Hari terus berlalu, tak terasa jika sudah tiga bulan Alna dan kelima sahabatnya itu berada di Planet Volle Maan, menjadi seorang murid di Akademi Putri Purnama tentunya. Selama tiga bulan itu ia habiskan waktunya untuk belajar, mengikuti semua mata pelajaran Akademi, juga selalu hadir di KT Akademi.
Bukan kesenangan yang Alna dapatkan selama berada di Akademi, hari-harinya selalu di hantui rasa takut dan ancaman dari Delancey, Alna memang tak menanggapi, tapi selalu saja ada masalah yang datang padanya. Apalagi di saat Dame Devin yang mengajar di kelasnya saat itu, apa yang ia lakukan selalu salah, padahal sudah berusaha mencoba, tapi selalu di gagalkan oleh Delancey. Terkadang Alna berpikir jika mereka benar-benar tidak menginginkan dirinya berada di sini, kalau memang benar, dia bisa pergi andaikan tidak ada yang melarang.
Cukup! Ia tidak ingin sahabat-sahabatnya itu kecewa atas kelakuannya.
"Ayo, Na, kita berangkat!" Ajakan Zahra membuyarkan lamunan Alna saat makan.
Alna beranjak berdiri lalu berjalan lebih dulu keluar dari Kantin Asrama. Kelima sahabatnya itu hanya memandang punggung sahabatnya itu dengan tatapan bingung, seakan ada yang Alna sembunyikan dari mereka. Ya, benar, semenjak rasa takut dan ancaman selalu datang pada Alna, ia mulai menyendiri, tak banyak ikut berceloteh dengan sahabatnya, saat di arena pertarungan pun ia tak fokus dan selalu gagal.
"Sudahlah, nanti kita bahas lagi." Zahra menengahi percakapan keempat sahabatnya sebelum menarik Zrine untuk pergi menyusul Alna.
"Sebenarnya, Alna kenapa, Ra!"
"Entahlah, sudah beberapa minggu aku melihatnya seperti itu, ada sesuatu yang ia sembunyikan pasti." Zrine mengangguk paham, beberapa bulan ini, Alna jarang sekali ikut menimbrung percakapan mereka.
Setelah sampai di kelas, Alna hanya diam saat duo Z itu menanyainya dengan berbagai macam pertanyaan. Bahkan gurauan mereka pun tak ia gubris, karena lelah tak tahu harus apa lagi, duo Z itu akhirnya hanya diam dan sesekali berbisik satu sama lain membicarakan Alna.
Ting...
Suara denting notifikasi dari kartu hologram murid berbunyi, mengalihkan seluruh perhatian mereka pada pesan yang tertera di layar kartu mereka.
"Untuk apa ke Perpustakaan Akademi?" Tanya Zrine yang entah ia jatuhkan pada siapa.
Alna hanya mendengus kasar, pesan yang ia dapatkan dari Dame Devin meminta seluruh murid untuk pergi ke Perpustakaan Akademi, mereka akan belajar di sana karena properti yang di gunakan untuk belajar kali ini ada di sana.
Alna mengikuti kedua sahabatnya itu setelah mereka mengajaknya keluar. Ia hanya berharap tidak akan ada masalah yang menimpanya, pun dengan Zahra dan Zrine yang berharap seperti itu.
***
"Baiklah, anak-anak, silakan kalian ambil masing-masing sepuluh buku di Perpustakaan ini! Setelah itu berbaris rapi ke belakang, ya!"
Seperti biasa, tidak ada sapaan ramah atau gurauan kecil dari guru satu ini. Setiap perkataan dan perintahnya harus di lakukan dengan benar tanpa ada ganggu gugat lagi, mau atau tidak, mereka harus menjalankannya.
