Alna :
Waaahh... Besar juga kamar kita." Kata Zrine kagum. Ia melompat-lompat girang seperti anak kecil yang mendapatkan hadiah. Aku dan Zahra hanya bisa menggeleng maklum.
Bangunan asrama berdiri di sebelah kiri bangunan Akademi yang berjarak enam kilometer dan sepertinya hanya bangunan Akademi dan bangunan Asrama yang memiliki bentuk biasa pada umumnya. Asrama putra dan putri memang saling berhadapan, tapi di pisahkan dengan bangunan perpustakaan dan Ruang Makan Asrama di tengah bangunan di Asrama. Ada lima lantai yang di bangun untuk kamar Asrama, setiap lantai juga memiliki tingkat yang sama dengan tingkat kelas Akademi, ada sekitar seratus kamar di setiap koridor Asrama.
Aku sangat terkejut dan bersyukur saat mengetahui jika Zahra dan Zrine berada di satu kamar yang sama denganku. Kamar kami berada di lantai satu dengan nomor E1/3 dan rata-rata semua bangunan di Galaksi ini berwarna biru. Tiga ranjang mengambang dengan berjejer rapi di sisi kanan, tiga lemari cermin berada di sisi kiri, tiga meja belajar dengan tiga kursi mengambang di sisi tengah, tiga kamar mandi berada di sisi pojok kanan sebelah pintu masuk. Kamar ini sangat besar, mungkin sebanding dengan ukuran setengah dari stadion sepak bola di Planet Bumi. Selain itu, kita dapat merubah warna, desain, dari benda dan perabotan di sini. Kami bahkan bisa membuat gradasi warna langit-langit dengan warna kesukaan kami, jadilah gradasi warna antara biru, merah muda dan kuning.
"Kalian mengapa tidak jujur denganku soal lotere itu?" Aku membuka pembicaraan lebih dulu. Aku memang berniat untuk bertanya.
"Oh, itu. Tidak apa, hanya asal bicara." Zrine menjawab santai. Ia sedang berguling-guling di atas kasur.
"Lagipula, yang Zrine katakan benar, bukan?" Zahra membela. Ia sedang membaca novel yang berbentuk hologram, ia mendapatkannya di dalam lemari cermin miliknya.
Aku mengangguk, membenarkan perkataan Zrine. Lagipula kita sudah mendapatkan beasiswa itu, jadi aku tidak akan mencari cara untuk membiayai semua aktivitas di Planet ini.
Aku melihat jam hologram yang ada di atas meja yang mengambang di sebelah ranjangku.
"Kenapa, Na?" Tanpa menoleh pun, Zahra bisa tahu jika aku sedang bingung.
"Kenapa rasanya kalian yakin sekali dengan semua kebenaran Galaksi ini?" Aku merebahkan diriku di atas ranjang, mataku menatap langit-langit ruangan.
"Maksudnya?"
"Entahlah. Lupakan!"
Aku menutup mataku, mencoba tidur seperti Zrine. Tidak biasanya Zrine tidur cepat, biasanya ia akan belajar terlebih dahulu. Jika saat seperti ini, aku sedang berkumpul bersama Papa dan Mama di ruang keluarga, menghabiskan waktu malam bersama hingga waktu tidur tiba.
Zahra menghentikan aktivitas membacanya, kini sedang menatapku. Aku tahu, Zahra pasti sangat mengerti apa yang aku rasakan saat ini.
"Kalau kau memang tidak bisa mengungkapkannya sekarang, tidak apa, aku akan menunggu, Na." Katanya sebelum kembali membaca novel.
Saat aku ingin mencoba tidur, ada sesuatu yang terlupa hingga membuatku terkejut. Mataku kembali terbuka, mengambil tas yang menempel di pinggang kiriku. Zahra menatapku sekilas sebelum ia kembali membaca novelnya.
"Moonbot, kamu di dalam?" Panggilku sambil menggoyangkan tas ini.
