Wajah remaja perempuan sang pemilik manik midnight blue begitu tampak tenang dan teduh walau dalam waktu tidur panjangnya. Ah tidak, hanya sekitar lebih dari 48 jam ia masih terlelap dalam dunia ekspetasi yang nyata.
Sesekali tiga senior kembar mengunjungi remaja itu bersama kelima sahabatnya setelah menyelesaikan kelas tambahan.
Untungnya, besok hari libur setiap satu Pin (Jumlah satu pekan dalam bahasa Galaksi Andromeda). Zahra dan Zrine lebih dulu datang ke Ruang Pengobatan Asrama untuk berkunjung, meninggalkan Bryant, Alfa, dan Nolan yang sedang membantu tiga senior kembar, entah apa itu.
Zahra dan Zrine mendekat ke arah brankar Alna, sudah dua hari mata itu terpejam dan belum kembali terbuka. Trauma yang di rasakan sangat mendalam, tapi ia pintar menyembunyikan semua rasa takutnya.
"Cepat bangun, Na. Kita semua di sini menunggumu." ucap Zahra lembut di telinga Alna. Ia yakin, walaupun Alna terlelap pasti akan tetap mendengarnya.
Mereka beralih duduk di sofa yang berada di sisi lain ruangan, berseberangan dengan brankar, tepat di samping kamar mandi.
Tak lama setelah itu, Alfa, Bryant, Nolan dan tiga senior kembar itu datang. Zahra dan Zrine tersenyum menyapa kedatangan mereka.
Voltra hanya bisa diam memandang wajah Alna. Pikirannya benar-benar kalut sekarang. Kalung milik Alna yang ia ambil dari dalam danau kemarin adalah kalung yang sama seperti kalung pusaka Kerajaan Kristal yang di pakai oleh setiap pewaris tahta sebagai Putri Purnama, termasung sang Ibunda mereka.
Kalung itu selalu ia bawa kemanapun ia pergi. Sebelum Alna menjelaskan semua tentang kalung itu, ia tak akan mengklaim dengan caranya sendiri.
Beliung dan Kristal ikut bergabung bersama lima murid mereka, duduk di sofa mengambang yang berada di sisi ruangan.
"Huh... Capek," keluhan Bryant membuat semua pasang mata berotasi ke arahnya.
Nolan terkekeh kecil. "Harusnya kita yang ngomong gitu. Kamu cuma diam aja tadi." ucapnya.
Tak banyak yang mereka bicarakan, hanya sekedar berbincang atau lebih tepatnya menistakan seorang Bryant.
Kristal yang menatap sang sulung hanya diam memperhatikan Alna merasa ikut sedih. Entahlah, apa hanya dirinya saja yang merasakan suatu hal yang berkaitan dengan Ibunda mereka, semuanya ada pada Alna?
Kristal menepuk pundak Voltra pelan mengalihkan pandangan sang empu, keduanya duduk bersebelahan.
"Aku jadi ingat waktu Ibunda yang koma setelah Bulan lahir kalau lihat wajah Alisa, kak," sedikit bernostalgia di masa lalu bersama seluruh keluarganya yang masih lengkap. Kristal kembali menatap pemilik manik ruby di sampingnya, begitu menyorot rasa rindu yang sama seperti Kristal.
Hanya hembusan napas kasar yang terdengar menyambut indra pendengaran Kristal.
Voltra menegakkan tubuhnya dan menatap manik hijau di sampingnya dengan tatapan bingung. Sebenarnya ada satu hal yang ingin Voltra bicarakan pada Kristal, tapi gengsinya terlalu tinggi untuk mengungkapkan suatu hal pada Kristal.
"Kakak kenapa?"
Mendapat pertanyaan seperti itu dari Kristal membuat Voltra spontan melirik sekilas wajah Alna.
"Kenapa?" ulang Kristal saat Voltra sudah kembali menatapnya.