Perpustakaan Akademi ini sama seperti Perpustakaan Asrama, hanya saja memiliki satu lantai. Alna memperhatikan setiap rak yang ia lihat, ia mencari sepuluh buku yang tidak tebal, setidaknya hanya berjumlah seratus lembar saja, tidak sulit mencari buku dengan jumlah seratus lembar. Setelah ia rasa selesai, ia ikut berbaris rapi bersama yang lainnya, berada di belakang Zahra.
"Perhatikan, semuanya!"
Alna mengalihkan pandangannya pada Dame Devin yang berbicara, di sampingnya ada Delancey yang membawa sepuluh buku. Alna membulatkan matanya saat melihat sepuluh buku yang di bawa oleh Delancey, satu buku yang Delancey bawa itu berbentuk hologram setebal dua senti, bentuknya sama dengan buku tulis biasa. Yang membuat Alna heran, buku hologram itu berat, yang pernah ia pegang di Perpustakaan Asrama itu hanya referensi, bukan sejarah.
Sudahlah, lupakan hal itu dulu, lagi pula Alna tidak tahu apa yang akan di lakukan dengan sepuluh buku di tangannya.
"Kalian perhatikan Delancey! Selanjutnya, kalian coba." Semua murid mengangguk.
Delancey meletakkan sepuluh buku hologram di atas kepalanya, merasa cukup untuk berdiri seimbang di atas kepalanya, ia mulai berjalan dengan anggun. Yang benar saja! Berjalan melewati seluruh murid kelasnya dengan jarak dua puluh meter tanpa menjatuhkan satu pun buku yang berada di atas kepalanya.
Apa ini yang Dame Devin minta dari mereka? Mencoba berjalan dengan menyeimbangkan sepuluh buku di atas kepala mereka. Alna menatap sepuluh buku yang ia bawa, untunglah tidak ada yang tebal, mungkin akan sedikit lebih mudah.
"Baiklah, kalian coba sekarang, berjalan memutari Perpustakaan ini, sekarang!"
Semua murid mengangguk dan mulai meletakkan sepuluh buku yang mereka bawa di atas kepala mereka. Begitu juga dengan Alna, ia tampak kesulitan saat mencoba menyeimbangkan sepuluh buku di atas kepalanya itu, memang tidak tebal, tapi tetap sulit untuk di seimbangkan.
Sama saja ternyata, berat. Gerutunya pada diri sendiri.
Satu persatu mereka berjalan memutari Perpustakaan, di mulai dari murid paling depan lalu di susul terus pada murid di belakangnya. Alna mulai melangkah saat Zahra dan Zrine di depannya sudah melangkah mengikuti.
Alna terus mencoba menyeimbangkan langkahnya dengan buku di atasnya, bukan Alna saja, beberapa dari murid kelasnya pun juga kesulitan. Alna melihat duo Z di depannya, mereka berdua tampak tenang dan santai saat berjalan dengan menyeimbangkan buku mereka.
Mungkin mereka berdua pernah melakukan ini di latihan anggota pasukan Three P.S, mudah saja melakukannya untuk mereka. Kalau saja ia tahu akan di suruh seperti ini, dari awal sudah belajar, tidak akan kesulitan seperti ini.
Dame Devin terus memperhatikan para muridnya bergantian, sudut matanya kemudian berhenti pada murid yang berada di barisan terakhir. Dari awal ia benar-benar penasaran dengan anak itu, setiap waktu mengajarnya di mulai, anak itu selalu saja membuat masalah.
Bukan karena Alna selalu membuat masalah, karena masalah yang selalu di buat Alna adalah ulah Delancey. Alasan Dame Devin yang selalu membuat Alna selalu merasa takut dan terancam, anak itu memang dari Bumi, Planet yang pernah menjadi tempat pengasingan paling banyak saat peperangan di Galaksi. Wajahnya selalu tenang dan teduh, juga iris midnight blue Alna memiliki warna yang sama seperti milik kakak ipar Dame Devin, Ratu Natashalmeera.
"Ibu!"
Dame Devin menatap putrinya. Mengerti apa yang di maksud dengan panggilannya tadi, ia hanya mengangguk.