Beberapa detik kemudian, Moonbot keluar dari dalam tas itu. Mata hologramnya menampilkan tanda tanya, jangan lupakan kepalanya yang oleng saat mengambang.
"π°πππ...!"
Bukankah di dalam tas ini memiliki kotak penyimpanan otomatis yang bisa membuat benda di dalamnya tidak akan saling bertabrakan.
"π°ππ πππππ πππ, πππππ πππππ ππππ."
Eh, benar juga. Aku hanya nyengir menanggapi perkataan Moonbot, membuatnya semakin kesal. Dia pasti terguncang si dalam kotak penyimpanan saat aku menggoyangkan tas ini dengan kencang.
"Maaf!"
"π·π, ππππ πππππ πππππ πππ πππ ππ πππππ πππ πππ?"
"Iya, maaf, bener!"
Moonbot tak menanggapi, ia beranjak ke atas charger khusus Power Sphera yang baru kuambil dari dalam tas lalu meletakkan dirinya di dalamnya.
Aku tersenyum melihatnya. Pandanganku beralih melihat Zahra yang masih setia dengan novelnya.
"Kau suka novel, Ra?" Tanyaku.
"Hanya ingin membaca saja, sekali-sekali."
"Oooh, kau tidak tidur? Sudah pukul setengah sebelas malam."
Zahra menatapku, lantas tersenyum. "Tidurlah dulu, Na!"
Aku mengangguk pelan. Setelah merasa posisi tidurku nyaman, aku menarik selimut lantas menutup mata, mulai menyelami dunia mimpi.
***
Mataku perlahan terbuka mendengar suara Zahra yang memanggilku.
"Na! Shubuh, Na, bangun!" Katanya sambil menepuk pelan pipiku.
Aku beranjak duduk, mataku menatap Zahra dengan pandangan yang masih kabur. Selanjutnya aku mengangguk, mengiyakan perintah Zahra.
Aku berjalan gontai ke kamar mandi, hendak menjalankan ritual di dalamnya. Selama lima belas menit aku menjalankan ritual pagi itu, setelahnya menjalankan sholat shubuh dan beranjak duduk di kursi belajar yang mengambang.
Aku benar-benar merasakan sensasi yang berbeda saat aku mandi. Di Planet ini lebih ramah lingkungan, tidak menggunakan air, tapi angin. Seperti berada di atas awan yang berjalan melewati angin sepoi-sepoi yang berhembus kencang di sekitarnya.
"π·ππ, π½π!" Sapa Moonbot yang sedang mengambang di sebelahku.
"Hai, juga. Oh, iya, apa kau akan ikut saat aku sekolah, Moonbot?" Moonbot menatapku. Tangannya menggaruk atas kepala besinya.
"πππππ, πππππ."
"Kenapa?"
"πππππππ πππππππ ππ ππππ πππππ πππππ πππππππ πππππππ ππππππππππππ, πππππππ π°ππππππ πππ ππππ πππππππ ππ πΏπππππ π±πππ, π½π." Aku mengangguk benar juga, jadi aku tidak bisa membawa tas canggih yang biasa menempel di pakaian
***
Pukul enam, kami bertiga sudah keluar dari kamar asrama, kini sedang berjalan menuju Ruang Makan Asrama. Kami sudah mengganti pakaian kami dengan seragam Akademi, yang di katakan Miss Alexandra memang benar, pakaian ini sama seperti pakaian di Planet Bumi, hanya saja lebih bagus dan nyaman. Kemeja lengan panjang berwarna putih yang menjulur hingga lutut, seperti tunik memang, beberapa bagian di tambah dengan motif kotak-kotak yang di beri warna dengan selera si pemakai. Di pinggang kemeja ini, ada sebuah helai pita yang melingkar, ada pita yang sudah terbentuk rapi melapisi helai pita di sebelah kiri. Sebagai bawahan, kami menggunakan celana Jenis ankle puff dengan warna senada dengan kemeja kami. Terakhir aku memakai kerudung segi empat yang sedang trend di Planet Bumi, dengan warna biru, senada dengan celanaku. Begitu juga dengan Zahra yang juga memakai kerudung segi empat dengan warna merah muda kesayangannya.
