Kalian tidak jadi kembali ke station Three P.S?" Tanya remaja perempuan berkerudung biru aqua yang duduk di atas brankar rumah sakit.
Empat remaja yang sedang duduk santai di sofa ruangan itu mengalihkan pandangan mereka ke asal suara.
"Kami kembali tadi malam, Na." Jawab remaja berkerudung merah muda yang sedang membaca buku.
"Tapi komandan Ma Goma meminta kami untuk kembali bersamamu, Na." Remaja dengan bando biru yang sedang berkutik dengan HP-nya menambahkan.
"Untuk apa komandan Ma Goma meminta kalian untuk membawa, Alna, juga?" Kali ini pemuda berkaos putih dengan jaket hijau-kuning yang sedang memakan apel ditangannya bertanya.
"Kenapa, Ra, Zrine?" Alna kembali bertanya.
"Entahlah" Jawab Zahra dan Zrine serempak.
Sedangkan remaja dengan kacamata visor-nya hanya diam, tak berminat mendengarkan percakapan keempat sahabatnya, ia lebih memilih untuk diam menikmati ketenangan sembari mendengarkan musik yang beralun lembut di earphone yang terpasang di kedua telinganya.
Krieet...
Suara dari pintu ruangan mambuyarkan pikiran mereka. Pandangan mereka -kecuali Alfa- mengarah pada pintu ruangan yang menampakkan tiga sosok yang masuk kedalam ruangan itu.
"Kau sudah boleh pulang, Alna." Sitta, salah satu dari tiga orang yang masuk dalam ruangan itu berbicara.
Alna yang senang karena tidak perlu menginap di ruangan yang membuatnya bosan itu berseru senang. Keempat sahabatnya juga senang, mereka beranjak berdiri untuk membantu Rahman dan Hida merapikan pakaian dan perlengkapan Alna juga mereka sendiri selama menginap di rumah sakit untuk menemani Alna.
Sekitar tiga hari Alna dirawat di rumah sakit, keempat sahabatnya itu juga tak pernah absen untuk tidak datang menjenguknya, bahkan selama dua malam mereka lebih memilih untuk menginap di rumah sakit untuk menemani Alna. Walaupun ada perasaan kesal dari Zahra, Zrine juga Bryant terhadap Alfa yang harus dipaksa untuk ikut menemani mereka, akhirnya rasa kesal itu terbayar setelah Alfa menerima ajakan mereka dan ikut menemani dalam dua malam mereka di ruangan Alna.
***
Alna:
Aku masuk kedalam mobil Alphard yang bernuansa putih tapi tidak dengan bagian dalam mobil itu yang bernuansa warna kesukaanku, biru. Tak banyak yang berubah selama aku berada di rumah sakit selama tiga hari ini, akhirnya aku bisa kembali pulang, walaupun banyak sekali pertanyaan yang aku pikirkan sejak aku sadar dari pingsan dua hari yang lalu.
Aku duduk di samping kemudi mobil, dengan Zahra dan Zrine yang di posisi bangku tengah, sedangkan Alfa dan Bryant yang ada di belakang. Sebenarnya Alfa, Zrine dan Bryant menolak ajakanku, tapi atas perintah Mama dengan alasan untuk berkunjung sebentar dan tanpa ada penolakan dari ketiganya, mereka hanya mengikuti. Sedangkan Zahra, toh dia itu sudah kuanggap seperti saudara sendiri, bahkan tak jarang aku pergi liburan atau hanya sekedar refreshing bersama, bahkan lemari ku penuh dengan baju Zahra begitupun lemari Zahra yang penuh dengan pakaian kami, parahnya saat kami tidak sengaja memakai baju yang dipakai bukanlah milik kami sendiri, padahal rumah Zahra ada di depan rumahku.
Sebenarnya aku masih bertanya-tanya mengenai kebenaran tentang keluargaku, aku memang belum menanyakan langsung pada Mama atau Papa, aku masih perlu waktu untuk bertanya pada mereka tentang semua kebenaran ini. Tidak mungkin jika aku harus memaksa mereka untuk mengatakan semuanya, Mama dan Papa tidak berhak menerima perlakuan tak menyenangkan dariku, lagipula tanpa mereka aku tak akan memiliki kehidupan yang nyaman.
Menghabiskan perjalanan selama duapuluh menit dari rumah sakit menuju kerumah itu benar-benar melelahkan, sedari tadi aku hanya diam membisu tak berniat membuka percakapan diantara kami berlima. Pak Arwan, yang menjadi sopir di mobil yang kami naiki tak sekalipun ingin menganggu pikiran kami masing-masing, pak Arwan tahu betul sikapku yang jika sudah nyaman dengan pikiran itu sendiri tak akan bisa diganggu gugat, yang ada pak Arwan malah kesal karena aku cuekkin.
