Chapter 6 - Episode 6

ALNA :

Aku mencoba membuka mata yang serasa berat sekali, bagai di timpa benda dengan satuan ton yang besar. Alunan lagu dari alarm ponsel membuatku harus bangun, mau ataupun tidak. Jam menunjukkan pukul tiga lebih empat puluh tujuh, aku beranjak dari kasur, berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.

Dua puluh menit berlalu. Sebelum waktu sholat subuh berakhir, aku melaksanakan sholat setelah keluar dari kamar mandi. Setelah itu, aku mempersiapkan buku pelajaran sekolah hari ini lalu berganti baju seragam, baru beranjak turun kebawah setelah semua persiapan sekolahku selesai.

"Pagi, Ma!" Aku melihat Mama sedang berkutat di dapur. Walaupun Papa mempekerjakan asisten rumah tangga, Mama tetap saja masih sibuk berkutat dengan dapur.

"Tumben, pagi-pagi sudah siap. Mau kemana kamu?"

"Ya, sekolah dong, Ma, masa jalan-jalan."

"Biasanya, Mama harus habiskan suara dulu untuk panggil kamu sama Papa."

Aku menepuk jidat. "Aku bangun telat, di marahin, giliran aku bangun pagi, di introgasi sama Mama."

"Ngeles aja kalau di kasih tahu."

"Terserah, Ma."

Aku duduk di meja makan. Sesekali memperhatikan Mama yang bergerak ke kanan mengambil bumbu yang ingin di masak, lalu berjalan ke kiri memasukkan bumbu yang baru di ambil ke dalam wajan, lalu ke tempat rak piring, mengambil beberapa piring dan gelas lantas menuangkan minuman di dalam gelas. Begitu seterusnya.

"Papa, belum turun, Na?" Mama bertanya padaku. Tangannya masih sibuk mengaduk sesuatu di wajan.

"Belum."

Lima menit makanan dan minuman untuk sarapan pagi ini sudah terhidang rapi di atas meja makan. Nasi goreng Jawa, susu rasa vanilla, teh panas manis, ayam panggang, sop bayam, dan roti dengan parutan keju yang -huuu- nikmat.

Mungkin kalian bertanya, mengapa aku tidak memakai selai coklat saja? Karena biasanya seorang perempuan itu memiliki selera coklat yang tinggi. Kalian mungkin akan heran jika aku mengatakan 'tidak suka coklat', dan aku juga heran, ada orang yang suka dengan keju. Kita impas bukan, memiliki selera yang berbeda itu wajar, begitu juga jika memilih pasangan. Eh, lupakan!

Papa bergabung di meja makan bersama kami. Kenapa aku mengatakan kami? Kenapa tidak berdua? Karena yang bergabung untuk sarapan pagi ini tidak hanya kami bertiga, seluruh asisten rumah tangga kami juga bergabung di meja makan ini.

Kami mulai makan dengan tenang, hanya ada suara denting sendok dan garpu yang saling bersenggolan dengan piring, mengisi suasana sarapan pagi ini.

Aku tidak sengaja menatap ponsel Papa yang bergetar di atas meja makan, tepat di hadapanku. Papa yang sepertinya juga sadar dengan getaran ponselnya langsung menyambar begitu saja lantas mulai berkutik dengan ponselnya.

Entah mengapa, aku merasa ada sesuatu yang mengganjal sedang berputar di atas kepalaku.

"Na!"

Suara Papa yang memanggil namaku membuat aku menghentikan gerakan tanganku yang sedang makan, sebenarnya sudah dari tadi tanganku berhenti bergerak saat aku sedang memikirkan sesuatu tadi.

"Iya, Pa."

"Ini, Zahra dari tadi telepon kamu, tapi gak kamu angkat. Katanya mau bicara."

"Eh, kan, Zahra bisa datang saja ke rumah. Toh, rumahku ada di depan rumahnya, 'kan, Pa."