Agak ragu mengungkapkannya pada Kristal, tapi entah mengapa Voltra ingin melakukannya. "Kalau lo izinin, boleh Alisa gua anggap seperti Bulan?"
Kristal mematung sejenak mencerna sebuah kalimat pertanyaan yang baru saja keluar dari mulut seorang Voltra. Lalu Kristal melirik ke samping dimana ada Beliung dan yang lainnya, untung mereka tidak mendengar pembicaraan mereka.
"Gem, boleh?" tanya Voltra lagi saat tak ada jawaban dari sang adik yang hanya menunduk.
Kristal mengangkat wajahnya kembali menatap Voltra teduh, bibirnya melengkung membuat lukisan bulan sabit di wajahnya.
"Dari awal ketemu sama Alisa aku juga mau ngomongin hal seperti ini ke kakak, tapi aku takut aja kakak ngelarang." Voltra tertegun mendengar jawaban Kristal.
"Sebenarnya aku juga heran dengan semua perubahan sifat kakak semenjak kedatangan Alisa. Seakan... kembali di masa lalu, bukan lagi kak Voltra yang tempramental, tapi kak Voltra yang lembut dan penyayang."
Benarkah? Apa selama ini dirinya benar-benar berubah? Hanya karena remaja perempuan asing yang tidak sengaja masuk ke dalam hidupnya, Voltra berubah!
Selama ini Kristal benar-benar selalu memperhatikan apa yang selalu saudara-saudaranya lakukan.
"Itu artinya... boleh 'kan Gem?" hanya sebuah anggukan antusias dari Kristal yang menjadi jawaban Voltra.
Helaan napas lega Voltra di iringi senyuman kecilnya, hanya Kristal yang tahu. Voltra mengacak rambut Kristal.
"Makasih."
"Aku dimana?"
Sebuah pertanyaan dari suara yang tak asing membuat semua pasang mata teralihkan. Satu hal yang mereka tuju sekarang.
"ALISA!"
***
"Maaf, buat kalian khawatir," ucap Alna yang kini sedang duduk di sofa bersama yang lainnya.
"Lo buat seorang Voltra frustasi tahu gak?" canda Beliung yang mendapat jitakan kasar dari Voltra.
Alna hanya terkekeh pelan, maniknya menatap Voltra yang membuang muka saat Alna menatapnya.
Voltra hanya tidak ingin di permalukan dengan cara seperti ini dengan Beliung. Jadilah ia membuang muka saat Alna menatapnya seakan dirinya tak peduli.
"Sudah, kalian pulang ke asrama sekarang. Istirahat." Alna dan Geng-nya mengangguk menjawab titah Kristal. Mereka keluar ruangan setelah berpamitan pada tiga senior kembar itu.
"Kami pulang dulu kak," pamit Zahra mewakili mereka berlima.
Serempak tiga senior kembar itu mengangguk.
Keenamnya keluar dari Ruang Pengobatan Asrama menuju kamar mereka masing-masing.
"Btw kalau kek gini terus bakal lama gak sih kita temuin Bulan?" tanya Beliung tiba-tiba setelah kepergian geng Alna.
Kristal mengangguk setuju, semenjak kedatangan geng mereka. Kristal, Beliung dan Voltra lebih sering mengurus KT daripada harus memperhatikan sekitar untuk mencari keberadaan Bulan.
Sudah tiga bulan lebih satu Pin mereka bertiga mengumpulkan berbagai informasi yang ada, bahkan enam adik kembar mereka pun juga belum memberikan informasi tanda-tanda keberadaan Bulan.
Sempat beberapa hari ini Kristal juga ikut membantu Miss Alxandra mengumpulkan data-data para murid seluruh Akademi, tapi sekalipun Kristal tak menemukan nama samaran Bulan di seluruh data murid Akademi saat ia mencarinya. Mulai dari kooridor E1 kelas awal 1/Lisensi-E hingga 12/Lisensi-E tidak ada data yang menunjukkan nama samaran Bulan di sana.
