"ASSALAMU'ALAIKUM, WAHAI PENGHUNI NERAKA JAHANNAM!" Seru seorang remaja laki-laki yang baru saja memasuki kamar asrama dengan nomor A1/1.
Semua orang yang berada di kamar itu terperanjat kaget mendengar seruan keras darinya. Alih-alih mendapat jawaban, remaja itu malah mendapat lontaran batu kristal milik salah seorang dari mereka.
"Aduh! Apaan sih, Kristal? Bukannya jawab, malah main lempar sembarangan," Gerutunya kesal, tak lupa mengerucutkan bibirnya, pura-pura merajuk.
Remaja yang di panggil 'Kristal' itu menatap kesal ke arahnya. Aktivitas belajar bersama sudara-saudaranya jadi terganggu karena alien sengklek dari Planet terbengkalai itu. "Kak Liu lupa habis di cincang sama Al kemarin? Masih mau lagi?"
Dia Beliung, remaja itu langsung meneguk ludahnya dalam-dalam. "Maaf, Kris!"
"Makanya, kalau salam itu yang bener! Ada adabnya tahu!" Sahut remaja di samping Kristal.
"Tahu apaan emang, Gam?" Tanya Beliung, bermaksud untuk bercanda.
"Salam dulu yang bener, kak!" Kristal berkata lagi, meminta Beliung untuk kembali mengucap salam dengan benar.
Beliung mendengus sebal, tapi ia tetap menuruti permintaan adik kembar ketiganya itu. "Assalamu'alaikum, wahai, sang penghuni syurga!" Sengaja memelankan intonasi suara juga melembutkan tekanan suara.
"Wa'alaikumussalam, kak!" Serempak semua orang yang ada di kamar itu menjawab.
"Nah, gitu napa dari tadi, kan enak di dengernya juga." Kata Beliung sambil tersenyum manis tanpa makna di dalamnya.
"Kakak ngajak berantem?" Kristal kembali bersuara, kesal dengan makhluk satu ini. Bagaimana bisa ada manusia se-bar-bar kakaknya ini? Tapi lebih baik di banding adik kembar keempat mereka.
Beliung menanggapi pertanyaan Kristal dengan cengiran khas yang ia tiru dari Kuda Gurun Planet Volle Maan. Beliung mendudukkan dirinya di sebelah adik kembar keenam yang sedang fokus menulis sesuatu di atas kertas.
Heran dan bingung juga, jika Planet Volle Maan sudah mulai tidak menggunakan pensil atau pulpen untuk menulis dan kertas sebagai alasnya sejak tiga abad yang lalu, tetapi si kembar keenam ini lebih suka menulis dengan cara lama Planet ini, maklum saja, dari semua saudaranya, hanya dia yang tidak terpengaruh dengan pesatnya perkembangan teknologi.
"Al, kok masih nulis pakai pulpen sama kertas sih?" Karena penasaran, ia bertanya pada Balak, si kembar keenam.
Balak menatap Beliung, menampilkan raut wajah berpikir ala anak kecil usia TK. "Susah, kak kalau pakai hologram, Al gak paham."
Beliung hanya mengangguk, rasa penasarannya memang belum reda, ingin bertanya lagi pada Balak, tapi pertanyaan dari Kristal lebih dulu menyela.
"Kok sendirian, kak? Bukanya tadi, kakak keluar sama Kak Voltra dan Pyro?" Tanya Kristal. Ia baru sadar saat memperhatikan ada yang kurang dari saudaranya.
"Masih di Perpus kali," Kristal hanya menanggapi dengan ber-oh pelan.
Zzzttt...
Sebuah petir biru merambat tepat mengenai tubuh Beliung, ia tak sempat menghindari serangan tiba-tiba dari seseorang. Alhasil, Beliung pingsan dengan gaya tidak elitnya karena sambaran petir biru seseorang.
Balak di sebelah Beliung yang pingsan bernapas lega, untung saja ia tidak terlalu dekat atau menempel dengan tubuh Beliung tadi, pasti sudah pingsan dengan rambut mengembang seperi Beliung.
"Kak Voltra, kenapa sih?" Kristal menyentak Voltra refleks karena terkejut.
Sedangkan Balak terkejut karena melihat Kristal berani menyentak kakak sulung mereka. Setahu Al, gak ada yang berani sentak kak Voltra kecuali Ayah.
Benar sekali, petir biru yang menyambar tubuh Beliung itu milik Voltra, kakak kembar sulung mereka, sang pengendali Elemen Petir. Panjang umur, baru saja mereka membicarakannya.
"Datang-datang gak salam kek, permisi kek, asal nyambar aja! Untung serangan kakak selalu tepat." Sambung remaja di sebelah Kristal, sang pengendali Elemen Cahaya, Gamma.
Voltra menatap tajam ke arah Kristal dan Gamma, membuat mereka bergidik ngeri. Kristal memang takut, tapi berusaha membalas tatapan Voltra dengan tajam, sedangkan Gamma? Dia menyesal dan merutuki dirinya tadi, lupa dengan siapa ia berbicara.
Harusnya gua tahu, siapa yang gua omelin tadi? Batin Gamma.
"Keluar lo semua dari kamar gua!" Titah Voltra tegas pada adik-adiknya. Ia bahkan tak menambahkan nama pemilik lain kamar itu, padahal Beliung dan Kristal juga menghuni kamar itu bersamanya.
Cepat-cepat Balak dan Gamma membereskan peralatan yang mereka bawa ke kamar ini, lantas berlari pergi meninggalkan kamar tiga kakak kembar mereka.
