Alna merebahkan tubuhnya di atas ranjang, sedikit merilekskan otot-otot tubuhnya yang pegal. Tak terasa waktu sudah berjalan begitu cepat, sekitar delapan bulan lebih satu pin Alna belajar di APiPTT bersama empat sahabatnya.
Ia mengambil kartu hologram yang di letakkan di atas nakas. Ia membuka mode musik di kartu itu, men- scrool mencari lagu yang akan ia dengarkan. Alna langsung meng-klik lagu yang ia pilih untuk menemaninya saat ini, untunglah kartu hologram itu dapat mengakses mode headset, dengan bantuan benda bulat kecil yang secara otomatis mengambang dan menempel di daun telinganya, membuatnya bisa mendengarkan musik dengan tenang. Perlahan musik dengan judul On Top Of The World mengalun pelan dan merdu memasuki pendengarannya.

I don't have the balance
Think I'm gonna fall
Wish I had the talent
I don't belong here at all
Alna mengingat dimana saat hari pertamanya memulai latihan privat dengan Alexandra.
Waktu itu ia berada di Perpustakaan Akademi. Alexandra memintanya untuk membawakan satu teko yang sudah berisi teh panas, meminta Alna untuk menuangkannya pada gelas yang sudah di sediakan di depan Alexandra.
Alna yang tidak tahu bagaimana melakukannya hanya membawa teko itu dengan gaya ala barista karena ia pernah belajar seperti ini saat SMP-nya dulu, ia berjalan menuju tempat Alexandra duduk di meja panjang. Dengan santai tangan kanannya menuangkan teh panas itu pada gelas yang ada di depan Alexandra. Sedangkan tangan kirinya berkacak pinggang.
Alna terkekeh kecil saat Alexandra menggeleng tanda bahwa ia salah melakukannya.
Atau saat ia berlatih di taman menggunakan gaun berwarna biru dengan sandal yang tingginya 4 inci. Alexandra memintanya berjalan perlahan-lahan. Namun karena kurangnya keseimbangan, Alna terjatuh dengan gaya tidak elitnya.
Di waktu lain, Alna di minta Alexandra untuk menuanhkan gula batu berbentuk kotak pada satu gelas teh panas yang terhidang di depan Alna. Awalnya Alna menggunakan sumpit saat melakukannya, tapi entah karena ia yang tidak bisa menggunakan sumpit atau memang gula batu itu yang susah untuk di ambil, gula batu itu akhirnya terlempar ke sembarang arah.
Lagi-lagi Alna hanya terkekeh kecil saat Alexandra menggelengkan kepalanya. Alna kembali mencoba dengan mengangkat mangkuk yang berisi gula batu itu untuk ia tuangkan perlahan ke dalam cangkir berisi teh panas di depannya. Alih-alih masuk satu-dua, yang ada Alna malah menceburkan semua gula batu yang ada di mangkuk itu hingga tercecer di meja karena cangkir teh itu tidak cukup menampung gula batu yang cukup banyak.
Drowning in the pressure
In over my head
Why did I think I could do this?
I could've walked away instead
Alexandra pernah memintanya untuk minum teh panas yang ada di dalam cangkir. Ia mengangkat kedua bahunya cuek, lantas mengambil cangkir itu dengan dua tangan, tubuh dan kepalanya ia condongkan ke depan agar lebih mudah. Dan belum sempat ia meminum teh itu, Alexandra menahan tangan kanannya, tanda memintanya untuk berhenti. Alna hanya menurut dan kembali memperhatikan Alexandra.
Bahkan saat ia berlatih dansa dengan Alexandra di taman menggunakan gaun biru itu lagi. Tak jarang Alna menginjak kaki Alexandra atau menabrak tubuh Alexandra hingga membuat gurunya itu terjatuh. Dan lagi, Alna hanya terkekeh kecil.
Butuh waktu lama juga saat Alna di minta Alexandra untuk menata sebuah manequin dengan gaun, pita, kalung atau mahkota dengan waktu setengah jam. Alna memang menyelesaikannya, tapi terlambat untuk beberapa menit ke depan, mahkota yang di pakai manequin itu juga sedikit miring, kalung yang lepas beberapa menit kemudian.
