Chapter 3 - Episode 3

Suasana kooridor rumah sakit sedang sepi, ditambah dengan wajah dari dua pasangan suami-istri berusia sekitar 39 dan 42 tahun yang menampilkan wajah tegang dan khawatir menambah suasana semakin suram. Mereka duduk di kursi tunggu sebelah ruangan yang bertuliskan UGD sembari memanjatkan do'a pada yang maha kuasa agar memberikan keselamatan pada seseorang yang berada di dalam ruangan itu, sesekali pria berusia 42 tahun itu berjalan mondar-mandir bagai setrika di depan pintu ruangan. Kedua pasangan itu sangat cemas menunggu seseorang yang keluar dari ruangan itu untuk memberikan informasi mengenai keadaan seseorang yang berada di dalam ruangan itu.

Setengah jam sudah mereka menunggu kehadiran seseorang yang mereka tunggu-tunggu selama setengah jam tadi. Pria berusia 42 tahun itu langsung menatap seorang perempuan berhijab dengan baju serba putihnya, Dokter. Sedangkan wanita berkerudung merah dengan motif bunga berusia 30 tahun yang duduk dikursi tunggu langsung beranjak berdiri menemui keduanya. Tanpa sabar, ia langsung menodong dokter yang baru keluar ruangan dengan menanyakan kondisi seseorang yang berada di dalam ruangan itu.

"Dokter Sitta, bagaimana keadaan Alna?" Tanya wanita 30 tahun itu dengan tampang wajah yang sangat khawatir.

Wanita berhijab dengan pakaian serba putih yang dipanggil dengan 'Dokter Sitta' hanya membuang napasnya pelan. Ia bingung untuk mengungkapkan sebuah hal pada kedua orang tua dari seseorang yang berada di dalam ruangan itu, Alna. Karena bingung dan tidak mungkin harus dibicarakan di tempat terbuka di kooridor rumah sakit, Dokter Sitta memutuskan untuk membicarakan hal ini dengan kedua orangtua Alna di ruangan pribadinya.

"Pak Rahman dan bu Hida bisa ikut keruangan saya. Ada hal yang ingin saya ceritakan sekaligus saya tanyakan mengenai Alna, anak kalian."

Pak Rahman dan bu Hida, pasangan suami-istri itu hanya mengagguk lantas keduanya mengikuti Dokter Sitta. Dalam perjalanan begitu banyak hal juga pertanyaan yang mengisi kepala kedua orangtua ini yang berkaitan dengan anaknya. Tak berbeda, Dokter Sitta juga memikirkan banyak hal dan pertanyaan mengenai pasien dari pasangan ini. Bagaimana tidak? Seharusnya mesin pemeriksaan X-ray atau rontgen yang digunakan untuk memeriksa keadaan anggota tubuh bagian dalam dan sebagai alat yang sangat akurat tidak dapat memeriksa seutuhnya. Bahkan, dalam gambar yang telah di pindai pun menunjukka sesuatu yang ganjal didalam tubuh Alna.

Bagaimana bisa ada manusia yang memiliki aliran dua darah yang mengalir dengan aliran yang berbeda arah dengan salah satu aliran darah yang berwarna biru? Batinnya.

Tiga orang dengan menampilkan ekspresi wajah yang berbeda kini telah berada di ruangan pribadi milik Dokter Sitta. Pasangan suami-istri itu duduk setelah dipersilakan oleh pemilik ruangan ini, setelahnya mereka hanya diam sambil menunggu. Sesekali keduanya menatap pintu ruangan, berharap untuk dapat segera menemui anak mereka.

"Begini," Dokter Sitta yang berbicara membuat pandangan mereka kini fokus dengannya. "Saya tidak tahu harus memulainya dari mana, tapi saya bingung. Bagaimana bisa seorang manusia dapat memiliki dua alirah darah yang berbeda dengan salah satu aliran darah itu berwarna biru?"

Rahman dan Hida saling tatap, mereka tidak mengerti. Yang mereka inginkan sekarang adalah menjelaskan mengenai anaknya, bukan dua aliran darah yang itu.

"Dari hasil rontgen yang saya ambil tadi, disini menunjukkan suatu kejanggalan yang berada di dalam tubuh Alna." Dokter Sitta menyerahkan foto hasil rontgen dari tubuh Alna beberapa menit lalu.

"Saya tidak mengerti. Mungkin alatnya rusak, dok." Jawab Hida.

"Saya yakin alatnya tidak rusak, kalaupun rusak pasti sudah mati total."

"Lantas, ini apa? Bagaimana jika di coba sekali lagi?" Rahman menyahut.

"Saya sudah lima kali mengulang pengambilan foto, tapi hasilnya tetap sama dan tidak berubah."

Rahman dan Hida tampak mengerutkan dahi mereka, bingung. Begitu juga dengan Sitta, walaupun sudah duapuluh tahun ia menjadi dokter pribadi keluarga mereka, tak satupun ada sesuatu yang membuatnya kebingungan seperti ini. Bahkan selama hidupnya menjadi seorang dokter, ia baru saja mengalami hal semacam ini.

Sitta nampak berpikir sejenak sebelum melanjutkan pembicaraan. "Anemia, itu yang saya pastikan tidak salah mengecek penyakit yang Alna derita saat ini, saya butuh pendonor darah secepatnya. Tapi saya tidak dapat memastikan sumber darah yang cocok untuk mendonorkannya pada Alna."

"Maksud dokter?" Beo Rahman.