Delancey mulai melangkah mendekati salah seorang murid yang berada di barisan belakang, tampaknya anak itu sedang kesulitan untuk berjalan sambil menyeimbangkan buku di atas kepalanya.
"Kau tahu apa yang aku suka?" Tanyanya pada murid itu. Ia tak menanggapi pertanyaan Delancey, masih fokus dengan buku dan langkahnya. "Aku bertanya denganmu, Alisa."
Ya, murid yang berada di barisan paling belakang itu Alna. Alna merasakan sesuatu yang mungkin tidak enak, ia hanya menjawab datar.
"Aku tahu."
Delancey berdecih, kalau memang Alna tahu, mengapa tidak menjawab pertanyaannya? "Lalu mengapa kau tidak menjawab pertanyaanku?"
"Apa itu penting? Tidak, bukan?" Alna sedikit terhuyung saat merasa ada salah satu buku yang akan terjatuh.
"Tidak juga." Delancey terkekeh kecil. "Aku akan beri tahu, apa yang aku suka?"
Alna tetap berjalan, kali ini tak menanggapi Delancey lagi. Delancey hanya akan membuat konsentrasinya terganggu.
Delancey tersenyum miring dan melirik Alna sekilas. "Ini yang aku sudah darimu, Alisa."
Tanpa aba-aba ataupun peringatan suatu ancaman, Delancey dengan cepat meletakkan kaki kanannya di depan langkah Alna. Alna yang fokus dengan keseimbangan bukunya itu tidak melihat jika kaki Delancey berada di depan langkahnya, Alna tersungkur ke depan menabrak punggung Zahra. Setelahnya, di ikuti dengan Zahra yang menabrak Zrine lalu di susul dengan murid lainnya yang berada di depan mereka.
Jika di lihat, seperti sebuah kartu atau balok yang di jatuhkan pada balok lain di depannya hingga terus menyusul sampai habis. Seperti itulah keadaan mereka semua sekarang, tersungkur ke depan setelah mendapat tabrakan dari arah belakang tiba-tiba, kecuali satu murid yang masih berdiri anggun yang berada di barisan paling depan. Clara, sahabat setia Delancey, ia kebingungan saat melihat semua teman sekelasnya itu tersungkur. Saat melihat Delancey yang tersenyum padanya, barulah ia mengerti mengapa semua temannya tersungkur seperti ini, ia pun ikut terkekeh kecil.
Alna masih setia duduk bersimpuh di lantai sambil mengambil dan menatap kembali buku-bukunya yang terjatuh. Sial, kenapa selalu saja seperti ini? Harusnya saat Delancey berada bersamanya, ia bisa lebih waspada, kalau seperti ini bukan hanya ia saja yang kena, tapi seluruh teman satu kelasnya juga.
"Dasar, kau! Selalu saja membuat masalah, tidak bisa, 'kah sekali saja saat aku mengajar tidak membuat masalah?"
Alna mendengus kasar dalam diam mendengar celotehan Dame Devin yang menurutnya menyebalkan. Sudah berulang kali ia membuat masalah, dan Delancey adalah dalang yang sama setiap ia melakukan kesalahan.
Dame Devin masih setia memperhatikan Alna yang masih -pura-pura- sibuk memunguti buku-bukunya. Semua temannya kini kembali memasang wajah kesal yang mereka tujukan pada Alna. Lagi dan selalu begitu.
Zahra dan Zrine hanya diam, mereka tidak tahu harus berbuat apa. Mereka hanya membantu Alna membereskan buku-bukunya dan membantunya berdiri.
"Kau tidak apa-apa, Na?" Bisik Zahra pada Alna.
"Pasti ulah Delancey lagi, bukan?" Tanya Zrine menyusul, ia benar-benar tidak suka jika sahabat-sahabatnya itu selalu di ganggu.
"Kalian berdua juga sama saja, tatap orang yang sedang bicara dengan kalian, tidak sopan!" Celoteh Dame Devin lagi.
