Alna :
Sunyi dan sepi, dua kata yang begitu aku suka dalam hidupku, masalah demi masalah selalu saja berdatangan padaku. Kenapa harus aku? Tuhan bilang tidak akan memberikan ujian melewati batas kemampuan hambanya, tapi aku tak pernah tahu dimana letak batas itu?
Taman ini indah, aku suka menghabiskan waktu di Taman Akademi ini selama sebulan penuh, lebih mungkin. Bahkan aku sudah jarang bergabung bersama kelima sahabatku itu, entah apa yang mereka pikirkan sekarang, aku tak peduli dan tak perlu di kasihani.
Aku hanya tidak ingin mereka ikut campur tangan membantyku dalam urusan ini. Tidak, aku tidak ingin merepotkan mereka sama sekali.
"Apa jika aku minta keluar dari Akademi ini, mereka mengizinkanku?"
Tidak, tentu saja itu jawaban yang akan mereka lontarkan saat aku bertanya. Kenapa aku harus mengenal mereka berempat dulu? Kalau saja aku tidak mengenal mereka, mungkin saja aku masih tetap berada di Bumi bersama keluargaku, menghabiskan waktu kebersamaan yang indah tanpa ada gangguan.
"Argghh!"
Puk...
Tepukan pelan di pundakku membuatku berhenti menggeram sendiri, sudah seperti orang depresi saja, untung aku tidak langsung gila.
Aku mengalihkan pandanganku untuk melihat si pemilik tangan, karena asal munculnya dari belakang, aku jadi ikut membalikkan badanku dengan paksa ke belakang. Aku terkejut saat melihat siapa orang yang menepuk pundakku tadi.
"Kak Voltra?"
Ya, itu kak Voltra, orang yang menepuk pundakku dan menghancurkan segala pikiran yang melintas begitu saja yang aku rasakan tadi. Kenapa bukan Zahra atau Zrine saja? Entahlah, mungkin mereka tahu kedatangan mereka hanya akan menggangguku.
"Nih, makan! Jangan sampai lo gagal fokus karena jarang makan!"
Tangan kak Voltra terulur sembari menggenggam satu buah roti gandum dengan selai keju. Kesukaanku, dari mana kak Voltra tahu jika aku suka keju? Lagipula aku selalu makan tepat waktu, tapi bukan saat jam istirahat.
"Untukku?" Tanyaku ragu. Tak mungkin aku mengusir kak Voltra, yang ada kena marah nanti.
Kak Voltra mendengus kecil. "Buat ikan yang di kolam, ya, buat lo lah. Udah, makan!"
Aku terkekeh melihat kak Voltra kesal, suka saja melihatnya kesal. Apalagi saat kak Liu menganggu atau menggodanya, wajahnya akan terlihat seperti kepiting rebus.
Aku beranjak duduk di salah satu kursi taman, melihat pemandangan taman yang indah sambil memakan roti keju yang kak Voltra kasih membuatku sedikit lebih tenang.
"Kenapa?"
Aku menatap bingung kak Voltra yang tiba-tiba duduk di sebelahku, bangku taman ini sedikit panjang, jadi kak Voltra bisa ikut duduk bersamaku dengan jarak satu meter.
"Apanya?"
"Gak jadi."
Aku mendengus sebal, kak Voltra yang tanya tidak jelas malah menyalahkanku.
"Lo kenapa gak pernah kumpul sama temen-temen lo?"
Oh, itu yang ingin kak Voltra tanyakan. Apa, ya? Kalau di pikir-pikir, aku hanya ingin menyendiri saja, tidak bermaksud untuk berbuat apapun dengan meninggalkan mereka. Aku juga tidak mungkin beralasan atau sedikit beralibi, kak Voltra itu selalu bisa membaca pikiranku. Alhasil, aku hanya menggelengkan kepala menanggapi pertanyaan kak Voltra.
Kak Voltra kembali memasang wajah datar, memangnya tadi tidak? Sama saja menurutku. Kak Voltra itu jika sedang bicara bagaimanapun, nada bicara dan wajahnya akan tetap sama, dingin seperi kulkas berjalan dan datar seperi tembok China -yang di bilang kak Liu.