Mobil Alphard putih berjalan memasuki salah satu perumahan elit di kota pahlawan, menjalankan mobil hingga menuju lokasi tujuan. Aku tersenyum lebar melihat rumah super duper mewah bernuansa putih di depannya, aku melihat satu mobil Alphard lain yang terparkir di dalam garasi saat mobil yang aku naiki telah memasuki pekarangan rumah dan berhenti tepat di depan tangga berkeramik abu-abu yang menjulur langsung pada pintu utama.
"Sudah sampai, non."
"Iya, pak, makasih."
Pak Arwan mengangguk sembari membalas senyuman yang ku beri. Walaupun banyak para asisten rumah tangga yang bekerja di rumahku, tak pernah sekalipun aku merendahkan ataupun bertindak semena-mena pada mereka, mereka itu juga manusia, mereka punya hati yang bisa tersakiti. Papa dan Mama selalu mengajarkan ajaran yang baik untukku untuk bersikap pada mereka selayaknya saudara kami, ya, aku menganggap mereka sebagai saudara. Jika mereka butuh pertolongan, aku akan maju di barisan paling depan untuk membantu mereka sebagai pelindung, sebagai bentuk terimakasih atas kesetiaan mereka pada keluarga kami.
"Kalian dari tadi diam saja, tidak ingin masuk?"
Pertanyaan Mama membuat lamunanku terbuyar, aku menatap Mama yang berdiri di depan pintu sembari melipat kedua tangannya di dada.
"Kalian ini kenapa sih? perasaan gak ada satupun yang maju kecuali aku." Zahra menatap Zrine, Alfa dan Bryant dengan bingung melihat ketiga sahabatnya -sahabatku juga- yang masih setia memandangi sekitar rumahku.
Mama tersenyum kecil melihat tingkah mereka bertiga yang seperti baru melihat kerajaan besar dan megah di hadapan mereka.
"Gila lo, Na. Punya rumah segede gunung kenapa gua baru tahu, ya." Ungkap Bryant jujur padaku.
Aku memutar bola mata malas, "Udah masuk dulu, kasihan, Papa, udah nunggu di dalam." Aku beranjak memasuki rumah dengan menggandeng dua tangan berbeda orang, siapa lagi kalau bukan Zahra dan Zrine.
Alfa yang tersadar dari pikirannya pun langsung menyusul masuk sembari menyeret Bryant yang masih sibuk memperhatikan sekitar.
"Eh, main seret-seret aja, emang aku karung beras apa?" Masa bodoh menanggapi celotehan Bryant, Alfa lebih memilih masuk dengan tetap menyeret Bryant masuk kedalam.
Aku kembali menggelengkan kepalaku untuk kesekian kalinya melihat tingkah Bryant yang sekarang sedang melihat-lihat perabotan yang ada di dalam ruang tamu rumahku, seperti dua ayunan rotan besar berbalut kain lembut berwarna biru dan merah muda yang terpasang dengan sebuah nama pemilik di atas bantal berbulu masing-masing ayunan, ada namaku dan nama adikku, Nur Aisyah An-Nahar. Aku kembali membulatkan mata saat melihat Bryant memasuki kandang burung raksasa yang lebih mirip rumah burung tapi ukurannya besar, seperti sudah ada di kebun binatang saja katanya saat Bryant memasuki kandang burung raksasa itu.
"Wah, Na, gak sia-sia aku punya sahabat seperti kamu." Bryant yang sudah selesai dengan tingkah anehnya kembali bergabung bersama dengan kami berenam juga Papa dan Mama di ruang tamu.
"Siapa kamu?"
"Sahabat kamu lah, masa syaithon." Jawabnya sembari menekan kata syaithon dengan menekan kata itu dalam kalimatnya membuatku merinding.
Bukan takut karena kalimat Bryant tadi, aku hanya takut saja kalau nanti Papa atau Mama marah karena tidak suka dengan tingkah laku Bryant yang menurutku terlalu bar-bar. Aku bahkan menelan ludah melihat wajah Papa dan Mama yang terus memperhatikan Bryant, sedangkan yang di perhatikan hanya tersenyum polos. Entah bodoh atau polos, Bryant dengan santai malah mengajak Papa dan Mama untuk bebasa-basi bersamanya.
"Maaf, Om, Tante. Saya cuma penasaran saja sama isi rumah, Om sama Tante."
"Senang sekali sepertinya,"
"Oiya, dong, Om. Betah sekali kalau saya tidur di sini."