"Setahu informasi dari buku-buku lama yang saya baca milik para Profesor yang memiliki pengalaman terbaik di seluruh dunia, saya pernah membaca jika..." Sitta menggantungkan ucapannya, membuat Rahman dan Hida menatapnya tidak sabar. "Dua aliran darah yang mengalir di arah yang berbeda memiliki kehidupan yang berada dari luar Planet Bumi. Dan jika salah satu aliran darah itu berwarna biru, menandakan jika dia memiliki garis Keturunan Darah Biru atau biasa kita sebut dengan istilah Bangsawan."

Penjelasan Sitta sontak membuat Rahman dan Hida terkejut bukan main mengetahui pernyataan mengenai anak mereka. Entah mereka ingin sedih mendengar riwayat penyakit anak mereka atau senang karena anak mereka memiliki garis Keturunan Darah Biru, Bangsawan. Mereka hanya sibuk dengan pikiran masing-masing yang melupakan tujuan awal mereka berada di ruangan pribadi Sitta.

***

"Bagaimana kondisi-nya saat ini?" Seorang kepala kotak berwarna ungu dengan tampilan hologram di atas sebuah meja bundar ruangan perpustakaan sekolah bertanya pada tiga sosok remaja 14 tahun dihadapannya.

"Kami belum tahu pasti komandan, tapi..." Remaja berkerudung merahmuda itu menggangtungkan ucapannya.

"Tapi apa, hah?" Zahra tersentak, bingung untuk melanjutkan pembicaraannya dengan komandan.

Komandan Ma Goma-lah yang berbicara pada tiga sosok remaja di meja bundar itu, siapa lagi jika bukan Zahra, Zrine dan Alfa.

"Kita butuh bantuan." Alfa melanjutkan perkataan Zahra yang menggantung.

Komandan Ma Goma menaikkan sebelah alisnya. Merasa paham dengan tingkah Komandan, Alfa melanjutkan.

"Alna mengalami anemia, kekurangan darah. Tapi tidak ada satu pun sumber darah yang cocok untuk mendonorkan pada Alna, komandan. Dia memiliki dua aliran darah, pemilik Garis Keturunan Murni."

Alfa pernah belajar dari beberapa buku-buku yang pernah ia baca tentang pemilik Garis Keturunan Murni. Buku itu menjelaskan jika seseorang yang memiliki garis keturunan itu memiliki garis keturunan dari darah yang berbeda dengan manusia lain pada umumnya. Bahkan pemilik garis itu pun juga berbeda dari para pemilik garis yang lainnya.

"Saya paham maksud kalian, tapi tidak mungkin jika kami harus mengirimkan seseorang untuk memberikan donor darah pada Alna. Jika tidak maka seluruh misi kita dapat terbongkar."

"Tapi tidak mungkin juga kami harus membiarkan Alna seperti itu komandan, dia harus segera ditolong." Sahut Zrine khawatir.

Pembicaraan kali ini benar-benar membuat mereka kebingungan. Di satu sisi, mereka ingin membantu Alna untuk mendonorkan darah. Di sisi lain, mereka tidak ingin misi mereka terbongkar.

Di sela perbincangan juga pendapat dari masing-masing orang yang berada di ruangan perpustakaan itu terhenti kala mendengar suara yang menyela pembicaraan mereka.

"Kasih saja darah, Zahra, untuk mendonorkan darahnya pada, Alna!" Sahut Alfa sembarangan.

"Tidak bisa, bodoh!" Umpat Zahra.

"Oi, kalian bukannya sama-sama berasal dari keturunan bangsawan, bukan? Kenapa tidak?"

Zahra menggeram kesal, "Kami memiliki Garis Merurunan Murni yang berbeda. Sekali lagi kukatakan, BERBEDA."

"Aku tahu."

Kalau dia tahu, kenapa tadi tanya? Dasar! Umpatnya. Harusnya Alfa tahu jika sejarah Garis Keturunan Murni itu berbeda dengan Garis Keturunan Bangsawan, di Akademi Station Three P.S juga sudah pernah membahas materi itu.

"Sudah, cukup! Bukannya menyelesaikan masalah, malah ribut." Zrine menengahi perdebatan dua kawannya itu, sedangkan Komandan Ma Goma hanya menepuk jidat.

"Aku perlu cari informasi lain agar mengetahui cara untuk mendonorkan darah melewati cara lain." Ma Goma kembali bicara.

"Tidak perlu komandan."

Seaakan tahu siapa pemilik suara -dengan seruan dalam bahasa Planet Purnama- yang menyela pembicaraan mereka. Keempat orang itu langsung menunduk hormat. Zahra, Zrine dan Alfa yang mengerti dengan perkataan orang itu -karena mereka sudah memakai alat penerjemah yang di pasangkan pada sisi belakang daun telinga mereka- langsung berdiri memberi salam dengan tangan kanan yang membentuk hormat pada umumnya, sedangkan tangan kiri terbentuk datar lurus di depan dada atau biasa menyebut dengan salam ala pasukan Three P.S.

Komandan Ma Goma yang sudah memberikan salam terlebih dahulu dari ke-tiga nya kembali duduk lantas disusul oleh mereka bertiga.

Karena tidak sabar untuk bertanya, komandan Ma Goma langsung melontarkan pertanyaan pada seseorang yang datang menyela pembicaraan mereka tadi, Kapten Besar. Kapten besar memuruskan untuk memberikan penjelasan pada mereka yang juga bergabung bersama komandan Ma Goma diatas meja bundar dengan bentuk hologram.