Beberapa menit berlalu, kami tiba di Ruang Makan Asrama. Ruang makan ini berada di antara bangunan Asrama putra dan putri, tepat di sebelah Perpustakaan Asrama, ruangannya luas seperti satu stadion sepak bola terbesar di Bumi, ada ratusan meja dan kursi makan yang mengambang.
Kami bertiga duduk satu meja di urutan ketiga yang di tunjukkan oleh kartu hologram dengan nomor P1/3, setiap meja di ruang makan ini juga memiliki tingkatan kelas tersendiri yang di bedakan dengan jumlah angka di belakang huruf P, barisan meja juga di sesuaikan dengan nomor urut kamar Asrama.
Tidak sulit untuk memesan makanan di sini, hanya perlu memilih menu makanan yang tersedia lewat hologram di atas meja, detik selanjutnya, makanan dan minuman sudah tersedia di atas meja, terbentuk begitu saja. Makanan di Planet ini cukup aneh saat aku sedang memesan makanan tadi, tapi akan lebih aneh lagi jika sudah ada di depan mata. Ada biskuit yang berbentuk bulat dengan aroma nastar, mi goreng dengan aroma sup, bakso dengan warna merah, dan tiga jus dengan rasa yang berbeda.
"Ini bisa di makan?" Zahra dan Zrine menatapku bingung, setelahnya mereka tertawa.
"Oi, makanan di sini pun sama dengan di Bumi. Beda bahan saja, mungkin." Aku mengangguk paham dengan perkataan Zrine.
"Hai, kalian!" Panggilan itu mengambil alih perhatian kami bertiga yang hendak makan.
Ada Bryant, Alfa dan entah siapa, aku tidak tahu, mungkin teman baru mereka saat di asrama. Setiap kamar di Asrama memang di isi dengan tiga orang, mungkin saja itu teman sekamar mereka.
"Hai, juga, Anthon." Jawab Zahra dan Zrine ramah.
"Kami duduk di sini, boleh?" Aku melanjutkan makan, tak peduli dengan tiga makhluk di depan kami.
Aku baru tahu, jika meja makan di ruangan ini juga tersambung dengan asrama putra. Satu meja masing-masing berisi enam kursi yang di tempati oleh pemilik nomor kamar, dan ternyata nomor kamar mereka bertiga sama dengan kami.
"Bagaimana hari pertama kalian?" Tanya Zrine.
"Tentu menyenangkan sekali, tidak menyesal aku ikut kalian ke sini." Alfa merotasikan matanya malas mendengar ocehan Bryant.
"Bagaimana dengan---"
Sadar karena ingin di tanya, remaja laki-laki yang duduk di depanku itu langsung memotong Zrine cepat. Menjawab dengan bahasa baru lagi bagiku.
"Nolan, salam kenal. Tentu baik-baik saja, mereka berdua teman yang baik." Zrine dan Zahra mengangguk.
"Aku Fa Za, ini Rin dan ini---" Perkataannya kembali terpotong, Lagi-lagi Nolan yang memotong.
"Alisa A." Kepalaku mendongak menatap Nolan. Aku baru melihat wajahnya sempurna sekarang, kulit putih, rambut lurus hitam kemerahan, hidung mancung. Ia juga mengenakan hem putih seragam berlengan pendek dengan rompi merah tanpa lengan.
Semua pasang mata di meja ini menatapku serempak sekarang. Aku jadi salah tingkah di perhatikan mereka berlima seperti itu. Toh nama kita berlima sudah tenar, kita yang memenangkan beasiswa Akademi itu kemarin. Kenapa aku jadi salah tingkah seperti ini?
"Apa lihat-lihat?" Mereka berempat serempak menggeleng lalu kembali melanjutkan aktivitas mereka. Nolan tersenyum kecil.
"Kenapa kau tertawa?" Tanyaku ketus.