Aku menepuk jidat, aduh, Bryant tahu gak sih kalau dia itu udah buat kita berempat sebagai sahabat yang baik buat dia itu lagi khawatir kalau tiba-tiba saja diterkam. Aku menarik kembali ucapanku, lagipula selama ada yang berkunjung kerumah dengan sikap atau kelakuan apapun terhadap keluarga kami, bukankah Papa dan Mama selalu bersikap santai dan biasa saja? Oh, iya, benar. Tamu itu seperti raja yang harus diutamakan, selain Bryant juga banyak yang datang berkunjung kerumahku dengan tingkah yang lebih aneh darinya. Bahkan ada yang pernah sampai langsung ceburin dirinya ke air saat lihat halaman belakang rumahku ada kolam renang luas yang juga tersusun beberapa tempat santai dan seluncuran besar dengan berbagai macam bentuk atau jenis yang kalau diperhatikan seperti sudah ada di dalam dunia waterpark.
***
Tujuh orang dengan wajah yang sama sedang berkumpul di ruangan yang menjadi kamar tidur bagi mereka di station Three P.S, ada sekitar sembilan ranjang berjejer rapi di ruangan itu yang dibagi dua sisi, empat ranjang milik Petir, Angin, Tanah, dan Reyhan berada di sisi sebelah kanan ruangan, lima ranjang lainnya milik Api, Air, Daun, Cahaya, dan Noon berada di sisi kiri ruangan.
Tujuh orang dengan wajah yang sama bukan berarti juga memiliki sifat atau perilaku yang sama. Ruangan itu tampak besar sekali, bahkan cukup untuk di tambah empat puluh satu penghuni lagi saking besarnya. Walaupun ruangan itu ramai bagaimanapun juga, bukan berarti dapat mengubah sifat dan kepribadian para pemilik ruangan itu.
Petir, seperti namanya, sifat dan kepribadian yang dingin, cuek, tak peduli dimanapun ia berada, raut wajah yang ditampilkan selalu sama, datar. Dibawah Petir, ada Angin dan Tanah, mereka memang satu waktu saat lahir, tapi sifat dan kepribadian mereka sangat berbalik 180 derajat masing-masing dari yang lain. Angin yang selalu ceria, tak pernah menampilkan raut wajah kesedihan, kepribadian yang tak bisa diam karena selalu penasaran, mengajarkan hal-hal yang tak pernah dilakukan orang lain hanya pada saudaranya, Api dan Daun, hingga banyak yang menyebut mereka sebagai Trio Troublemaker. Sedangkan Tanah, sebagai adik ketiga dari kembar pertama memiliki sifat dan kepribadian yang paling menonjol diantara semua saudaranya. Hanya Tanah lah yang tidak memiliki sifat atau kepribadian seperti saudara lainnya, baik, ramah, jujur, sopan, lemah lembut, tak pernah membuat keributan seperti yang dilakukan trio trublemaker, pintar walau tak sepintar si kembar sulung, Petir dan si kembar ketujuh, Cahaya.
Bugh...
Suara keras dari sisi kanan pojok ruangan membuyarkan suasana didalam ruangan itu, terdengar suara dehaman keras yang keluar dari pemilik ranjang bernuansa hitam merah tersebut. Dua orang yang menampilkan wajah khawatir langsung berlari kearah pemilik ranjang itu, tiga orang yang di sebut trio troublemaker mematung tegang di tempat setelah menyesali perbuatan mereka yang membuat mereka bersiap menjaga nyawa mereka sendiri. Sedangkan satu orang lagi hanya melihat sekilas lantas kembali menyambung mimpi indah yang sempat putus.
"Kak, kakak, nggak kenapa-napa 'kan, kak?"
Tanah dan Cahaya, dua orang yang khwatir tadi bersamaan bertanya pada kakak sulung mereka, Petir.
Petir yang tadi sedang santai sembari membaca salah satu buku pelajaran di atas ranjangnya harus terjatuh saat sebuah hantaman keras dari sebuah bola api yang melayang ke arahnya hingga membuat Petir tersungkur jatuh dari ranjangnya.
"Kak Petir!" Cahaya kembali memanggil nama Petir, tapi sang empu hanya diam tak menggubris.
Petir beranjak berdiri dari tempatnya tersungkur, Tanah dan Cahaya yang sudah tahu dengan apa yang akan dilakukan kakak sulung mereka lakukan hanya diam.
Angin, Api dan Daun yang melihat tatapan datar dari kakak sulung mereka bersamaan meneguk ludah. Walaupun wajah datar yang dilihat mereka dari Petir bukan berarti mereka tetap selamat dari kemarahan kakak sulung mereka itu.