Kristal bingung harus berbuat apa, haruskah ia keluar juga dari kamar ini? Ia menolak keras pikiran itu, ini kamarnya, untuk apa ia harus keluar. Ia tahu maksud Voltra memang meminta keluar, tapi bukan dirinya, melainkan orang-orang selain penghuni kamar ini. Kalau saja bukan permintaan Kristal dan ikatan batin mereka yang tinggi satu sama lain, Voltra pasti tidak akan mau satu kamar dengan Beliung yang menyebalkan.
***
"Aduh..." Eluh Beliung yang baru sadar beberapa menit dari pingsannya. Ia baru menyadari jika Balak dan Gamma pergi. "Kok sepi? Yang lain mana? Bukannya ada Balak sama Gamma tadi? Gua kenapa, ya Allah?" Rentetan pertanyaan dari Beliung menghasilkan jitakan dari Kristal.
"Bisa diem gak?"
Beliung melihat Voltra yang berbaring di atas kasurnya. Ia baru ingat, pasti Voltra yang menyambarnya dengan petir biru tadi sampai pingsan, setelah itu mengusir Balak dan Gamma dari kamar mereka.
Saat tidak sengaja memori di salah satu laci otak Beliung terbuka, ia mengingat sesuatu yang ingin di ceritakan pada saudaranya.
"Kris, lo tahu gak---" Perkataannya terpotong oleh Kristal.
"Gak, aku manusia." Beliung memberenggut kesal, tapi tetap antusias melanjutkan.
"Terserah! Lo tahu, tadi gua ketemu sama cewek cantik, tapi dia beda dari cewek-cewek lain," Lanjutnya antusias.
Kristal merotasikan matanya malas, ia beranjak mengambil buku di meja belajarnya, berkata "Paling juga lebih cantiklah, imutlah, menawanlah. Bosen dengernya itu-itu mulu, kak."
Beliung mendengus sebal, bukan itu yang ingin dia katakan. "Bukan, Kris. Kamu tahu, dia itu pakai kerudung dan tadi aku gak sengaja tabrak dia."
Kristal hampir saja antusias ingin ikut menimpali cerita Beliung, tapi kembali menolak keras. Ya, terus kenapa? Dia nangis, terus Beliung peluk gitu.
"Paling juga anak Bumi, kak." Sergahnya. Ia beranjak berjalan menuju meja belajarnya, kembali membaca buku yang sempat tertunda tadi.
Kalau di pikir lagi, apa yang dikatakan Kristal memang benar. Rata-rata agama muslim yang tersebar di penjuru Galaksi memang berasal dari Bumi, mereka juga mempelajari agama itu saat beberapa tahun terasingkan di Bumi.
"Iya, tahu. Tapi aku seneng banget pas liat wajahnya, teduh dan tenang, apalagi pas lihat iris matanya bercahaya, pas normal warnanya midnight blue, tapi pas bercahaya itu jadi pelangi. Bagus, 'kan? Kayak punya Ibu."
Deg...
Kristal menghentikan aktivitasnya, menunduk dalam saat nama Ibu terucap dari bibir Beliung. Ia mencoba bersikap biasa, tapi tetap saja tak bisa. Runtuh sudah pertahanan Kristal saat mendengar Beliung mengucapkan nama 'Ibu' tadi, itu adalah pusat terlemah mereka, selama ini mereka tak pernah merasakan adanya sosok seorang Ibu di kehidupan mereka.
Voltra terperanjat dari posisi berbaring, ia memang menutup mata tadi, tapi membiarkan telinganya tetap tajam mendengar suara-suara di sekitarnya. Saat mendengar cerita Beliung, ia jadi mengingat kejadian saat bertabtakan dengan orang yang sama dalam cerita Beliung.
Sadar apa yang telah diucapkan, Beliung menatap Kristal sendu. Ia berjalan mendekat ke meja belajar Kristal, terdengar suara isakan kecil yang Beliung yakini itu milik Kristal. Sejahil apapun dan setega apapun, Beliung tak pernah membiarkan saudara-saudaranya menangis pilu seperti itu, harusnya ia berhati-hati saat bercerita tadi, bukan asal melaju kencang tanpa rem yang malah membuat runtuh tembok pertahanan mereka.
"Kristal, maafin kakak, kakak gak sengaja, kakak cuma---" Perkataannya terpotong saat Kristal memeluk tubuhnya erat. Kalau biasanya ia akan menerima pelukan seseorang dengan bahagia, kali ini ia harus menerima pelukan seseorang dengan pedih. Di tambah lagi hatinya yang teriris, karena saudaranya menangis atas perbuatannya.
Dalam pelukan Beliung, Kristal meracau. "Aku kangen, kak sama Ibu, gak ada yang bisa ngalahin sosok Ibu, kak, gak ada yang bisa gantikan Ibu, gak ada!"
Beliung menganggukkan kepalanya, tetap tersenyum ceria dan mecoba memberi kepercayaan pada Kristal agar bisa tenang, walaupun sekarang pipinya sudah basah dengan air mata. Ia sedikit bersyukur karena Gamma dan Balak sudah pergi dari kamarnya, pasti akan lebih sulit lagi saat dua bocah itu menangis.
Voltra menundukkan kepalanya dalam, ia tak mampu melihat tangisan Kristal. Tak ada ekspresi yang ia tampilkan di wajahnya, tapi satu butiran bening lolos dari matanya tanpa ia minta. Biarkan orang bilang apa! Sekuat apapun ia menahan, pertahanan itu tetap runtuh jika sudah mendengar kata 'Ibu' terucap.
Ini alasan gua nggak mau cerita soal itu sama kalian. Kenapa lo tega ngomong gitu di depan Kristal, Li? Batinnya.
***
Next episode 16...