"Lucu saja melihatmu salah tingkah tadi." Jujurnya yang membuatku semakin salah tingkah. "Lupakan! Ngomong-ngomong, aku juga dari Galaksi Bima Sakti."
"Oh, ya. Planet Bumi juga?" Entah mengapa aku jadi antusias sekali ingin bertanya, tak heran juga, aku senang mempelajari dan mengetahui hal yang berkaitan dengan Galaksi. Keempat sahabatku itu malah saling tatap.
"Bukan, Planet Mars."
"Uhuk," Aku tersedak mendengar jawaban Nolan.
"Nih, minum!" Zrine menyodorkan air putih ke arahku. Aku menegaknya, manis? Lupakan!
"Oi, kenapa kau?" Tanya Nolan tiba-tiba.
"Biasalah, tersedak meteor tadi." Celetuk Bryant. Aku menatap Bryant tajam. Nolan tertawa kecil.
Aku tak menghiraukan Bryant. "Jadi, Planet Mars memang memiliki kehidupan?" Tanyaku pada Nolan. Penasaran tepatnya.
Nolan mengangguk. "Planet Mars tidak membuat kehidupan di daratan seperti Planet Bumi. Planet Mars membuat kehidupan yang berada jauh di dalam perut Mars."
"Mengapa? Bukankah lebih bagus jika berada di daratan?" Nolan menggeleng pelan sembari memakan biskuit yang sempat ia pesan tadi.
"Daratan terlalu berbahaya, selain tarikan gravitasi yang rendah dan tidak stabil, kami juga menghindar dari segala kemungkinan besar dari Planet Bumi." Aku mengangguk, Nolan kembali melanjutkan. "Penduduk Planet Bumi memang tamak dan rakus, mereka terus saja menciptakan berbagai macam benda berteknologi canggih hanya untuk kepentingan diri mereka sendiri."
"Kau benar, Nolan. Satu negara dengan negara yang lain benar-benar tamak akan kekuasaan, mereka saling menyerang, menyakiti, merampas satu sama lain. Bahkan mereka terus saja masih saling membunuh meski sudah banyak nyawa yang melayang." Zrine menimpali, sesekali menyeruput jus berwarna biru miliknya.
Tapi Planet Bumi tidak pernah memiliki pernyataan perang dengan Planet Mars. Tentu saja tidak, penduduk Planet Mars memiliki kehidupan jauh di perut Mars, sangat tersembunyi, itu yang menjadi alasan para astronomi masing-masing negara yang menyatakan tidak adanya kehidupan di Planet Mars. Selama ini, mereka hanya ingin mencoba memberi kehidupan di Planet itu.
"Mengapa kalian melakukan semua itu? Penduduk Planet Bumi hanya ingin memberi kehidupan di daratan saja, bukan?" Nolan menatapku.
"Tidak hanya untuk memberi kehidupan, lebih dari itu. Penduduk Planet Bumi akan selalu mencoba dan mencoba untuk membuat pengamatan dan penelitian setiap detik, mereka tidak mudah untuk menyerah. Karena itu, penduduk Planet Mars selalu berusaha untuk tetap membuat tekanan gravitasi di daratan tetap rendah, membiarkan tidak ada tumbuhan, hewan atau segala macam makhluk hidup lainnya hidup liar di daratan, teknologi kami akan menyerap apapun yang berhasil hidup di daratan. Air saja kami mendapatkannya dari embun pagi, uap matahari, dan lain sebagainya." Lanjut Nolan lagi. Pantas saja menanam pohon di Planet itu sulit, semua nutrisi akan di serap oleh teknologi yang mereka buat agar tidak ada yang tumbuh.
"Bagaimana jika penelitian mereka berhasil? Apa yang akan terjadi memang?" Nolan tampak berpikir sebelum menjawab pertanyaanku.
"Banyak tanya sekali kau hari ini? Penasaran atau ingin basa-basi dengan kawan baru, heh?" Aku menatap Bryant datar.
