Bukit-bukit menjulang tinggi ke angkasa, hamparan rumput luas memenuhi jalan setapak, angin berhembus kencang melewati siapapun yang melangkah. Udara di hamparan rumput ini begitu sejuk dan nyaman.
Alna duduk santai di tepi bukit, duduk di atas hamparan rumput hijau yang lembut. Di sinilah ia berada sekarang, bersama kelima sahabatnya juga tiga senior kembar.
Setelah keluar dari ruangan Kepala Akademi beberapa menit lalu, Alma mendapati pesan dari Zahra untuk memintanya pergi ke gerbang utama Akademi. Alna hanya menurut saat Zahra memintanya, ia akhirnya melangkah pergi menuju gerbang utama Akademi.
Beberapa menit yang lalu...
"Kenapa kalian panggil aku kesini? Bukannya kita harus ke---" Perkataan Alna terpotong.
"Kak Kristal yang meminta kami." Alna hanya ber-oh pelan menanggapi perkataan Zahra.
Beberapa detik setelah kedatangan Alna, sebuah kapsul terbang bernuansa biru dengan balutan butiran kristal mengambang satu meter dari tanah, tepat berhenti di depan mereka berenam.
Kapsul itu bukan kapsul milik Akademi, yang memiliki lambang tiara kristal biru di sisi kanan badan kapsul. Jika begitu, kapsul milik siapa?
Mereka berenam hanya menatap bingung pada kapsul terbang yang mengambang di depan mereka. Untuk apa Kristal meminta mereka menunggu di depan gerbang utama Akademi? Hanya untuk menyambut kedatangan kapsul terbang ini, menyebalkan.
Begitu melihat pintu kapsul yang terbuka dan menampilkan wajah dengan seringai jahilnya membuat pertanyaan mereka baru terjawab. Mungkin ini kapsul terbang milik mereka.
"Ayo, masuk! Sekali-sekali kita ajak kalian jalan-jalan." Kata Beliung disertai dengan kekehan kecil.
Mereka berenam hanya mengangguk sekilas sebelum memasuki kapsul terbang. Begitu memasuki bagian dalam kapsul terbang, mereka tidak dapat berkedip mendapati kapsul terbang yang mereka naiki begitu lebih besar, mewah dan megah juga luas di dalamnya. Berbeda dari bentuk luar kapsul yang tampak sama besarnya seperti kapsul terbang lain.
Berbagai perabotan dan peralatan canggih tersedia segalanya di sini, meja bundar dengan sembilan kursi mengambang mengelilingi, di pojok sisi kanan kapsul ada satu buah laci penyimpanan yang cukup besar, bagian depan atau tempat alih kemudi utama kapsul di pisah dengan sekat transparan tipis dari tempat meja bundar.
Mereka berlima terlalu kagum dengan kapsul terbang yang mereka naiki hingga kefokusan mereka tidak menyadarkan mereka jika sudah sampai di tempat tujuan.
Kembali di bukit...
Zahra dan Zrine sedang bermain bersama di taman dekat bukit tidak jauh dari tempat Alna duduk. Di tempat lain, Alfa, Bryant dan Nolan sedang duduk santai, ikut menikmati suasana indah yang mungkin hanya akan terjadi sekali saja saat mereka berada di Akademi.
Kristal dan Beliung yang tidak tahu ingin berbuat apa setelah sampai di atas bukit hanya diam. Biasanya Beliung sudah berlari kesana kemari mencari alamat palsu -ralat- bermain kejar-kejaran bersama kedua adiknya yang menjadi anggota geng kerusuhan di keluarga mereka, tapi sekarang ia hanya bisa diam atas perintah sang kakak sulung. Kalau saja tidak di ancam dengan tebasan pedang kesayangan kakaknya itu, ia tidak akan rela berdiam diri seperti patung di museum.
Sesekali terdengar dengusan kecil yang berasal dari kakak sulung mereka. Beliung dan Kristal baru berani menatap kakak sulung mereka itu saat dengusan kasar terdengar, keduanya memasang wajah bingung atas sikap kakaknya itu.
"Kenapa kak Hali ngajak kita ke sini?" Pertanyaan Kristal mengalihkan pandangan Voltra untuk menatap adik kembar ketiganya.
Beliung menatap Voltra kesal, selalu saja begitu. Kalau kakaknya itu mengajak mereka kemari hanya untuk berdiam diri, lebih baik Beliung pulang, kembali bermain bersama Pyro dan Balak. Itu lebih bagus.