Ya, tentu. Bagaimana mereka bertiga akan menemukannya jika nama samaran Bulan yang mereka maksud itu kembali menyamarkan namanya lagi bahkan bersama teman-temannya juga.
"Kita tunggu aja informasi dari yang lain." ucap Voltra menengahi. Ia berjalan keluar ruangan meninggalkan Beliung dan Kristal yang kemudian ikut menyusul.
***
Hari ini Alna kembali sekolah bersama duo Z. Ketiganya memasuki kelas bersama lalu duduk di kursi mereka masing-masing.
Alna hanya diam melihat jadwal yang tertera di kartu hologramnya. Sepertinya ini bukanlah hal yang baik bagi seorang Alna, baru saja ia istirahat kemarin dan akan di pertemukan lagi dengan sebuah kesialan. Bukannya ia berprasangka buruk, tapi memang faktanya jika ia harus selalu siap saat kelas Dame Devin berlangsung.
Ting...
Ruangan kelas berdenting, mode speaker di aktifkan yang menandakan akan ada sebuah pengumuman.
Benar saja apa yang mereka tunggu. Suara Dame Devin terdengar mengisi keheningan di ruangan kelas 1/Lisensi-E.
"Seluruh siswi kelas 1/Lisensi-E, segera menuju tamana utama Akademi sekarang. Aku tunggu dalam waktu lima menit, jika terlambat nilai kalian taruhannya. Bergerak sekarang!"
Alna, Zahra dan Zrine langsung bergegas berdiri lalu dengan kekuatan mereka masing-masing berlari keluar kelas, untunglah bangku mereka dekat dengan pintu yang membuat mereka tak perlu untuk berdesakan.
Hanya dalam waktu dua menit lebih sepuluh detik, ketiganya sudah berada di taman utama Akademi yang sudah berdiri seorang guru killer, siapa lagi jika bukan Dame Devin.
Setelah merasa semua siswi kelas itu sudah berkumpul walau ada dua sisanya yang terlambat kurang dari tiga detik, Dame Devin memberi kode dengan tangannya untuk meminta mereka duduk di masing-masing kursi yang sudah mengambang di belakang mereka. Setelahnya muncul lagi sebuah meja di masing-masing hadapan para siswi yang diatasnya terdapat satu cangkir kosong, satu mangkuk salad buah, teko yang berisi teh panas, satu mangkuk lagi berisi gula batu berbentuk kubus, jangan lupakan juga berbagai macam alat makan yang beragam dan berbeda bentuk.
Alna tidak tahu apa yang akan di lakukan Dame Devin dengan kelas hari ini. Lagi-lagi ia kembali berprasangka buruk jika akan kembali sial.
"Mengenai sopan santun adalah bagian terpenting dari sikap seorang bangsawan. Tunjukkan bagaimana kalian melakukannya dengan semua benda di atas meja di hadapan kalian."
Alna bernapas lega mendengar ucapan Dame Devin. Setidaknya ia pernah melakukan hal seperti ini saat bertemu bersama beberapa teman Papanya dari perusahaaan lain dulu saat ia masih berumur 11 tahun. Walau ia tak yakin akan sama seperti yang ia lakukan dulu.
"Lakukan! Aku akan mengawasi," tegas Dame Devin lagi.
Sekali lagi, Alna gugup. Perlahan ia mengambil teko berisi teh panas dengan tangan kanannya lalu menuangkan isi teko itu ke dalam cangkir. Ia kira isi teh di dalam teko itu penuh, dan untuk kesekian kalinya Alna kembali mendapatkan ke sialan.
Prang!
"Argh! Alisa, kau lagi!"
***
"Oi, kalian berdua!"
Zahra dan Zrine serempak menoleh mendengar bisikan -syaithon- Bryant yang sepertinya mengarah pada mereka berdua.
"Itu... " Bryant mengarahkan jari telunjuknya ke arah Alna.
