Chapter 8 - Episode 8

Gerbang utama halaman rumahku terbuka lebar. Aku memfokuskan pandanganku ke arah gerbang utama, Zahra dan Ais yang juga sadar menghentikan aktivitas mereka, ikut memperhatikan gerbang utama.

Gerbang utama kembali tertutup otomatis, menyisakan tiga orang remaja yang telah melewati gerbang, mereka berjalan menghampiri kami bertiga yang sedang duduk.

Alfa, dengan kaos putih yang di balut dengan jaket ungu, celana chinos panjang dengan warna abu, ditambah sepatu sneakers ungu bertali putih dan jangan lupa dengan kacamata visor dan sarung tangan lengketnya.

Zrine, kaos biru yang di lapisi dengan hoodie kuning berlengan pendek diatas siku, sebagai bawahan, ia memakai jenis celana slacks berwarna kuning, sepatu high-hop sneakers abu dengan beberapa motif garis-garis biru. Jangan lupakan bando biru dan kacamata kuningnya.

Bryant, kaos kuning yang di lapisi dengan jaket hijau, celana jogger panjang berwarna coklat, sepatu sneakers hijau lumut.

Karena keempat sahabatku itu sudah berkumpul. Aku mengajak mereka masuk.

"Kau yakin, Na, akan pergi?" Bryant yang ada di sampingku bertanya.

"Kau sendiri? Untuk apa kau ikut?" Aku balas bertanya.

"Ternyata aku bukan berasal dari Planet Bumi, Na. Orangtuaku yang bercerita." Wajahnya kusut sambil menatap was-was Zrine. Takut kalah bertaruh.

"Oh, ya. Darimana asalmu memang?" Aku memiringkan kepala.

"Entah, nama Planet dan Galaksi nya sulit untuk di ingat."

"Dasar, kau saja yang pelupa." Ejekku.

"Enak saja, diantara kita berlima, yang paling sering lupa itu kau."

Aku mendengus mendengar kalimat Bryant. Memang nyatanya, diantara kami berlima, akulah yang paling sering menjadi orang yang pelupa diantara mereka. Entah mengapa, hal kecil dan mudah saja aku bisa melupakannya selama beberapa menit kemudian.

***

Aku, empat sahabatku, Aisyah, Papa juga Mama, dan jangan lupakan Moonbot, kami semua sudah berkumpul di ruang tamu. Belum ada yang mulai berbicara, hanya sesekali terdengar suara seruputan dari minuman yang Bryant minum.

Masih pukul delapan pagi, hari-hari yang biasanya sudah terisi dengan banyaknya mata pelajaran di sekolah, kini terisi dengan atmosfer yang dingin, karena tidak ada yang membuka suara.

Jujur saja, sebenarnya aku sudah tidak tahan dengan suasana canggung diruang tamu ini sekarang. Aku akan mulai bicara untuk membuka topik, daripada aku membeku dalam kecanggungan.

"Kamu sudah persiapkan semuanya, Na?" Pertanyaan Papa menghentikanku bernapas.

Aku menjawab pertanyaan Papa setelah membuang napas yang tadi kuambil saat ingin bicara. "Sudah, Pa."

Sambil tersenyum kearah Papa, mataku menangkap wajah Ais yang kebingungan. Mungkin saja Ais tau apa yang sedang aku rasakan tadi.

"Kamu jaga diri baik-baik disana, jangan lupa makan, belajar yang rajin, istirahat yang cukup, dan satu lagi... " Mama menjeda ucapannya setelah memintaku ini-itu. "Kalau memang kamu masih tetap berada dalam lingkungan agamamu, jangan pernah tinggalkan apapun yang berkaitan dengan semua itu, ya, sayang!"

Aku mengerutkan dahi sambil menatap Mama. Aku tahu kalau soal itu, aku juga tidak mungkin meninggalkan kepercayaan yang aku yakini selama ini. Walaupun aku memang tidak berasal dari Planet Bumi, murtad namanya jika aku keluar dari suatu kepercayaan yang ku yakini.

Kembali memasang senyuman yang tulus ku perlihatkan pada Mama, tanda bahwa aku yakin dan tak akan pernah melakukan apa yang seharusnya tidak boleh terjadi.

"Kalian akan berangkat kapan?" Papa kembali membuka suara.