"Maaf kapten, kenapa kapten meminta kami untuk berhenti?" Tanya komandan Ma Goma.

"Alna akan baik-baik saja."

Keempat orang itu saling tatap, bingung dengan jawaban kapten besar mereka. Mungkin sebagian dari mereka berfikir jika kapten besar terlalu santai, dan sebagian lagi hanya menunggu jawaban.

"Apa yang membuat kapten begitu yakin?" Komandan Ma Goma kembali bertanya.

"Sesuatu yang membuatnya lemah hanya akan membuatnya semakin kuat. Hanya petarung sejati yang memiliki kekuatan terhebat dengan melalui rintangan yang besar."

Keempat orang itu hanya memandang kapten besar dengan bingung. Tapi setidaknya mereka mengangguk, mengiyakan ucapan kapten mereka. Bagaimanapun tidak hanya mereka yang tahu jika kapten mereka itu suka berbicara dengan banyak kalimat yang mengandung makna, bahkan hampir seluruh anggota pasukan Three P.S juga tahu sosok kapten besar mereka.

"Tentu kalian ingan dengan Petir, anakku. Sebagai pengendali elemen petir, tidak pernah membuat musuh terbunuh karena dia selalu memberikan obat penyembuh di setiap serangan yang di berikan. Tentu kalian tahu jika kekuatan itu dapat mengobati rasa sakitnya sendiri."

Keempatnya kembali menatap kapten mereka. Tak lama kapten besar menyelesaikan ucapannya, mereka mengangguk samar -mengerti maksud dari kapten mereka. Tetapi, walaupun begitu, tetap tidak mengurungkan sebuah pertanyaan terlontar dari keempatnya.

"Jadi, Alna dapat menyembuhkan penyakitnya sendiri tanpa bantuan dari apapun?"

Kapten besar mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan Zrine.

"Tapi tentu berbeda jika mengenai donor darah, bukan?" Zahra menyela. Masih bingung dengan maksud kaptennya.

Pertanyaan Zahra sempat diangguki oleh Alfa dan komandan Ma Goma yang ikut sependapat dengan Zahra.

"Itu hanya hasil penelitian dari medis. Keturunan darah biru memang bisa memiliki riwayat penyakit, tapi dalam sejarah antar galaksi tidak ada yang mengatakan penelitian itu dengan pernyataan benar sepenuhnya."

Kali ini tidak ada yang bertanya. Mengangguk pun tidak, apalagi bertanya. Kapten mereka ini jika sudah bicara tidak ada kalimat yang bisa mereka mengerti.

Sebelum ada yang kembali berbicara, kapten besar melanjutkan kalimatnya. "Kalian tidak perlu memikirkannya. Mungkin saat ini, Alna sedang berusaha melawan segala yang dia rasakan di bawah alam sadarnya."

Sebagai tanda, keempatnya kembali mengangguk. Walaupun sebenarnya mereka tidak faham dengan penjelasan kapten mereka sebelumnya, tapi kali ini mereka faham dengan penjelasan kapten mereka.

Kesimpulannya, walaupun bisa dikatakan jika pemilik keturunan darah biru bisa memiliki riwayat penyakit menurut penelitian medis tetap berada jika di katakan dalam catatan sejarah galaksi.

Setelah bergelud dengan pikiran masing-masing, ketiga remaja itu memberi salam pada kedua atasan mereka sebelum akhirnya kapten besar dan komandan Ma Goma memutuskan sambungan mereka.

"Jadi apa yang kita lakukan sekarang?" Zrine bertanya polos pada dua makhluk yang tersisa di meja bundar.

"Santai." Hanya jawaban dingin dari Alfa.

"Bukan itu maksudku."

"Aku tahu."

"Lantas kenapa kau jawab seperti itu, heh?"

"Terserahku."

"Arrgh! Aku serius, alien landak ungu."

Alfa yang tidak terima di katakan begitu dengan Zrine langsung membalasnya detik itu juga.

"Manusia culun sialan, kau."

Walaupun memang benar kenyataannya jika Alfa adalah alien setengah manusia, tetap tidak terima jika ada yang mengatainya seperti itu.

"Culun, lo bilang!"

"Gak suka,"

Zrine kembali menggeram lantas segera menghentikan geramannya melihat Zahra yang melotot padanya, seakan bola mata itu bisa keluar dari tempatnya.

Zrine hanya membuang napas kasar lantas setelahnya hanya menatap Alfa tajam. Mereka memang sudah lama mengenal satu sama lain, tapi jika sudah seperti ini Zrine tidak ingin kalah jika Alfa selalu menang darinya.

Karena Zahra tidak ingin membuang waktu mereka dengan mendengarkan dua makhluk berbeda jenis ini berdebad unfaedah. Zahra memutuskan mengajak mereka pulang, lebih tepatnya menjenguk Alna.

***

Ruangan pribadi dokter Sitta tampak lenggang. Tiga orang yang berada di dalam ruangan ini lebih memilih untuk bergelud pada pikiran mereka masing-masing, hingga pada menit selanjutnya.

Sitta tidak sabar untuk mempertanyakan sebuah hal pada Rahman dan Hida dengan pertanyaan yang tercekat dalam tenggorokannya, memutuskan untuk bertanya pada menit selanjutnya.

"Saya bisa saja yakin jika garis keturunan itu masih dapat di wariskan pada Alna yang menjadi generasi sebagai pewaris gen itu, tapi saya tidak yakin jika Alna berasal dari planet Bumi."

