Chapter 16 - Episode 16

Alna :

Saat bel istirahat berdentang kencang di seluruh penjuru Akademi, cepat-cepat aku langsung mengapit masing-masing satu tangan milik duo Z. Jujur, aku takut kejadian kemarin terulang. Bagaimana jika Delancey kembali berkata macam-macam lagi padaku? Aku tidak mau, lebih tepatnya, malas untuk menanggapi perkataan anehnya.

"Kau itu kenapa sih?" Gerutu Zrine kesal. Ia sedikit tersentak kaget saat aku mengapit tangannya tiba-tiba.

Aku menggelengkan kepala santai, walau sebenarnya aku takut, jika Delancey menarikku tiba-tiba, bagaimana?

"Aku tidak mau tertinggal lagi seperti kemarin, kalian bahkan tidak menyadari keberadaanku." Alibiku yang sukses membuat Zrine kesal.

Zahra terkekeh kecil. "Tapi tidak seperti ini juga, Na?" Sedikit mengecilkan suaranya saat menyebut namaku.

"Salahkan dirimu sendiri yang lambat!" Sela Zrine dengan wajah datarnya.

Aku sedikit merenggangkan kedua tanganku yang mengapit tangan mereka, lantas berjalan lebih dulu keluar kelas, meninggalkan duo Z di belakang. Mungkin mereka sedang saling tatap, setelahnya menggeleng serempak. Aku hafal betul ekspresi mereka saat aku bertingkah seperti ini. Syukur Delancey bertolak jalan dengan kami bertiga.

Kami berjalan santai menuju Kantin Akademi. Zahra memperhatikan sekitar, ada sesuatu yang ia cari. Pasti si trio boy itu.

Tepat seperti yang aku pikirkan, Zahra akhirnya berjalan menuju tempat trio boy itu duduk, seperti kemarin yang duduk di salah satu meja berisi tiga belas kursi.

"Hai!" Sapa ceria dari Zrine yang mewakili kedatangan kami. Mereka menjawab serempak.

Posisi duduk kami berseberangan dan Nolan berada di hadapanku, Zahra yang berhadapan dengan Alfa, paling pinggir di isi Zrine yang berhadapan dengan Bryant. Di manapun, posisi duduk kami selalu seperti ini, sama.

"Kalian tidak makan?" Tanya Bryant setelah kami bertiga duduk.

Zahra berpikir sejenak sebelum menjawab. "Iya, boleh."

"Nah, kalau begitu, pesan 'kan!" Pinta Bryant santai.

Zrine menatap Bryant bingung, aku juga menatapnya bingung. Kukira dia bertanya untuk memesankan makanan kami, ternyata hanya ingin menitip.

"Dasar, kau! Kukira tadi kau bertanya seperti itu untuk menawarkan diri." Kata Zrine, raut wajahnya kesal dan berapi-api ingin membunuh Bryant saat itu juga.

"Erk... aku hanya ingin menitip, 'kan, memangnya tidak boleh?" Tanya Bryant yang ditanggapi dengusan kasar oleh Zrine.

Sebelum perang dunia antar sahabat ini terjadi, Zahra cepat-sepat langsung menengahi perdebatan mereka berdua. "Biar aku saja, kalian mau pesan apa?"

Aku ingin menitip, tapi tidak jadi, ingin memesan sendiri. "Aku pesan sendiri saja." Tolakku halus.

"Kalian berempat?" Tatapannya beralih pada keempat makhluk yang tersisa.

"Aku pesan sendiri saja." Jawab Zrine kesal sebelum beranjak pergi memesan makanan. Zahra menggeleng maklum dengan tingkahnya.

Tinggal tiga makhluk lagi, dan akhirnya mereka kompak memesan makanan sendiri.

"Ujung-ujungnya juga, aku pesan sendiri." Gerutuan malas keluar dari mulut Bryant.