Papa tidak membalas ucapanku, hanya mengangguk lantas kembali melanjutkan makan. Begitu juga denganku.

Tumben sekali Zahra menelpon ku, biasanya juga kalau ingin bicara langsung nyelonong masuk ke rumahku, bahkan saat aku sedang bersantai bersama Papa dan Mama di ruang tamu, Zahra akan tetap nyelonong masuk begitu saja, entah dalam kondisi apapun.

Setelah selesai dengan aktivitas makan pagi, aku langsung berlari ke kamar, hanya ingin mengambil ponsel yang tertinggal. Saat aku ingin menelpon Zahra tadi, aku tidak menemukan ponselku di dalam tas dan baru ingat jika tertinggal di meja belajar ku.

"Alna, cepetan!" Mama berteriak dari bawah. Aku juga balas berteriak.

Saat aku akan menuruni anak tangga, aku terhuyung karena telapak kakiku tidak seimbang saat menapak anak tangga. Kalau hanya terhuyung beberapa anak tangga sih tidak apa, tapi kali ini aku melewati pegangan tangga. Alhasil aku terjun bebas ke lantai bawah.

Mama berteriak kencang memanggil namaku, para asisten rumah tangga yang berada di dalam rumah pun ikut meneriaki namaku, aku yakin Mama dan para asisten rumah tangga sedang melihatku sekarang.

Jarak lantai satu dengan lantai dua itu mencapai tiga puluh meter, tidak mungkin aku akan selamat.

Aku tidak dapat berteriak, pita suaraku seperti putus, aku hanya berseru tertahan sambil menutup mata. Pasrah.

"Akhhh... "

Tangan kananku sakit, tapi tubuhku tidak. Perlahan aku membuka mata. Hey, aku bahkan berdiri tegak di lantai satu. Sadar akan sesuatu.

"Kamu---" Ucapanku terjeda saat mencoba mengingat percakapan di meja bundar dengan Laksamana Mar Hoba.

Benda besi bulat dengan warna biru kristal. Aku membulatkan mata, sedikit terkejut.

"Kau, Power Sphera yang di maksud Laksamana Mar Boha itu, kan?" Tanyaku setelah ia melepaskan genggaman tangannya.

Tangan? Ternyata ia memiliki dua tangan besi yang dapat bergerak juga bisa terbang.

Ada bagian berwarna hitam untuk menampilkan dua mata hologram nya, di bawah matanya ada beberapa garis horizontal yang aku yakin itu sumber suara.

"Na, itu apa? Kok bisa terbang?"

Aku menatap Mama. Ternyata sudah ada Papa, Mama dan Zahra yang berdiri di belakangku. Para asisten rumah tangga sudah kembali melakukan aktivitas mereka kembali. Kalau di tanya, heran? Tidak, karena rata-rata asisten rumah tangga yang bekerja di rumahku sudah mengabdi saat aku belum ada lagi, mereka juga mungkin sudah tidak heran dengan adanya sesuatu yang aneh di rumah ini, mungkin beberapa dari mereka pernah melihat sendiri sebuah kekuatan yang aku lepas.

"Eh," Darimana aku menjelaskannya?

Belum juga aku sempat berpikir untuk menjelaskannya pada Mama. Power Sphera di belakangku lebih dulu menjelaskannya pada Mama.

"πš‚πšŠπš’πšŠ, π™Όπš˜πš˜πš—πš‹πš˜πš. π™Ώπš˜πš πšŽπš› πš‚πš™πš‘πšŽπš›πšŠ π™ΊπšŽπš›πšŠπš“πšŠπšŠπš— π™Ίπš›πš’πšœπšπšŠπš•, πšπšŽπš—πšŽπš›πšŠπšœπš’ πš”πšŽπšœπšŽπš–πš‹πš’πš•πšŠπš—."

"Power Sphera?" Mama mengerutkan dahi. Begitu juga dengan Papa. Sedangkan Zrine hanya diam.