Rahman dan Hida kembali menatap Sitta dengan bingung, tapi mereka mulai paham kemana arah pembicaraan mereka. Tak berselang lama Sitta kembali melanjutkan kalimatnya.

"Jika memang benar bahwa Alna tidak berasal dari kehidupan Bumi, maka itu artinya---" perkataanya terpotong lantas pada detik selanjutnya, Sitta terkejut dengan pernyataan Hida yang menyela kalimatnya.

"Alna memang bukan anak kandung kami."

Hida tertunduk lesu setelah mengatakan kalimat itu. Rahman yang mulai mengerti arah pembicaraan berusaha menenangkan sang istri di dalam pelukannya, berharap bahwa Hida dapat sedikit lebih tenang walaupun hatinya kini juga bimbang mengingat pernyataan tentang anaknya itu.

Sitta bingung harus melakukan apa. Di satu sisi, ia khawatir akan kondisi Alna. Sedangkan di sisi lain, ia ikut bersimpati sekaligus bingung atas segala pernyataan yang ia dengar dari Hida.

Selama ia menjadi dokter pribadi di keluarga mereka. Tidak ada satupun hal yang keluarga mereka sembunyikan darinya, karena ia tahu jika keluarga merrka juga sudah menganggapnya sebagai bagian dari keluarga mereka juga. Tapi kali ini? Ia bahkan baru tahu rahasia yang selama ini di sembunyikan, tentang Alna yang ternyata bukanlah anak kandung Rahman dan Hida.

Ruangan pribadi Sitta masih hening tanpa pembicaraan, ia bahkan tidak sanggup menatap wajah Hida. Tidak tega, hanya mendengar suara tangisan Hida yang membuatnya kebingungan antara lanjut atau tidak.

Karena Sitta tidak ingin membuat Hida semakin sedih. Ia memutuskan untuk tetap diam hingga tangisa Hida reda. Di detik itu, ia baru berani menatap wajah Hida yang sendu. Ia tahu perasaan yang sedang Hida rasakan saat ini, bagaimanapun mereka sama-sama seorang wanita, ia juga pasti merasakannya.

Bagaimana jika anak yang harus dirawatnya selama ini bukanlah anak kandung mereka? Sakit, tentu. Pernyataan yang harusnya menjadi rahasia besar keluarganya kini sudah terbongkar. Cepat atau lambat, Alna akan tahu kebenaran yang menjadi rahasia keluarganya.

Kriiet

Suara deritan pintu kaca ruangan pribadi Sitta terbuka membuat tiga orang di dalam ruangan itu mengalihkan pandangan mereka pada daun pintu.

Tanpa peduli tatapan tiga orang di dalam ruangan. Satu remaja berkerudung merah muda dengan pasangan tunik pink salem dan celana berwarna serasi dengan kerudung yang di gunakan lagsung masuk. Di belakangnya tersusul dua remaja, satu laki-laki berkacamata visor dengan pakaian serba ungu juga satu perempuan berkacamata dengan bando birunya dan pakaian serba kuning.

Hida yang mengerti ketiga remaja yang masuk dalam ruangannya hanya bertanya singkat.

"Ada apa, Zahra?"

Zahra yang merasa namanya terpanggil langsung kikuk. Kini Hida berada di hadapannya. Jelaskan atau tidak? Dua pertanyaan yang muncul di kepalanya saat ini.

"Begini tante..." Alfa yang tidak sabar dengan Zahra pun langsung menyela membiat pandangan Hida tertuju padanya. "Kami hanya ingin meminta tolong pada tante untuk menjelaskan semuanya pada Alna."

Lagi-lagi Hida tertunduk lesu, Sitta dan Rahman hanya membuang napas halus.

"Saya tahu itu sulit, tapi keadaan yang memaksa kami untuk melakukan ini." Zrine menyela.

Hida sebenarnya juga ingin mengatakan semuanya pada Alna. Tapi ia juga bingung, bagaimana mereka tahu tentang ini?

"Darimana kalian tahu?"

Alfa membuang napas halus. Zahra tertunduk lesu sedangkan Zrine yang melihat Zahra dengan muka lesunya hanya bisa menatap sahabatnya itu ragu.

Hida mungkin mengerti keadaan mereka. Ia hanya diam menunggu agar Zahra atau dua remaja lainnya kembali bicara memberi penjelasan padanya. Kali ini ia tidak marah pada kenyataan pahit yang datang menghampirinya, takdir memang sudah diatur pada yang maha kuasa. Mungkin sudah waktunya untuk mengatakan kebenaran pada Alna.

Di lain pemikiran Hida. Sitta juga tak kalah berbeda dibanding Hida, sedari tadi ia mencoba bersabar mencari jawaban atas kebenaran yang tersembunyi dari keluarga Rahman dan Hida. Cukup beberapa menit ia hanya diam juga sabar menunggu jawaban dan ternyata kebenaran itu sendiri yang datang padanya.

Diantara Hida atau Sitta, hanya Rahman yang sedari tadi hanya diam. Pikiran pria berusia 42 tahun itu tidak dapat di tebak. Pasrah. Tentu ia harus pasrah menerima kenyataan pahit di hidupnya. Ia hanya bisa pasrah, kalaupun nanti anaknya tahu kebenaran ini, ia berjanji akan menerima pernyataan anaknya. Entah menerima atau tidak, Alna bukan siapapun di hidupnya. Tentu ia akan ikhlas melepaskan anaknya jika memang harus kembali ke tempat asalnya. Ia tidak mungkin tega memisahkan seorang anak dari keluarganya, bukan? Rahman kembali membuang napas, ia pasrah dan ikhlas.

