Selesai dari dokter kandungan, mereka pun memutuskan untuk makan malam, kemudian pulang dan beristirahat. Hari-hari Vio bersama Amy selama di Austria hanya diisi dengan kursus dan kerja di sebuah cafe, yaitu Vanillas sebagai baker. Vio juga banyak teman-teman yang salah satunya adalah orang Indonesia, namanya Calvin. Dia adalah pelanggan Vanillas. Dia juga pernah mengatakan pada Vio kalau dia pernah sekali memakan violet cake yang diberikan adik iparnya. Tapi pada saat dia mau memesan lagi, tokonya sudah tutup. Dia bahkan sudah pergi ke beberapa negara hanya untuk menikmati violet cake, tapi tidak ada yang sama rasanya. Bahkan violet cake juga tidak dia dapatkan di Austria. Vio berpikir apakah mungkin dia harus kembali ke Indonesia membuka toko lamanya kembali? Pertanyaan itu terus berputar dalam otak Vio.
"Vio, sepertinya kamu punya masalah? Ada apa?" tanya Amy yang mungkin sedari tadi menyadari ada yang salah dengan Vio.
"Gini ka, tadi ada pelanggan Vanillas yang mengatakan kalau dia mau mencari violet cake yang pernah aku buat dulu. Meskipun banyak dijual, tapi rasanya tidak sama seperti yang pernah aku buat." jawab Vio.
"Jadi apa kamu berencana untuk kembali ke Indonesia dan membuka kembali toko Violet?" tanya Amy seperti tahu apa yang dipikirkan Vio.
"Menurut kakak gimana? Kalau kita kembali ke Indonesia, pasti kakak akan bertemu dengan Demian lagi." ujar Vio dengan nada khawatir.
"Vio, kalau itu demi usahamu, kakak juga gak mau egois. Saran kakak ya seharusnya kita kembali ke Indonesia saja. Karena kakak juga gak betah disini." jawab Amy.
"Aku rasa setelah kakak melahirkan, baru kita mutusin harus bagaimana ke depannya. Gimana kak?" tanya Vio.
"Terserah kamu saja, Vio. Apapunkeputusan kamu kakak ok saja." jawab Amy yang kesusahan duduk karena perut buncitnya.
Vio tahu kalau dia tidak boleh egois. dia juga harus memikirkan Amy dan bayinya yang akan segera lahir 1 bulan lagi. Beberapa hari yang lalu dia baru mengajak Amy ke dokter kandungan kembali dan hari lahir kakaknya kemungkinan akhir bulan depan. Vio juga sudah mengurangi jam kerjanya agar bisa menemani Amy kalau-kalau mendadak merasa mulas. Belum waktunya lahir saja, Amy sudah merasakan kontraksi palsu dan berkali-kali kami harus bolak balik rumah sakit.
"AAAAAHHHHHHH ... VIO. PERUT KAKAK SAKIT ..... AAAAHHHHHH .... ADUH ... SEPERTINYA SUDAH MAU MELAHIRKAN!!" teriak Amy sambil memegang perut bawahnya
"Iya kak. Yuk kita ke rumah sakit." ujar Vio sambil mengambil tas bayi yang akan dipakai, lalu membawa Amy ke rumah sakit dengan menggunakan taxi yang kebetulan berhenti beberapa blok dari rumah mereka.
Dalam perjalanan ke rumah sakit Vio menguatkan Amy, begitu juga dengan supir taxi itu. Tak berapa lama tibalah mereka di rumah sakit dan Amy langsung dibawa ke ruang bersalin. Vio yang duduk di bangku panjang ruang bersalin hanya bisa berdoa semoga Amy dan bayinya selamat. Terlihat juga perawat keluar dengan menenteng sebaskom darah segar, kemudian masuk lagi.
Tak berapa lama keluarlah dokter Szilvia dan mengabarkan kalau kak Amy sudah melahirkan bayi laki-laki dengan berat 3 kg dalam keadaan sehat. Tapi Amy dalam perjuangannya melahirkan bayinya tersebut, telah meninggal karena kehabisan darah. Saat dokter merasakan Amy yang kesulitan melahirkan itu pun bertanya siapa yang akan dipilih antara ibu dan anak nya. Amy memilih anaknya agar bisa dilahirkan. Saat mengetahui itu Vio pun menangis keras kenapa Amy justru memberikan tanggung jawab yang berat di pundak nya dengan harus membesarkan anaknya daripada membesarkan anaknya bersama-sama.
