Keduanya kini masih saling tatap, Alna yang menatap wajah remaja lelaki di depannya yang lagi-lagi mirip dengan tiga senior kembar itu dan juga tak beda jauh dengan remaja itu yang teringat dengan seseorang yang ia rindukan selama ini saat melihat wajah Alna.
Dari arah belakang Alna, seorang remaja lelaki baru saja keluar dari Perpustakaan Pribadi milik Alexandra, dengan membawa beberapa buku yang ia pinjam dari gurunya itu malah diam mematung, bingung melihat tingkah kakak kembarnya yang saling tatap dengan seorang remaja perempuan yang terduduk dengan kerudung birunya yang ia tak tahu siapa remaja perempuan itu.
"Lo ngapain kak?" tanyanya pada remaja yang ia panggil kakak itu.
Remaja lelaki yang bertatapan dengan Alna itu mengalihkan atensinya pada sang adik yang berdiri di depan pintu sembari membawa beberapa buku. Ia ingin bicara, tapi entah mengapa lidahnya kelu seketika.
"Anu... itu..." pada akhirnya hanya kalimat tidak jelas yang keluar dari mulutnya.
Sang adik itu mengernyitkan alisnya bingung sebelum melanjutkan langkahnya yang terhenti. Baru saja ia melangkahkan kakinya beberapa langkah, harus terhenti saat ia melihat jelas wajah remaja perempuan yang terduduk di ruangan itu.
Alna yang penasaran dengan siapa orang yang di ajak bicara oleh remaja di depannya itu menoleh cepat melihat orang itu. Tatapannya kembali terkunci rapat saat melihat jelas wajah remaja lelaki serba biru air es beku yang membawa beberapa buku di tangannya itu, dengan gerakan cepat Alna berdiri sembari menolehkan kepalanya menatap dua wajah remaja yang ia temui saat ini.
Remaja serba biru itu mematung diam saat melihat wajah Alna. Sama seperti sang kakak yang memikirkan hal yang sama dengannya saat melihat wajah Alna, bukan hanya mereka, jelas ketiga kakaknya dan Gamma juga merasakan hal yang sama setiap kali memandang wajah Alna sama seperti memandang wajah sang Ibunda mereka yang selama ini mereka rindukan.
Kedua remaja itu malah semakin kagum dan rindu tatkala manik midnight blue Alna itu bercahaya menampilkan kilauan cahaya pelangi yang mereka rasakan begitu tenang dan teduh. Lagi, mereka merasakan jika kehadiran Alna di sana membawa mereka dekat pada sang Ibunda.
"Ibunda..." lirih remaja serba biru itu dan tanpa sadar menjatuhkan beberapa buku yang ia bawa, tangannya lemas seketika seakan-akan tubuhnya tak memiliki energi, bahkan genangan bening telah menumpuk di pelupuk matanya.
Alna yang melihat kedua remaja yang ia temui itu membuatnya semakin bingung, memorinya kembali mengingat Gamma yang ia temui saat di kelas tadi yang dimana Gamma adalah adik dari tiga senior kembar itu. Jika begitu, apa mungkin kedua remaja itu juga adik mereka?
Atensi ketiga makhluk yang tak saling kenal antara dua remaja dengan Alna itu terbuyarkan saat Alexandra yang keluar dari Perpustakaan Pribadinya menanyakan keadaan mereka. "Kalian baik-baik saja?"
Sontak ketiga remaja itu langsung mengalihkan atensi mereka pada Alexandra yang sudah berdiri di meja pribadinya. Remaja serba biru itu mengusap air mata yang tanpa izin menetes begitu saja di matanya, sedikit malu saat di perhatikan oleh Alna dan sang kakak, ia lalu mengambil beberapa buku yang terjatuh tadi dan sesekali masih melirik wajah Alna. Sedangkan remaja yang bertabrakan dengan Alna tadi langsung menatap Alexandra tanpa mau lagi melihat ataupun hanya sekedar melirik wajah Alna.
