Alna :
Planet Volle Maan indah sekali, hamparan dataran kristal yang bercahaya menembus gelapnya angkasa raya. Gedung-gedung tinggi dengan berbagai macam bentuk yang unik seperti kubus, tabung, segitiga, oval dan lain sebagainya, juga desain teknologi canggih berjejer rapi di atas tanah kristal. Para penduduk melakukan aktivitas mereka masing-masing di sore hari dengan damai.
Aku melihat ke arah luar jendela kapsul, ada banyak sekali kapsul terbang yang juga melaju menuju lokasi tujuan yang sama. Lambang tiara kristal sky blue yang berada di sisi kanan kapsul menjadi arti lambang Akademi.
"Waaahh!!! Kalian! Lihat itu!" Bryant terkagum-kagum, meminta kami melihat sesuatu yang ia tunjuk.
Pandanganku kini beralih ke depan yang memperlihatkan sebuah layar besar milik kapsul, juga dengan keempat sahabatku, gunanya layar di depan agar kami bisa tetap melihat sesuatu yang ada di luar kapsul.
Aku membulatkan mata, berseru tertahan. Lihatlah! Di depan kami, sebuah gerbang yang terbuat dari besi-besi kristal menjulang tinggi, ada lambang tiara kristal sky blue di atas gerbang itu, gerbang utama Akademi, tanda sebagai wilayah Akademi. Bangunan gedung tinggi bernuansa biru berdiri gagah di balik gerbang tadi setelah kami melewatinya.
Kapsul terbang Akademi berhenti melaju setelah beberapa kilometer melewati gerbang utama Akademi. Mengambang turun perlahan dan berhenti mengambang sekitar satu setengah meter dari tanah, kapsul yang kami tumpangi berjejer rapi dengan puluhan kapsul terbang Akademi lainnya. Kapsul-kapsul terbang Akademi ini bahkan memiliki lokasi parkir yang besar dan canggih.
"Selamat datang dan selamat berkumpul, seluruh calon murid Akademi Putri Purnama!" Suara itu lantang terdengar.
Seorang wanita berusia sekitar kepala empat dengan rambut hitam panjang tergerai dengan pakaian jas formal berdiri di salah satu gerbang paling besar di bangunan itu, menyambut kedatangan kami dengan senang. Tentunya berbicara dengan bahasa Planet ini, membuatku tak kebingungan.
"Terimakasih untuk partisipasi kalian semua yang telah merelakan diri kalian untuk bergabung menjadi seorang murid Akademi terbesar di seluruh Galaksi. Akademi Putri Purnama." Sorakan dan tepuk tangan terdengar di sekitar kami. Detik selanjutnya kembali hening, wanita itu kembali bicara.
"Baiklah, sebelumnya perkenalkan, saya Alexandra, kepala sekolah Akademi Putri Purnama. Di sebelah kanan saya, Miss Dame Devin juga putrinya, Delancey Devin, seorang istri dan anak dari mendiang Raja Natihalfareeza. Di sebelah kiri saya, Master A. Tagaifuf Reeve, wakil kepala Akademi Putri Purnama."
Miss Alexandra memperkenalkan diri juga orang-orang di sekitarnya. Di sebelah kanannya, ada seorang wanita berusia sekitar kepala tiga dengan rambut coklat kekuningan yang di sanggul, gaun hijau selutut berlengan pendek, ditambah sandal high heels dengan warna senada dengan gaunnya. Di sebelah kanan wanita itu, mungkin berusia sama dengan kami, rambutnya coklat kekuningan di sanggul, gaun merah muda selutut berlengan pendek juga sandal high heels dengan warna senada dengan gaunnya, sangat mirip dengan ibunya. Sedangkan di sebelah kanan Miss Alexandra, seorang pria berusia sekitar kepala empat berambut hitam legam tersisir rapi, berpakaian jas juga celana formal hitam, dan sepatu boots hitam, membuatnya terlihat gagah.
"Kalian dipersilakan turun dan segera menuju ke ruang aula besar Akademi sekarang! Saya tunggu disana." Titah Miss Alexandra sebagai penutup kalimatnya.
Tak perlu menggunakan mikrofon untuk berbicara, pakaian yang di kenakan Miss Alexandra memiliki akses mikrofon canggih yang dapat menyambung langsung ke dalam akses mikrofon dari puluhan kapsul terbang Akademi. Dari dalam kapsul, kita dapat mendengarkan apa yang dibicarakan.
