Alna :
Byuuurrr...
Aku tersentak kaget. Mimpi indah yang terangkai dalam tidur malamku hilang seketika. Ada-ada saja, mengapa ya, terkadang jika kita bermimpi saat tidur bisa kita rasakan saat berada di saat-saat tertentu hingga dapat merasakannya seperti nyata.
Itu yang aku rasakan saat bangun dari tidur. Aku bermimpi sedang melawan sesorang yang sangat kuat sekali, dalam pertarungan itu, aku yang menjadi pemenangnya. Karena lelah kekuatanku sudah terkuras habis, awal posisi pertamaku masih melayang jadi terjun bebas hingga tercebur ke dalam danau di sekitar tempat yang menjadi pertarungan. Aku terkejut karena aku tidak bisa berenang.
"𝙰𝚍𝚊 𝚊𝚙𝚊, 𝙽𝚊? " Tanya Moonbot yang ikut terbangun dari tidur -eh- mode tidurnya di atas meja yang sudah ada tempat khusus untuk men- charger Power Sphera. Aku yakin dia melihatku saat tersentak tadi.
"Hanya mimpi." Jawabku santai.
Kalau dia punya kepala, mungkin sedang mengangguk.
Karena aku sudah terlanjur bangun, memutuskan untuk mandi. Masih pukul tiga pagi memang, tapi aku tidak akan bisa tidur lagi jika sudah terbangun.
***
"Selamat pagi, Mama, Papa!" Teriakku dari lantai dua, membuat Mama dan Papa yang berada di lantai satu menggelengkan kepala.
"Cuma, Papa sama Mama aja, nih, yang di ucapin."
Aku membalikkan badan, menatap seseorang di belakangku. Aku tersenyum menatapnya.
"Selamat pagi, juga, Nur Aisyah yang cantik, tapi masih cantikan kakak." Aku mengelus puncak kepalanya.
"Iya, kakak emang cantik. Kalau nggak cantik, mana mungkin aku cantik."
Kami tertawa. Ais pulang dari pesantren kemarin pagi tanpa sepengetahuanku, Papa dan Mama merencanakan kepulangan Ais untuk memberi kejutan padaku. Terkejut, sungguh, hanya dengan alasan ingin mengikuti acara perpisahan ku yang akan pergi, kembali ke Planet asalku. Ada-ada saja, tapi jika Ais tidak pulang, mungkin aku tidak akan bertemu lagi dengannya.
Aku dan Ais bergabung di meja makan bersama Papa dan Mama juga seluruh asisten rumah tangga kami. Makanan dan minuman sudah terhidang rapi di atas meja, kami makan dengan tenang pada detik selanjutnya.
Setelah kami menghabiskan jatah kami masing-masing. Satu persatu meja makan yang di isi banyak orang ini sepi, meninggalkan Bi Rayu, Bi Mar dan mbak Sonya yang bertugas membersihkan dan merapikan meja makan.
Hari ini aku tidak sekolah, ya, karena aku akan berangkat bersama empat sahabatku hari ini, pergi -kembali- ke Planet asalku. Karena itu, dua hari kemarin Ais di beri tahu Papa jika aku akan pergi, dan paginya Ais pulang.
Aku memilih duduk bersantai di bangku panjang yang terletak di taman depan rumah. Sembari menunggu kedatangan empat sahabatku, aku memutuskan untuk menikmati hangatnya cahaya matahari yang menerpa wajahku, merasakan hembusan angin yang bersiul di sekitarku, beberapa pohon yang tertanam di hutan buatan menari indah mendengar nyanyian burung-burung yang lewat di atasnya.
"Kak!"
Anak ini benar-benar merusak suasana pagiku yang indah, tidak juga sih, aku hanya menghalu.
Ais duduk di sampingku, ikut menikmati suasana pagi yang tenang bersamaku.
Aku menghembuskan napas membuat Ais di sebelahku juga ikut melakukan hal yang sama. Entah mengapa, setiap kali kami di satukan selalu ada rasa canggung, gugup dan malu untuk sekedar berbincang-bincang.
"Kau tidak ingin mengucapkan kalimat terakhir untuk kakak, Syah?" Bukan tabiat ku yang bisa betah dalam kecanggungan. Aku memutuskan bertanya, walaupun pertanyaanku sedikit menyinggung perasaan Ais.
"Entahlah, kak. Aku tidak tahu bagaimana merangkai kalimat terakhirku untuk kakak. Yang pasti kakak harus selalu tau, jika aku menyayangi kakak."
Kepalaku tertunduk. Siapapun Ais di dalam hidupku, dia tetaplah adikku, yang selama ini selalu menemaniku. Bahkan saat Ais tahu jika aku bukan anak kandung keluarga ini, dia tetap menyayangiku sebagai kakaknya.
"Kakak, tidak ingin mengucapkan kalimat terakhir juga, untukku?"
Ais menanyakan hal yang sama padaku. Aku menoleh kearahnya, menatap lembut iris mata berwarna hitam itu. Aneh memang, seseorang yang memiliki iris mata dengan warna hitam itu langka, tapi Ais memiliki warna iris hitam itu.
"Aku juga menyayangimu, Syah. Siapapun kau di hidupku, kau tetaplah adikku." Jawabku akhirnya.
"Aku bahagia bisa bertemu dengan kakak, mungkin tanpa kakak, aku tidak akan pernah merasakan posisi menjadi seorang adik yang selalu di perhatikan, di banggakan, bahkan di lindungi oleh seorang kakak." Ais yang menunduk ikut menatapku juga. Entah apa yang ia tatap, tapi batinku mengatakan jika Ais juga menatap iris midnight blue milikku.