"Aku pinjam beberapa buku sejarah ini Miss," ucap remaja serba biru, entah hanya berbasa-basi atau hanya ingin menghilangkan keheningan yang terjadi.
Alexandra hanya mengangguk saat melihat remaja serba biru itu menyodorkan beberapa buku sejarah yang akan ia pinjam.
"Kau juga tidak ingin meminjam buku?" kini giliran remaja di sisi Alna yang Alexandra tanya.
Alna mengalihkan pandangannya pada remaja di sisi kirinya. Ia baru sadar remaja satu ini memakai baju seperti warna api, ada merah, hitam, jingga dan juga tambahan warna biru di baju yang ia kenakan. Seperti warna api, tapi ada tambahan warna biru yang membuat Alna berpikir mengenai setiap baju yang di kenakan mereka berbeda, itu menunjukkan setiap kekuatan mereka.
"Tidak perlu Miss, aku bisa pinjam nanti." jawabnya sembari menunjuk sang adik yang merotasikan matanya malas.
"Oh, ya Miss, dia---"
"Alisa A, murid APaPTT yang menjadi murid privatku," sela Alexandra yang memperkenalkan Alna. "Dan mereka, Pyro dan Freeze. Adik tiga senior kembar itu kalau kau mau tahu, Alisa."
Alna mengangguk paham, kali ini -dan memang- tebakannya tidak pernah salah jika kedua remaja yang baru ia temui itu adalah adik mereka bertiga. Pantas warna baju mereka serba biru dan seperti api, Alna bisa menebak kekuatan Pyro adalah pengendali Api Dingin, dan Freeze pengendali sesuatu yang beku. Juga Gamma yang Alna temui kemarin, kekuatannya melebihi matahari, entah apa itu Alna tak tahu. Nama mereka sesuai dengan kekuatan yang mereka kendalikan.
"Ku pikir kami lebih muda satu tahun dari tiga kakak kami itu, iya 'kan Freeze,"
Freeze mengangkat kedua bahunya cuek membuat Pyro menatap Freeze dengan wajah datarnya yang lebih mengarah kekesalannya pada Freeze. Adik kembarnya satu ini memang sama dengan kakak sulung mereka yang cuek dan irit bicara.
Dasar kulkas berjalan berwajah triplek memang seperti itu, bukan?
"Ada apa Miss memanggilku kemari?" tumpah sudah pertanyaan yang Alna pendam sedari tadi.
Alexandra yang sedang mengetik beberapa berkas di layar hologram yang tertampil di atas mejanya itu mengalihkan atensinya pada Alna.
"Oh, itu karena aku ingin memperkenalkan dirimu dengan dua orang ini," jelasnya membuat Pyro menatap Alexandra bingung dan Freeze yang kembali menatap Alna dengan wajah datarnya.
"Ya, begitulah. Memang kak Kristal atau Kak Liu, apalagi kak Voltra si kulkas berjalan itu tidak akan memberitahukan hal ini pada siapapun, kecuali jika kami sendiri yang bertemu," keluh Pyro yang selama ini bahkan tidak tahu apapun tentang tiga kakaknya itu yang menyembunyikan Alna dari mereka.
"Memangnya masalah jika mereka menyembunyikannya dari kalian?" pertanyaan polos itu keluar dari Alna.
Pyro beranjak duduk di sofa yang melayang di sisi ruangan lain. "Memang pada dasarnya mereka suka sekali menyimpan rahasia. Dan gue baru tahu kalau lo emang pantas buat dekat sama mereka,"
"Maksudnya?"
"Jelas karena wajah lo dan manik mata pelangi lo itu emang dasarnya mirip sama wajah orang yang selama ini kami rindukan,"
"Siapa?"
"Ib---"
"Lo nggak perlu tahu," sela Freeze cepat dengan nada dinginnya membuat Alna kembali mengernyitkan dahinya bingung.
Pyro hanya menatap Freeze malas, kenapa dirinya di larang untuk memberitahu soal Ibunda pada Alna? Apa coba yang salah?