Aku sebenarnya heran dengannya. Komandan Mar Goma, Laksamana Mar Boha dan Kapten Besar saja kalau bicara menggunakan bahasa yang berbeda masing-masing dari mereka, lha Moonbot ini bisa bahasa Planet Bumi.

"π˜—π˜°π˜Έπ˜¦π˜³ 𝘚𝘱𝘩𝘦𝘳𝘒, apa maksudnya?" Papa mengulang pertanyaan Mama.

Karena aku tidak tahu harus menjawab apa, jadi kubiarkan Moonbot yang menjawab pertanyaan Mama dan Papa.

"Power Sphera, diciptakan untuk melindungi Galaksi, menyimpan kekuatan-kekuatan besar dalam diri mereka, mencari tuan terbaik dari yang terbaik. Tapi banyak dari bangsa manusia yang menyalahgunakan Power Sphera untuk menjajah, melawan dan menaklukkan segala yang dikehendaki. Karena itu, Power Sphera menjadi prioritas utama untuk dilindungi."

Bukan aku atau Moonbot yang berbicara panjang lebar, menjelaskan sejarah Power Sphera kepada Papa dan Mama. Zahra lebih dulu menjelaskan sejarah itu secara jelas.

Kali ini, Papa dan Mama menatap Zahra. Moonbot perlahan terbang turun kebawah, kini tingginya sejajar denganku.

"Sebelum saya menjelaskan, boleh saya minta izin dengan, Om dan Tante?" Zahra bertanya sopan sembari menatapku.

"Izin untuk apa?" Wajar Mama bertanya, karena Zahra belum memberikan alasannya.

"Berangkat sekolah, Tante." Zahra tersenyum simpul.

"Astaghfirullah, aduh, iya. Alna, sudah, sana kalian berangkat sekolah, nanti kalian telat! "

Karena kejadian jatuh dari tangga tadi, membuat banyak benguras waktu sebenarnya. Apalagi ditambah kemunculan Moonbot yang membuat Mama malah penasaran hingga Zahra perlu menjelaskan sejarah Power Sphera dengan panjang lebar, tidak juga sih.

***

Aku beranjak turun ke lantai satu setelah berganti baju, bergegas menemui keempat sahabatku yang sudah berkumpul di ruang tamu.

Aku bersyukur atas kejadian yang menimpaku tadi pagi, karena kejadian itu membuahkan hasil untukku. Dengan alasan kalau aku ingin pergi bersama keempat sahabatku untuk berbicara dengan Moonbot. Awalnya Mama dan Papa tidak mengizinkan, tapi saat aku akan berangkat sekolah, ketiga sahabatku lebih dulu datang ke rumah sembari membawa sebuah surat izin dari sekolah.

Papa dan Mama akhirnya mengizinkanku tidak sekolah setelah melihat syarat izin dari sekolah yang di bawa Zrine.

"Maaf, membuat kalian menunggu lama." Ucapku setelah bergabung bersama keempat sahabatku juga Mama.

Aku duduk di samping Zahra, sebelah Zahra ada Zrine. Alfa dan Bryant duduk di sofa seberang kami, Mama di sofa tengah, yang memang hanya cukup untuk satu orang. Selain kami, ada Moonbot yang ikut bergabung, duduk di atas pangkuanku

"Sebenarnya ada apa, kalian mengajukan izin tidak sekolah hari inim?" Tak ingin berbasa-basi, Mama langsung to the point.

"Kami ingin meminta persetujuan pada, Tante Hida dan Om Rahman." Jawab Zahra ragu.

Mama menaikkan kedua alisnya. "Untuk apa, Ra?"

Zahra menghela napas halus, dari raut wajahnya rampak bingung, begitu juga dengan Alfa dan Zrine. Sedangkan Bryant, kalau saja kami bisa saling ber telepati mungkin ia akan menanyakan banyak hal padaku.

Karena Zahra tidak menjawab, Alfa memutuskan untuk menjawab pertanyaan mama sekaligus memberikan penjelasannya.