Oh, mereka paham maksud Bryant yang ingin meminta penjelasan atas diamnya seorang Alna. Anak itu sedari tadi memang diam tak banyak bicara hanya karena sedang memikirkan kejadian di kelas Dame Devin yang selalu membuatnya sial.
"Biarkan saja, nanti juga baikan," jawab Zrine tenang agar tak membuat Bryant penasaran.
"Tapi, sudah tiga bulan lebih satu pin dia seperti itu. Apa kalian yakin Alna akan baik-baik saja?" tambah pertanyaan dari Nolan membuat Zahra dan Zrine saling tatap.
Saat ini urutan duduk di meja makan kantin ini sedikit berbeda dengan Alna yang berhadapan dengan Alfa. Sedangkan Nolan bertukar dengan Bryant.
Zahra mendengus kecil. "Entahlah,"
Untung saja tidak ada tiga senior kembar di sini sekarang. Bisa-bisa mereka pasti akan pulang larut lagi malam ini karena di introgasi oleh mereka atas dasar diamnya seorang Alna.
Sebenarnya mereka juga tak hanya mengkhawatirkan Alna saja. Mereka hanya khawatir jika Alna tetap diam akan menambah beban kelimanya juga. Maka dari itu tiga senior kembar itu mengintrogasi mereka berlima, setidaknya jika ada masalah bisa mereka selesaikan dengan cara yang baik.
Buk...
Semua mata yang berada di meja itu teralihkan pada Alna yang mungkin sengaja menetapkan kepalanya ke meja.
"Kenapa, Na?" tanya Zahra hati-hati.
Bukannya menjawab, Alna malah melipat kedua tangannya menutupi kepalanya. Lalu menggeleng kecil.
Zrine berpindah duduk di samping kiri Alna. Ia mengusap punggung Alna pelan. "Kalau mau nangis, tangisin aja, gak papa,"
Alna kembali menggeleng. Ia hanya kesal saja. Saat KBM tadi berlangsung mengira bahwa isi teko itu penuh dan akhirnya ia sadar bahwa hanya cukup untuk satu cangkir. Tapi yang terjadi, tutup cangkir itu jatuh mengenai tanah dan pecah karena ia yang terlalu tinggi mengarahkan dan juga lupa tidak memegang tutup tekonya.
"Lo pusing? Anemia lo kumat? Jantung lo normal 'kan?" pertanyaan beruntun Alfa membuat atensi keempatnya menatap Alfa heran.
"Tumbenan lo gitu?"
Perlahan Alfa melepaskan kekuatannya, membuat teknik Jari Bayangan yang menangkup kepala Alna agar mendongak.
Alna yang mendapat perlakuan tak biasa dari Alfa hanya menurut. Wajahnya hanya lesu, ia tak menangis.
"Bilang sama gua, kenapa?" tanya Alfa lagi.
"Lo kira cuma lo doang yang mau tahu," celetuk Bryant tak terima dengan perkataan Alfa.
"Tapi gua maunya tempe," sahut Nolan yang terkekeh sendiri mendengar panggilan ala anak Bumi itu ia gunakan.
"Gak usah nyaut lo."
"Lepas, Fa. Aku gak kenapa-napa, udah ah, mau balik, bentar lagi KBM kedua." Alfa hanya menuruti perkataan Alna dan membiarkan Alna kembali ke kelas dengan menarik tangan Zrine dan Zahra.
"Alna lucu, ya?"
Bryant menoleh ke arah Nolan dan menatapnya penuh selidik sampai matanya ikut menyipit.
Alfa yang juga mendengar perkataan Nolan barusan pun ikut memasang telinga dalam diam. Penasaran tapi tak ingin merepotkan diri. Ada Bryant, urusan selesai.
"Lo..... suka Alna?"
"Heh, sembarangan!"
***
Jam KBM kedua dimulai sejak dua jam yang lalu. Untungnya di kelas kali ini bukan Dame Devin yang menjaga lagi, cukup lega untuk Alna tidak bertemu dengan guru itu.