"Oke, aku nggak maksa buat kalian kasih tahu atau nggak siapa orang yang kalian maksud itu,"
"Karena emang nggak seharusnya lo tahu rahasia kami," ucap Freeze, masih dengan nada dinginnya.
Pyro lagi-lagi menatap Freeze malas, adiknya satu ini memang benar-benar terlalu dingin. Setidaknya ia bisa bersikap ramah di depan orang baru.
"Perasaan dari dulu gue nggak pernah lihat lo care sama orang, sama saudara sendiri bahkan," Pyro mengeluarkan unek-uneknya pada Freeze yang terlihat biasa saja.
Ting!
Sebuah pesan masuk yang tertampil pada layar hologram Alexandra langsung ia buka. Ada pesan masuk dari Kristal.
Sedari tadi Alexandra membiarkan ketiga makhluk yang berada di ruangannya ini berbicara -saling debat- satu sama lain menghentikan acara mereka. Menyampaikan pesan yang di berikan Kristal.
"Tadi Kristal kirim pesan, setelah ini kalian di jemput di Gerbang Utama Akademi,"
"Jalan-jalan Freeze!" sorak Pyro yang sudah dapat menebak kemana tiga kakaknya itu akan membawa mereka.
"Jangan lupa beritahu teman-teman juga, Alisa."
"Hah, aku? Juga teman-temanku?" tanyanya yang masih tidak mengerti.
Alexandra mengangguk membuat Freeze dan Pyro saling tatap. "Iya, Kristal yang meminta,"
Alna mengangguk. Berucap, "Iya, terimakasih Miss,"
"Lo sering ketemu sama mereka?" tanya Pyro, dirinya penasaran sedekat apa Alna dengan tiga kakaknya itu.
Alna sedikit mengingat kembali memori di saat ia dengan lima sahabatnya itu yang sering berlatih bersama tiga senior kembar itu saat berada di Kelas Tambahan Simulasi Bertarung di APTA.
"Dulu mereka guru kita di APTA, sekarang emang masih suka kirim kabar walau jarang ketemu," jelas Alna membuat Pyro mengangguk paham.
"Sedekat itu?" tanya Freeze, nada bicaranya sedikit melunak.
Alna hanya mengangguk menanggapi pertanyaan Freeze. Setelahnya mereka bertiga pamit pada Alexandra dan berjalan keluar bersama menuju Gerbang Utama Akademi, tak lupa Alna juga mengabari seluruh sahabatnya yang nanti akan di jemput.
***
Saat ini mereka berada di kapsul terbang bersama tiga senior kembar, Pyro yang bermain game, Freeze yang membaca buku yang ia pinjam dari Alexandra dan tujuh sahabat Alna yang entah sibuk apa. Sedangkan Alna sendiri hanya duduk diam di samping Freeze, sesekali dirinya ikut mengambil salah satu buku milik Freeze dan membacanya.
Sepertinya Hadley dan Isla lebih banyak bertanya tentang tiga senior kembar dan dua adiknya yang baru mereka tahu jika mereka memiliki hubungan dengan sahabat-sahabatnya.
Freeze yang melihat Alna sesekali membaca buku yang ia pinjam itu -tanpa ada yang tahu- tersenyum kecil melihat wajah Alna yang begitu terasa tenang dan teduh. Sungguh, memandang wajah Alna adalah hal yang paling ia suka -terlebih baru menyadari, karena melihat wajahnya mengingatkan dirinya pada sang Ibunda yang begitu ia rindukan.
"Lo suka baca buku kek gitu?" entah angin kencang yang lewat darimana hingga membuat Freeze bertanya.
Pasalnya selama ini seorang Freeze ataupun Voltra tidak pernah bertanya terlebih dahulu pada lawan bicaranya kecuali jika mereka yang memulai terlebih dahulu. Mungkin efek wajah Alna yang mirip dengan sang Ibunda yang membuat Freeze ataupun Voltra bisa lebih dulu angkat bicara.