***

Seorang remaja perempuan berusia 14 tahun berjalan dengan perasaan ragu. Langkahnya tidak berhenti walau se-senti, ia terus memandangi suasana di sekitarnya. Gamis putih juga kerudung yang di kenakan terkibar terkena hembusan angin yang menari di sekitarnya.

Bukit-bukit tinggi menjulang jauh di atas langit. Pohon-pohon dengan rimbut tumbuh di dekat bukit-bukit. Tertanam banyak tanaman hias dengan banyaknya bunga-bunga yang bermekaran ditambah dengan sungai kecil yang mengalir di pinggir taman.

Langkahnya terhenti ketika sudut matanya melihat seorang wanita dengan gaun biru salju dengan butiran kristal tersebar di sekitar gaun yang menjulur menutupi kedua kakinya. Rambut panjang berwarna biru malam dengan beberapa helai berwarna putih terlihat indah. Ditambah mahkota biru terbuat dari kristal mewah dengan satu bentuk hati tersusun di tengah mahkota yang terpasang di atas kepala wanita itu.

Ia begitu kagum dengan wanita yang ia lihat. Wanita itu begitu sempurna, seperti seorang Ratu.

"Siapa dia?" Tanya remaja itu.

Dengan ragu ia berjalan mendekati wanita itu bermaksud untuk bertanya mengenai tempat ia berada saat ini.

Ia sudah berdiri tepat di belakang wanita itu. Sejenak ia berpikir, ia ragu untuk bertanya pada wanita dihadapannya ini. Bukan karena ragu atau malu, tapi wanita dihadapannya ini seperti membuatnya tersihir hingga tak mampu mengatakan sepatah kata pun. Padahal ia belum tahu wajah wanita dihadapannya ini, tentu karena ia berada di belakang wanita ini.

"Apa yang ingin kamu tanyakan, sayang?"

Ia terperanjat kaget. Selain karena bahasa yang digunakan wanita ini sama dengan bahasa yang digunakan oleh Kapten Besar pasukan Three P.S, ia mengerti. Tapi bagaimana wanita ini bisa tahu keberadaannya? Padahal ia tidak melakukan sebuah pergerakan yang menghasilkan suara. Bahkan ia belum sempat bertanya karena terlalu kagum dengan wanita dihadapannya.

Sadar karena tidak ada jawaban dari remaja di belakangnya. Wanita bergaun itu membalikkan badan menghadapkannya pada remaja dibelakangnya. Ia tersenyum melihat wajah remaja itu, wajah itu masih sama seperti 14 tahun lalu. Dimana ia mendapatkan karunianya yang kesepuluh, ia kembali melahirkan anaknya yang ke sepuluh dari sembilan bersaudara.

Pertama kali ia melihat wajah itu, terlihat tenang, penuh kebahagiaan dan keceriaan yang tergambar jelas atas kelahirannya. Diantara itu, ada sesuatu yang lebih membuatnya senang, sesuatu yang akan menjadikan anak kesepuluh itu sebagai penerus generasi peradaban antar seluruh Galaksi. Sebagai pemilik Garis Keturunan Murni Planet Volle Maan, sebagai Putri Purnama, Galaksi Andromeda.

Ia kembali bertanya pada remaja dihadapannya dan kali ini dengan menyelipkan nama remaja itu dalam pertanyaannya. "Apa yang ingin kau tanyakan, Alisa Alna?"

Remaja itu, Alna. Entah apa yang harus ia jawab sekarang. Seakan kalimat yang ingin ia tanyakan tercekat di tenggorokan. Sungguh, bukan gugup. Kali ini ia benar-benar terpesona memandang wajah wanita dihadapannya dan hal itulah yang membuatnya tidak bisa berkata-kata.

Wajah yang ia pandang memancarkan cahaya. Walau wajah itu masih sedikit silau oleh cahaya yang terpancar, ia tetap dapat merasakannya. Tenang dan teduh, dua kata yang memiliki banyak makna jika di jelaskan secara detail. Kulit halus dan putih bersih tanpa noda yang mengotori. Bibir merah muda yang terlihat mungil juga bulu matanya yang panjang dan lentik. Juga satu hal lagi yang menggambarkan betapa sempurnanya wanita dihadapan Alna saat ini adalah mata wanita ini, dari matanya pusat kesempurnaan diri wanita ini berada. Kedua sudut mata milik Alna dan wanita bergaun itu saling bertemu beberapa saat hingga membuat Alna tak sadar, bahwa iris mata midnight blue wanita ini juga dirinya bercahaya, memancarkan cahaya dengan kilauan warna pelangi yang indah.

Pada detik selanjutnya, Alna merasakan tubuhnya sudah berada pada dekapan wanita ini. Dan entah apa yang ia rasakan, wanita dihadapannya ini memiliki kekuatan besar yang membuatnya luluh seketika. Iris mata dengan warna pelangi milik wanita ini mengingatkan pada waktu dimana ia juga pernah melihat iris mata miliknya sendiri yang saat itu bercahaya dengan warna pelangi juga.

"Maafkan ibu, sayang. Sungguh, maaf."

Dalam dekapan wanita ini, Alna mendengar suara parau juga isakan tangisnya. Ia tidak mengerti. Mengapa ia menyebut dirinya 'ibu' di hadapannya? Mengapa ia meminta maaf padanya? Mengapa ia mendekapnya? Seakan ia adalah bagian hidupnya yang hilang. Alna menangis, tidak tahu mengapa dirinya menangis.