"Hehehe, kakak baik kan, kak?" Tanya Angin dengan menampilkan wajah tanpa dosanya.
"Baik-lah, kak Petir, kan kuat. Iya, kan, kak?" Api ikut nyengir bagai kuda membenarkan ucapan Angin.
Angin dan Api kembali diam saat Petir melangkahkan kakinya kearah mereka, bagai berada di bawah langit hitam dengan beberapa awan mengeluarkan sambatan kilat.
Wajah Petir masih datar saat langkahnya terhenti di hadapan tiga adiknya. Berbalik dengan tiga adiknya yang menatap Petir dengan tatapan yang berbeda, Angin dengan cengiran kudanya, Api dengan wajah datar tapi hatinya menjerit takut, sedangkan wajah memohon dengan mata berkaca-kaca milik Daun membuat Petir menghela napas kasar.
"Siapa yang lempar bola api, tadi ke kakak?" Tanya Petir lembut tapi dengan aura mematikan membuat ketiganya kembali meneguk ludah.
"Huwaaaaa!!! Daun gak ikutan, cuma lihatin kak Api, yang buat bola api sama kak Angin, yang mainin bola api-nya kak Api."
Tak tega dengan wajah imut dan lucu milik Daun yang sekarang sedang menangis sembari memeluk kakak sulung mereka membuat Tanah turun tangan membantu Petir untuk menenangkan tangisan Daun.
Semua orang tahu jika Daun memang polos, imut, lucu bahkan membuat orang lain takut untuk menyakiti hati lembutnya.
Petir tahu, walaupun Daun memang aktif alias petakilan seperti Angin dan Api, sekalipun Daun tidak pernah melakukan hal yang dapat merugikan orang lain. Mencelakai saja ia butuh berpikir dua kali, apalagi membunuh, hatinya terlalu lembut untuk melakukan dua hal itu.
Petir kembali menatap dua adiknya yang tersisa setelah Daun berlari dari hadapannya ke arah Tanah sembari menangis kencang.
Angin dan Api saling tatap, seperti sedang melakukan telepati satu sama lain.
Mungkin kita bisa melakukan hal yang sama seperti Daun, satu kalimat yang sama dalam dua pikiran yang berbeda.
Tepat saat itu juga, Petir yang sudah tentu hafal dengan kelakuan dua saudara sengklek -nya ini langsung menatap kedua manik mata mereka masing masing dengan tajam. Angin dan Api yang sadar tak akan ada kesempatan untuk membujuk kakak sulung mereka itu mengurungkan niat mereka untuk berpura-pura menangis sembari memasang wajah memohon mereka.
"Kita gak sengaja, kak." Ucap Angin dengan cengiran kuda yang diangguki oleh Api.
"Kalian semua tahu peraturan yang kakak buat, kan."
Angin dan Api kembali meneguk ludah, entah sudah berapa kali mereka melakukannya. Dua pasang mata milik mereka masing-masing melihat percikan listrik kuning yang menjalar di kedua telapak tangan Petir. Mereka tahu peraturan milik kakak sulung mereka, jika siapapun yang berani mengganggu kakak sulung mereka, berarti berani menerima atas resiko yang mereka lakukan setelah mengganggu kakak sulung mereka. Walaupun ini bukan yang pertama kalinya bagi dua anggota trio troublemaker menerima resiko setelah membuat mereka harus berhadapan dengan kakak sulung mereka, hal itu tetap menjadi tantangan tersendiri untuk mereka saat menerima hukuman.
"Kalian tahu, apa akibat dari melanggar aturan ku, bukan?"
Bodoh jika mereka menggeleng dan mengucapkan kata 'tidak tahu' pada Petir, karena peraturan yang Petir buat sudah ada sejak mereka kecil.
Angin dan Api bergidik ngeri saat kedua tangan Petir hendak menyentuh pundak mereka masing-masing, percuma saja mereka menghindar jika ujung-ujungnya juga akan Petir kejar. Tapi kali ini, sepertinya dua anggota trio troublemaker itu pertama kali bisa terbebas dari hukuman Petir.
Tepat saat kedua tangan Petir hampir menyentuh pundak Angin dan Api, pintu ruangan kamar mereka terbuka dengan menampilkan wajah lelah si kembar bungsu membuat seluruh pasang mata di dalam ruangan menatap si kembar bungsu untuk meminta penjelasan.
"Kau ini kenapa?" Cahaya yang bingung dengan keadaan yang tiba-tiba hening memutuskan untuk bertanya.