Aku berjalan ke arah satu tempat dari sekitar beberapa tempat pemesanan makanan. Sama seperti kemarin, aku memesan satu porsi bakso merah dan satu jus apel -jika memang itu buah apel- biru. Beberapa detik aku menunggu, pesanan itu sudah tersedia di meja makan yang di antar oleh piring terbang khusus untuk mengantarkan makanan. Setelah itu aku berbalik.

Bruk... Byuuurr...

Aku tersentak kaget dan mundur beberapa langkah saat menabrak seorang remaja laki-laki di depanku. Minuman yang di bawa remaja itu tumpah mengenai seragamku, juga seragamnya. Untung saja jus ini warnanya bening, jadi tidak terlalu terlihat nodanya.

"Maaf, kak! Aku tidak sengaja tadi, maaf!" Kataku cepat pada remaja di depanku sambil menepuk-nepuk seragamku yang terkena tumpahan jus tadi.

Kini aku benar-benar menunduk takut, untung saja tidak ada yang memperhatikan keadaan kami sekarang karena tempat pemesanan ini cukup jauh dari jejeran meja Kantin Asrama.

"Tidak apa, aku yang salah tidak memperhatikan jalan tadi, maaf, ya!" Jawabnya lembut tapi ada sedikit nada khawatir dan takut.

Entah mengapa aku malah menjadi bingung sendiri, seragamku basah, di tambah rasa bersalah pada remaja di depanku. Aku memanggilnya 'kak' karena sempat melihat hologram yang tertempel di seragamnya -seperti name tag- terdapat tulisan tingkat kelasnya, kelas 1/Lisensi-A, tertanda otomatis jika ia seniorku. Sepertinya, ia juga sekelas dengan kak Beliung.

Aku berpikir untuk menggantikan minuman miliknya, bahkan aku lupa jika satu murid hanya dapat memesan satu makanan dan minuman setiap satu waktu. Tapi, biarkan saja, biayanya nanti biar aku tanggung. "Sekali lagi, maaf, kak! Nanti aku ganti minuman, kakak."

Remaja di depanku itu terkekeh kecil, bagaimana jika nanti ia membalas dendam? Atau, atau...

"Tidak perlu!" Jawabnya yang membuatku semakin merasa bersalah. "Jangan tundukkan wajahmu seperi itu! Aku tidak akan balas dendam kok." Lanjutnya lagi.

Benar saja, sedari tadi aku memang menunduk, takut untuk sekedar menatap wajahnya. Menjaga pandangan juga tentunya.

"Hei, kenapa kau diam saja?" Tanyanya.

Aku membuang napas ragu, perlahan aku mengangkat kepalaku, menuruti permintaan remaja ini. Tidak, aku bahkan belum berani menatap wajahnya, aku memalingkan wajahku setelah mengangkat kepala.

"Kau itu lucu sekali," Katanya sambil terkekeh pelan. "Oh, ya, siapa namamu?" Lanjutnya. Sungguh, dia menanyakan namaku?

Aku sontak mengarahkan pandanganku kearahnya, menatap wajahnya dengan ragu dan bingung menjadi satu, pantas suaranya tidak asing -walau lebih ramah dan lembut. Aku sedikit tersentak kaget saat sempurna melihat wajahnya, seperti kak Beliung dan remaja yang aku tabrak di Koridor Lord Akademi, tapi kali ini lebih ramah dan intonasi suaranya terdengar lebih lembut. kemarin pagi saja bertingkah menakutkan, kemudian saat sore malah. jadi menyebalkan dan sekarang jadi lembut juga ramah seperti ini.

Tidak sengaja aku menatap iris matanya, eh! Iris matanya juga berbeda dari dua pertemuan sebelumnya, kalau kemarin pagi berwarna ruby dan sorenya berwarna sapphire, kenapa sekarang berubah jadi gold? Bagaimana dalam waktu tiga kali berturut aku melihat iris mata dengan warna berbeda di setiap pertemuannya? jangan lupakan sifatnya yang juga berubah-rubah dari tiga hari berturut-turut. Atau jangan-jangan, kak Beliung ingin membalas dendam padaku karena kemarin telah membuatnya merasa bersalah bersalah? Benar, 'kan?