"Kami meminta persetujuan untuk mengajak Alna ikut dengan kami untuk mencari jati dirinya. Ini bukan kemauan dari kami, tapi ini adalah perintah dari Kapten Besar pasukan Three P.S, pasukan yang menjaga dan melindungi Power Sphera seperti Moonbot dan yang lainnya." Alfa menarik napasnya. Sedangkan kami menunggu penjelasannya. "Alna bukan berasal dari Planet Bumi, begitupun kami, jika anda bertanya 'mengapa kami bisa berada di Bumi?'. Itu karena kami mencari Alna untuk mengembalikan jati dirinya. Jadi karena itu, kami meminta izin pada anda, dan saya harap anda mengizinkan."

Alfa menutup pembicaraannya dengan meminum jus wortel di meja yang sudah di sediakan, Mama memang sudah membuatkan minuman dengan rasa favorit kami memang.

Aku menatap Mama dengan perasaan yang entah mengapa rasanya sakit. Aku tahu Mama pasti sedih mendengarkan penjelasan Alfa, karena penjelasannya tadi itu telah mengungkit masa lalu dimana aku di temukan.

Sulit rasanya memang, jika apa yang sudah kita miliki sepenuhnya harus di ambil kembali oleh takdir. Aku juga sedih jika nanti akan meninggalkan Mama dan Papa juga Aisyah, tapi aku harus melakukannya untuk menemukan jati diriku. Aku tidak berasal dari Planet Bumi, takdirku tidak berjalan di sini, aku hanya sebuah titipan yang di jaga oleh keluarga dengan marga An-Nahar.

Beberapa menit lenggang, hanya menyisakan helaan napas masing-masing dari kami.

Moonbot membalikkan badannya, menatapku penuh kehangatan. Entah apa yang di lakukan dengan Power Sphera satu ini.

"π™±πš˜πš•πšŽπš‘ πšŠπš”πšž πš‹πš’πšŒπšŠπš›πšŠ πšπšŽπš—πšπšŠπš—πš–πšž?"

Aku menatap Mama yang juga menatapku, mungkin karena Mama mendengar suara Moonbot. Detik selanjutnya, aku beranjak pergi dari ruang tamu bersama Moonbot setelah Mama mengangguk tanda mengizinkan.

***

Di sebuah taman dengan satu ayunan berbahan kayu jati, beberapa bunga bermekaran di sekitar rerumputan taman, disinilah aku berada sekarang bersama Moonbot, di halaman belakang rumah tepatnya.

Aku duduk di atas ayunan kayu bersama Moonbot di sebelahku, ayunan ini cukup untuk di isi sekitar lima orang.

"Ada apa kau mengajakku berbicara empat mata seperti ini?" Owh, ayolah. Mengapa aku harus bersikap ramah pada sebuah robot.

"π™°πš”πšž πšπš’πšŒπš’πš™πšπšŠπš”πšŠπš— πšžπš—πšπšžπš” πš–πšŽπš—πš“πšŠπšπšŠ πšπšŠπš— πš–πšŽπš•πš’πš—πšπšžπš—πšπš’πš–πšž, π™Ώπšžπšπš›πš’."

Aku menatap Moonbot, terkejut atas panggilan untukku. "Putri?"