"Lo kalau punya masalah cerita kek, jangan buat orang lain khawatir sama lo! Lagian lo di sini itu gak sendiri, jangan pernah merasa kalau hidup lo itu kesepian!"
Aku menganga dengan roti yang masih utuh di dalam mulutku dan menatap kak Voltra aneh, heran saat mendengar kak Voltra bicara panjang lebar seperti itu, biasanya jika di tanya hanya di jawab dengan dehaman kecil, bicara pun jarang sekali, ada apa dengannya? Kak Voltra khawatir denganku?
"Ngapain lo lihat gua kek gitu?" Aku kembali merotasikan wajah anehku.
Kak Voltra walau sedang menutup mata seperti tetap bisa melihat keadaan di sekelilingnya saja. Heran kadang dengan makhluk es datar satu ini.
"Gak, kok, ih jangan ke-GR-an deh!" Sergahku sambil berpura-pura memasang wajah cuek.
Kak Voltra kembali mendengus kasar, mungkin kesal karena aku menyerah ucapannya tadi. Aku tidak ingin tertangkap basah melihat kak Voltra sambil keheranan seperti tadi.
Aku melihat kak Voltra beranjak dari duduknya, melangkah menjauh dari taman. Aku hanya memandang punggung kak Voltra dengan bingung, kak Voltra itu sulit sekali di tebak seperti apa.
Terimakasih, kak. Apa yang kakak katakan memang benar, tapi aku tidak bisa menceritakannya pada siapapun, aku tidak ingin ada yang rela merepotkan diri mereka hanya untuk membantuku.
Melihat roti keju yang masih tergenggam di tanganku membuatku menepuk jidat. "Lupa, belum bilang terimakasih sama kak Voltra."
***
Aku berjalan kembali menuju kelas, suasana hatiku lebih baik semenjak kak Voltra menemaniku tadi di taman. Syukurlah, setidaknya aku tidak terlalu terbebani dengan pikiran sialan ini.
"Hai, Zahra! Hai, Zrine!" Sapaku pada duo Z yang sedang duduk santai di bangku mereka.
Mereka saling tatap sekilas sebelum kembali menatapku dengan bingung. Aku mengernyit, seharusnya mereka senang aku menyapa, beberapa hari ini bahkan aku tidak pernah bicara dengan mereka. Oi, itu bahkan jelas salahku. Dan ku akui ini semua karena kulkas berjalan berwajah mirip tembok China itu, kalau kak Voltra tahu aku mengejeknya, ia marah tidak, ya?
"Maaf, soal kemarin!"
Kemarin? Oh, tidak. Aku bahkan sudah mendiamkan mereka selama sebulan lebih dan selalu saja mengelak saat mereka bertanya padaku. Dasar tidak bertanggung jawab!
"Tidak masalah, Na. Kalau kau ingin cerita, ceritalah!" Kata Zrine sembari melambaikan tangannya.
Zahra tersenyum manis seperi gula, terlalu lebay kau menyebutnya seperti itu, Na!
"Ada kita berlima di sini, Na, juga kak Voltra, kak Liu dan kak Kristal yang selalu ada untukmu, jadi jangan merasa jika kau sendirian!"
Aku mengangguk ragu, apa mereka merencanakan sesuatu di belakangku? Kalimat Zahra sama persis seperi yang di lontarkan oleh kak Voltra.
Selama tiga bulan kami mengikuti KT bersama trio senior itu, kami jadi lebih dekat dengan mereka, selalu tahu apa yang kami butuhkan. Mereka akan membantu dengan senang hati -kecuali kak Voltra yang terpaksa- jika kami butuh bantuan.
***
Aku menggerutu sebal dalam hati, selama dua belas kali pertemuan di mapel Seni Dansa, selama empat kali itu juga aku selalu gagal saat berlatih.