Tak berbeda denganku, kak Beliung -aku sudah mengenalnya, 'kan?- di depanku ini bahkan membulatkan matanya terkejut, gelas yang ada di tangannya bahkan hampir terlepas dari genggaman tangannya. Antara terkejut, bingung dan sedih tergambar jelas di raut wajah kak Beliung. Aku tidak tahu mengapa ia sangat terkejut menatapku seperti itu, aku sudah tiga kali bertabrakan dengan satu orang yang sama walau di tempat yang berbeda. Bagaimana bisa? Dan kenapa kak Beliung begitu terkejut saat melihatku untuk ketiga kalinya? Dia 'kan sudah bertemu denganku dua kali berturut.

Aku menunduk dalam, bahkan hampir meninggalkan kak Beliung sebelum langkahku tertahan saat ia menarik tanganku. Oh, ayolah, jangan seperti ini! Kak Beliung pandai sekali berakting, aku benar-benar kesal karena ia sudah mengerjaiku selama tiga kali dengan sikap yang berbeda-beda.

Aku sama sekali tak ingin menatap wajah kak Beliung, tapi tanganku masih di genggam erat olehnya, sama seperti kemarin yang tak melepaskan genggamannya sebelum aku menepis, bagaimana kalau nanti ia kembali menjengkelkan seperti kemarin? Kalau mungkin berubah jadi menakutkan pun, aku tidak takut, itu cuma aktingnya saja.

"Katakan padaku, siapa namamu?" Aku mendengus sebal, akting apa lagi ini?

"Kakak sudah tahu namaku, 'kan? Kenapa bertanya lagi?" Jawabku malas.

Kak Beliung melepaskan genggaman tangannya dari tanganku, aku hendak berlari pergi meninggalkannya, tapi lagi-lagi terurungkan saat ia kembali berkata.

"Jadi, kau orang yang Kak Beliung ceritakan?"

Aku mengernyit bingung, tunggu, apa? Kak Beliung? Bukankah dia sendiri kak Beliung? Lantas, mengapa ia seperti menyebutkan nama dari orang yang berbeda? Aku berseru kencang dalam hati, akting apa lagi yang kak Beliung lakukan? Banyak pertanyaan yang berputar dan terlintas di kepalaku saat ini sepertinya.

Aku membalikkan badan malas, menatapnya penuh kesal sekarang. "Aku sudah memperkenalkan namaku, ayolah! Jangan membuatku bingung dengan akting kakak!"

Kak Beliung menatapku bingung, kepalanya ia miringkan sedikit. Baiklah, aku kesal. "Kak Beliung tidak perlu akting seperti itu! Kakak pikir aku bisa tertipu oleh akting kakak itu?"

Kak Beliung semakin mengerutkan dahinya, matanya berputar memandang sekitar, kak Beliung kenapa sih? Buat aku tambah kesal saja.

"Oh, itu, em.. anu... ah, lupakan! Siapa namamu, aku lupa?"

Eh serius? Baru kemarin sore aku memperkenalkan diri dengannya. Mungkin saja suaraku terdengar kecil saat memperkenalkan diri kemarin, jadi tidak terdengar dengan kak Beliung.

Walau sedikit kesal dengannya, aku tak mengurungkan untuk kembali memperkenalkan diri padanya.

"Namaku---" Perkataanku terpotong saat suara seseorang yang datang memanggil namaku dan kini berada di sebelah kak Beliung.

***

"Hai, Alisa!"

Aku membulatkan mata bingung menatap remaja laki-laki yang baru datang di antara kami. Aku memperhatikan dua remaja di depanku bergantian. Bagaimana bisa wajahnya mirip dengan... sebentar...