"π™·πšŠπš—πš’πšŠ πš™πšŠπš—πšπšπš’πš•πšŠπš— πšœπš™πšŽπšœπš’πšŠπš• πšπšŠπš›πš’πš”πšž. πšƒπšŠπš™πš’ πšŠπš”πšž πšœπšžπš—πšπšπšžπš‘ πšπš’ πš™πšŽπš›πš’πš—πšπšŠπš‘πš”πšŠπš— πšžπš—πšπšžπš” πš–πšŽπš—πš“πšŠπšπšŠ πšπšŠπš— πš–πšŽπš•πš’πš—πšπšžπš—πšπš’πš–πšž. πš‚πšŽπš•πšŠπš–πšŠ πš’πš—πš’ πšŠπš”πšž πš‹πšŽπš›πšžπšœπšŠπš‘πšŠ πšžπš—πšπšžπš” πš–πšŽπš—πš“πšŠπšπšŠπš–πšž πšπšŠπš›πš’ πš”πšŽπš“πšŠπšžπš‘πšŠπš—, πšπšŠπš™πš’ πšŠπš”πšž πšπš’πšπšŠπš” πš‹πš’πšœπšŠ πš•πšŠπšπš’ πšœπšŽπš”πšŠπš›πšŠπš—πš, πšπšŽπš›πš•πšŠπš•πšž πšœπšžπš•πš’πš πš–πšŽπš—πš“πšŠπšπšŠπš–πšž πšπšŠπš›πš’ πš“πšŠπšžπš‘."

"Untuk apa kau menjagaku, aku bisa menjaga diriku sendiri."

"π™³πšŽπš—πšπšŠπš— πš“πšŠπšπšžπš‘ πšπšŠπš›πš’ πšπšŠπš—πšπšπšŠ πšπšŠπšπš’, πš“πš’πš”πšŠ πšπšŠπš—πš™πšŠ 𝚊𝚍𝚊 πšŠπš”πšž πšπš’ πšœπšŠπš—πšŠ πš πšŠπš”πšπšž πš’πšπšž, πšŠπš™πšŠ πš”πšŠπšž πšŠπš”πšŠπš— πšœπšŽπš•πšŠπš–πšŠπš?" Aku tersentak. Robot ini pintar membalikkan omonganku juga.

"Lupakan soal itu! Apa tujuanmu mengajakku bicara? Kau belum menjelaskannya tadi."

"π™°πš”πšž πš’πš—πšπš’πš— πš–πšŽπš–πš‹πšŠπš πšŠπš–πšž πš”πšŽπš–πš‹πšŠπš•πš’ πš”πšŽ πšπšŽπš–πš™πšŠπš πšŠπšœπšŠπš•πš–πšž."

Tempat asalku? Tanyaku dalam hati. Karena penasaran, aku memutuskan bertanya. "Dimana?"

"π™Ώπš•πšŠπš—πšŽπš πš…πš˜πš•πš•πšŽ π™ΌπšŠπšŠπš—, π™ΆπšŠπš•πšŠπš”πšœπš’ π™°πš—πšπš›πš˜πš–πšŽπšπšŠ."

Aku tersentak. Tiba-tiba saja ingatanku berputar saat aku bertemu dengan Ibunda Ratu.

"Aku adalah Ratu yang memimpin Istana Kerajaan Kristal Planet Volle Maan, Galaksi Andromeda pada empat belas tahun lalu. Juga sebagai Putri Purnama generasi ke sembilan belas."

"Ibunda Ratu."

"π™ΊπšŠπšž πš–πšŽπš—πšπšŽπš—πšŠπš•πš’πš—πš’πšŠ?"

"Tidak, itu hanya mimpi yang nyata. Siapa dia sebenarnya?"

"𝚁𝚊𝚝𝚞 π™½πšŠπšπšŠπšœπš‘πšŠπš•πš–πšŽπšŽπš›πšŠ, πš’πšœπšπš›πš’ πšπšŠπš›πš’ πšπšŠπš“πšŠ πš‚πš‘πš’πš—πš’πš—πš π™°πš›πš–πš˜πš›. π™ΉπšžπšπšŠ πšœπšŽπš‹πšŠπšπšŠπš’ πš”πšŠπš”πšŠπš” πšπšŠπš›πš’ πšœπšŠπšžπšπšŠπš›πšŠ πš”πšŽπš–πš‹πšŠπš›πš—πš’πšŠ, πšπšŠπš“πšŠ π™½πšŠπšπš’πš‘πšŠπš•πšπšŠπš›πšŽπšŽπš£πšŠ. "

"Bukan itu maksudku. Siapa sosok Ibunda Ratu hingga dia menemuiku di dalam mimpiku? "

"π™ΊπšŠπš›πšŽπš—πšŠ πš”πšŠπšž πšŠπš—πšŠπš”πš—πš’πšŠ. "

Aku menatap Moonbot malas. "Tahu darimana kau? Jangan sotoi jadi orang!"