Setelah Miss Alexandra menutup kalimatnya, pintu kapsul yang kami naiki terbuka lebar begitu juga dengan puluhan kapsul lain. Alfa dan Bryant lebih dulu keluar, di susul Zrine, Zahra lantas aku.
Perlahan aku menuruni anak tangga kapsul, anak tangga ini otomatis terjulur setelah pintu kapsul terbuka, dan akan kembali terlipat jika pintu kapsul tertutup. Sampai di anak tangga terakhir, kedua kakiku menyentuh tanah kristal indah Planet Volle Maan. Mataku menyisir sekitar tempat di dirikannya Akademi ini, bangunan yang aku yakini sebagai sekolah itu besar, luas, megah sekali tentunya. Aku masih terkagum-kagum atas apa yang aku lihat, hingga tak sadar sesuatu telah terjadi padaku.
Puk...
Aku tersadar dari pandanganku. Menatap Zahra yang menepuk pelan pundakku
"Ayo, Na, kita ke ruang aula besar sekarang!"
Aku mengangguk. Aku dan keempat sahabatku kini beriringan, berjalan menuju ruang aula besar Akademi. Saat kami berjalan, banyak sekali murid-murid yang sedang menatap ke arah kami, entah tatapan apa yang mereka berikan. Bingung, heran, kagum atau... entahlah, aku tidak tahu.
"Kenapa semua orang menatap ke arah kita?" Tanya Bryant tepat seperti pemikiranku.
Zahra dan Zrine menatapku sekilas sebelum mereka saling tatap. Sedangkan Alfa, hanya diam, tak berniat menjawab pertanyaan Bryant.
"Jangan kepedean! Mereka hanya menatap Alna, bukan kita." Jawaban Zrine membuat Bryant mengernyit bingung.
Aku juga ikut mengernyit bingung mendengar jawaban Zrine. Aku sedari tadi hanya diam, tidak melakukan apa-apa, bicara pun tidak. Apa yang mereka lihat dariku?
Zahra menatapku saat aku memanggilnya, bola matanya melirik bingung.
"Tidak ada, kau cantik pakai baju itu, Na, warnanya serasi dengan gedung Akademi. Karena itu banyak yang memperhatikanmu." Terang Zahra pada akhirnya.
Aku mengangguk, mengerti maksud Zahra. Tapi tetap saja aku risih di tatap ratusan murid Akademi. Rasanya aku ingin berlari secepat mungkin menghindar dari tatapan mereka, tapi tidak mungkin aku meninggalkan keempat sahabatku, lagipula aku juga tidak tahu ruang aula besar itu.
***
Sedari tadi, mataku tidak bisa berhenti untuk terus menyusuri setiap sudut, sisi penjuru bagian dalam bangunan Akademi. Banyak sekali benda-benda yang memiliki teknologi canggih, seluruh teknologi di sini tanpa ada yang menggunakan listrik atau baterai, teknologi di sini di ciptakan dengan menyambungkan tenaga dari benda satu ke benda lainnya. Seperti lantai kristal yang bercahaya saat di lewati suatu benda, energi suara dan getar menjadi sumber energi lantai kristal agar dapat bercahaya.
Aku, Zahra dan Zrine kini duduk di kursi urutan ke-lima di ruang aula besar Akademi. Kami bertiga berpisah dengan Alfa dan Bryant sebelum memasuki gerbang aula, gerbang ruangan ini di pisah untuk laki-laki dan perempuan, demi menaati peraturan. Ruang aula besar Akademi berada di lantai satu, tepatnya di koridor Mega, melewati beberapa ruangan besar sebelum sampai di ruangan ini.
Akademi ini memiliki sebelas lantai yang masing-masing memiliki tiga koridor, tepat dengan bangunannya yang berleter U. Lantai satu dengan koridor Mega, di isi dengan tiga ruangan yang super besar dan megah, lalu di koridor Marga, di isi dengan ruangan kepentingan rapat, sedangkan di koridor Lord, di isi dengan ruangan perpustakaan, museum, ruang lab, ruang simulasi bertarung, dan masih banyak lagi. Lima lantai di atasnya adalah kelas belajar para murid putri dengan masing-masing tingkat, lima lantai sisanya, kelas belajar para murid putra yang juga memiliki masing-masing tingkat.
Di atas podium, sebuah piring terbang semacam drone berukuran besar mengambang di atasnya, berdiri seorang kepala Akademi Putri Purnama, Miss Alexandra memberi sambutan kembali pada seluruh murid Akademi. Tepuk tangan dari ratusan murid kembali menggema di ruangan ini.
