepas begitu saja.

Zrine maju menghadap Delancey dengan sorot mata tenang tapi dingin. Para murid yang lain kembali memperhatikan tingkah Zrine yang begitu berani berhadapan dengan Delancey.

"Sesulit itu kau memaafkannya?" tanya Zrine sinis.

"Sudah jelas dia yang salah, bukan?"

"Iya, setidaknya ia sudah mengakui kesalahannya dan meminta maaf padamu hingga rela membuat harga dirinya jatuh. Tapi lihat apa yang kau lakukan?" sentak Zrine semakin menantang di kalimat pertanyaannya membuat para murid lain berseru tertahan.

"Rin!" panggilan Zahra bahkan di hiraukan oleh Zrine.

"Aku sebagai sahabatnya tidak terima jika dia mendapat perlakuan seperti itu darimu. Ingat perkataanku baik-baik,"

Delancey diam, entah mengapa kali ini nyalinya menciut mendengar kalimat yang di lontarkan Zrine. Ia mengakui untuk pertama kalinya ada seseorang yang berani melawan dirinya.

"Harusnya kau malu dengan seluruh perkataan bijakmu yang tidak sesuai dengan perilakumu! Dan menurutku itu lebih pantas seperti hewan liar di luar sana yang berkuasa namun tidak memiliki akal, Paham?"

Delancey menatap Zrine dengan kesal. Remaja di depannya ini sudah membuatnya kalah telak untuk yang kedua kalinya dan sialnya ia tidak bisa menjawab atau membalikkan perkataan Zrine.

Semua murid yang mendengar Zrine dengan kalimatnya berhasil membuat Delancey kalah telak saling berseru kencang memberi dukungan pada Zrine.

Untuk pertama kali dalam hidup mereka di Akademi belum pernah ada siapapun yang berani berhadapan dengan Delancey. Dan kini, Zrine mendapatkan gelar pertamanya sebagai orang yang paling berani melawan Delancey.

Tanpa menunggu jawaban dari Delancey atau memang tidak perlu, Zrine segera menarik tangan Zahra dan beranjak keluar dari kantin yang menurutnya seperti Ruang Persidangan Akademi.

Hadley dan Isla langsung pergi begitu saja menyusul Zahra dan Zrine yang lebih dulu keluar setelah memberikan senyuman smirk mereka pada Delancey. Sekali lagi mereka kagum dengan keberanian Zrine.

Keempatnya langsung bergegas mencari keberadaan Alna yang di yakini akan meliburkan diri dari kelas dan memilih pergi untuk menenangkan diri.

***

Zahra, juga tiga remaja putri itu masih mencari keberadaan Alna yang entah ada dimana. Satu Akademi mereka sudah memutarinya, tapi sama sekali belum menemukan keberadaan Alna.

"Kita harus kemana lagi sekarang?" Tanya Hadley.

Mereka yakin Alna tetap berada di Akademi saat ini karena jika kelas pelatihan selesai, ia akan langsung menemui Alexandra untuk kembali melaksanakan privat kembali.

Zahra berbalik menatap tiga remaja yang bersaamanya. "aku berpikir Alna ada di taman belakang,"

"Dari mana bisa kau berpikir seperti itu?" tanya Isla yang tak mengerti.

"Les privat, Alna selalu kesana setelah kelas pelatihan berakhir," sela zrine membuat Hadley dan Isla mengangguk paham.

Tak perlu menunggu lama, keempatnya kangsung berjalan ke arah taman belakang Akademi.

Dan benar saja apa yang mereka temui di sini.

Alna duduk di atas batu besar dengan tatapan lurus kedepan, sorot matanya begitu kosong. Sangat menandakan bahwa Alna sangat sedih sekarang.

Keempat remaja itu mendekati batu besar yang Alna duduki. Saling tatap satu sama lain, bingung harus apa.

"Alisa," panggilan lembut Zahra mengalihkan atensi Alna.

"Kelas pelatiihan akan segera di mulai tujuh menit lagi, kita kembali ke kelas. kau tidak akan membuat dirimu memperoleh nilai F, bukan?"

Alna beranjak turun menemui empat remaja yang rela menemuinya hingga kemari.

Hadley dan Isla yang melihat Alna turun merasa lega. Mereka kira akan membutuhkan waktu lama untuk membujuk Alna yang seperti ini.

Sebuah anggukan kecil yang di sertai senyuman kecil dari wajah cantik Alna membuat mereka berempat juga tersenyum. Hadley menepuk pundak Alna pelan.

"You can," ucapnya.

Mereka berjalan bersama menuju kelas pelatihan pagi ini.

Sebenarnya jika Alna boleh jujur, ia tidak marah atau sedih tadi. Hanya saja ia terlalu malu di hadapkan dengan orang-orang di sekitar kantin yang melihatnya. Harusnya ia paham jika masih ada teman dan sahabatnya yang selalu ada bersama dengannya kapanpun itu.

***

Tepat saat bel Akademi berdenting kencang yang menandakan jika kelas pelatihan akan segera di mulai, lima remaja yang berjalan santai dari taman tadi sudah sempurna berbaris rapi bergabung dalam barisan murid lainnya.

Kelas pelatihan pagi ini berada di Ruang Pengenalan Alam, ruangan ini berisi ratusan hewan-hewan tunggangan dari seluruh penjuru Galaksi dengan berbagai macam jenis yang berbeda. Ruangan ini memiliki jembatan 5 tingkat yang di beri sekat pengaman transparan dan di setiap tingkat terdapat 10 kandang hewan yang hanya di batasi dengan pagar kristal yang kokoh dan berisi 5 jenis hewan yang berbeda di setiap kandangnya.