"π™±πšŠπš‘πšŠπšœπšŠ πšŠπš™πšŠ πš’πšπšž? π™΄πš‘, πš•πšžπš™πšŠπš”πšŠπš—! π™°πš”πšž πšπšŠπš‘πšž πšœπšŽπš“πšŠπš” 𝚜𝚊𝚊𝚝 πš”πšŠπšž πš–πšŠπšœπš’πš‘ πš‹πšŠπš’πš’. "

"Sudahlah, aku tidak akan percaya dulu sebelum ada bukti yang kuat. Sekarang aku ingin tanya, apa maumu, hah? "

"πš‚πšžπšπšŠπš‘ πš”πšžπš‹πš’πš•πšŠπš—πš πšπšŠπšπš’, πšŠπš”πšž πš’πš—πšπš’πš— πš–πšŽπš–πš‹πšŠπš πšŠπš–πšž πš”πšŽ πšπšŽπš–πš™πšŠπš πšŠπšœπšŠπš•πš–πšž. π™ΌπšŽπš—πšπšŽπš–πš‹πšŠπš•πš’πš”πšŠπš—πš–πšž πšžπš—πšπšžπš” πš–πšŽπš—πšπšžπšπšžπš”πš’ πšπšŠπš‘πšπšŠ πš”πšŽπš›πšŠπš“πšŠπšŠπš— πš–πš’πš•πš’πš” 𝚁𝚊𝚝𝚞 π™½πšŠπšπšŠπšœπš‘πšŠπš•πš–πšŽπšŽπš›πšŠ. "

"Bagaimana jika Papa dan Mama keberatan? "

"π™ΌπšŽπš›πšŽπš”πšŠ πš’πšπšž πšœπšžπšπšŠπš‘ πšπšŠπš‘πšž πš›πšŽπšœπš’πš”πš˜πš—πš’πšŠ πšœπšŽπš™πšŽπš›πšπš’ πšŠπš™πšŠ, 𝚜𝚊𝚊𝚝 πš”πšŽπš‹πšŽπš—πšŠπš›πšŠπš—πš–πšž πšπšŽπš•πšŠπš‘ πšπšŽπš›πšžπš—πšπš”πšŠπš™. "

"Baiklah, kita tunggu jawaban Mama dan Papa dulu. "

Kalau saja Moonbot itu manusia, mungkin sekarang ia sedang menagnggukkan kepalanya yang menyetujui usulan ku.

***

Aku kembali bergabung di ruang tamu bersama Moonbot setelah berbicara empat mata dengannya. Kali ini, sudah ada Papa yang duduk di sofa tempat Mama sebelumnya duduk, sedangkan Mama pindah di sofa seberang Papa.

"Seperti yang sudah kami bicarakan kemarin, resiko itu sudah menjadi takdir kami untuk melepaskan, Alna." Papa memulai pembicaraan tepat setelah aku dan Moonbot bergabung.

"Jadi, anda menyetujuinya?" Alfa bertanya sopan. Memastikan.

"Iya, saya mengizinkan, Alna pergi." Aku yang awalnya takut menatap wajah Papa, kini mendongak menatap Papa intens.

Zahra, Zrine dan Alfa bernapas lega mendengar jawaban Papa. Aku ikut tersenyum senang karena Papa bisa mengikhlaskan aku pergi, tapi aku seperti melupakan sesuatu.

"Mama juga mengizinkan, Alna untuk pergi."

Tepat perkiraan ku, jawaban itu yang aku tunggu dari Mama. Dengan cepat aku berlari kearah Mama, lantas memeluk Mama erat. Moonbot yang tadi berada di atas pangkuanku tersentak kaget.

"Makasih, Ma!"