"Gua cuma pengen aja kesini."
"Ya, kalau emang pengen, kenapa gak pergi aja sendiri aja sih?" Gerutu Beliung kesal.
"Yaudah, terserah kalian mau apa! Kakak mau ke tempat Alisa, bentar." Kata Voltra sambil beranjak berdiri dan melangkah pergi meninggalkan dua wajah bingung Beliung dan Kristal.
"Aku gak ngerti sama jalan pikiran kak Hali." Celetuk Kristal yang di tanggapi kekehan kecil dari Beliung. "Lah, kok ketawa, emang kak Ufan ngerti?" Lanjutnya bertanya.
Beliung memasang cengiran khasnya sambil menggaruk pipi kanannya yang sudah pasti tidak gatal.
"Sudahlah!" Kristal ikut beranjak dari duduknya lantas melangkah pergi meninggalkan Beliung.
"Lah, Gem, terus gua di tinggal gitu?"
Jarang sekali mereka berbicara dengan menggunakan nama panggilan asli mereka, nama yang menjadi identitas mereka sebagai keluarga Kerajaan Kristal. Nama itu sangat berharga, semenjak peperangan Galaksi terjadi, mereka tak pernah lagi menggunakan nama asli mereka, nama yang mereka gunakan saat ini hanya nama samaran. Mereka mengambil dari masing-masing nama tahap tingkat kekuatan mereka.
***
Pertanyaan demi pertanyaan terus terangkai di kepala Alna begitu saja, kalung perak berliontin hati kristal biru yang indah dan cantik itu masih setia berada dalam genggamannya. Begitu banyak pertanyaan yang terlintas di kepalanya, kalung itu seakan menjadi banyaknya pertanyaan yang muncul di benaknya selama ini.
Alna menemukan kalung itu di tempat penyimpanan barang-barang di sebuah ruangan rumahnya. Ia tidak sengaja masuk ke dalam ruangan itu saat bermain bersama Aisyah, bola yang Aisyah lempar menggelinding ke arah tempat itu karena Alna tak dapat menggapainya. Tempat itu memang gelap, tapi sebuah cahaya terang dari salah satu kotak kecil yang terletak di atas tumpukan kardus menimbulkan rasa penasaran besar bagi Alna. Ia memang sering masuk ke dalam tempat itu saat membantu Mamanya bersih-bersih, tapi tak pernah sekalipun Alna melihat kotak bercahaya itu.
Karena rasa penasaran yang tinggi, Alna mengambil kotak itu dengan menaiki beberapa tumpukan kardus yang tersusun seperti anak tangga. Ia masih kecil saat berada di tempat itu, tingginya tak dapat menggapai langsung kotak bercahaya yang berada di atas empat tumpukan kardus.
Kotak bercahaya itu sempurna tergapai olehnya, mendapati sebuah kalung perak berliontin hati kristal biru yang bercahaya berada di dalam kotak itu. Bukan kotaknya yang bercahaya, tapi efek cahaya dari kalungnya yang terlalu terang, pikirnya saat itu. Ia meraihnya, tapi tak sempat memakainya karena terpeleset akibat suara panggilan Mamanya membuatnya terkejut. Alna hanya terkekeh kecil sambil menyeringai bak kuda saat mendapati Mamanya berdiri dengan raut wajah yang hampir meledak. Bukan marah karena Alna tak berhati-hati, malah marah karena tempat penyimpanan barang itu jadi berantakan karena ulah Alna.
Cepat-cepat Alna memasukkan kalung yang ia ambil dari kotak kecil tadi ke dalam kantong gamisnya, setelahnya membantu sang Mama untuk kembali membereskan tempat penyimpanan yang berantakan karenanya tadi.
Alna beranjak berdiri, ingin kembali bergabung dengan aktivitas duo Z yang entah sedang apa, karena tidak ingin mendengar teriakan nyaring milik Zrine lagi, ia pasrah menuruti kemauan Zrine.
Tepat saat Alna membalikkan badannya, Voltra yang juga melangkah ke arahnya jadi terhenti karena tubuh Alna menabraknya. Tubuh kecil Alna terhempas beberapa senti ke belakang, hampir terjerumus ke dalam danau di bawah bukit kalau saja Voltra tidak cepat menggapai tangannya.
"Lo gak papa?" Tanya Voltra cepat setelah menarik tubuh Alna.
Alna hanya mengangguk, sesuatu membuatnya tersadar saat melihat telapak tangan kirinya yang kosong. Kemana kalung itu?