Awalnya Alna sedikit tertegun mendengar Freeze yang untuk pertama kalinya bertanya langsung padanya. Tapi ia segera mengangguk saat menyadari Freeze menunggu jawabannya.
"Suka banget apa cuma sekedar suka?" tanya Freeze lagi yang membuat Alna kembali tertegun.
"Suka banget dari dulu kak, apalagi sekarang banyak sejarah baru yang belum aku tahu,"
"Sejarah apa?"
"Sejarah Galaksi, apalagi sejarah Galaksi Andromeda yang penuh misteri dan rahasia," kekeh Alna yang sekarang mulai antusias menjelaskan.
Freeze sedikit tersinggung dengan penjelasan Alna mengenai sejarah Galaksi Andromeda yang pada nyatanya memang menyimpan banyak misteri dan rahasia, dan semua rahasia itu hanya ia dan delapan saudaranya yang tahu tentang sejarah itu.
Freeze tetap memasang wajah datarnya dan kembali mendengarkan Alna yang kini antusias bercerita. Dan Freeze tidak ingin mengubah mood Alna, biarkan gadis itu bercerita.
"Dari awal aku masuk sampai sekarang pun masih belum ngerti sama sejarah Galaksi Andromeda, aku cuma dengerin cerita dari Hadley ataupun Isla yang lebih tahu,"
Freeze sedikit penasaran dengan apa yang Hadley dan Isla ceritakan pada Alna. Sedikit bertanya pada Alna tidak masalah bukan?
"Emang mereka cerita apa aja ke lo?"
"Banyak, aku lebih penasaran dengan cerita mereka tentang tragedi kecelakaan keluarga kerajaan, yang---"
"Tunggu," potong Freeze cepat. "Mereka tahu tentang tragedi itu?"
Alna kembali mengangguk. "Mereka bilang, dalam tragedi kecelakaan itu nggak semua anggota keluarga kerajaan meninggal dalam kecelakaan, tapi aku nggak tahu siapa, mereka nggak cerita semuanya."
Freeze sedikit kecewa dengan kelanjutan cerita itu yang tidak jelas. Ia benar-benar penasaran dengan keberadaan Bulan, adik bungsunya yang hilang entah kemana. Sedangkan sang Ayah mengatakan jika Bulan berada di Akademi yang sama dengan mereka, tapi selama mereka bersekolah pada angkatan tahun ini di Akademi itu belum pernah sama sekali menunjukkan tanda-tanda keberadaan Bulan.
"Ada cerita lagi selain itu yang mereka ceritakan sama lo?"
Alna kembali mengingat beberapa memorinya yang sedang bercerita bersama duo Bundaran HI itu.
"Hmm... ada, tentang kalung perak berliontin hati kristal biru yang aku rasa itu kayak kalungku yang jatuh di danau waktu itu,"
Lagi-lagi Freeze kembali -sedikit- tersentak dengan cerita Alna tentang kalung itu. Kalung perak dengan liontin hati kristal biru yang ada dalam cerita Alna sama persis seperti pusaka Kerajaan Kristal yang di pakai sang Ibunda, kalung itu adalah pasangan dari Mahkota Kerajaan Kristal. Freeze juga ingat ia pernah melihat kalung itu lagi, ada bersama Voltra. Ia yakin kalung itu adalah pusaka Kerajaan Kristal -milik Alna yang jatuh ke danau dan di ambil Voltra tanpa ada yang tahu.
"Sekarang kalungnya dimana?" sengaja ia bertanya untuk memancing Alna.
Alna hanya menggeleng, raut wajahnya berubah sendu dan Freeze melihatnya malah merasa bersalah telah bertanya seperti itu, ia yakin kalung itu sangat berharga untuk Alna. Tapi ia juga penasaran.
"Entahlah, kak. Kalung itu mungkin nggak akan pernah ketemu lagi,"
"Gue bisa bantu kalau lo mau," tawar Freeze tiba-tiba membuat Alna menatapnya tak percaya.