"Noon, kenapa, kak?" Pertanyaan polos dari Daun hanya di jawab Tanah dengan mengangkat kedua bahu.
Si kembar bungsu, Noon, masih berusaha mengambil oksigen sebanyak-banyaknya karena lelah setelah berlari dari ruang rapat menuju kamarnya yang berjarak lima puluh meter.
"Diminta kumpul kak, sama Ayah." Noon kembali mengatur napas setelah berbicara.
Tujuh kembar bersaudara itu hanya diam menatap Noon bingung, untuk apa Ayah mereka tiba-tiba meminta untuk mengumpulkan mereka di malam hari seperti ini? Tidak biasanya memang mereka mendapat panggilan untuk berkumpul malam-malam, biasanya ada asisten pribadi Ayah mereka yang memberitahu pesan dengan datang ke kamar mereka.
"Kamu ngomong apaan, sih?" Beo Api.
"Aduh, kalian ini. Di minta Ayah kumpul di ruang rapat, cepat!" Tak peduli dengan kakak-kakaknya yang masih kebingungan, Noon memutuskan langsung pergi kembali menuju ke ruang rapat.
Yang penting aku udah kasih tahu mereka, kan. Bodoamat. Pikirnya.
"Noon, kenapa ya, kak?" Api yang masih bingung dengan ucapan Noon kembali bertanya entah pada siapa.
"Eh, eh, kak, kita mau kemana?" Angin yang kaget karena ditarik tiba-tiba oleh Petir langsung protes.
Tanah dan Cahaya hanya menurut lantas berlari mengikuti kedua kakak mereka yang sudah lebih dulu pergi.
Daun yang bingung hanya bisa ikut menurut saat tangannya ikut ditarik dengan Tanah membuat Daun sedikit terkejut.
"Lah, terus, aku ditinggal," Api mengernyit bingung, detik selanjutnya ia tersenyum saat matanya menangkap adik satu kembarnya sedang tertidur pulas di ranjang tidurnya dengan nyaman, tak terusik sedikit pun dengan keributan tadi. Tanpa berpikir panjang, Api lansung menarik adik kembarnya itu hingga Air yang nyawanya belum terkumpul langsung terperanjat kaget.
"Apaan sih, lo, kak? Emang gua karung beras apa? seenak jidat lo tarik-tarik gua."
"Diam, ah lo, mayat hidup. Di suruh Ayah kumpul."
Air mengernyit bingung. "Ngapain Ayah suruh kita kumpul malam-malam buta kek gini? Terus kenapa lo cuma narik gua sih, kak? Yang lain 'kan ada."
Rentetan pertanyaan Air di todongkan pada Api karena kesal waktu tidurnya terganggu. Api yang menarik Air juga ikut kesal, tapi tak mengurungkan Api untuk menjawab pertanyaan Air.
"Mana gua tahu, udah, ikut aja! Gua narik lo, karena yang lain udah pada kabur duluan."
"Eh!"
"Udah, diam, napa?"
"Hm."
Air hanya berdeham memberi jawaban Api, terpaksalah dia harus menunda waktu tidurnya hanya untuk memenuhi panggilan dari Ayahnya, sang Kapten Besar.
***
Alna :
Suasana ruang tamu rumahku begitu hening setelah aku mengajukan pertanyaan yang membuat semua orang diam.
"Kau tahu, sayang? Papa dan Mama memang bukan orang tua kandung, Alna. Tapi kami begitu menyayangimu seperti kami memberikan kasih sayang pada Aisyah."
Aku kembali menatap Papa, hanya bisa memperlihatkan senyuman tulus pada Papa. Sekarang aku percaya kalau aku memang bukan anak kandung mereka, aku tidak ingin pergi dari rumah, tapi aku juga ingin tahu siapa orang tua kandungku.
"Apa boleh kami tahu, bagaimana Alna bisa di temukan dan menjadi bagian keluarga, Om?"
Papa dan Mama saling tatap mendengar pertanyaan Zrine. Aku tahu Zrine hanya ingin mengungkap kebenaran, mungkin dari cerita atau beberapa penjelasan dari Papa dan Mama bisa jadi petunjuk menemukan orang tua kandungku.
"Tentu," Aku membulatkan mata, begitu juga dengan keempat sahabatku. Terutama Alfa yang biasanya saja tak peduli, kini matanya fokus menatap Mama dan telinganya sudah siap mendengarkan cerita.
Mama menjawab pertanyaan Zrine dengan santai dan tenang, tak ada sorot keberatan di wajah Mama untuk menceritakan kebenaran tentang aku. Mama tersenyum pada kami lantas mengambil napas halus dan mulai bercerita.