Ia baru sadar saat hampir terjerumus ke dalam danau tangan kirinya sedikit tersentak akibat tarikan Voltra di tangan kanannya, kalung itu pasti terjatuh saat telapak tangannya tak sengaja terbuka.
Sekarang ia harus apa? Terjun ke bawah untuk mencari kalung itu di dalam danau, tidak masuk akal, danau itu pasti dalam. Alna celingukan mencari ide untuk mendapatkan kalung itu membuat Voltra di depannya kebingungan melihat wajah khawatir Alna.
Dengan menggoyangkan sedikit tubuh Alna, Voltra berucap. "Alisa! Lo kenapa?"
Alna menatap Voltra takut, ia ingin meminta tolong, tapi salah satu memori terlintas di kepalanya, kembali membuatnya mengurungkan niatnya.
Tapi kalung itu, bagaimana jika hilang? Kalung itu memang di temukan tidak sengaja, tapi kalung itu sangat berharga baginya. Ia harus bicara pada Voltra.
"Itu, kak!"
Voltra mengernyit. "Itu apa?"
"Kalung, kak, itu punya Alisa, jatuh." Katanya terbata bahkan kalimatnya berantakan, tangannya bergerak menunjuk danau.
Voltra mengangguk Paham dengan jawaban Alna, kalung itu pasti jatuh karena hentakan tubuh Alna tadi. Ia melangkah cepat kebelakang Alna, berniat ingin mengambil kalung Alna, tapi langkahnya terhenti tepat sebelum terjun ke danau. Ia melihat kedua tangan Alna mengenggam erat tangan kirinya.
"Jangan, kak!" Lirihnya yang membuat Voltra kembali mengernyit lagi.
Voltra kembali berbalik menatap lembut iris midnight blue milik Alna. "Lo tunggu di sini! Biar gua yang ambil, oke!"
Lagi-lagi langkahnya terhenti, Alna kembali menahan langkahnya. "Jangan, kak, itu dalam."
Danau mana yang tidak dalam? Toh, Voltra bisa berenang walaupun tidak sehandal adik kembar kelimanya. Tapi ia tetap bisa berenang sebentar untuk mencari kalung milik Alna lalu kembali, itu saja. Walaupun tak tahu bentuk kalung itu, ia bisa mencarinya. Tapi kenapa Alna seakan takut jika ia terjun ke danau itu?
"Itu gak dalam."
Tepat sekali. Jawaban yang sama seperti bayangan seseorang yang berada di memori yang terlintas di benaknya. Mungkin bagi Voltra tidak dalam, aman-aman saja, tapi bagi Alna itu seperti berada di ambang kehidupan.
"Itu dalam, kak, bahaya!"
Voltra merasakan genggaman tangan Alna semakin mengerat, tubuh kecilnya itu bergetar seakan-akan takut kehilangan dirinya sekarang.
Voltra melepaskan genggaman tangan Alna, beralih memegang bahu Alna yang bergetar.
Alna terus menggeleng takut dan masih menatap iris biru Voltra, terus berkata lirih dengan kalimat yang sama.
"Jangan, kak, itu dalam, bahaya!" Terus begitu.
Luluh dengan satu bulir air mata bening yang jatuh di pipi Alna tanpa di sadari pemiliknya. Voltra mendekap tubuh bergetar Alna dengan cepat, berharap dapat menenangkan anak itu.
Tangisan yang tertahan pun pecah seketika setelah Alna berada dalam dekapan Voltra. Ia bingung tak tahu harus apa saat yang lainnya mendekat ke arah mereka berdua dengan tatapan bertanya.
Voltra merenggangkan dekapan mereka, berusaha menatap wajah yang penuh ketakutan di depannya. Baru kali ini, ia harus mengalah pada orang lain, asing pula.
"Gua gak akan ke bawah, lo gak usah khawatir!"
Alna menggeleng cepat. "Tapi tadi kak Voltra mau terjun kebawah."
"Gua di sini, Alisa!" Sergah Voltra cepat. Sedikit menaikkan tekanan suaranya.
Kelima sahabat Alna terlonjak kaget saat nada suara Voltra naik satu oktaf.
Beliung dan Kristal tampak heran melihat kaka sulung mereka yang dapat luluh dengan seorang remaja perempuan asing, selama ini bahkan tidak pernah ada yang berhasil membuat Voltra bisa mengalah pada seseorang. Keras kepala dan egois adalah suatu pendirian Voltra. Tapi kali ini, entahlah, mereka juga bingung.