But this is my chance to break free
Everything's depending on me
And if I keep trying I'll be
On top of the world
Kembali dengan nampan yang berisi dengan satu teko berisi teh panas dan lima cangkir di sekeliling teko. Alna kembali membawa nampan itu dengan gaya barista, menggunakan tangan kirinya ia membawa nampan itu sebelum akhirnya Alexandra menghentikan langkahnya lalu menarik nampan itu berada di depan Alna. Tangan kanan Alna di tarik untuk memegang pinggiran nampan itu, begitu juga dengan tangan kirinya.
Selama beberapa bulan ia juga susah menyeimbangkan tubuhnya agar dapat berdiri satu kaki di atas batu besar dengan kaki lainnya melayang kebelakang dan kedua tangannya yang di rentangkan ke samping. Hingga pada akhirnya ia bisa melakukannya.
Where I can see everything before me
Reaching up to touch the sky
On top of the world
All of my dreams are rushing towards me
Stretching out my wings to fly
On top of the world
On top of the world
Keseimbangan yang ia lakukan terus terjaga. Setiap waktu Alexandra akan memberikan satu persatu buku berbentuk kertas yang ia letakkan di atas kepala Alna yang memakai mahkota semester dua.
Awalnya keseimbangannya masih terjaga, tapi saat Alexandra meletakkan satu buku di atas kepalanya membuat keseimbangannya berkurang. Alna kembali terjatuh.
Alexandra kembali meletakkan satu buku, lalu menambahkan dua vas bunga kecil yang ia letakkan di kedua telapak tangan Alna. Lagi, Alna kembali terjatuh.
Hingga Alexandra terus menambahkan jumlah buku yang di letakkan di atas kepala Alna. Walaupun ia sering jatuh, tak jarang Twicalucia selalu membantu dan terus memberinya semangat.
Nothing's gonna break me
Gonna get it right
Even if it takes me
Doing it a thousand times
Perlahan-lahan Alna menunjukkan semua perkembangannya. Di setiap kelas ia melakukannya dengan baik walau terkadang Delancey masih suka mengganggunya, hingga terkadang ia kehilangan keseimbangan dan terjatuh.
Di waktu lain juga Alna semakin lincah saat berdansa saat privat bersama Alexandra. Kakinya yang semakin terbiasa bergerak menjadi begitu lancar saat berdansa.
Trying once is easy
Discipline is hard
But nothing can defeat me
If the change is in my heart
But this is my chance to break free
(this is my chance)
Everything's depending on me
(it's on me)
And if I keep trying I'll be
(I'll be)
On top of the world
Alna tahu sekarang bagaimana cara memegang teko yang benar. Alexandra selalu memberikan arahan yang baik untuknya dan juga selalu sabar mendidik dan mengajarkan segala hal dengan baik.
Ia kembali memegang teko teh panas, saat akan menuangkannya ke dalam cangkir Alexandra menarik tangan kirinya untuk memegang tutup teko. Alna mengangguk paham, itulah gunanya agar tutup teko itu tidak lepas dari tempatnya.
Saat ia minum, lagi-lagi Alexandra mengarahkan. Tangan kanan Alexandra mendorong pelan jidat Alna agar sedikit mundur, lantas meminta Alna untuk menegakkan tubuhnya, menyentuh dagu Alna agar pandangannya tetap lurus.
Alna melepaskan tangan kirinya yang ia letakkan di atas pahanya, tangan kanannya mulai terangkat sedangkan Alexandra menyentuh siku Alna agar lurus, lalu menarik jari kelingking Alna dari cangkir. Setelahnya, Alna meminum teh panas itu dengan arahan yang Alexandra berikan.
Where I can see everything before me
Reaching up to touch the sky
On top of the world
All of my dreams are rushing towards me
Stretching out my wings to fly
On top of the world
On top of the world
Delapan bulan berjalan, Alna melakukan semua latihannya dengan baik. Tak jarang ia sering mampir ke Perpustakaan Akademi untuk membaca beberapa buku yang sekiranya dapat membantunya dalam latihan. Tak jarang pula Twicalucia selalu setia menemani dan membantu Alna saat kesulitan mencari atau membawa buku latihannya.
Hasil yang selama ini ia tanam telah tertuai dengan baik. Saat berlatih keseimbanggannya, sudah banyak jumlah buku yang dapat ia imbangkan di atas kepalanya. Begitu juga dengan dua vas bunga yang selalu ia genggam saat latihan.