"Jika, Om dan Tante mengizinkan, kami akan berangkat sekarang." Zahra menjawab sopan. Jangan lupakan senyuman manis itu.

"Tunggu!" Sebelum Papa atau Mama menjawab, Ais lebih dulu berseru sambil beranjak dari duduknya.

Sontak pandangan kami semua tertuju pada Ais yang berdiri. Aku menatapnya terkejut, tapi tidak dengannya, tatapan matanya menyorotkan begitu banyak kesedihan yang tersimpan. Bola mata itu berkilau, menandakan ada genangan air yang tertampung di pelupuk matanya yang siap tumpah kapanpun itu.

Tes. Tepat sekali, Ais menangis. Ia berjalan ke arahku lantas memelukku erat, seakan tak pernah membiarkanku pergi dari sini.

Tak ada satupun kata yang keluar dari bibirnya. Tak ada kalimat indah yang bergeming di telingaku. Aku membalas pelukannya, mengelus punggungnya dengan lembut, penuh kasih sayang.

"Kakak, dan yang lain akan menunggu sampai kau lega, Syah." Tanganku bergerak naik keatas kepala Ais, mengusap kepala itu lembut.

Beberapa menit kami semua menunggu Ais yang masih menangis dalam dekapan ku.

Aku sempat bertatapan dengan Papa dan Mama di balik dekapan Ais. Tangisan Ais seakan mewakili semua kesedihan yang berada di dalam rumah ini. Aku yakin, di halaman belakang pasti para asisten rumah tangga yang bekerja sedang berkumpul di sana, meratapi semua kepedihan hari ini.

Ais mendorong pelan bahuku, aku hanya menurut. Tatapan matanya sendu, entah apa yang ingin Ais katakan, aku tidak bisa menebaknya.

"Kakak, boleh pergi sekarang. Aku disini akan tetap menunggu, walaupun aku tahu nanti tak akan bertemu, kak." Katanya lirih sebelum kembali duduk di sofa yang ia duduki tadi.

Aku bergantian menatap Zahra, Zrine dan Alfa. Zahra balas menatapku, tatapannya menyorotkan rasa yakin atas kepergianku, begitu juga dengan Zrine yang balas menatapku dengan senyum cerianya, sedangkan Alfa, ia mengalihkan pandangannya kearah lain.

"Eh, tunggu!" Seruan Bryant membuyarkan kefokusan kami, kini menatap Bryant dengan bingung.

"Kenapa?" Tanya Zrine malas.

"Aku mau ke toilet, maaf, Om, toiletnya boleh saya pakai?" Bryant langsung berlari ke toilet khusus tamu setelah Papa memberitahu lokasinya.

"Ada-ada saja kelakuannya, bagaimana jika nanti dia mendapatkan tugas di Planet tanpa toilet dari Akademi?" Celetuk Zrine.

Papa, Mama, Ais, juga aku serentak mengerutkan dahi lantas tertawa, melupakan sejenak kesedihan tadi. Memangnya ada Planet tanpa toilet? Aku baru tahu soal itu.

"Setelah ini, cepatlah kalian berangkat! Pasti sudah ada banyak hal yang kalian lewati disana." Suara Papa kembali memfokuskan pandangan kami ke arah Papa.

Kami berempat -kecuali Bryant- mengangguk serentak, mengiyakan penurutan Papa.

Beberapa menit setelah Bryant kembali, aku kira sudah tidak ada pembicaraan lagi, ternyata Mama masih banyak bertanya pada kami sembari berjalan menuju halaman belakang.

"Kalian berangkat naik apa? Memangnya ada kendaraan yang dapat membawa kalian ke Planet lain dengan cepat?"

"Ada, tante. Kapal luar angkasa, tapi sekarang kami tidak naik kendaraan apapun, pasti akan memicu banyak perhatian." Jawab Zrine ramah.

Aku yang juga mendengarkan jawaban Zrine, sedikit ikut tersentak seperti Mama.

Paham apa yang sedang Mama bingungkan, Zrine kembali menjelaskan. "Kami akan pergi melewati portal teleportasi Moonbot."

Masih sambil berjalan, aku bertanya pada Moonbot di sampingku. "Kau bisa membuat portal teleportasi, Moonbot?"

"𝚈𝚊, πšπšŽπš—πšπšž." Singkat, padat, dan jelas.