Alna sedikit tersentak saat suara Voltra sedikit terdengar membentak. Alna menunduk takut menatap wajah Voltra.
Zahra dan Zrine ingin menenangkan Alna saat itu, tapi Alfa menahan pergerakan mereka berdua. Alfa paham keadaan Alna tidak baik-baik saja, trauma yang dulu pernah terjadi kini kembali lagi. Kalau ia ikut campur, pasti akan lebih besar masalahnya.
Tepat saat kata 'takut' terucap lirih dari mulut Alna, tubuhnya limbung bersamaan dengan kesadarannya yang hilang.
Voltra dengan cepat menangkap tubuh Alna sebelum terjatuh ke dalam danau karena posisinya limbung ke arah pinggir bukit. Segera ia menggendong tubuh Alna dengan gaya pengantin. Ia menatap lima sahabat Alna dan dua adiknya sekilas sebelum pergi meninggalkan mereka dengan teknik gerakan kilat miliknya.
"Lah, yang pegang kendali kapsul terbang siapa? Gua gak bisa." Tak peduli dengan keadaan, Beliung hanya ingin memecahkan keheningan di antara mereka.
"Gua aja!" Keputusan telak di ambil oleh Kristal. Beliung hanya menatap kikuk adiknya.
Mereka akhirnya kembali ke Asrama dengan Kristal yang mengambil alih kemudi kapsul terbang. Kenapa Asrama? Karena Voltra pasti membawa Alna langsung ke Ruang Pengobatan Asrama.
***
"Sebenarnya, Alisa kenapa? Kok dia kayak ketakutan gitu pas Kak Voltra mau nyebur ke danau tadi?" Tanya Beliung melepaskan rasa penasarannya sejak tadi.
Mereka kini berada di depan ruang tunggu salah satu kamar rawat di Ruang Pengobatan Asrama. Ruangan itu berdiri di sebelah bangunan Perpustakaan Asrama, memiliki lima puluh kamar rawat dengan berbagai teknologi peralatan medis canggih. Hanya perlu meletakkan pasien, peralatan medis canggih akan bergerak secara otomatis dengan memindai tubuh pasien, setelah itu melakukan apa yang perlu di selesaikan, setelah memberi data hasil pemindaian dan langkah seterusnya setelah di lakukan pemeriksaan.
Sudah dua jam lebih mereka menunggu Alna yang belum juga sadar, memang tidak ada yang parah, hanya gangguan mentalnya yang jatuh kembali setelah mengingat memori yang berputar di benaknya.
"Trauma, kak." Jawab Zahra.
"Kalau gua, sih, bodoamat kak Voltra tenggelam. Dimakan Megalodon aja sekalian, gua ikhlas, kok."
Tidak ada jitakan lembut atau lirikan tajam dari Voltra saat Beliung menyeletuk, lebih mengarah untuk menyumpahi Voltra maksudnya, remaja itu hanya diam sedari tadi. Sebaliknya, Kristal malah menyikut perut Beliung hingga membuatnya meringis kecil.
Tak peduli dengan gerutuan kesal tak terima dari Beliung, Kristal mengalihkan fokusnya untuk bertanya pada kelima sahabat Alna yang duduk berseberangan dengan mereka.
"Trauma, kenapa?"
Pertanyaan Kristal mengundang tatapan bingung dari Zahra dan Zrine. Alfa hanya diam, tak ingin menjelaskannya, itu terlalu sulit, pun dengan Bryant yang juga diam. Sedangkan Nolan berbeda, raut wajahnya sama seperti Kristal yang tampak menunggu jawaban dari mereka berempat.
Dengusan kecil terdengar berasal dari duo Z, saat ini mereka bingung dengan keadaan Alna yang belum sadar dari pingsannya, di tambah pertanyaan Kristal yang mengharapkan jawaban dari mereka.
"Itu di mulai saat Alisa masih kelas enam SD dulu."
Kristal, Nolan dan Beliung tampak antusias mendengarkan saat Zahra mulai bercerita. Zrine dan Bryant membiarkan Zahra bercerita, walaupun nanti mereka akan kena omel dengan Alfa, biarkan saja! Mereka juga perlu tahu sekarang.