***
Pagi hari dengan cahaya matahari bersinar terang di atas sana. Gunung tinggi menjulang ke atas langit, hutan lebat dengan pepohonan tumbuh subur dan rimbun di sekitar alam. Suara kicauan burung terdengar seperti mempertunjukkan nyanyian indah mereka. Rumput hijau membentang alam seakan ikut menari ter-iringi nyanyian indah para burung.
Seorang wanita muda duduk santai di atas kursi balkon kamarnya, menatap halaman belakang rumahnya dengan tenang, sesekali mengelus perut yang kian membesar, tak sabar menunggu buah hatinya yang akan terlahir sebagai putri pertama di kehidupannya.
Di tempat lain, seorang pria sedang duduk santai di dalam mobil Alphard bernuansa putih dengan perasaan bahagia, setelah lelah beberapa hari ia pergi keluar kota untuk bekerja dan meninggalkan istrinya yang sedang mengandung di rumah sendirian.
Pria itu begitu senang setelah mobilnya telah masuk kedalam pekarangan rumah bak istana dengan nuansa putih, rindu yang ia pendam selama beberapa hari akan segera sirna setelah bertemu dengan istri tercinta juga calon anaknya.
Pria itu berjalan memasuki rumahnya, tak ada yang tahu jika ia pulang hari ini, entah para asisten rumah tangga yang bekerja di rumahnya atau bahkan istrinya sendiri. Pria itu langsung naik ke lantai dua rumahnya, lebih tepatnya ia menuju ruangan yang ia trmpati bersama istrinya.
"Assalamualaikum, sayang!"
Wanita yang sedang santai di balkon kamarnya langsung tersentak kaget mendengar suara seseorang yang sangat ia cintai. Ia berdiri dari kursinya, mencari keberadaan sosok pria yang mengucapkan salam padanya. Ia tersenyum manis sembari berjalan menghampiri pria yang berdiri di depan pintu kamarnya.
"Wa'alaikumussalam. Kenapa mas Rahman, gak bilang kalau mau pulang sekarang?"
Pria itu, Rahman, tersenyum sembari mengusap lembut kepala wanita berbalut kerudung pashmina jingga di hadapannya.
"Untuk surprise istri tercinta aku, Hidayatul Lail."
"Iya, tapi kan, aku bisa siap-siap dulu buat nyambut kedatangan, mas Rahman."
"Gak perlu sambutan, aku udah bahagia lihat kamu bahagia, Hida."
Hida tersenyum lembut. Mereka kini sedang berada di ruang keluarga, Hida yang fokus menonton televisi sedangkan Rahman sibuk dengan koran yang ia baca.
"Mas, kamu ada libur nggak, akhir pekan?"
Rahman mengalihkan pandangannya menatap Hida. "Satu bulan ini aku libur, kita liburan yuk!"
"Serius, mas?"
"Apasih, yang enggak buat istri tercinta aku."
"Nanti kita ke rumah Ibu, ya. Kasihan Ibu, selama Bapak meninggal, Ibu jadi tinggal sendiri."
Rahman mengangguk, menyetujui permintaan Hida untuk pergi ke rumah Ibunya.
Semenjak Rahman menikah dengan Hida, ia begitu bersyukur karena dapat merasakan kasih sayang yang tulus dari kedua orang tua Hida. Sejak kecil Rahman sudah di tinggal oleh kedua orang tuanya membuat Rahman harus terbiasa berjuang hidup dengan banyaknya tantangan yang menghadang.
Rencana liburan mereka berjalan dengan lancar hingga sampai di rumah Ibu Hida, wanita yang berusia tak muda lagi menyambut kedatangan Rahman dan Hida dengan senang.
"Kalian liburan disini berapa lama?"
"Mungkin satu bulan penuh, Bu. Selama mas Rahman masih libur, kita tetap disini. Iya, kan, mas?"
"Iya, Bu. Lagipula sudah lama kami tidak mengunjungi, Ibu. Maaf, Bu?"
"Tidak masalah. Sudah, mari kita makan dulu."
Malam itu, mereka menghabiskan waktu kebersamaan yang indah dengan orang-orang tercinta mereka. Hingga tak sadar bahwa sebuah masalah besar membuat keluarga mereka terpaksa merahasiakan sebuah hal besar pada semua orang.
***
Alna :
"Rahasia apa yang membuat Anda harus menyembunyikannya dari semua orang?" Bryant memotong cerita Mama.
Aku melempar bantal sofa kearahnya membuat Bryant mengaduh kaget. Sedangkan Zahra, Zrine dan Alfa menatap Bryant kesal karena cerita Mama terpotong.
"Apa, sih, Na?"