"Alna," wanita itu melepaskan dekapannya, mendorong kedua bahu Alna untuk kembali menjaga jarak antar keduanya lantas kembali melanjutkan. "Kau sudah besar. Andai ibu masih ada, andai ibu bisa bersamamu, andai kau tahu semuanya. Ini tidak akan pernah terjadi."

Banyak kata 'andai' saat ini terlintas di dalam pikiran wanita bergaun itu.

Alna hanya diam, sesekali ia mengusap buliran bening yang meluncur membasahi pipinya. Ia tidak tahu siapa wanita ini. Sungguh, ia ingin bertanya, tapi mulutnya tak sanggup untuk mengatakan apapun. Ia hanya ingin tahu kebenaran yang sesungguhnya.

Wanita bergaun itu kembali berbicara sembari menghapus air mata keduanya. "Alna, kau bisa memanggilku dengan sebutan 'ibunda ratu'."

Setelah sedikit meredakan tangisannya, Alna menyempatkan untuk bertanya. "Maaf, tapi anda siapa?"

Wanita itu tersenyum. Detik selanjutnya, ia meminta Alna untuk duduk bersamanya diatas hamparan rumput rimbun yang dikelilingi taman dengan bunga-bunga bermekaran.

Alna sendiri tak menolak, ia menuruti permintaan wanita ini untuk duduk. Jadilah mereka duduk sembari menatap sungai kecil yang berada di pinggiran taman.

"Aku adalah Ratu yang memimpin Istana Kerajaan Kristal Planet Volle Maan, Galaksi Andromeda pada empat belas tahun lalu. Juga sebagai Putri Purnama generasi ke sembilan belas."

Mau tidak mau, Alna harus terkagum dengan wanita ini. Ternyata apa yang ia fikirkan tentang wanita ini lebih dari sempurna, ia seorang ratu yang memimpin kerajaan.

Dulu Mamanya pernah membacakan sebuah cerita dongeng yang menceritakan seorang ratu yang memimpin kerajaan besar. Dan saat itulah, ia berhayal menjadi seorang ratu yang memimpin kerajaan besar. Hayalan itu memang tidak akan tercapai, tapi ia malah bertemu dengan seorang wanita yang menjadi ratu pemimpin kerajaan besar.

Ia bahkan berpikir jika sebelum tidur ia sempat mengingat cerita dongeng yang dibacakan Mamanya hingga ia bisa bermimpi seperti ini.

"Ini bukan mimpi, Alna. Ini nyata. Mungkin di Galaksi atau Planet lain, mereka menyebutnya dengan istilah 'dongeng'. Bukankah itu yang kau pikirkan?"

Lagi-lagi Alna tersentak, wanita -ibunda ratu- ini seperti mengerti apa yang dipikirkannya tadi.

"Cerita yang di yakini hanyalah sebuah legenda dongeng itu kadang bersifat fiksi. Tapi dalam peradaban sejarah antar Galaksi, cerita itu nyata, bukan hanya sekedar legenda dongeng. Cerita ini berawal dari ribuan tahun lalu, dari awal saat leluhur kita di ciptakan bersama dengan terciptanya planet-planet dalam setiap Galaksi."

Wow! Luar biasa memang jika memang cerita itu benar. Alna kembali berpikir. Mungkin jika di tempatnya hal yang ada dianggap ada, tetapi di dunia lain, hal yang tidak ada bisa jadi memang benar adanya. Contohnya saja dongeng legenda ini.

"Ratu, eh, ibunda. Boleh aku tanya sesuatu?"

"Tentu."

"Jika Galaksi lain itu memang benar adanya, apa ada manusia yang hidup di Galaksi itu?"

Ibunda ratu tersenyum sembari tertawa kecil. "Tentu, contohnya seperti, Ibu dan kamu."

"Tapi, Bu. Apa aneh jika seorang manusia itu memiliki sesuatu yang tidak dimiliki oleh orang lain?" Alna kembali bertanya, ia terlalu penasaran.

"Sesuatu yang tidak ada bisa jadi benar adanya jika dipikir dari luar akal manusia. Itu tidak aneh, semua manusia pasti memiliki gen tersendiri yang mewarisi garis gen para leluhur mereka. Contohnya, kekuatan."

Tepat sekali, Alna tersenyum saat kata 'kekuatan' itu terucap dari bibir Ibunda ratu. Itu artinya ia tidak perlu susah-susah mencari kalimat lertanyaan mengenai hal itu.

"Hmm, itu artinya, Mama dan Papa, juga memiliki kekuatan sepertiku."

"Tidak."

***

Eh, bukankah aku memiliki garis gen itu. Jadi, Mama dan Papa juga pasti memiliki garis gen itu juga, bukan? Batinnya.

"Tapi aku memiliki garis gen itu, kenapa orang tuaku, tidak?"

Ibunda Ratu membuang napas halus. Inikah waktu yang tepat untuk mengatakan semuanya pada Alna, walaupun nanti Alna tidak mempercayainya, setidaknya ia telah menjelaskan semuanya pada Alna.

"Itu karena mereka bukan orangtua kandung, Alna. Akulah ibu kandungmu sayang." Kali ini ia tertunduk mengatakan kalimat yang mengungkapankan kebenaran Alna.