"Iya, pergilah!"

"π™·πšŽπš’, π™½πšŠ! π™ΊπšŠπš•πšŠπšž πš–πšŠπšž πš‹πšŽπš›πšπš’πš›πš’ πš’πšπšž πš‹πš’πš•πšŠπš—πš πšπšžπš•πšž, πšžπš—πšπšžπš—πš πšœπšŠπš“πšŠ πšŠπš”πšž πš‹πš’πšœπšŠ πšπšŽπš›πš‹πšŠπš—πš, πš”πšŠπš•πšŠπšž πšπš’πšπšŠπš” πšŠπš”πšž πš‹πš’πšœπšŠ πšπšŽπš›πšœπšžπš—πšπš”πšžπš› πš–πšŽπš—πšπšŽπš—πšŠπšœπš”πšŠπš— πšπš’ πš•πšŠπš—πšπšŠπš’." Gerutu Moonbot. Tangannya terlipat di depan dada.

Eh, robot punya dada? Tidak, sih. Di antara lubang suara dan mata hologram tepatnya.

Aku kembali duduk setelah memeluk Mama. Aku menatap Moonbot, kali ini dia beralih duduk di pangkuan Zrine.

"Oi, kau tidak mau duduk di atas pangkuanku, heh?"

"π™°πš”πšž πš•πšŽπš‹πš’πš‘ πšœπšŽπš•πšŠπš–πšŠπš πšπš’ 𝚊𝚝𝚊𝚜 πš™πšŠπš—πšπš”πšžπšŠπš— πš‰πš›πš’πš—πšŽ."

"Semoga saja Zrine lupa jika sda dirimu di atas pangkuannya."

"π™ΌπšŽπš—πšπšŠπš™πšŠ πšŠπš”πšž πš‘πšŠπš›πšžπšœ πš™πšžπš—πš’πšŠ πšπšžπšŠπš— πšœπšŽπš™πšŽπš›πšπš’πš–πšž? "

Aku mengendikkan bahu. "Jangan salahkan aku!"

Kami semua tertawa melihat mata hologram Moonbot yang menatapku marah. Terlihat lucu.

"Oh, iya. Kapan kalian akan pergi?" Pertanyaan Papa menghentikan tawa kami.

"Dua hari lagi." Jawab Zahra.

"Cepat sekali, untuk apa memang kalian berangkat secepat itu?" Tanya Papa lagi.

Zrine lagi-lagi yang menjawab. Kali ini jawabannya membuatku terkejut.

"Satu minggu yang lalu, kami sudah mendaftar di sebuah Akademi di Planet Volle Maan. Kami di Terima sebagai pemenang lotere dengan jalur beasiswa penuh selama sekolah di Akademi itu. Pengumuman terakhir menyampaikan kami akan berangkat dua hari lagi."

"Dengan jalur beasiswa penuh." Mama berseru. Zrine mengangguk membenarkan.

"Hanya ada lima orang dalam satu tahun yang bisa mendapatkan lotere itu, dan keberuntungan bagi kami berlima di tahun ini karena bisa mendapatkan beasiswa itu." Zrine dengan wajah cerianya, menambahkan penjelasan Zahra.

"Bagus sekali. Kalian belajar yang rajin di sana. Jangan sekali-kalai melanggar peraturan Akademi itu!"

Kami berlima mengangguk patuh menuruti permintaan Mama.

Aku bahagia jika melihat Mama dan Papa bisa bahagia. Walaupun nantinya kebahagiaan kami akan berbeda, terpisahkan oleh takdir yang harus membawaku kembali ke Planet asalku. Setidaknya hari ini adalah hari terakhir yang membahagiakan untukku, juga Papa dan Mama. Jika nanti aku tak di pertemukan lagi dengan mereka, tak apa, yang penting mereka dapat bahagia walau tanpa aku.

Aku tersenyum, senyuman yang mungkin terlihat anggun dan menawan di mata orang lain yang melihat senyumanku.

***

Next episode 7...