"Kak Beliung?" Tanyaku.

Ia menaikkan satu alisnya dan menatapku bingung. "Iya, ini aku."

Iya, benar, itu kak Beliung. Aku ingat iris sapphire milik kak Beliung, warna rambut mereka -dan aku tentunya- juga sama persis. Kalau begitu, siapa remaja beriris gold yang mirip dengan kak Beliung?

Sepertinya kak Beliung sadar dengan suasana bingung di antara kami berdua. "Oh, kamu bingung? Iya, ini aku, Beliung, kalau ini adik kembar aku, namanya Kristal."

Aku mengangguk ragu mendengar pernyataan kak Beliung. Kenapa aku tidak kepikiran dengan istilah itu? Mereka kembar rupanya.

"Kris, ini anak yang aku ceritain ke kalian kemarin. Namanya Alisa A, cantik, 'kan?" Kak Beliung kembali memperkenalkanku pada adiknya yang  diangguki olehnya. Aku malu saat ia mengatakan cantik tadi di depan adiknya, tapi aku memang cantik.

Kak Beliung sudah menceritakan tentang aku lebih dulu sebelum berkenalan, tapi kenapa terkejut melihatku tadi?

Aku masih sedikit bingung, jika kak Beliung beriris sapphire, dan kak Kristal -yang baru aku tahu namanya- beriris gold, lalu siapa yang di antara mereka pernah memakai iris ruby kemarin?

"Kamu kenapa, Alisa? Seperti bingung begitu, ada apa? Oh, ya, panggil aku 'Liu' saja!" Tanya kak Beliung -eh,kak Liu- yang membuatku tersadar akan lamunanku.

Aku menggangguk ragu. "Itu kak, siapa diantara kalian yang bisa merubah warna iris mata kalian?"

Mereka berdua mengernyit bingung, kak Kristal menggaruk pipinya yang tidak gatal, sedangkan kak Liu terkekeh kecil.

"Tidak ada yang bisa." Jawab kak Liu yang semakin membuatku bingung. Kalau mereka tidak bisa, siapa? Kembar tiga, mungkin.

"Yang kamu maksud iris warna apa?" Tanya kak Kristal.

Aku berpikir sebentar sebelum menjawab. "Iris warna ruby, kak."

Mereka saling tatap dan setelahnya kak Liu menjawab pertanyaanku.

"Oh, iris ruby itu milik kakak kembar sulung kami." Tepat sekali, seperti pemikiranku -yang bahkan hampir tidak pernah salah. Jadi mereka kembar tiga gitu?

Belum sempat aku bertanya lagi, kak Liu lebih dulu berbicara, meminta kami untuk kembali ke meja kantin.

"Eh, minuman kak Kristal, gimana?" Tanyaku saat mereka beralih pergi.

"Sudah ku pesan lagi, tenang saja!" Jawab kak Liu tanpa menoleh.

"Tapi kak---"

"Tidak masalah, kami pergi dulu!" Potong kak Kristal, ia sempat menoleh dan memberikan senyum manis ke arahku.

Dalam diam aku membatin sambil terkekeh kecil lagi. Kak Kristal manis, beda jauh sama kak Liu.

***

Aku bergegas kembali menuju meja kantin, karena pertemuan ku dengan dua senior kembar tadi membuatku lupa akan pesanan makanan yang aku pesan.

Aku mengatur napas dalam-dalam, juga menarik oksigen sebanyak-banyaknya, toh tidak akan habis juga. Cukup jauh aku berlari dari satu bagian pojok ke bagian pojok lainnya dengan jarak puluhan meter, bahkan aku hampir saja kembali menabrak orang jika aku tidak sigap berhenti.

"Oi, kemana saja kau? Pesan makanan saja sampai belasan menit." Baru saja aku duduk, lontaran pertanyaan dari Zrine sudah menggema di telingaku.