Kali ini Alna diam. Tidak berniat menjawab ataupun kembali bertanya lagi. Emosinya kembali muncul, setelah kapten besar, komandan Ma Goma, Laksamana Mar GoBa, kemudian ketiga sahabatnya dan saat ini adalah wanita yang mengaku dirinya sebagai Ibu darinya. Lantas siapa lagi nanti yang akan mengatakan jika Mama dan Papa yang selama ini telah menjadi bagian dari hidupnya bukanlah orangtua kandungnya.

Alna tersenyum miris mengingat kejadian saat berada di ruangan entah-berantah bersama keempat sahabatnya hanya karena tidak sengaja menyalakan AC kelas yang mati ketika listrik sedang padam.

"Mengapa anda berkata seperti itu?" Lupakan panggilan 'Ibunda Ratu' itu, saat ini Alna hanya ingin kebenaran.

"Ibu tahu kau tidak mempercayai kebenaran itu, sayang. Tapi kau harus percaya jika aku adalah Ibumu."

"Jangan berharap aku akan percaya dengan anda sebelum aku tahu kebenaran dari orangtuaku sendiri, Ratu!"

Sedikit mengganti panggilan untuk wanita ini dari 'Ibunda Ratu' jadi 'Ratu' saja, hanya untuk kesopanan. Tapi tetap saja ia berkata lantang sembari beranjak berdiri lantas menatap iris ruby sang Ratu dengan tajam. Sadar jika iris mata sang Ratu dapat meluluhkannya, ia memalingkan wajahnya kearah lain untuk menghindari tatapan sang Ratu.

"Ibu tahu---" perkataanya terpotong.

"Jangan menyebutmu sebagai 'Ibu'!"

Sakit, itu yang dirasakan oleh sang Ratu saat ini. Anak yang ia lahirkan dari rahimnya telah berkata lantang juga memotong ucapannya hanya karena ia tidak ingin menyebutnya sebagai Ibu. Tapi ia paham dengan keadaan anaknya saat ini, ia harus bersabar. Lagipula, ia sudah sudah memiliki dunia yang berbeda dari anaknya, kalaupun memang nanti Alna sudah tahu kebenaran tentang dirinya, ia hanya bisa merasakan kebahagiaan itu tanpa harus merasakan kebahagiaan itu secara nyata. Ia harus ikhlas memerima kenyataan itu.

"Baiklah, Alna. Maaf sekali lagi, saya hanya bisa berharap jika kau akan menjadi penerus garis gen itu, Alna."

Alna membuang napas kasar. Ia mencoba menahan emosi yang menyeruak.

"Sebelum saya pergi, saya minta satu hal dari kamu, Alna. Datanglah ke Planet Volle Maan di Galaksi Andromeda, ambil kembali seluruh tahta kerajaan atas namamu, Alna. Hanya kau yang memiliki Garis Keturunan Murni para leluhur Galaksi Andromeda, garis gen itu mengalir darah Keturunan Bangsawan."

Tes. Baikalah, pertahanannya benar-benar runtuh kali ini, ia menahan emosi dengan tidak melakukan apapun. Tapi sialnya dengan menahan emosi tidak membuatnya tidak bisa menangis.

Sebelum benar-benar pergi, sang Ratu kembali bicara. "Hanya kau yang memiliki garis keturunan murni itu dari Ibu. Maka berjanjilah pada Ibu untuk merebut kembali tahta itu, sayang."

Alna mengusap cepat air matanya, lantas ia berbalik menghadap sang Ratu. Ia berniat untuk meminta maaf atas kelakuan dirinya yang tidak sopan. Ia baru saja merutuki dirinya, harusnya ia bisa bicarakan masalah ini dengan baik, tapi karena emosi, ia tidak bisa berpikir dengan jernih.

Ia sempurna berhadapan dengan sang Ratu. Terlambat, sang Ratu sudah lebih dulu menghilang bersama sapuan cahaya mengelilingi sekitar yang membuat mata Alna silau. Sedetik sebelum cahaya itu mengelilingi sekitar, ia sempat melihat senyuman indah terukir di wajah sang Ratu, tak lupa juga dengan iris ruby pelangi milik sang ratu kembali bersinar dan berhasil memberikan rasa tenang dan teduh pada Alna.

"Ibu!" Panggil Alna lirih.

***

"IBU!!! " Suara teriakan seseorang di dalam sebuah ruangan pasien rumah sakit membuyarkan pikiran semua orang yang ada di dalam ruangan pribadi Sitta.

Keenam orang di ruangan Sitta tidak berpikir panjang. Mereka berlari keluar dari ruangan Sitta pergi keruangan yang mereka tuju. Saat masih berlari di lorong rumah sakit, langkah mereka berhenti serentak melihat seorang remaja berkerudung biru berdiri tepat di hadapan mereka.

Mata itu sembab, tangannya terkepal kuat, tubuhnya bahkan bergetar. Seperti sedang menahan emosi. Keenam orang itu diam tak berkutik, mereka tahu siapa remaja di depan mereka itu.

Karena tak sanggup melihat remaja di depannya seperti itu, Hida memutuskan untuk berjalan maju menghampiri anak yang ia sayang. Ya, remaja di depannya sekarang adalah anaknya, Alna.

"Maafkan, Mama, sayang."

Saat Hida hendak menyentuh bahu Alna, ia lebih dulu mundur beberapa langkah untuk menghindari pelukan sang Mama.

Walaupun wajah Alna menunduk, semua tahu jika wajah itu menyembunyikan kesedihan dan kemarahan dalam dirinya. Zahra mencoba maju, berniat memberikan ketenangan pada sahabat kecilnya itu. Tapi lagi-lagi, gerakan Zahra terhenti saat Alna kembali mundur beberapa langkah. Mereka yang melihat Alna yang terus menghindar menjadi bingung, entah apa yang ada dalam pikiran Alna kali ini, tapi mereka tahu jika Alna sedih dan marah.