Sudah seringkali aku menginjak kaki Clara saat kami berlatih, dalam mapel ini memang harus memiliki pasangan yang lagi-lagi aku bersama Clara. Kenapa tidak yang lain saja? Selain karena Clara itu sahabat Delancey,dia juga suka membantu Delancey saat membuat masalah denganku.
Aku bahkan menyalahkan kaki sempurna pemberian Tuhan ini karena tidak bisa di ajak berkompromi. Harusnya aku tidak seperti itu, salahku saja yang tidak benar melakukannya.
Di sinilah aku berakhir sekarang, berada di sebuah ruangan besar dengan banyaknya perabotan canggih dan unik tentunya, juga beberapa rak buku dengan ratusan buku -lama berusia beberapa abad -yang berjejer rapi di dalamnya. Satu meja dan dua kursi mengambang di dalam ruangan ini, ada satu lemari cermin dan berbagai alat berbentuk hologram lainnya.
"Kau tahu apa kesalahanmu, Alisa?"
Aku menatap wanita dengan gelar Kepala Akademi dengan takut. Yap, benar sekali, itu Miss Alexandra yang berbicara. Entahlah aku harus menjawab apa sekarang, hanya anggukan kecil yang bisa menjawab. Kalau duo Z itu tidak di usir dengan Miss Alexandra, aku tidak akan segugup ini saat bicara empat mata.
"Sering sekali kau melakukan kesalahan yang sama, tapi baru kali ini aku melihatmu duduk di kursi ruanganku."
Iya, aku tahu. Sudah berkali-kali aku selalu membuat masalah, tapi itu bukan salahku, itu karena Delancey. Kenapa semua orang selalu menyalahkanku? Bisa 'kah aku membela diriku untuk saat ini?
Miss Alexandra mendengus halus, entah pasrah atau tidak tahu harus melakukan apa lagi. "Akademi Putri Purnama ini di dirikan beberapa tahun setelah kehancuran Galaksi, kau tahu untuk apa?"
Bukannya marah atau memberiku ceramah panjang lebar seperi kak Kristal saat aku melakukan kesalahan. Miss Alexandra malah menanayaiku alasan Akademi ini di bangun, aneh. Iya, sungguh!
"Iya, Miss. Untuk mencari seorang pemimpin baru dan mewariskan Garis Keturunan Murni yang baru untuk di turunkan kembali." Jawabku ragu.
Aku sudah membaca sejarah ini beberapa hari yang lalu walau belum pernah di bahas, Miss Alexandra tentu tidak akan bertanya bagaimana lagi jika aku tahu jawabannya.
Jika Akademi ini sudah berdiri selama beberapa tahun yang lalu, mengapa belum pernah ada yang menjadi pemilik baru Garis Keturunan Murni? Aneh, aku bahkan belum pernah melihat Kerajaan Kristal di Planet Volle Maan, kenapa aku tidak menyadari hal itu?
"Miss, kenapa---" Perkataanku terpotong.
"Selama kau berada di sini tidak pernah melihat Kerajaan Kristal dan mengapa selama bertahun-tahun Akademi ini berdiri belum pernah meluluskan keturunan baru?"
Aku bungkam seketika mendengar perkataan Miss Alexandra mengenai pertanyaan yang terpikirkan olehku. Mengapa semua orang bisa mengerti jalan pikiranku, sih? Mereka bisa membaca pikiran orang lain atau hanya sekedar menebak saja, tapi jika sekedar menebak juga tidak selalu benar.
"Itu yang ingin kau tanyakan, bukan?" Miss Alexandra kembali bertanya, aku hanya menanggapinya dengan anggukan kecil.
Miss Alexandra sedikit mengingat-ingat atau sekadar berpikir mencari sebuah memori yang akan di ceritakan padaku. Entah benar atau tidak, aku yakin Miss Alexandra akan menceritakannya padaku.
"Lima tahun setelah kehancuran Galaksi, seluruh keluarga Kerajaan Kristal tewas, kecuali Dame Devin, dan putrinya. Penyebab kematian mereka pun berbeda, karena saat peperangan terjadi, Raja dan Ratu berada di tempat yang berbeda dengan anak-anaknya. Mereka tidak tahu jika peperangan akan terjadi, jika biasanya mereka selalu tahu dan memberitahukan informasi lebih dulu, tidak dengan waktu itu. Seakan semuanya terjadi begitu saja."