"Serius kak, mau bantu aku?"
Freeze mengangguk mantap. "Tenang aja, gue bisa kok buat suruh air di danau menyingkir sebentar buat cari kalung lo itu,"
Alna terkekeh kecil mendengar jawaban Freeze yang lebih terdengar seperti candaan itu. Tapi memang tidak ada salahnya juga, memang kekuatan Freeze juga dapat mengendalikan air. Setidaknya Alna senang karena Freeze mau membantunya mencari kalung yang entah mengapa bisa sangat berharga sekali untuknya.
"Kok lo ketawa, sih? Gue serius," bahkan tanpa sadar, Freeze juga ikut terkekeh kecil melihat Alna yang kini malah tertawa lepas.
"Nggak ada apa-apa kok kak, sinis amat,"
Freeze kembali menimpali, kali ini nada suaranya melembut, tidak ada lagi Freeze yang dingin dan datar.
"Gue 'kan emang bisa mainin air, lo-nya aja yang nggak percaya,"
"Iya, iya, aku percaya kok. Aku bayangin kak Freeze kayak nabi Isa yang bisa belah lautan deh,"
Tawa mereka kembali pecah, bahkan Pyro dan tujuh sahabat Alna itu keheranan melihat Alna yang tertawa lepas bersama Freeze yang notabenya adalah seorang remaja lelaki berhati dingin bisa tertawa lepas di hadapan Alna.
Dua insan yang saling tertawa dan melempar candaan itu tak sadar jika kapsul yang mereka naiki sudah sampai pada tujuan. Tanpa sadar keduanya sedari tadi di perhatikan oleh tiga senior kembar yang menatap keduanya dengan bahagia.
"Jarang banget bisa lihat Ice ketawa lepas gitu," ucap Kristal, ada perasaan nyaman dan senang saat melihat Freeze dan Alna tertawa lepas.
Beliung di sampingnya ikut terkekeh kecil. "Giliran kenal sama dia juga pada berubah 'kan,"
Voltra yang merasa tersindir dengan perkataan Beliung menatap sang adik sinis. "Lo nyindir gue?"
"Idih, GR amat lo kak. Tapi kalau lo ngerasa sih, nggak papa lah, ya. Kapan lagi bisa nyindir seorang pengendali Elemental Petir. Iya 'kan, Gem,"
Kristal hanya terkekeh kecil menimpali Beliung yang memang suka jahil mengganggu Voltra. Kalau saja Beliung itu bukan adik kembarnya atau lebih parah dari itu, bukan siapa-siapa Voltra mungkin sekarang sudah seperti sapi panggang karena Voltra setrum dengan petir biru jutaan volt kesayangannya itu, atau ia tebas saja dengan pedang Voltra miliknya itu.
"Lah, yang pegang kendali kapsul siapa?" tanya Kristal saat menyadari tidak ada yang memegang kendali kapsul.
Beliung berpura-pura ikut bingung, menimoali pertanyaan Kristal. "Lah, iya, yang pegang kendali kapsul siapa? Kita bertiga di sini,"
Pletak!
Jitakan kasih sayang itu mendarat tepat di kepala Beliung membuatnya mengaduh sakit dan menatap pelaku yang tak lain adalah sang kakak sulung.
"Lo yang pegang bego!"
Beliung mengusap kepalanya yang berdenyut nyeri. "Gue udah ambil alih kemudian otomatis,"
"Lo kalau mau jitak nggak usah di setrum juga kali kak," Voltra hanya menatap tajam Beliung.
***
Alna berjalan mengikuti Freeze di sampingnya. Ia tak tahu lima kakak tampannya seperti entahlah ia juga tidak tahu mendeskripsikan kegantengan wajah mereka itu seperti apa, sedari tadi ia hanya berjalan mengikuti lima saudara kembar itu berjalan.