"Jangan potong cerita Mama, napa, sih!"
"Aku cuma mau tanya aja."
"Kamu gak tanya pun, jawaban itu sudah ada di dalam cerita Mama."
"Iya, iya. Maaf, Tante. Silakan lanjutkan ceritanya."
***
Suara kencang dari ketukan pintu rumah menggangu pikiran Hida dan Rahman yang sedang menonton televisi di ruang keluarga.
Mereka saling tatap dan bertanya-tanya, hari sudah menunjukkan pukul sepuluh malam dan masih ada orang yang mau bertamu seluruh ini.
Rahman dan Hida memang tampak ragu, tapi tak mengurungkan mereka untuk tetap melangkahkan kaki mereka ke arah pintu untuk mengetahui siapa yang bertamu selarut ini.
Daerah pedesaan yang menjadi tempat tinggal bagi Ibu Hida memang jauh dari ramai pemukiman, bahkan setiap satu kampung hanya berisi dua puluh rumah penduduk. Tak pernah sekalipun ada yang keluar rumah setiap malam ataupun bertamu, hanya jika dalam keadaan darurat saja penduduk mau keluar dari dalam rumah, itu pun tak banyak, mungkin hanya dua atau tiga orang saja.
Rahman perlahan membuka pintu rumahnya dengan perasaan gugup, Hida yang berada di belakang Rahman hanya berharap cemas, terus berpikir positif.
Saat pintu itu terbuka, Rahman dan Hida bernapas lega saat melihat seorang pria seumuran dengan Rahman berbaju khas orang pedesaan berdiri tersenyum pada Rahman dan Hida. Tapi yang mereka pikirkan sekarang, pria itu membawa sebuah peti kaca yang indah.
"Maaf, menggangu aktifitas kalian berdua. Saya ingin berbicara pada kalian."
Suara pria itu menyorot kan rasa sedih, tapi ia berusaha tetap tenang.
Rahman dan Hida yang meyakini pria itu tak akan melakukan hal jahat akhirnya mempersilakan pria itu masuk.
Tak lama setelah mereka bertiga duduk di sofa ruang tamu, Ibu Hida keluar dari kamarnya, melangkah turun.
"Siapa yang datang?"
Ibu Hida begitu terkejut saat melihat wajah pria yang menjadi tamu di rumahnya malam ini, tapi karena tatapan pria itu padanya yang mengisyaratkan untuk bersikap biasa saja dan tak mengenali pria itu.
"Malam, pak."
"Maaf, saya menganggu aktifitas keluarga kalian dengan datang selarut ini."
"Tidak masalah. Ada perlu apa, bapak datang kerumah kami selarut ini?" Tanya Hida lembut pada pria itu.
Pria itu meletakkan sebuah peti kaca yang indah di atas meja, tak cukup untuk mengatakan peti itu indah. Bagaimana tidak? Alas yang menjadi peti itu terbuat dari kristal putih yang indah menyala, ada helai kain seperti selimut sutra berwana sky blue seperti sedang menutupi benda di baliknya.
Tangan kanan pria itu mengetuk pelan peti kaca yang di bawanya. Tak lama kaca yang menutupi peti itu menghilang tanpa bekas sedikitpun, tentu hal itu mengundang wajah bingung yang ditampilkan oleh Rahman dan Hida, tak lupa dengan kepura-puraan Ibu Hida.
"Saya tak bisa menjelaskan semuanya pada anda. Saya hanya ingin meminta tolong untuk menjaga dan merawat anak ini, jika nanti sudah waktunya kebenaran terungkap, saya akan ambil kembali anak ini."
Betapa terkejutnya ketiga tuan rumah itu saat melihat bahwa benda yang tertutupi oleh helaian kain itu adalah seorang bayi.
Ketiga tuan rumah itu terkejut sekaligus kagum. Kulit putih dan bersih, bayi itu memakai dress berwarna biru laut panjang hingga mata kaki dengan lengan panjang di bawah siku, rambut panjang menjuntai indah dengan warna biru malam dan beberapa helai rambut berwarna putih bagai cahaya rembulan di malam hari.
"Tapi, untuk apa?" Tanya Hida masih memasang wajah terkejutnya.
"Tolong rahasiakan semua ini pada siapapun hingga nanti saya sendiri yang memberitahukan kebenarannya."
"Tapi, kami, tidak bisa melakukannya." Tolak Hida halus dan diangguki oleh Rahman.
"Saya akan urus semua biaya keluarga kalian berapapun jumlahnya, saya mohon jaga anak ini!" Katanya lagi sembari memohon.