Aku mendengarkan cerita Miss Alexandra dengan baik, cerita itu tidak pernah kutemukan di buku referensi bacaan sejarah apapun yang mengaitkan peperangan ini dengan Galaksi Andromeda.
"Tujuh anak Ratu Natashalmeera berjuang mempertahankan Kerajaan Kristal pada saat peperangan itu terjadi membantu Panglima Besar Kerajaan Kristal, hingga mereka tewas, dan jasadnya pun hilang begitu saja tanpa jejak."
Mataku menatap Miss Alexandra dengan prihatin atas apa yang terjadi, aku benar-benar tidak tahu jika sejarah Galaksi Andromeda benar-benar menimbulkan banyak luka yang besar. Bagaimana mereka bisa bertahan dengan serangan besar itu?
"Sedangkan Raja Shining Armor, Ratu Natashalmeera dan ketiga anaknya pun tewas saat mereka dalam perjalanan pulang menuju Kerajaan setelah berpariwisata. Tentu tidak siap dengan keadaan, kapsul terbang yang mereka tumpangi terjerumus kedalam jurang yang tidak tahu apa penyebab pastinya. Saat pencarian berlangsung, hanya jasad Ratu Natashalmeera yang berhasil di temukan. Entah dimana yang lainnya? Kami tidak pernah menemukan mereka lagi."
Miss Alexandra tertunduk, wajahnya begitu sendu. Aku tahu cerita ini begitu sulit untuk di jelaskan, entah apa maksud Miss Alexandra menceritakan sejarah ini padaku? Aku tidak tahu. Sekarang aku tahu, sejarah Galaksi Andromeda terlalu menyimpan misteri untuk di pecahkan, karena itu tidak pernah ada catatan sejarah mengenai kehancuran Galaksi Andromeda.
"Jadi sekarang kau tahu, bukan? Mengapa Akademi ini tidak pernah meluluskan keturunan baru?" Aku mengangguk kecil. "Kerajaan Kristal di lindungi kubah besar yang mengelilingi setiap sudut Kerajaan agar tidak terlihat untuk menghindari kepastian sejarah itu benar adanya, kami tidak ingin penduduk Galaksi Andromeda mengingat kejadian itu lagi." Lanjut Miss Alexandra.
Boleh aku menangis untuk mewakili Miss Alexandra, Miss Alexandra pasti juga terpukul atas kejadian itu, walaupun aku tidak tahu apa posisi Miss Alexandra dalam keluarga Kerajaan. Tapi yang pasti, Miss Alexandra pasti orang yang mengenal dekat keluarga Kerajaan. Atau mungkin masih memiliki hubungan dengan keluarga Kerajaan.
Alasan Akademi ini tidak pernah meluluskan keturunan baru itu karena tidak ada siapapun yang bisa mewarisi kekuatan leluhur Galaksi Andromeda, selama beberapa tahun Akademi ini mencari pemilik baru tetap tak pernah meluluskan. Tak ada yang bisa menggantikan posisi pemilik Garis Keturunan Murni leluhur Galaksi Andromeda, hanya keturunan dekat yang dapat mewarisinya, itu pun belum tentu jika memungkinkan.
"Berarti semua yang saya lakukan hanya sia-sia." Lirihku, tapi aku yakin Miss Alexandra mendengarnya.
Miss Alexandra menggelengkan kepalanya, lantas sebuah senyuman merekah indah terlukis di wajahnya. Dengan lembut Miss Alexandra berkata.
"Tidak, apa yang kau lakukan tidak pernah sia-sia."
Aku mendongak sambil memasang wajah bingung saat menatap wajah Miss Alexandra. Tidak? Bukankah tidak ada yang bisa menggantikan posisi itu? Jadi benar jika usahaku sia-sia.
"Tapi, Miss, percuma jika aku terus melakukannya jika ujung-ujungnya aku tidak pernah mendapatkan posisi itu."