Sekarang mereka berada di sebuah kota yang dimana Galaksi Andromeda menyebutnya sebagai Distrik, dan sekarang mereka berada di sebuah Distrik Rendah. Entah apa maksud Distrik itu, mereka tidak tahu. Yang mereka lihat saat ini adalah beberapa bangunan-bangunan seperti tabung, balok, kerucut dan bentuk bangunan lainnya yang tidak terlalu besar, daerah yang mereka lewati juga sangat dekat dengan daerah kafe atau restoran kecil pinggir jalan.
Alna sedikit berpikir melihat kawasan yang ia lewati itu. Mungkin jika ia berada di Bumi, kawasan ini adalah kawasan berpenduduk miskin, tapi jika di bandingkan dengan di kawasan ini memang masih tidak seberapa dengan adanya penduduk yang ramai mengunjungi kafe atau restoran yang ada.
Cukup lama mereka berjalan hingga sampai di sebuah kafe kecil berbentuk tabung. Mereka masuk dan segera mencari tempat yang pas dan nyaman untuk duduk. Syukurlah mereka menemui satu meja panjang yang tertanam di lantai dengan banyak kursi.
Alna melihat sekeliling kafe, cukup luas untuk ukuran kafe yang di bilang kecil ini. Ada dapur yang berisi interior yang entah apa namanya, mungkin semacam pembuat minuman.
Di sisi lain, Kristal mengetikkan jarinya di atas meja yang mereka tempati. Sebuah layar hologram muncul di hadapan Kristal, di layar menunjukkan beberapa jenis makanan dan minuman yang tertera beserta harga yang ada.
"Kalian pesan apa? Atau mau pesan sendiri saja?" tanya Kristal meminta pendapat pada yang lainnya.
"Choco magma satu, kak." Pyro lebih dulu memesan.
"Gue Ice Vanill late kasih topping cherry," Freeze dengan mata yang sudah terpejam di atas meja menyahut memesan.
"Lo berdua kak?" tanya Kristal pada dua kakak kembarnya yang tumben hanya diam.
"Gue ikut lo aja," ucap Beliung.
Kini pandangan Kristal mengarah pada Voltra yang belum memberikan jawaban.
Dengan malas Voltra berbicara. "Gue juga ikut lo,"
Kristal menggulirkan layar hologram di depannya, mencari minuman yang sekiranya cocok dengan dua kakak kembarnya itu.
"Ice Choco Vanillate aja mau nggak?" tawarnya sekali lagi, karena biasanya Voltra atau Beliung akan protes ketika mereka memesan minuman yang sama dengannya.
"Terserah lo," jawaban kompak itu keluar dari keduanya.
Voltra menatap Beliung kesal karena merasa jawabannya di tiru oleh Beliung, sedangan kan Beliung yang di tatap sang kakak hanya mengendikkan bahunya cuek. Toh Voltra juga menirunya tadi.
Kristal menggeleng kecil melihat tingkah dua kakak kembarnya yang selalu saja mengibarkan bendera perang. Ia mulai meng-klik pesanannya juga milik Pyro dan Freeze, jangan salahkan ia jika minuman yang ia pesan tidak sesuai dengan selera Voltra ataupun Beliung. Kalau sampai mereka protes, Kristal bersumpah akan mengurung mereka di dalam kristal nanti.
Seorang remaja perempuan berambut kuning panjang yang di ikat kuda sekiranya berada tidak jauh umurnya dari Alna sedang menyiapkan pesanannya dan para sahabatnya yang pada akhirnya memilih memesan sendiri. Remaja yang tidak tahu namanya itu cekatan bergerak ke setiap arah menyiapkan pesanan mereka, sudah seperti barista, hingga pada beberapa menit kemudian semua pesanan itu siap.
Remaja itu mengantarkan pesanan mereka di meja yang mereka tempati.
"Eh, kalian ternyata yang datang. Sudah lama kalian tidak kemari, apa kabar?" tanya remaja itu entah pada siapa.
Kristal tersenyum ramah membalas sapaan remaja itu. "Kabar kami tentu sangat baik, Sophia."