"Selamat datang dan selamat bergabung di Akademi Putri Purnama. Sekali lagi, terimakasih atas partisi kalian yang sudah rela menjadi seorang murid Akademi ini."
Aku melihat jam digital biru yang melingkar di pergelangan tangan kananku. Pukul setengah enam. Aku kembali fokus saat Miss Alexandra kembali berbicara.
"Akademi Putri Purnama adalah akademi yang dibangun untuk mendidik para murid agar dapat menjadi seseorang yang berguna, dan dapat menjadi penerus generasi terbaik di seluruh Galaksi. Di Akademi Putri Purnama, kami mencari mereka yang lahir dari kehidupan keluarga dengan garis gen berkekuatan untuk membuka potensi diri mereka setiap tahun. Beberapa penduduk dari setiap Planet di seluruh Galaksi dapat memenangkan beasiswa penuh selama lima tahun berada di Akademi, dengan kesempatan untuk menjadi seorang wanita Kerajaan dan mengubah hidupnya sebagai generasi Garis Keturunan Murni yang baru, sebagai seorang Putri Purnama. Akademi Putri Purnama juga memiliki peran penting bagi kaum pria, beberapa kaum pria juga dapat memenangkan beasiswa penuh dengan kesempatan untuk menjadi seorang pria yang hebat, tangguh, juga adil dalam menentukan kepemimpinannya. Tujuan saya memilih melakukan lotere ini karena ingin memberikan kesempatan bagi mereka yang terpanggil. Semua nama murid Akademi ini telah tertulis dan kini berada dalam kotak lotere, ada lima warna kertas di dalamnya yang masing-masing kertas telah tertulis seluruh nama kalian."
Aku tersentak. Bukankah tadi Zrine bilang bahwa kami sudah melewati lotere itu? Juga dengan beasiswa lima tahun itu, jadi, lima tahun kita akan berada di Akademi ini. Pasti Bryant di tempat lain juga merasakan hal yang sama denganku, atau sudah menggerutu panjang lebar ke Alfa, protes. Aku menatap Zahra yang duduk di sebelah kananku, hendak bertanya, tapi urung saat aku melihat Zahra lebih fokus memperhatikan Miss Alexandra. Aku mengurungkan niat, kembali fokus memperhatikan Miss Alexandra.
Di depan Miss Alexandra kini sudah ada kotak lotere yang berisi lima warna kertas, di dalamnya sudah ada seluruh nama murid Akademi yang tertulis. Aku lebih kagum saat kotak lotere itu terbenruk begitu saja di atas lantai kristal podium.
"Untuk memilih sebagai pemenang lotere sore ini, saya akan mempersembahkan Miss Dame Devin. Silakan!" Miss Alexandra mempersilakan wanita bergaun hijau untuk naik ke podium.
Tidak ada pergerakan dari Miss Dame Devin. Detik selanjutnya, beliau berbicara. "Terimakasih untukmu Alexandra, tetapi lebih baik, aku menyerahkan tugas ini kepada putriku, Delancey. Dia tentu akan menjadi pewaris baru Garis Keturunan Murni Kerajaan ini. Karena dia, anak kandungku, seorang istri dari Raja Natihalfareeza."
Miss Dame Devin menatap ke arah Delancey, putrinya. Membuat seluruh pasang mata di ruangan ini ikut menatap Delancey.
"Maaf, Miss. Delancey juga harus tetap mengikuti semester." Kata Mis Alexandra keberatan.
"Delancey, putriku. Dia pasti lulus." Miss Dame Devin kini melipat kedua tangannya di dada.
"Ku harap begitu." Ucap Miss Alexandra pada akhirnya.
Miss Dame Devin tersenyum kecil. Insting ku mengatakan jika sedang meremehkan Miss Alexandra.
"Baiklah, Delancey, tunggu apa lagi? Putar kotak lotere itu, ambil satu kertas dari masing-masing warna lalu bacakan!" Lanjut Miss Dame Devin.
Delancey menaiki piring terbang yang mengambang di depannya, matanya menyusuri setiap tempat, raut wajahnya terlihat bingung, tapi ia mencoba untuk bersikap biasa.
Sampai di atas podium, tepat di depan kotak lotere itu. Aku bisa melihat dengan jelas tangannya gemetar saat menyentuh kotak lotere itu. Kotak lotere itu berputar setelah di sentuh oleh Delancey, membuat kertas di dalamnya terguncang. Beberapa detik selanjutnya, kotak lotere itu berhenti berputar. Delancey mengambil satu kertas dari setiap warna, membukanya satu-persatu, lantas mulai membacakannya.