Aku menarik napas dalam sebelum menjawab. "Ada - masalah - tadi - huh!" Sudah mengambil oksigen saja masih terbata-bata.

"Nih, makan, sebelum bel istirahat selesai!" Zahra menyodorkan sebuah camilan kacang hijau dengan rasa jagung padaku, aku menatapnya bingung.

"Bakso kau sudah kumakan." Aku menatap Bryant yang menunjuk sesuatu di depannya.

Benar saja, dia bahkan sudah menghabiskan makanan favoritku. Untung saja jus apel biru ini tidak sekalian ia habiskan.

Saat aku sedang menyeruput jus apel biru pesananku sambil memakan beberapa biji kacang hijau rasa jagung, aku mendengar suara tak asing yang sangat dekat jaraknya.

"Enak sekali, ya, kami menunggunya lama, ia malah santai seperti itu." Salah seorang dengan suara menjengkelkan.

"Biarkan dia makan dulu, kak!" Satu lainnya menyahut.

"Kau darimana saja, Na! Mereka sedari tadi menunggumu untuk memberi informasi." Zahra di sebelahku berbisik pelan. Aku meliriknya.

"Siapa?" Zahra memutar bola matanya seakan memintaku untuk mengikuti arah pandangnya sekarang.

Tepat saat aku mengikuti arah pandang Zahra, mataku membulat kembali. Ada apa lagi ini? Dua senior kembar itu, sejak kapan mereka ada di meja ini bersama keempat -lima, juga Nolan- sahabatku? Pantas saja suara mereka tidak asing.

"Kak Liu! Kak Kristal! Sejak kapan kalian ada di sini? Bukannya tadi kalian pamit pergi? Kok---mpptt..." Mulutku terbungkam oleh sebuah roti dengan selai mangga hitam favorit Alfa yang di sodorkan oleh Bryant.

"Oi, my favourite!" Alfa berseru tak Terima melihat roti favoritnya tengah membungkam mulutku.

Aku menarik roti itu kasar dan segera memberi sengatan listrik kecil pada Bryant dari jarak dua meter di depanku. Aku menggeram kesal, bagaimana Nolan mau saja di minta berpindah tempat duduk dengan makhluk sialan ini?

Bryant menarik tangannya cepat setelah mendapat sengatan listrik kecil dariku, ia mengibaskan tangannya. Ia kembali ke kursinya semula yang berada di depan Zrine, juga Nolan yang kembali duduk di kursi di depanku.

"Tega kau, Na." Katanya sambil memasang wajah melas.

Aku merotasi kan mataku, malas mendengar ocehannya. "Kalau kau tidak membungkam mulutku dengan roti alien itu, aku juga tidak akan menyengatmu. Lagipula aku hanya memberikan sengatan dengan skala kecil."

Alfa yang mendengar roti favoritnya telah di katai olehku langsung menyerocos padaku. "Roti yang terbuat dari gandum langka dan selai mangga hitam yang manis ini, kau bilang roti alien, hah?"

Aku menatap Alfa merinding, sepertinya Alfa lebih menakutkan saat ia cerewet dari pada saat sedang marah.

Bryant terkekeh kecil saat Alfa menyerocos padaku. Tatapannya seakan berkata 'mampus kau!' padaku.

"Dan kau! Kenapa tega mengambil jatah terakhir camilan favoritku?" Bryant membungkam, memasang wajah tanpa dosa ke arah Alfa. "Kalian berdua!"

Aku terkekeh kecil melihat Bryant bungkam, membalasnya dengan arti tatapan yang sama padanya. Mampus juga, kau!

"EKHEM!"

Aku tersentak kaget mendengar dehaman keras seseorang di kursi bagian ujung tengah meja, tapi aku tetap berpaling dan tidak menatap si pemilik dehaman itu.