Nolan tertawa kecil sebelum kembali menjawab pertanyaanku. "Mereka akan memindahkan beberapa penduduk Planet Bumi ke Planet Mars untuk membangun kehidupan baru di sana. Dan itu akan menjadi dampak besar bagi kehidupan di bawah tanah, membuat kehidupan yang berada di bawah tanah menjadi tidak seimbang. Bahkan akan lebih buruh dari itu, ekosistem dan kehidupan bawah tanah akan hancur."
Aku menatap Nolan tak berkedip. Benarkah? Itu bahaya sekali, andai saja aku bisa berada dekat dengan mereka, mungkin aku bisa memberitahukan informasi ini pada mereka. Ilmuan, Profesor, pejabat negara, presiden, semuanya sama, Sama-sama tamak. Tapi percuma juga. Aku tidak habis pikir dengan kehausan mereka akan penelitian itu.
***
Drrt... Drrt... Drrt...
Suara getaran dari masing masing kartu hologram murid membuyarkan aktivitas kami. Masing-masing kini sedang mengecek kartu hologram mereka, begitupun denganku.
"Jam enam lebih empat puluh lima, sudah waktunya berangkat." Kami semua mengangguki perkataan Nolan.
Pukul tujuh tepat, kami sudah harus berada di kelas masing-masing, karena itu kami di beri waktu untuk mempersiapkan diri sebelum berangkat ke Akademi.
Setelah kepergian tiga laki-laki di meja makan kami, kami bertiga juga langsung berjalan keluar dari ruang makan. Tak perlu membawa peralatan apapun untuk di bawa, toh kartu hologram ini canggih, selain sebagai alat petunjuk, tanda pengenal, jadwal aktivitas, kartu ini juga di lengkapi dengan akses buku hologram yang dapat mencatat berbagai kegiatan yang kami lakukan.
Kami sedang menunggu kapsul terbang Akademi di gerbang utama Asrama yang akan menjemput kami di Asrama, kapsul terbang akan menjemput kami di lokasi yang kami tempati. Aku tadi sempat mengeluh karena tidak mau berjalan kaki ke Akademi, itu karena aku tidak tahu jika kami akan di jemput, tidak mungkin Miss Alexandra tega membiarkan muridnya berjalan jauh dengan jarak enam kilometer untuk menuju ke Akademi, tidak masuk akal.
"Lama sekali, bagaimana kalau kita terlambat?" Aku menoleh ke arah sumber suara yang ternyata ada di belakangku.
"Nolan?" Ia mengangguk. Bryant dan Alfa juga ada bersama Nolan ternyata.
"Sepertinya, aku akan menjadi anggota baru di tim kalian." Ia maju selangkah, menjajarkan barisannya denganku.
"Apa? Tim, maksudmu?" Nolan mengendikkan bahu.
"Lupakan! Kapsul kita sudah tiba."
Benar, satu kapsul terbang dengan lambang Akademi sedang menuju ke arah kami berenam berada. Kapsul terbang kini berhenti melaju, mengambang sekitar satu meter di atas tanah, pintu kapsul terbuka, sebuah tangga terjulur di depan kami.
Tidak ada yang berubah saat kami menaiki kapsul ini kemarin, hanya saja, bertambah satu kursi terbang di dalamnya. Alfa, Bryant dan Nolan duduk di bangku belakang, sisa tiga bangku di depan untukku, Zahra dan Zrine. Setelah pintu tertutup dan sabuk pengaman sudah terpasang otomatis, kapsul terbang mendesing pelan, lantas melaju dengan kecepatan stabil yang mengambang lima meter dari tanah.
Ternyata setelah seluruh calon murid sudah resmi berada satu malam di Asrama, semua akses data murid sistem otomatis akan tersambung ke sistem khusus. Sama seperti di Ruang mlMakan Asrama, kapsul ini juga sudah tersambung dengan kamar Asrama, kapsul ini akan menjemput pemilik asrama dengan nomor kamar yang telah terdaftar.
Lupakan untuk hal itu! Kehidupan baru telah dimulai sekarang. Kami siap berangkat menuju Akademi Putri Purnama.
***
Next episode 13...