Remaja itu, Sophia mengangguk mengerti. Sambil meletakkan seluruh pesanan mereka sesekali ia menatap wajah-wajah baru di meja itu.
"Mereka semua siapa?" tanyanya.
Alna hanya tersenyum canggung saat di tatap oleh Sophia.
"Lihatlah gadis ini, sangat mirip dengan Ibunda kalian,"
Lima remaja berwajah kembar itu sontak menatap wajah Alna dengan serempak, bahkan Freeze yang sedang minum dengan mata terpejam itu juga mengangkat wajahnya dan menatap lekat Alna.
"Aku juga berpikir seperti itu, Sophia," ucap Kristal di sertai senyumannya.
Sophia mengangguk paham, ia memperkenalkan diri setelah mengusap puncak kepala Alna yang terbalut kerudung pashmina birunya.
Sophia duduk di kursi kosong yang kebetulan berada di samping Alna.
"Perkenalkan, namaku Sophia, aku sepantaran dengan Pyro dan Freeze. Aku punya adik, namanya Blair yang sekarang mungkin umurnya dua tahun lebih muda dari kalian. Ibuku juga sedang di rumah, sudah lama ia sakit. Walau sudah menjalani pengobatan pun masih belum cukup,"
Para gadis serta Nolan dan juga Bryant yang mendengarkan cerita Sophia tentang Ibunya tersenyum miris. Sedangkan lima kembar itu hanya diam menikmati minuman mereka, tentunya mereka sudah tahu tentang keluarga Sophia.
Sophia bukanlah anak kandung, begitu juga dengan adiknya, Blair. Keduanya di adopsi saat mereka masih bayi, sedangkan Sophia di temukan berada di depan rumah, entah di buang atau sengaja di tinggalkan. Tapi maupun Sophia atau Blair begitu sangat menyayangi Ibu mereka.
"Memang Ibu kakak sakit apa hingga separah itu?" tanya Zrine mewakili yang lain.
Sophia tersenyum ramah sebelum menjawab pertanyaan Zrine. "Lemah jantung, kalian pasti tahu itu,"
Kini semua atensi -kecuali Pyro dan Freeze tidak tahu- yang ada di meja itu menatap Alna yang tersentak kaget. Pasalnya mereka tahu jika Alna pernah mengalami masa-masa sulit seperti itu, ia pernah merasakan di posisi Ibu Sophia, pasti sangat tidak enak.
"Apa tidak ada pendonor yang membantu, kak?" kini giliran Zahra, ia hanya memecah keheningan yang terjadi beberapa saat tadi.
Sophia lagi-lagi hanya tersenyum menanggapi sebalum menjawab setiap pertanyaan yang di tujukan padanya. "Pasti sudah ada setiap kami kontrol, tapi memang aku yang belum memiliki cukup uang untuk biaya operasi Ibu,"
Dalam lubuk hati mereka yang paling dalam -bahkan Alfa- juga sebenarnya ingin membantu, tapi bagaimana? Sedangkan mereka berada di Akademi itu dengan adanya beasiswa yang membantu mereka masuk di Akademi itu. Kalaupun menggunakan uang planet Bumi rasanya juga tidak mungkin bisa.
"Boleh kami berkunjung ke rumahmu setelah ini?" tanya Beliung mengalihkan topik pembicaraan saat melihat perubahan raut wajah Alna yang sendu.
Sophia mengangguk antusias. "Pintu rumah kami akan selalu terbuka untuk kalian."
Mereka kembali melanjutkan acara minum mereka. Alna menyeruput Ice Vanilla yang ia pesan tadi dengan tenang.
Sophia kembali pada kegiatannya, tapi kali ini ia memutuskan untuk membereskan semuanya agar lebih cepat dan tidak membuat yang lain menunggu. Ia akan menutup kafenya lebih cepat.