Aku mendengus, tidak hanya manusia saja yang bisa bersikap cuek, ternyata, robot Power Sphera seperti Moonbot saja bisa bersikap seperti itu.

"Orangtua kalian tidak ikut? Atau---" Pertanyaan Mama terpotong cepat dengan jawaban Alfa.

"Orangtua kami sudah menunggu di sana." Jawab Alfa cepat, sengaja memotong pertanyaan Mama.

Aku merasa, Alfa sedang tersinggung dengan pertanyaan Mama. Selama ini, Alfa tinggal seorang diri di Planet Bumi, berada di lingkungan yang cukup mewah, orangtuanya entah kemana, tapi ia masih bersyukur bisa memiliki kakak yang tetap memperhatikan dan menyayanginya, walaupun jarang sekali menemuinya.

Kami semua sudah sampai di halaman belakang. Zahra mewakili aku, Zrine, Alfa, Bryant juga Moonbot untuk mengucapkan kalimat perpisahan.

"Buka teleportasinya sekarang, Moonbot!" Titah Alfa.

Moonbot menganggukkan kepala lantas berseru. "π™±πšŠπš’πš”, πšπšŽπš•πšŽπš™πš˜πš›πšπšŠπšœπš’ πšπšŽπš›πš‹πšžπš”πšŠ!"

Tepat pada seruan Moonbot, cahaya biru keluar dari kepala besinya, mengelilingi kepala besi itu. Semua orang yang melihat Moonbot kagum, belum pernah ada teknologi mutakhir tercipta di Planet ini. Itu luar biasa.

Cahaya biru yang keluar dari kepala besi Moonbot, kembali menghilang lantas menyorot beberapa senti ke arah depan tempat Moonbot mengambang.

Sebuah lubang vertikal yang menjadi pintu masuk portal terbentuk sekitar tiga meter, ukuran yang pas untuk kami masuk. Pintu portal itu dikelilingi dengan cincin putih bercahaya yang berputar seperti gasing.

Moonbot mengambang kearahku. "π™Ίπš’πšπšŠ πš™πšŽπš›πšπš’ πšœπšŽπš”πšŠπš›πšŠπš—πš, π™½πšŠ!"

Aku kembali memandang keluargaku, melihat tatapan mereka satu persatu, tatapan yang menyorotkan kesedihan akan kehilangan. Seakan ber telepati, tatapan itu membuatku beku.

Ais berjalan kearahku lantas memelukku pada detik selanjutnya.

"Tunggu kakak, walau tanpa adanya pertemuan!" Kataku lirih yang hanya bisa di dengar oleh Ais.

"Pasti." Jawabnya lirih.

Setelah melepas pelukan Ais, aku dan yang lain menyalami Papa dan Mama, juga seluruh asisten rumah tanggaku.

Keempat sahabatku itu lebih dulu masuk kedalam lorong portal setelah menyalami semua orang di halaman belakang.

Terakhir aku dan Moonbot, tangan kananku melambai kearah mereka, sedangkan tangan kiriku mendekap Moonbot. Halaman belakang hening, menyisakan wajah-wajah dengan raut yang sama.

Aku dan Moonbot sempurna masuk kedalam lorong portal, sekilas aku melihat pintu portal tertutup di belakangku. Tak ada yang aku pikirkan lagi sekarang, hanya bisa melampiaskan semuanya dengan mendekap Moonbot erat.

Beberapa menit kami berada di lorong portal, cahaya pintu portal sudah terlihat di depan kami, itu artinya kita akan tiba.

"π™»πš˜πš”πšŠπšœπš’ πšπš’ πšπšŽπš›πš’πš–πšŠ, πš”πš’πšπšŠ πšŠπš”πšŠπš— πšœπšŠπš–πš™πšŠπš’ πšπšžπš“πšžπšŠπš—. π™±πšŽπš›πšœπš’πšŠπš™!" Moonbot mengingatkan kami.

Aku menutup mata, seakan dapat melihat dalam gelap, merasakan betapa indah, besar, luas, dan canggihnya teknologi mutakhir tercipta di Planet itu. Satu detik di depan pintu portal, Splash...

Kami sudah tiba di tujuan. Selamat datang di Planet Volle Maan, Galaksi Andromeda.

***

Next episode 9...