"Sekolah kita itu emang di Negeri, tapi satu yayasan sama SMP dan SMA. Alisa pernah tertarik sama kakak kelasnya, pun juga dia, sama-sama suka. Tapi karena kakak kelasnya baru tahu jika Alisa anak dari keluarga yang pernah menjadi salah satu perusahaan yang menghancurkan perusahaan keluarga kakak kelas itu, dia jadi dendam sama Alisa, karena keluarga Alisa, keluarganya jadi hancur sekarang. Padahal jelas itu kesalahan keluarganya yang korupsi dengan meminta bantuan pada perusahaan keluarga Alisa yang sebenarnya hanya di manfaatkan saja."
Saat Zahra terus bercerita, Voltra memang hanya diam seakan tak peduli, tapi telinga tajamnya masih tetap mendengarkan dengan intens yang sebenarnya terjadi.
"Kakak kelas kita saat itu ajak Alisa refreshing naik perahu di danau, tepat saat hari Ahad, sekolah libur. Bukan kesenangan yang Alisa dapat saat itu, bodohnya Alisa gak tahu kalau kakak kelas kita itu dendam sama dia, sialnya Alisa tenggelam karena di dorong sama kakak kelas kita. Sempat ada perdebatan, tapi karena terlalu kesal, Alisa langsung di dorong gitu aja, kak." Zahra menghentikan kembali ceritanya.
"Sejak saat itu Alisa punya trauma takut akan sesuatu yang dalam, seakan-akan kalau lihat orang yang tenggelam itu adalah dirinya, juga penyakit gagal jantung yang di derita karena sebab terlalu lama dalam air." Lanjut Zrine yang seketika membuat Beliung, Kristal dan Nolan terlonjak kaget. Separah itu?
"Tapi, Alisa masih hidup?" Tanya Beliung cepat sebelum mendapat jitakan dari Kristal.
"Terus yang di dalam itu siapa? Arwahnya?" Kristal menatap datar Beliung yang memasang wajah tanpa dosanya.
Zahra dan Zrine mengangguk sebelum kembali menjawab pertanyaan Beliung.
"Tepat saat Alisa berada di rumah sakit, ada salah satu pasien yang meninggal dan bersedia mendonorkan jantung untuk Alisa. Walaupun kondisinya terbilang cukup baik, penyakit komplikasi di derita Alisa saat ini."
"Hah! Serius?" Lagi-lagi Beliung terheboh-heboh mendengar pernyataan Alisa dari Zahra. "Komplikasi, apa?" Tanyanya lagi.
"Lemah jantung setelah operasi dan Anemia beberapa bulan ini." Tekanan suara Zahra memang terdengar ringan dan tenang, tapi bertolak belakang dengan wajahnya yang sendu.
Beliung mangut-mangut paham, Kristal menatap prihatin wajah Zahra yang tampak sendu, pun Nolan yang kini bungkam atas pernyataan tentang sahabatnya yang belum ia tahu.
"Jadi itu, alasan kalian serempak memilih bersantai di atas bukit daripada di atas gazebo yang di tengah danau tadi?" Keempat sahabat Alna -tanpa Nolan- mengangguk menanggapi pertanyaan Kristal.
Sebelum sampai di bukit atas danau beberapa jam lalu, Kristal memberi tawaran pada mereka untuk memilih antara dua tempat diantara pilihan mereka. Dan dengan serempak, empat orang -kecuali Nolan dan Alna- yang di beri tawaran tadi menjawab serempak dan kompak, jawaban mereka sama.
Sebuah laci memori yang tersimpan dalam benak Voltra terbuka lebar, ia ingat kalung Alna masih ada di dalam danau itu. Voltra yakin kalung itu sangat penting dan berharga, tapi Alna lebih mementingkan keselamatan dirinya daripada berharganya kalung itu.
"Kalung itu?" Semua orang kini serempak menatap Voltra.
Zahra yang lagi-lagi paham dengan pertanyaan Voltra hanya menjawab singkat yang ia tahu. "Aku tidak tahu, kalung itu sudah ada sejak Alisa kecil, tapi tak pernah ia pakai, hanya di bawa kemanapun ia pergi. Entahlah, aku tidak tahu."
Dengan cepat Voltra beranjak berdiri. "Kalung itu pasti berharga. Siapapun kabari gua kalau Alisa udah sadar!" Katanya sebelum melangkah pergi begitu saja.
Kristal ingin menahan, tapi urung saat di tahan oleh Beliung. "Biarin! Kak Voltra gak akan bisa di tahan, mending lo diam daripada kena tebas!"
Kristal mengangguk paham, ia akan memberi kabar pada Voltra jika Alisa sudah sadar nanti.
***
Next episode 21...