Bukan masalah biaya atau apa pun yang berkaitan dengan pembayaran, toh keluarga mereka adalah direktur ternama yang memiliki perusahaan besar dengan begitu banyak cabang yang berdiri diatas tanah negara lain. Yang mereka takutkan hanya karena ini sebuah titipan bukan berarti mereka harus memberikan kasih sayang sepenuhnya hingga saat melepaskan butuh keikhlasan yang besar. Mereka tidak ingin melakukan itu.
"Saya mohon! Anak ini sudah kehilangan orang tuanya, kakak-kakaknya, juga orang-orang tersayang lainnya, saya berjanji akan datang untuk mengambilnya kembali setelah saya siap."
"Ibu tahu kalian begitu menginginkan anak ini, kalian akan memberikan segalanya untuk anak ini, tapi kalian takut untuk melepaskannya. Ibu yakin kalian pasti bisa mengikhlaskannya saat melepaskan anak ini nanti."
Rahman dan Hida saling tatap. Entah mengapa Ibu Hida dengan cepat mengambil kesimpulan yang tepat di pikiran mereka. Tapi, ada benarnya dari ucapan Ibu Hida, mereka serempak mengangguk pada detik selanjutnya.
"Beri dia nama, Alisa Alna!"
***
Alna :
"Sejak saat itu kami memutuskan merawat kamu sampai saat ini, sayang." Mama mencoba tersenyum menutup ceritanya, walapun aku tahu senyuman itu terpaksa.
"Aku, Alisa Alna An-Nahar, putri sulung kebanggan Papa dan Mama, ini rumah ku, aku tidak akan tinggalkan rumah ini tanpa seizin Papa dan Mama." Ucapku sambil menggenggam kedua tangan Mama.
Mama menangis, menumpahkan air matanya di balik pundakku. Aku membalas pelukan Mama dengan erat, mengelus punggung Mama untuk memberikan ketenangan.
"Sekarang, Mama dan Papa berikan izin itu pada kamu, sayang. Pergi dan cari jati dirimu yang sebenarnya, sayang." Lirih Mama yang masih dapat ku dengar.
"Kamu putri sulung kebanggaan Papa dan Mama. Sudah saatnya kami mengikhlaskan untuk melepaskanmu, Alna." Papa berusaha tegar mengatakan kalimat itu padaku.
Aku memeluk Papa seerat mungkin, Papa mendaratkan sebuah ciuman kasih sayang tulus seorang Papa pada anaknya. Ciuman terakhir yang mungkin aku rindukan setelah ini.
"Makasih, Pa, Ma, Alna akan kembali jika waktu mengizinkan Alna." Kataku setelah melepas pelukan Papa.
Aku kembali duduk di sofa yang aku duduki tadi, mengelap sisa air mata yang ikut turun saat Mama menangis.
"Jadi, kalian semua?"
Keempat sahabatku itu saling tatap mendengar pertanyaan Mama. Alfa yang sadar dengan maksud pertanyaan Mama langsung menjawab lebih dulu.
"Saya Alfa-Re-Eza, Planet Ba-Ya-Ngan di sektor B22 A6, Galaksi Scha-Duw."
"Saya Zrinexandra, Planet Tijd, Galaksi Tijd." Zrine menyambung.
"Fatimah Az-Zahra, Planet Zwaartekracht, Galaksi Grand Spiral." Sambung Zahra.
Terakhir Bryant, tapi tak menunjukkan pergerakan bibir di wajah remaja satu itu. Aku kembali melempar bantal sofa, membuatnya kembali mengaduh terkejut.
"Tidak perlu bohong lagi, kau. Ungkap saja yang sebenarnya sekarang!"
Bryant mengernyit bingung, tapi berhasil membuat anak itu bicara.
"Saya asli murni lahir di sini, kok."
"Gak usah bohong lo, Bryant Anthony Putra!" Sentak Zrine kesal.
"Lah, gua emang murni dari Planet Bumi, Galaksi Bima Sakti, ah elah."
"Sotoi, lo. Lo pikir, lo anak kandung, hah?" Ungkap Zrine membuat mata Bryant membulat sempurna.
"Gua tahu lo pasti mau minta sesuatu sama gue, kan. Pake ngancam gua segala, basi!"
"Ya, udah, gak percaya. Gua hajar lo kalau sampai nangis di depan gua."
"Sorry, gak level nangis di depan lo."
"Gua pegang kata-kata lo."
Sisa lima orang termasuk aku yang tak mengikuti perdebatan Bryant dan Zrine hanya menggeleng pasrah dengan kelakuan dua sahabatku ini. Mereka kalau sudah bertengkar tidak akan kenal tempat lagi.
***
Next episode 5...