Kelas Alna kali ini di jaga oleh Alexandra. Entah keberuntungan dari mana, tapi Alna tak peduli. Yang terpenting ia bebas dari kesialannya kali ini.
Alna terus bergerak maju mengikuti langkah irama musik yang di putar di Ruang Serbaguna Akademi. Bersama dengan Clara sahabat Delancey ia di pasangkan. Perlahan terus bergerak, iramanya selalu tepat mengikuti arahan Alexandra.
"One, two, three, one, two, three. Ikuti iramanya para gadis!"
"Satu, dua, tiga, satu, dua, tiga." fokus Alna yang terus bergeming menggerakkan irama langkahnya.
Saat berada di langkah keempatnya yang akan maju Alna tidak sengaja menginjak sepatu Clara tepat di ujung jari-jari kakinya.
"Aw, Alisa! Kau menginjak jari-jari kakiku," katanya sembari menunjuk jemari kaki kanannya yang terinjak.
Alexandra menggeleng -lagi- melihat kesalahan Alna berulang kali. "Kau melakukannya lagi, Alisa?"
Alna hanya menatap Clara penuh sesal. Sebenarnya ia juga kesal, yang salah itu bukan dirinya.
"Aku benar-benar minta maaf untuk hal ini, Clara."
"Masih ada satu langkah tadi,"
Benar saja, bukan Alna yang salah. "Empat langkah maju, itu putaran kedua,"
Clara sedikit tersentak, sepertinya tahu ia yang salah. Sejenak kembali menetralisir wajahnya, lalu kembali datar. "Bahkan itu lebih buruk,"
Alna hanya menghela napas kasar mendengar jawaban aneh Clara yang menurutnya lebih pantas sedang tertuju pada Clara sendiri.
Ting...
Tepat bel Akademi berdenting menunjukkan waktu KBM telah berakhir, saatnya mereka pulang.
Beruntungnya bel Akademi menghentikan perdebatan antara Alna dan Clara sebelum keduanya meledakkan perdebatan yang berujung mereka kena sanksi.
Clara segera beranjak pergi bersama Delancey. Begitu juga dengan Alna yang di gandeng oleh Zahra dan Zrine.
"Nikmati kembali hari esok para gadis, selamat beristirahat dan... " kalimat Alexandra menggantung.
"Kecuali kau Alisa, aku ingin kau menemuiku setelah pulang sekolah."
Zahra dan Zrine menatap Alna. Entah ada apa lagi dengannya kali ini.
Delancey yang kebetulan melewati mereka tersenyum sinis. "Kau dengar itu Clara?"
Clara hanya mengangguk datar. "Sebuah surprise."
Alna menatap duo Z bergantian. Tersenyum meyakinkan bahwa dirinya baik-baik saja.
"Kembalilah ke Asrama. Aku bisa pergi sendiri."
Tanpa persetujuan dari keduanya, Alna langsung beranjak begitu saja mengikuti langkah Alexandra yang berada beberapa meter di depannya.
Zahra dan Zrine saling menghela napas berat. Lalu keduanya beranjak pergi meninggalkan Ruangan Serbaguna Akademi.
Dalam langkahnya yang semakin dekat dengan Alexandra, Alna mendengar ucapan Alexandra yang cukup membuatnya menghela napas berat.
"Kemarin Miss Dame Devin memintaku untuk membuat sebuah surat pernyataan keluar dari Akademi untukmu," Alexandra mengambil beberapa buku tentang Teknologi, semua covernya sama.
Alna hanya menurut saat Alexandra memberikan buku-buku itu padanya. "Untukku?"
Alexandra mengangguk, kembali berucap sembari berjalan kearah jejeran meja panjang dengan komputer hologram di atasnya. Ya, mereka sekarang berada di Ruang Teknologi Akademi.