Miss Alexandra menyergah ucapanku, kali ini membuatku diam mematung tak percaya. "Kau yang akan mendapatkan posisi itu, pemilik Garis Keturunan Murni itu masih hidup. Kau tahu siapa pemilik itu?"
Aku menggeleng sebagai jawaban, masih tak mengerti jalan percakapan antara kami. Aku pernah mendengar istilah itu dari Zahra, ia pernah bilang pemilik itu disebut sebagai Sang Putri Purnama, tapi aku tetap menggeleng untuk memastikan benar atau tidak.
"Namanya Bulan, putri bungsu Ratu Natashalmeera, dan ia juga sebagai Sang Putri Purnama."
Bulan, nama yang sama dalam cerita Zahra, posisi mereka juga sama. Sebagai anak bungsu Ratu Natashalmeera, juga Sang Putri Purnama yang mewarisi kekuatan leluhur Galaksi Andromeda. Aku bukan Bulan Sang Putri Purnama.
"Mungkin aku terlalu yakin, tapi apa yang aku rasakan saat pertama kali bertemu denganmu itu tidak salah."
"Yakin untuk apa?"
"Kau pemilik Garis Keturunan Murni leluhur Galaksi Andromeda ini, Alisa."
Aku membulatkan mata tak percaya, menatap Miss Alexandra dengan banyak pertanyaan. Seakan mengerti apa yang aku pikirkan dengan banyaknya pertanyaan yang mungkin saja tidak dapat di jawab satu persatu, Miss Alexandra hanya tersenyum hangat, seakan perkataannya adalah benar.
Tidak mungkin jika aku pemilik garis itu, aku bahkan tidak memiliki kekuatan leluhur Galaksi Andromeda satu pun, iya. Tapi bagaimana dengan kekuatan Elemental milikku?
"Alisa!" Aku menatap Miss Alexandra kembali. "Jika kau mau, kau bisa menjadi murid pribadiku, aku akan mengajarkanmu segala hal di Akademi ini. Termasuk seluruh teknik yang di ajarkan di Kelas Simulasi Bertarung bersama senior akhir."
Penawaran yang bagus, belum pernah ada murid yang memiliki hubungan pribadi dengan seorang guru di Akademi ini, tapi apa Miss Alexandra yakin akan memilihku? Semua yang aku lakukan selalu saja di anggap salah. Tidak pernah benar, teknik bertarung yang aku kuasai hanya sedikit yang berhasil kucoba.
"Aku akan mengajarimu dari awal, sayang. Dan aku yakin, kau akan berusaha melakukannya." Miss Alexandra menatapku lembut, seakan benar-benar percaya dapat membuatku bisa melakukan semuanya.
Aku sedikit menimbang kembali penawaran Miss Alexandra, tentu ini penawaran spesial sekali, tapi bagaimana? Aku hanya perlu berkata 'ya' sebagai jawaban atau sekedar mengangguk, bukan? Tapi kenapa susah sekali?
Miss Alexandra terkekeh, mungkin melihatku yang kebingungan, ragu, senang dan rasa lain yang bercampur aduk menjadi satu. Memang ini es rasa campur aduk apa?
"Aku anggap diammu sebagai jawaban atas menerima penawaranku." Aku bahkan belum memikirkannya sama sekali. Aku ingin memotong, tapi tidak sopan namanya.
"Kita mulai besok setelah pulang sekolah, persiapkan dirimu!"
"Bagaimana dengan Kelas Simulasi Bertarung, Miss?" Secara tidak sengaja aku berada pada dua tempat dengan waktu yang sama, apa jadinya?
"Aku akan membicarakannya pada Voltra nanti. Kelas Simulasi Bertarung akan dimulai lima menit lagi, pergilah sekarang!" Aku mengangguk juga pamit, lalu berteleportasi cepat menuju Ruang Simulasi Bertarung Akademi.
Aku pasrahkan semuanya padamu, ya Rabb! Entahlah apa yang akan terjadi nanti, biarkan aku melewatinya dengan tenang!
***
Next episode 20...