"Katakan padaku yang sebenarnya, Ma."

Sitta, Rahman dan Hida sontak terkejut mendengar permintaan Alna. Memintanya untuk mengatakan kebenaran tentang dirinya, tentu mereka bingung, dari mana Alna mengetahuinya? Pertanyaan ketiganya terbalas saat Alna kembali berkata.

"Tak perlu tahu, aku tahu dari mana," Lirih Alna.

Semua kembali diam membeku saat Alna mengangkat wajahnya, menatap keenam orang di hadapannya dengan sorotan mata yang kosong tak terbaca. Tapi mereka begitu terpesona saat iris mata Alna yang awalnya berwarna midnight blue bercahaya terang menampilkan warna pelangi di dalam iris mata Alna. Tentu ketiga sahabat Alna itu tahu apa yang sedang terjadi pada sahabatnya, sedangkan tiga orang lainnya masih menatap Alna terpesona, mereka bahkan baru tahu jika Alna memiliki warna iris mata seindah itu.

Alna hanya menatap mereka diam tak bergerak, ia meminta penjelasan pada orang-orang di hadapannya saat ini, tapi mereka malah menunjukkan wajah kagum mereka padanya. Tatapan kagum keenam orang di hadapan Alna membuat kefokusan atas rasa kesedihan dan kemarahannya buyar. Dengan cepat Alna membalikkan tubuhnya kebelakang menatap ujung lorong rumah sakit, ia berniat pergi meninggalkan keenam orang di belakangnya, tapi langkahnya terhenti saat merasakan sebuah tangan melingkar di kedua pergelangan tangannya. Ia tahu pemilik kedua tangan itu, Zahra dan Zrine.

"Kita bisa jelaskan semuanya dengan baik-baik, jangan seperti ini, Na," Zahra mencoba membujuk.

"Bagaimanapun juga kau tetap anak mereka, anak yang di rawat dan di besarkan dengan kasih sayang orangtua. Tidak pantas jika kau harus meninggalkan mereka begitu saja saat kau tahu yang sebenarnya." Zrine ikut membujuk.

Kalimat Zahra dan Zrine itu membuat Alna tertegun. Benar apa yang dikatakan kedua sahabat Alna itu, seharusnya ia bersyukur karena ia masih bisa memiliki keluarga yang utuh walaupun keluarga itu berbeda aliran darah dengannya. Seharusnya ia berterimakasih karena keluarga itu sanggup memberikan kasih sayang yang tulus padanya yang bukan siapa-siapa keluarga itu. Alna kembali menangis mengingat masa-masa dimana orangtuanya begitu besar memberikan perhatian, kebahagiaan, serta kasih sayang yang tulus padanya. Seharusnya ia tak bersikap seperti itu pada orang tuanya.

Zahra dan Zrine melepas genggaman tangan mereka dari tangan Alna, mereka kembali mudur membiarkan Alna memilih keputusan yang Alna ambil. Rahman dan Hida berharap agar Alna tetap bersama mereka, bagaimanapun juga Alna adalah anak mereka, Alna berhak untuk kembali pulang bersama mereka. Tapi jika Alna menolak, tidak ada kata lain selain berusaha untuk mengikhlaskan kepergian putri sulung mereka.

Alna berbalik menatap keenam orang di hadapannya kembali dengan senyumannya yang mengembang. Keenam orang itu terkejut melihat senyum yang terpancar di wajah Alna, mereka senang melihat senyuman itu mengembang. Bukan, itu bukan senyum terpaksa yang Alna tunjukkan hanya sekedar untuk menghibur keenam orang itu, senyuman itu tulus ia pancarkan.

"Maaf, Ma, Pa. Maaf juga Ra, Zrine, Alfa. Juga Dokter Sitta, maaf. Tidak seharusnya aku seperti ini."

Keenam orang itu tersenyum lega mendengar ucapan Alna. Hida yang senang langsung memeluk putri sulung mereka, kali ini Alna tak menghindar, hal itu membuat Hida senang dan makin mengeratkan pelukannya pada Alna. Rahman juga tampak lega, ia juga melangkah maju mendekati Alna dan Hida, ia tak bermaksud ikut memeluk keduanya, hanya menyamakan tinggi badannya dengan Alna lantas mengelus puncak kepala Alna dengan lembut penuh kasih sayang.

Hari ini, di sebuah lorong rumah sakit menjadi saksi betapa besar kasih sayang Rahman dan Hida pada Alna.

Zahra dan Zrine juga berpelukan, mereka ikut senang karena Alna bisa menerima Rahman dan Hida. Sitta hanya bisa diam, tak bisa di tebak berapa senangnya dia melihat keluarga Rahman dan Hida yang bisa menyayangi Alna dengan tulus. Alfa? Tentu dia sangat senang sekali sebenarnya saat melihat sahabatnya bahagia, tapi saat seperti ini tak membuat hatinya kukuh untuk memasang rasa iri atas kebahagiaan Alna, ia rindu kebahagiaan seperti ini saat keluarganya masih utuh. Tapi ia cukup bersyukur karena selama ini masih ada kakaknya yang mendampinginya dan memberikan kasih sayang padanya, walaupun kakanya selalu sibuk dengan misi yang di jalankan hingga membuat keduanya jarang bertemu, Alfa akan tetap menyayangi kakaknya.

***

Next episode 4...