"Miss Dame Devin akan mengeluarkanmu secara paksa jika aku menolak membuat surat pernyataan itu,"
Alna masih diam, entah apa yang harus ia jawab. Bukankah dari awal, ini yang ia minta, sebuah surat pernyataan keluar dari Akademi? Tapi mengapa ia tetap ragu untuk mendapatkannya.
Buku-buku yang di bawanya sedikit demi sedikit berkurang karena Alexandra mengambilnya untuk meletakkan di masing-masing komputer hologram.
"Dan apakah kau tahu jika aku kemarin hampir saja lepas kendali untuk melakukannya," Alexandra berhenti berjalan lalu berbalik menatap Alna. Buku yang Alna bawa sudah ia letakkan semua.
Alna mengernyitkan dahi. "Miss bilang 'hampir', maksudnya?"
"Iya, sebelum akhirnya aku benar-benar memutuskannya... " kalimat Alexandra menggantung membuat Alna berpikir jika ia memang akan di keluarkan.
Baiklah, ini pilihannya dari awal dan ia hanya tinggal menuruti saja. Kecuali dengan para sahabatnya.
"Aku siap dengan segala resikonya, Miss." lirih Alna. Kepalanya menunduk menahan bulir air mata yang akan mengalir.
"Tentu harus siap, karena keputusan itu aku ubah,"
Alna mendongak menatap Alexandra yang tersenyum ke arahnya. "Aku tidak di keluarkan?"
"Tidak," jeda tiga detik. "Keputusan itu aku ubah dengan memindahkan dirimu ke kelas yang lebih tinggi di Akademi lebih tepatnya di kelas atas ber- Lisensi-A."
Benarkah? Ia akan di pindahkan ke kelas atas, jajaran kelas dengan tingkat paling tinggi di Akademi ini. Bukankah itu sebuah keputusan yang bagus? Hanya saja ia masih ingat dengan lima sahabatnya, lebih tepatnya ia tidak ingin berpisah dengan mereka sama sekali.
"Bagaimana dengan Fa Za dan Rin? Aku tidak ingin meninggalkan mereka,"
Alexandra kembali tersenyum. "Mereka berdua juga tiga teman lelakimu adalah anak genius yang pernah aku temui. Tentu aku memikirkan mereka, dan aku sudah memutuskan untuk memindahkan mereka juga."
Entah Alna harus bagaimana lagi sekarang. Ia senang, sangat senang sekali. Tidak hanya dirinya yang akan di pindahkan, tapi juga dengan sahabatnya.
"Kau Terima tawaran itu?"
Alna membuang napas halus sebelum akhirnya menjawab, "Ya, tentu." ia kemudian menghamburkan dirinya memeluk Alexandra.
Alexandra tersenyum canggung. "Kau ingat peraturan pertama di kelas tingkat atas bukan?"
Ah, iya, dirinya lupa jika peraturan pertama adalah tidak boleh memeluk para guru mereka. Ia hanya terlalu senang saat ini dan melampiaskan pelukan itu pada Alexandra.
"Maaf, Miss. Mm... kapan kita akan di pindahkan?"
"Right now!" jawaban Alexandra membuat Alna kembali melompat girang layaknya anak kecil yang berhasil menebak jawaban.
"I am very, very thank you with you, Miss Alexandra."
"Kau terlalu berlebihan, sekarang kembalilah ke Asrama."
Alna hanya mengangguk. Dengan teknik Gerakan Kilat miliknya, Alna bergerak cepat kembali ke Asrama bahkan tanpa menunggu jemputan dari kapsul terbang lagi. Dalam waktu singkat 10 menit Alna sampai, ia masuk kamar dan betapa terkejutnya melihat Zahra dan Zrine yang mengibarkan bendera perang padanya.
"Wh-why?" tanyanya bingung.
Zahra dan Zrine berjalan mendekat ke arahnya dengan tampang raut wajah yang tak bisa di artikan.
"APA YANG KAU KATAKAN PADA MISS ALEXANDRA TADI, HAH?" meledak sudah dua bom kemarahan di depannya ini.
***
Next episode 22...