Atau saat Alexandra mengajaknya berlatih dansa langsung di Ruang Serbaguna Akademi. Alna melakukannya dengan baik, kakinya yang bergerak berjalan mengikuti irama lagu begitu terlihat anggun saat berjalan.
Dan semua hasil itu ia peroleh dengan segala hasil perjuangannya dengan Alexandra selama delapan bulan ini. Sungguh-sungguh Alna tidak akan pernah melupakan seluruh jasa, pengorbanan serta perjuangan Alexandra yang selalu sabar mengajar dan mendidiknya hingga ia bisa melakukan segalanya saat ini.
"Sepertinya kau terlihat sedang bahagia, ada apa?" tanya Hadley yang kini duduk di sisi ranjang Alna.
Alna yang melihat Hadley duduk langsung mematikan musiknya. "Ya, begitu," kekehnya.
Isla beranjak dari ranjangnya. "Bagaimana dengan les privatmu bersama Miss Alexandra? Ku pikir setelah delapan bulan ini perkembanganmu sangat luar biasa,"
"Iya, bahkan kau bisa menari indah saat kelas dansa tadi," tambah Hadley menyetujui ucapan Isla.
Alna mengangguk mantap. "Semua berkat Miss Alexandra yang mengajarkanku selama ini. Entahlah, semuanya seakan terjadi begitu saja,"
"Tidak ada yang terjadi begitu saja," bantah Isla.
"Setiap manusia pasti telah memiliki jalan takdirnya sendiri. Dan semua yang kau lakukan sudah mengikuti jalan takdirmu, jadi jangan katakan jika semua itu terjadi secara tiba-tiba," jelas Hadley, ia memberikan senyum manisnya pada Alna.
Alna mengangguk paham mendapat sebuah pencerahan dari dua sahabatnya ini. Isla dan Hadley memang benar, takdirnya memang sudah berjalan seperti ini, menjadi seorang murid di sebuah APiPTT yang terkenal di seluruh penghujung galaksi adalah jalan takdir yang tepat untuk ia tuju, semua jalan hidupnya telah tertulis dan memang takdirnya berada di sini.
***
Kelas Dansa pagi ini akan di mulai beberapa menit ke depan. Di Ruang Serbaguna Akademi sudah ada puluhan murid perempuan dari kelas Pi:5/Lisensi-A juga puluhan murid laki-laki dari kelas Pa:3/Lisensi-A.
"Selamat datang anak-anak! Baiklah untuk Kelas Dansa kali ini aku akan mengkolaborasikan kelas putri dengan kelas putra," terang Alexandra yang berdiri di antara barisan murid putra dan putri.
Beberapa murid bersorak senang, tentu karena ini pertama kalinya bagi mereka yang akan berkolaborasi dansa dengan murid Akademi Putra Purnama Tingkat Tinggi.
Berbeda dengan Alna dan keempat sahabatnya itu yang hanya diam tak menggubris sorakan serta seruan kagum dari para murid perempuan lainnya.
"Jika kalian bisa menjaga sopan santun dan attitude kalian para gadis, aku akan sangat menghargainya," titah Alexandra yang membuat sorakan para murid perempuan terhenti seketika.
Alexandra berjalan melewati barisan para murid hingga terhenti di depan Delancey yang kebetulan berdiri sendiri tanpa ada pasangan di depannya.
Ya, setiap anggota putri yang berdiri di garis warna merah muda akan di pasangkan oleh setiap anggota putra yang berdiri di garis warna biru.
"Oh, sepertinya kita kelebihan satu anggota putri," ucap Alexandra.
Clara yang berada di samping Delancey menunjuk garis merah muda yang berada di bawahnya. "Delancey, itu garis merah mudanya,"
Delancey mengalihkan atensinya ke setiap ruangan. "Aku menunggu seseorang, Clara,"
"Mungkin dia tidak datang,"
Dengan segera Dame Devin menarik putrinya. Delancey yang di tarik oleh sang Ibu hanya diam menuruti.
"Putriku tidak boleh berada di luar garis dansa," ucap Dame Devin sembari berjalan menuju tempat dimana Alna berdiri.