"Aku suka iris mata, kakak. Aku pernah melihat dengan mata kepalaku sendiri, iris mata kakak yang berwarna midnight blue itu bercahaya." Puji nya. Membuatku sontak mengedipkan mata.
"Oh, ya?"
"Ya, tapi saat iris mata kakak bercahaya itu, warnanya berubah, kak. Aku ingat saat kakak berusaha menenangkanku yang sedih karena nilai semester ku turun. Waktu itu, kakak mencoba menenangkanku, ingat?"
Aku mengangguk. Saat ulangan semester satu kelas enam, Aisyah menangis karena merasa gagal dalam ujian. Posisinya yang selalu berada di tingkat pertama tergeser karena kurang fokus. "Terus, bagaimana?"
"Nah, saat itulah aku menatap iris mata kakak yang memancarkan cahaya pelangi. Kalau saja kakak tidak menangkup wajahku, aku tidak akan melihat iris mata kakak yang indah itu."
Pelangi? Dahiku mengerut saat mengingat pertemuan ku dengan Ibunda Ratu, iris matanya bercahaya, memancarkan warna pelangi di matanya saat kami saling pandang.
Apa benar, aku memiliki hubungan dengan Ibunda Ratu? Batinku.
Aku menggeleng cepat. Menghilangkan pikiran yang terlintas di pikiranku. Dia itu seorang Ratu, mana mungkin aku ada hubungan dengannya. Mungkin saat Ais menatapku waktu itu, ada cahaya pelangi dari arah lain yang memantul ke iris mataku.
"Kakak, juga suka dengan iris hitam kau, Syah. Itu langka sekali, bukan?" Aku mengalihkan topik. Tapi aku memang ingin memuji.
"Iya, aku juga bersyukur memiliki iris hitam ini." Bangganya.
Suasana kembali canggung karena aku dan Ais kembali saling diam.
Entah mengapa, kadang aku merasa aneh dengan diriku. Banyak orang yang tak bisa menebak karakter dan sifat yang ada di dalam diriku. Bahkan kadang aku juga merasa ada yang aneh dengan sifat dan karakter diriku sendiri. Aku membuang napas kasar.
"𝘈𝘴𝘴𝘢𝘭𝘢𝘮𝘶'𝘢𝘭𝘢𝘪𝘬𝘶𝘮!" Suara salam Zahra membuyarkan pikiranku.
"𝘞𝘢'𝘢𝘭𝘢𝘪𝘬𝘶𝘮𝘶𝘴𝘴𝘢𝘭𝘢𝘮." Jawabku dan Ais serentak.
"Aisyah, juga ada di sini. Kapan pulang?" Zahra mengulurkan tangannya pada Ais.
"Kemarin pagi, kak Ra." Jawab Ais. Ia menyambut uluran tangan Zahra.
"Jarak rumah kita tidak sampai satu kilometer kali, Ra. Kenapa kamu tidak datang saja dulu dari tadi?" Tanyaku setelah meminta Zahra duduk di sampingku.
"Masih ada urusan sama, Ibu."
"Kak Zahra, boleh tanya sesuatu sama kak Zahra?" Ais yang duduk di samping kananku langsung berdiri pindah duduk di samping kiri Zahra.
"Eh, tanya apa? Asal jangan yang aneh-aneh, boleh aja."
"Kak Alna lahir dimana, sih, sebenarnya? Kata, Mama, kakak bukan dari Planet Bumi, terus darimana, kak? Apa jangan-jangan, kak Alna itu 'alien' kak?" Pertanyaan Ais membuat Zahra menatapku, seakan sedang ber telepati dengannya.
Aku ingin tertawa mendengar pertanyaan tentang 'alien' dari Ais, tapi tatapan Zahra mengalihkan kefokusanku terhadapnya.
"Aku belum cerita apa-apa dengannya." Aku menggaruk pipi kananku sambil menyengir kuda.
Zahra mendengus. Seharusnya aku sudah menceritakan semuanya pada Aisyah, tapi karena suasana canggung yang selalu membuatku tidak bisa berbicara panjang lebar pada saat bersama dengan Ais.
Zahra kembali menatap Ais yang sedang menunggu jawaban darinya.
"Planet Volle Maan atau Planet Purnama di Galaksi Andromeda." Jawab Zahra pada akhirnya.
"Ada Galaksi lain selain Bima Sakti? Itu beneran ada, kak?" Mata Ais membulat kagum dengan pernyataan Zahra.
"Iya, ada sekitar dua puluh Galaksi yang pernah kakak tahu."
"Banyak sekali, kak. Kalau kakak sendiri darimana?"
"Planet Zwaartekracht, Galaksi Grand Spiral."
Lagi-lagi Ais menunjukkan wajah kagumnya pada semua pernyataan yang ia dengar dari Zahra. Kalau saja aku tahu lebih tentang Galaksi-galaksi itu, sudah ku ceritakan semuanya pada Ais, dia pasti akan terkagum-kagum mendengarnya.
Beberapa menit Zahra dan Ais menghabiskan waktu mereka untuk bercerita tentang sejarah Galaksi. Tidak semua, hanya Galaksi Grand Spiral yang Zahra ceritakan, karena Zahra berasal dari Galaksi itu.
Selama beberapa menit mereka bercerita bersama, beberapa menit itu juga kuhabiskan untuk mencerna semua penjelasan yang kudengar dari beberapa orang asing yang sempat kutemui. Laksamana Mar Boha, Komandan Ma Goma, Kapten Besar, Ibunda Ratu, Moonbot, bahkan sahabatku sendiri.
***
𝘕𝘦𝘹𝘵 𝘦𝘱𝘪𝘴𝘰𝘥𝘦 8...