Alna menggeram, sedangkan Zahra dan Zrine bergidik takut. Sahabatnya satu ini jika sudah marah bisa habis nanti mereka jadi sasaran empuk serangannya.
Duo Z itu akhirnya sedikit merenggangkan jarak mereka dengan Alna, membiarkannya menyelesaikan masalah, lagi.
"Mengapa kau menunduk, tataplah orang yang sedang mengajakmu bicara! Itu bagian dari kesopanan."
Alna masih menunduk, tapi perlahan ia mengangkat kepalanya perlahan, berusaha tetap tenang menatap wajah Dame Devin walaupun sedikit ragu.
"Maaf, Miss!" Lirihnya dengan tatapan sendu.
Dame Devin tidak menjawab, tiba-tiba saja tubuhnya menengang, sel-sel saraf di tubuhnya seakan mati tak bersisa. Zahra dan Zrine juga sama, mereka kembali terkagum-kagum dengan suasana ini, ketegangan mereka hilang melihat cahaya pelangi yang bersinar di iris mata Alna.
Iris mata itu selalu membuat siapapun yang melihatnya menjadi kagum karena rasa tenang dan teduh yang di hasilkan cahaya itu dapat menenangkan perasaan mereka.
"Ibu, ada apa?"
Tepukan pelan di pundak Dame Devin membuyarkan lamunannya ke beberapa memori saat masih bersama Ratu Natashalmeera. Ini yang ia takutkan selama ini, ketakutan yang membuatnya tidak akan pernah bisa mengambil alih Kerajaan Kristal.
Dalam hati ia sedikit lega tidak ada yang menatap iris mata Alna, untung saja ia sudah meminta yang lain kembali melakukan aktivitas mereka.
Alna masih menatap wajah guru pengajarnya itu dengan bingung, kenapa raut wajahnya tampak bingung saat melihatnya tadi? Bukannya ia terlalu sok tahu, tapi memang benar kenyataannya jika Dame Devin sedang bingung.
Dame Devin kembali menatap tajam Alna, ia berusaha bersikap sewajarnya sebagai guru paling galak, setidaknya itu yang menjadi panggilan para murid padanya.
"Kau itu tidak di takdirkan di sini, jadi jangan berharap jika kau bisa lulus! dan tidak akan pernah lulus."
Alna ingin menyerah saja rasanya, siapa yang sanggup di perlakukan seperti ini dengan seorang guru? Sekali lagi, GURU!
Mengapa hidupnya semenyedihkan ini? Tidak juga jika ia bertindak biasa saja seakan tidak terjadi apa-apa.
Setelah mengatakan kalimat itu, Dame Devin melangkah pergi meninggalkan Perpustakaan. Para murid pun ikut senang, tidak salah jika Alna membuat kekacauan, kelas mereka akan berakhir lebih cepat.
Kambing hitam, iya, itu yang menjadi sebutan Alna jika di perlukan oleh teman sekelasnya saat mereka hanya membutuhkan bantuan saja, setelah itu mereka akan pergi begitu saja setelah urusan mereka selesai.
Zahra mendekat ke tempat Alna yang masih berdiri sambil menunduk, ia tidak habis pikir dengan Delancey yang selalu saja mengganggu sahabatnya itu.
"Na!"
Alna menepis tangan Zahra yang ingin menepuk pundaknya, ia berlari cepat meninggalkan dua orang yang sedang menatapnya bingung. Tidak tahu akan melangkah kemana, yang ia butuhkan sekarang, hanyalah tempat sepi.
"Kita susul?" Kata Zrine sambil melangkah.
"Jangan! Biarkan dia sendiri, aku yakin ia akan cerita saat waktunya." Sergah Zahra sambil menarik tangan Zrine.
Zrine pun mengangguk paham, tabiat yang tak pernah hilang dari Alna sejak dulu, menyendiri di tempat sepi adalah meluapkan rasa sedih terbaik untuknya.
***
Next episode 19...