"Baiklah, karena aku rasa semua telah berkumpul, jadi kita mulai saja kelas pelatihan sekarang," Profesor Meer namanya, ia adalah seorang penunggang hewan terbaik yang pernah menjuarai banyak lomba.

"Silahkan kalian berkeliling dan temukan hewan yang ingin kalian tunggangi. Ingat! Temui, buat mereka kagum denganmu, maka mereka akan berdamai denganmu." tambah Meer lagi, memberikan intruksi pada murid-muridnya.

Alna berjalan mengikuti keempat remaja di kedua sisinya. Ia masih tidak tahu harus memilih hewan yang akan ia tunggangi. Masalahnya, hewan tunggangan di ruangan ini sangat asing dan aneh menurutnya, besar dan ganas.

"Lihat!" atensi Alna mengarah pada hewan yang Zrine tunjuk, juga yang lainnya.

"Itu Singa Salju, hewan tunggang yang berasal dari planet Aisfrez. Tak ada berani berdekatan dengan hewan itu, mereka bisa mengetahui penunggang yang baik," Hadley menjelaskan tentang Singa Salju.

Baik Alna, Zahra dan Zrine yang belum mengetahui fakta itu hanya mengangguk. Pantas saja tidak ada yang berani mendekati kandang hewan itu.

"Emm... kita cari yang lain kalau begitu," sela Zrine cepat. Raut wajahnya tampak ragu.

Tak ada alasan bagi mereka menolak. Toh, mereka juga tidak akan memilih. Terlalu beresiko memilih Singa Salju itu.

Mereka menaiki jembatan paling atas di tingkat 5, kembali berjalan menyusuri tingkat itu.

Yang mereka lihat di kedua sisi kanan dan kiri mereka kini sangat berbeda dengan 4 tingkat di bawah tadi. Tingkat 5 ini memiliki kandang yang lebih indah juga dengan hewan di dalamnya yang nampak lebih biasa dari yang lainnya, namun terlihat istimewa.

Kandangnya saja sudah seperti rumah mewah tingkat dua, sangat impresif!

"Aku bingung pilih yang mana?" keluhan Alna di tanggapi oleh anggukan keempatnya dengan serempak.

Mereka berhenti di salah satu jembatan yang menghubungkan ke sebuah kandang yang berisi tiga hewan -jika memang itu seekor- angsa raksasa berwarna putih. Satu yang mereka fokuskan, tiga angsa itu memiliki kalung kristal berwarna merah.

"Apa maksudnya?" kompak kelimanya melontarkan kalimat yang sama, seakan baru saja bertelepati.

Setelahnya mereka saling tatap dan tertawa lepas begitu saja, entah apa yang lucu. Hanya karena pertanyaan kompak mereka.

"HEI, KALIAN BERLIMAAA! AWAAAAASS!!!"

Suara teriakan yang nyaring dan menggema -hampir- meruntuhkan satu ruangan menghentikan tawa Alna dan keempatnya. Serempak mereka menoleh ke sumber suara.

Mereka serempak melotot terkejut. Seorang remaja yang menunggangi seekor Gajah terbang berwarna ungu sedang mengarah ke arah mereka berdiri, Gajah itu meluncur dengan kecepatan tinggi.

Dengan spontan mereka saling melompat keluar melewati dinding transparan yang menjadi sekat jembatan yang hanya memiliki tinggi satu meter, bahkan sama sekali mereka tidak mengunakan kekuatan mereka dengan baik. Seakan baru saja mendapatkan kekuatan aneh seperti berada di dalam film-film fantasi berkekuatan atau sihir.

Isla berteriak kencang memanggil Zahra yang berada tidak jauh di sampingnya.

"AKU TIDAK BISA TERBANG, FA ZA!"

"AKU MANUSIA!" bahkan dengan keadaan seperti ini Zahra masih saja bisa bercanda.

Mereka hanya pasrah menutup mata. Zahra yang tiba-tiba menjadi pelupa tidak melepaskan kekuatannya sama sekali.

Mata mereka kembali terbuka saat ada sebuah suara aneh yang membangunkan kesadaran mereka. Secara serempak mereka saling tatap dengan apa yang mereka lihat.

"UNICORN CRYSTAL!"

"PHOENIX FROSTFIRE!"

***

Kita beralih dengan Zrine dan Hadley, bagaimana dengan drama mereka kali ini? Lebih heboh atau dramatis?

"Kenapa kau menarikku tadi? Aku tidak bisa terbang!" ucap Zrine menyalahkan Hadley.

Hadley hanya terkekeh, berucap, "Tidak sengaja ikut tertarik efek Kinetik,"

Serempak setelah itu, keduanya menatap satu sama lain. Lebih tepatnya menatap sesuatu yang terbang di belakang mereka.

"Zrine, di belakangmu," ucap Hadley memberitahu Zrine.

Kini malah Zrine yang terkekeh. "Di belakangmu juga,"

Keduanya malah terkekeh kompak sebelum akhirnya berteriak kompak.

"PHOENIX THUNDERSTORMY?"

"KUDA KRISTAL TERBANG?"

"BAGAIMANA BISA?" kompak mereka.

Tragedi yang cukup membuat seluruh murid Akademi dan Meer khawatir dan kebingungan.

***

Next episode 24...