***
Jika berada di Bumi kawasan yang mereka lewati memang seperti kawasan penduduk miskin. Tapi di kawasan ini masih terlihat seperti biasa saja, bangunan yang ada di kawasan ini pun juga tampak besar dan mungkin saja dalamnya luas.
Memutuskan untuk menuju rumah Sophia menggunakan kapsul yang mereka naiki, begitu juga Sophia yang -sedikit paksaan dari Kristal- juga ikut dengan mereka menaiki kapsul terbang.
Hanya butuh waktu sekitar 3 menit yang tentunya kecepatan kapsul itu bukan main mengantarkan mereka sampai pada halaman rumah Sophia yang mereka lihat cukup luas dengan adanya taman kecil di sekitar halaman. Rumah tingkat dua bernuansa peach dan kolaborasi dengan hijau toska itu tampak mewah dan besar.
Banyak yang ingin mereka tanyakan. Jika rumah Sophia sebesar ini, lantas di mana letak kemiskinan keluarga Sophia? Mengapa tadi Sophia mengatakan jika dirinya tidak punya cukup uang? Dan masih banyak lagi pertanyaan yang mengambang bebas tanpa jawaban itu.
"KAK KRISTAL," seruan dari seorang remaja lelaki yang kini berlari ke arah Kristar lantas memeluknya erat seperti tak pernah bertemu tahunan.
"Giliran Kristal aja di peluk erat, kok gue nggak gitu, Al?" Beliung pura-pura merajuk melihat sang adik selalu memeluk Kristal terlebih dahulu.
Remaja itu melepas pelukannya dari Kristal, menatap Beliung dengan kekehan kecil. "Abisnya yang Al lihat duluan kak Kristal, bukan kak Liu."
Baiklah, mungkin setelah ini Beliung akan meminta bantuan Pyro untuk membakar tanaman kesayangan adiknya itu.
Pandangan remaja itu mengedar, memperhatikan wajah-wajah baru yang belum pernah ia kenal sama sekali. Pandangannya seketika terkunci saat matanya tak sengaja saling tatap dengan Alna, manik mata itu kembali bercahaya, kilauan warna pelangi berputar mengelilingi manik matanya.
Sama seperti Freeze yang juga merasakan apa yang di rasakan remaja itu. sebuah perasaan tenang dan teduh menyelimuti hatinya yang beitu merindukan sang Ibunda.
"Ibunda..." lirihnya pelan tapi dapat di dengar oleh para makhluk yang memperhatikan dirinya yang mulai menangis.
"Kak Kristal... dia siapa?" pertanyaan polos itu keluar dari remaja itu.
Perlahan Kristal mengusap bulir bening yang mengalir di pipi sang adik. "Namanya Alisa A, Balak, dia cantik 'kan kayak Ibunda?"
Remaja yang di panggil Balak atau Al itu mengangguk, ucapan kakaknya itu memang tidak salah jika wajah Alna memang begitu mirip dengan sang Ibunda.
"Ya, sudah. Kita masuk yuk, Al." ajak Sophia memecah konsentrasi semua orang.
Balak mengangguk lalu menggandeng lengan Kristal untuk masuk, sesekali pandangannya tak lepas dari wajah Alna.
"Jangan katakan mereka masih punya adik lagi," ucap Hadley memecah keheningan.
Isla mengangguk. "Jangan katakan juga jika wajah mereka seratus persen mirip,"
"Tentu tidak dengan sifat mereka yang berbeda," timpal Bryant yang entah sejak kapan sudah berjalan di samping Isla.
Empat gadis itu -kecuali Alna yang diam- tertawa kecil karena mereka yang menebak-nebak tentang tujuh kembaran mereka itu.
"Tidak baik membicarakan orang, lebih baik kalian diam. Ayo masuk!" sela Zahra menghentikan acara ghibah empat sahabatnya itu.
Mereka melanjutkan perjalanan mereka tanpa pembicaraan lagi. Mereka tak ingin ambil resiko jika nanti mendapat kultum indah dari Zahra yang mungkin akan memakan waktu 48 jam baru selesai.
***
Next episode 27...