Bryant membungkam, menatap takut kearah seseorang pemilik dehaman. Sedangkan Alfa hanya duduk diam dan mengalah, kalau bukan suara dehaman keras itu, pasti aku dan Bryant sudah habis di hajarnya.

Suasana masih canggung dan aku sama sekali tak berani mendongakkan kepalaku untuk mengetahui pemilik dehaman keras tadi, apalagi menatapnya. Pura-pura -memang sedang- menikmati jus apel biru.

"Emm, jadi, kak Beliung dan Kak Kristal sudah mengenal Alisa?" Entah demi apa? Dalam keadaan canggung seperti ini, Zahra bisa-bisanya bertanya polos.

Aku sedikit melirik dua senior kembar itu, juga satu remaja laki-laki yang berdeham keras tadi. Aku baru sadar jika ada tiga orang baru di meja ini.

Kak Liu dan kak Kristal mengangguk serempak menanggapi pertanyaan Zahra. Setidaknya lebih bagus, daripada harus terus terperangkap dalam keadaan canggung seperti ini.

Setelahnya, Zrine ikut menyahut, memberikan pertanyaan dengan topik yang sama. "Sejak kapan?"

"Kalau aku, sih, sejak kemarin sore di Perpustakaan Asrama. Oh, ya, panggil aku, Liu saja!" Jawab kak Beliung.

Zahra, Zrine dan Nolan mengangguk. Jangan tanya tanggapanku, Alfa dan Bryant! Tentu saja hanya diam dan saling memberikan sumpah serapah dalam hati.

Kak kristal menyusul setelah di beri kode dari naiknya alis kak Liu. "Aku baru beberapa menit yang lalu."

Mereka berdua, alias duo Zahra itu mengangguk paham. "Kalau kak Voltra, juga sudah saling kenal dengan Alisa?" Tanya mereka serempak.

Kak Voltra? Siapa? Oh, mungkin remaja laki-laki yang berdeham keras tadi. Aku tidak mengenalnya.

Alih-alih aku mendengar jawaban tidak, remaja itu malah memberikan jawaban yang membuatku bingung sendiri.

"Sudah." Aku mengernyit bingung, bertemu saja tidak.

Bryant dengan santai menyahut bertanya lagi. Tidak puas 'kah mereka bertanya-tanya lagi?

"Oi, dimana? Kau bahkan tak pernah bercerita apapun tentang mereka bertiga, Sa."

Aku mendengus malas, untuk apa? Aku bahkan mengenal mereka juga tidak sengaja karena bertabrakan -juga paksaan- dengan dua senior kembar itu.

Remaja yang di panggil 'kak Voltra' itu kembali memberikan jawaban yang membuatku terkejut bukan main kali ini.

"Di Koridor Lord Akademi, depan Laboratorium Teori Alam."

"Uhuk! Uhuk! Akhh, sakit!" Anggap saja itu adalah suara saat aku batuk dan seruan mengaduhkan tenggorokanku yang sakit.

Zahra dengan cepat memukul pelan punggungku, Nolan bergegas memberikan air putih manis padaku.

"Nih, minum dulu!"

"Makannya, kalau minum pelan-pelan! Asal sruput aja seperti tak minum bertahun-tahun." Omel Zrine sambil menggelengkan kepalanya.

Aduh, bukan itu! Aku tersedak karena mendengar jawaban kak Voltra tadi. Eh, tunggu, tadi ia bilang pernah bertemu denganku di Koridor Lord Akademi depan Laboratorium Teori Alam, 'kan?

Satu buah laci di memori otakku terbuka lebar, menampilkan berkas ingatan beberapa hari lalu. Aku segera menoleh untuk memastikan, jangan-jangan... Tepat sekali! Pemilik iris ruby itu yang tidak sengaja kutabrak di Kooridor Lord Akademi depan Ruang Teori Alam. Jadi, kak Voltra itu...

***

Next episode 17...