Alna menatap dua orang yang datang di depannya dengan bingung. Oh, ayolah, jangan katakan jika Alna harus mengalah lagi kali ini. Dan ternyata dugaannya memang benar, Dame Devin mendorong bahu Alna agar keluar dari lintasan dansa.
"Tapi, Ibu..." ucapan Delancey terhenti saat ia melihat Alna yang di dorong keluar garis oleh sang Ibu.
Setidaknya ia dapat pasangan dansa kali ini dengan keluarnya Alna dari garis dansa.
"Sepertinya kau harus berada di luar garis dansa kali ini, sayang,"
Alna hanya menurut, ia tidak bisa membantah demi menjaga sopan santun dan attitude yang Alexandra perintahkan.
Zahra dan Hadley yang melihat Alna hanya dapat menatapnya sendu, sedangkan amarah Zrine dan Isla rasanya ingin memuncak kali ini. Tapi mereka tidak bisa, yang ada mereka akan di keluarkan dari kelas jika membantah.
Delancey memberikan senyum smirk -nya pada Alna sebelum berbalik. Betapa terkejutnya Delancey saat di pertemukan dengan pasangan yang notabenya adalah kakak kelasnya yang sangat bar-bar dan tidak punya malu itu. Delancey ingin angkat bicara, tapi Dame Devin lebih dulu menyela.
"Baiklah, karena semua sudah berpasangan, mari kita mulai kelas pagi ini,"
Alna beranjak pergi keluar kelas.
"Baiklah, para putra berikan sambutan pada pasangan kalian!" intruksi Alexandra yang di ikuti oleh seluruh murid.
Kini para murid putra membungkuk dan menjulurkan tangan kanan mereka untuk menyambut, sedangkan murid putri membungkuk membalas sambutan.
Alna terus berjalan sembari memperhatikan sekitar, cukup lega karena ia tidak akan bersentuhan dengan kaum adam yang notabenya bukan sebagai mahramnya. Ia terus berjalan tak memperhatikan sekitar, hingga dari arah depan seorang remaja putra berlari ke arahnya. Alna yang tak siap akhirnya terjatuh saat remaja itu menabraknya.
"Sorry, sorry, aku tidak melihatmu," remaja itu mengulurkan satu tangannya, berniat membantu Alna.
"Biar ku bantu,"
"Tidak perlu," tolak Alna halus tanpa melihat wajah remaja itu.
"Tapi aku ingin bertanggung jawab telah menabrakmu tadi," sungguh, remaja itu sedikit kagum dengan Alna karena Alna berkerudung.
Alna berusaha berdiri merapikan seragamnya yang sedikit berantakan karena terjatuh tadi. Perlahan ia menatap remaja yang menabraknya tadi.
"Tidak perlu, aku baik-baik saja---hah!"
Remaja itu seketika terkejut melihat wajah Alna yang begitu mirip dengan seseorang yang selama ini remaja itu rindukan. Sekilas remaja itu kembali kagum dengan manik mata midnigt blue Alna yang bercahaya menampilkan kilauan warna pelangi yang indah, tenang dan teduh saat remaja itu memandangnya.
Tak berbeda dengan Alna yang sama terkejutnya melihat wajah remaja di depannya ini yang begitu -sangat- mirip sekali dengan tiga senior kembar yang selama ini Alna kenal.
"Kamu---"
"Kakak---"
Tunjuk mereka serempak sebelum pada akhirnya atensi mereka teralihkan dengan dehaman Dame Devin.
Alna dan remaja itu baru sadar jika mereka berdua sedari tadi menjadi pusat perhatian para murid kelas. Kekehan kecil terdengan dari mulut Alna membuat remaja itu juga ikut terkekeh kecil melihat tingkahnya.
"Mau berdansa denganku?" tawar remaja itu pada Alna yang langsung di angguki olehnya.
"Boleh, kenapa tidak?" jawab Alna antusias.
Para murid kembali melakukan kolaborasi dansa mereka yang tertunda. Alexandra kembali mengarahkan murid-muridnya.
"Oke, sekarang para murid putra silahkan mencium telapak tangan pasangan kalian,"
Alna sedikit ragu menjulurkan tangannya. Begitu juga dengan Zahra di sisi lain, tapi untungnya pasangan Zahra itu tidak melakukannya.
"Berikan tanganmu," Alna masih ragu menjulurkan tangannya.