Suasana di ruang aula besar Akademi yang di isi dengan ratusan orang hening. Aku mendengarkan dengan fokus, terus berdo'a dengan hikmah, berharap kami berlima bisa masuk. Setidaknya, diantara kami berlima mungkin. Iya, mungkin saja.
Delancey mulai mengumumkan. "Pemenang pertama, Re-Za, dari Planet Ba-Ya-Ngan, Galaksi Scha-Duw."
Tepuk tangan menggema di ruangan ini. Seluruh murid saling berbisik mencari pemilik nama. Aku yakin, Alfa di tempat lain sudah lebih dulu memasang gaya menyebalkan khas ala artis.
Delancey kembali membacakan kembali nama si pemenang. Suasana ruangan kembali hening seketika, menyisakan raut wajah-wajah yang sedang berharap.
Beberapa menit berlalu, tiga warna kertas dengan tiga nama telah di bacakan. Zahra dan Zrine memasang wajah bahagia mereka saat nama mereka di bacakan oleh Delancey, begitu juga dengan Bryant yang mungkin sedang narsis si samping Alfa.
"Aku berharap, yang kelima kau, Na." Zahra menggenggam erat tangan kananku. Pandangannya tetap fokus ke depan podium.
Zrine di samping Zahra menatapku dengan raut ceria miliknya. Memberiku semangat dan tetap berpikir positif.
Aku menatap Zahra dan Zrine ragu, entahlah apa yang akan terjadi nantinya. Aku juga berharap mendapatkan beasiswa itu. Aku kembali fokus ke podium, semakin membalas genggaman Zahra dengan lebih erat, raut keraguan pasti sudah tampak di wajahku dengan jelas sekarang.
Delancey kembali membaca nama si pemenang. Aku menutup mata, walau begitu, tetap setia mendengarkan. Jika memang takdir yang menentukan, aku pasrah.
"Pemenang kelima,"
Aku semakin takut, walau mataku tertutup, aku yakin Zahra dan Zrine sedang menatapku ragu. Mereka pasti juga ingin aku mendapatkan beasiswa itu.
"Alisa A, dari Planet Bumi, Galaksi Bima Sakti."
Kini, mataku terbuka lebar menatap Delancey tidak percaya. Sungguh, aku benar-benar tidak tahu, takdirku berada di pihak keempat sahabatku.
Zahra memelukku, begitu juga dengan Zrine yang beranjak dari tempat ia duduk, lalu memelukku dari depan, kami berpelukan hingga beberapa saat kemudian.
"Kartu hologram yang ada di tangan kalian adalah kartu penting di Akademi ini, kartu itu yang akan menunjukkan semua aktivitas kegiatan belajar di Akademi dan juga sebagai petunjuk kalian dalam ketidaktahuan kalian untuk memberikan jalan keluar yang baik. Kartu itu dilengkapi berbagai fitur dengan teknologi canggih. Maka dari itu, jangan sampai lalai dalam menjaga dan menyimpan kartu itu!"
Miss Alexandra menjelaskan semua hal mengenai kartu hologram yang kini berada di masing-masing tangan murid. Aku melihat kartu ini, memiliki panjang lima senti dengan lebar tiga senti, tebalnya mungkin seperti satu helai kertas, seperti kaca transparan.
"Baiklah, silakan kalian menuju ke asrama kalian masing-masing. Nomor kamar, ruangan dan lokasinya sudah ada dalam kartu hologram yang kalian pegang, dari jarak jauh, kalian juga dapat berinteraksi layaknya sebuah handphone dengan kartu itu, kartu itu akan mengantarkan kalian menuju lokasi. Sekian dari saya, terimakasih." Miss Alexandra menutup kalimatnya. Piring yang di naiki Miss Alexandra mengambang turun dari atas podium.
Aku masih setia menatap kartu hologram dengan lekat. Bagaimana cara menggunakan kartu ini?
"Na, Ayo!" Zrine memanggil namaku. Sekarang sedang menarik tangan kananku yang masih menggenggam kartu hologram, membuat tatapanku buyar seketika.
Aku menatap Zrine kesal, yang di tatap hanya nyengir.
"Maaf! Oi, kira-kira, kita satu kamar tidak, ya?" Tanya Zrine tiba-tiba.
"Entahlah, kita lihat saja." Jawab Zahra santai.
"Aku berharap kita satu kamar." Lanjutku, mereka berdua tersenyum dan mengangguk.
Seperti saat kami di jemput untuk menuju ke Akademi, kali ini kami juga di jemput kapsul terbang yang akan mengantarkan kami ke asrama penginapan.
***
Next episode 12...