Remaja itu terkekeh kecil, ia mengeluarkan dua pasang sarung tangan berwarna biru yang ia serahkan pada Alna dan yang warna putih untuk ia kenakan sendiri.
Alna menerima sarung tangan yang di berikan remaja itu, lalu memakainya karena ia paham dengan maksud remaja itu.
Kini keduanya sudah mengenakan sarung tangan, Alna memberikan tangannya dan remaja itu menggenggam tangannya lalu menciumnya sekilas.
"Merasa lebih baik, bukan?" Alna mengangguk menjawab.
Musik di mainkan, lagu berjudul Minuet in G mengalun pelan memberikan irama pada setiap langkah kaki para murid di kelas itu.
Alna dan remaja itu mulai bergerak menari mengikuti irama lagu. Alna yang memang sudah berlatih selama delapan bulan ini sudah bisa menggerakkan kakinya dengan lincah mengikuti irama lagu dengan langkah yang baik.
"Boleh aku tanya sesuatu padamu, kak?" tanya Alna di sela dansanya.
Remaja itu mengangguk mengizinkan Alna bertanya.
"Kalian kembar?"
Remaja itu sedikit berpikir sebelum menjawab, mungkin yang Alna maksud adalah ketiga kakak kembar sulungnya itu.
"Bukan, aku lebih muda dua tahun dari mereka bertiga. Ngomong-ngomong, namaku Gamma, namamu?" jelas Gamma yang memberikan pertanyaan di ujung kaliamatnya.
Alna mengangguk paham, ia belum tahu soal itu. Ternyata tiga senior kembar itu juga memiliki adik yang sangat mirip dengan mereka.
"Alisa A, kakak bisa panggil aku Alisa,"
Gamma mengangguk paham. "Biar ku tebak. Kau salah satu pemenang lotere beasiswa itu 'kan?"
Lagi, Alna hanya mengangguk menanggapi.
***
Musik terus mengalun indah menghentikan percakapan keduanya saat sudah waktunya mereka melakukan gerakan berputar yang di isi dengan empat orang. Kebetulan yang dekat dengan Alna dan Gamma adalah Delancey dan pasangannya, jadi mereka melakukan dansa itu berempat bersama Delancey.
Rotasi malas Delancey tunjukkan saat ia bergabung dengan Alna. Sekilas ide jahil muncul, Delancey dengan sengaja menghalangi langkah Alna hingga membuatnya tak seimbang dan jatuh.
Untungnya saat Alna hampir limbung dengan sigap Gamma menarik tangan Alna. Beberapa saat keduanya saling tatap sebelum akhirnya saling mengangguk serempak.
Gamma menarik Alna untuk bangkit, alunan musik Minuet in G yang berputar telah terganti dengan musik yang lebih banyak menggerakkan anggota tubuh.
Delancey menggeram kesal melihat Alna uang begitu lincah menari mengikuti irama lagu, di tambah Gamma yang juga ikut menari lincah bersama Alna membuat Delancey semakin kesal. Pada akhirnya Delancey menyingkir.
Musik yang berganti membuat para murid lebih bersemangat. Hadley dan Isla yang memang suka menari itu langsung mengikuti irama lagu yang di mainkan, sedangkan Zahra dan Zrine yang memang keduanya tak terlalu suka dengan tarian hanya menatap tiga sahabatnya bergantian dengan maklum.
"Setidaknya Alna bahagia," ucap Zahra.
Zrine mengangguk membenarkan ucapan Zahra. "Jarang sekali melihat Alna seperti ini. Dan dia, kenapa mirip sekali dengan tiga senior kembar itu?"
Zahra mengikuti arah pandang Zrine yang kini sama-sama menatap Gamma yang menari bersama Alna. Mereka sedikit heran dengan wajah Gamma yang begitu mirip dengan tiga senior kembar itu. Mereka tidak tahu saja jika Gamma adalah adik mereka bertiga, bahkan lebih tepatnya, menjadi salah satu orang yang selama ini mereka cari juga.
Alunan musik yang di putar terhenti karena memang sudah waktunya kelas selesai dan tepat dengan durasi musik yang habis.
"Baiklah para murid putra, silahkan membungkuk untuk memberikan salam perpisahan. Dan para murid putri silahkan balas karena mereka harus kembali ke APaPTT," intruksi Alexandra kembali terdengar membuat keluhan para murid putri yang tidak rela di tinggalkan oleh pasangan mereka.
"Kalian akan kembali bertemu saat hari penobatan satu bulan lagi tentunya," ucap Alexandra kembali mengarahkan para miridnya.
Alna dan Gamma terkekeh bersama saat menyadari tingkah mereka yang begitu lincah saat menari tadi.
"Tidak buruk untuk adik kelas sepertimu," ucap Gamma memuji Alna.
Alna hanya tersenyum mengucapkan terimakasih pada Gamma. "Kakak juga hebat, bisa lincah gitu,"
Keduanya kembali tertawa sebelum tawa mereka terhenti saat empat sahabat Alna berjalan ke arah mereka.
"Hai! Aku Gamma, adik tiga senior kembar itu, dua tahun lebih muda dari mereka," sapa Gamma dengan penjelasan panjang lebar padahal tidak ada yang bertanya.
Empat gadis itu mengangguk.
"Aku Fa Za, ini Rin, Hadley dan Isla," Zahra memperkenalkan tiga sahabatnya pada Gamma yang di balas anggukan oleh Gamma.
"Aku baru tahu mereka punya adik, mereka bahkan tidak pernah cerita jika kalian sangat mirip," ucap Zrine.
Gamma terkekeh kecil. "Belum takdirnya kita bertemu. Oh, ya, kapan-kapan kita bisa bicara bersama lagi, ya. Aku harus kembali,"
Lima gadis itu mengangguk, membiarkan Gamma berjalan pergi kembali ke Akademi Putra.
Setelahnya mereka juga kembali berjalan keluar kelas menuju asrama. Hari ini Alna libur les karena Alexandra yang sedang sibuk mengurusi berkas-berkas milik para murid Akademi yang sebentar lagi akan melaksanakan kelulusan mereka.
"Kau bisa ke ruangan ku setelah ini Alisa? Aku ingin bicara denganmu sebentar,"
Langkah Alna terhenti saat Alexandra memanggilnya. Empat gadis di kedua sisinya itu memberikan senyuman termanis mereka sebelum kembali melanjutkan langkah mereka yang tertunda.
Mereka tahu jika Alna di panggil langsung oleh Alexandra, itu artinya Alexandra sedang membutuhkan bantuan atau hanya sekedar mengajak Alna berbicara.
"Ada apa Miss?" tanya Alna yang berjalan mendekat ke arah Alexandra.
Alexandra hanya tersenyum manis. Berucap, "Ada seseorang yang ingin bertemu denganmu, ayo,"
Alna sedikit mengernyitkan dahinya bingung dengan jawaban Alexandra yang ia dengar tadi. Seseorang ingin bertemu dengannya, tapi siapa?
***
Alna memasuki Ruang Pribadi milik Alexandra, ruangan yang selama ini menjadi tempat khusus sebagai seorang Kepala Akademi ini selalu ia datangi saat Alexandra memanggilnya secara langsung. Tidak banyak yang sering ia lakukan di sini, mungkin hanya duduk diam mendengarkan Alexandra yang berbicara atau hanya sekedar melihat Alexandra yang sedang bekerja.
Jujur saja, Alna tidak pernah merasa bosan jika berada di ruangan ini. Tempatnya yang nyaman, ruangan dengan luas setengah Ruang Kelas Akademi itu di isi oleh berbagai macam buku-buku sejarah peradaban dan beberapa benda-benda canggih yang tentunya Alna tidak tahu apa saja nama benda-benda itu.
Bruk!
"Aduh!" keluh Alna saat ia lagi-lagi tersungkur di lantai saat merasakan ada yang menabraknya.
"Eh, maaf, maaf. Gue nggak sengaja tadi, buru-buru, lo nggak papa?"
Alna berdecak kesal, tidak bisa kah untuk tidak menabraknya saat lewat. Tadi Gamma dan sekarang remaja lelaki yang menabraknya ini.
Dengan ketus Alna menjawab, "Nggak papa, makasih,"
Remaja itu mengernyitkan alisnya bingung dengan tingkah Alna yang menurutnya sangat ketus.
"Iya, gue minta maaf,"
Dengan kesal Alna menatap remaja itu. "Iya, udah,"
Keduanya kini saling mematung terkejut satu sama lain.
"Lo---"
***
Next episode 27...