Setelah mengkremasi Amy, abunya ditaruh dalam guci dan membawanya pulang ke Indonesia untuk disimpan di kuil agar bisa di doakan setiap hari. Vio berjanji dalam hati kalau anak yang dia beri nama Nicho itu tidak akan pernah dia pertemukan dengan ayah kandungnya, Demian. Sesampainya di Indonesia, Vio pun pulang ke rumah untuk membersihkan rumah yang kotor. Sementara Nicho dia tempatkan di tempat tidur nya. Saat-saat seperti ini Nicho sangat membutuhkan ibunya dalam hal ASI. Vio hanya bisa memberikan susu formula. Dia juga mulai mencari toko untuk memulai usaha nya kembali dalam membuka toko kuenya kembali.
Banyak karyawan yang dia telepon dan rata-rata dari mereka sangat senang bekerja kembali dengan Vio dan menanyakan kapan bisa mulai membuka toko. Vio katakan belum begitu cepat dan menyuruh mereka untuk bekerja dengan yang lain dulu. Jangan gegara menunggu nya, mereka jadi tidak bekerja. Vio berencana untuk membuka usaha di rumah dulu dan menunggu sampai Nicho bisa mengurus dirinya sendiri, baru dia akan membuka toko.
Hari-hari Vio bersama dengan Nicho membuat nya harus ready. Nicho bisa tiba-tiba terbangun di tengah malam dan Vio harus bangun jika mendengar Nicho menangis keras. Dia juga makin sibuk selain harus mempersiapkan kue Violet pesanan customer, dia juga harus mempersiapkan susu untuk Nicho. Untung saja Nicho bisa mengerti kalau tantenya itu super sibuk dan dia juga tidak menangis terus-terusan. Dia hanya menangis dikala sedang lapar saja.
Sekitar 3 bulan, Vio kembali membuka usaha violet cake di rumah, begitu banyak customer yang datang dan rela antri berjam-jam hanya untuk membeli violet cake buatan nya. Bahkan temannya sewaktu di Austria, Calvin juga datang membeli violet cake dalam jumlah yang cukup banyak. Awalnya Calvin kaget dengan kehadiran Nicho. lalu Vio menceritakan padanya kalau Nicho adalah anak dari kakaknya, Amy yang meninggal saat melahirkan Nicho. Saat Calvin bertanya dimana ayah Nicho, Vio mengatakan kalau ayah kandungnya sudah meninggal saat Calvin belum lahir.
Calvin juga sangat membantu Vio dalam usaha memperkenalkan violet cake pada teman-temannya yang lain. Terkadang Calvin datang ke rumah untuk sekedar mengobrol atau mengurus kebutuhan Nicho. Calvin mengatakan kalau Vio adalah wanita tangguh yang baik hati, tidak takut dengan omongan dan cibiran orang yang mungkin mengatakan kalau dia adalah seorang janda. Vio hanya ketawa menanggapi apa yang dikatakan Calvin.
"Vio, aku rasa sekarang saatnya kamu sudah harus memakai jasa pembantu deh. Karena gak mungkin bagi kamu untuk membuat kue, sekaligus mengurus Nicho." ujar Calvin sambil menggendong Nicho.
"Maunya sih begitu, Cal. Tapi aku takut kalau aku pakai tenaga pembantu, ntar Nicho gak biasa. Apalagi sekarang banyak di berita-berita kalau ada baby sitter yang bunuh anak majikannya." jawab Vio dengan wajah yang bergidik ngeri.
"Memang benar. Tapi daripada kamu sibuk kea gitu? Kurasa sampai sekarang kamu pasti belum makan kan?" tebak Calvin.
"Iya. Sekarang aku jadi lapar nih." jawab Vio sambil tertawa.
"Tuh kan?! Nih, aku belikan nasi padang untukmu. Pakai ayam goreng. Makan sana gih duluan. Biar Nicho aku yang urus." ujar Calvin yang menyerahkan sebungkus nasi padang.
"Thanks ya Cal.." jawab Vio sambil menerima nasi bungkus tersebut.
"Nicho hai Nicho, jika kamu sudah dewasa nanti kamu harus hargai pengorbanan tante kamu ya. Jangan kamu kecewakan dia atau aku pites kamu.." ujar Calvin sambil menggendong Nicho.
"Iya om Calvin.." ujar Vio menirukan suara anak kecil.
"Bagus. Vio, apa kamu gak mau mencari pasangan?" tanya Calvin yang membuat Vio tersedak.
"Belum saatnya Cal. Nanti deh kalau Nicho udah dewasa baru aku mencari pasangan." jawab Vio.
"Saat itu mungkin kamu sudah tua, Vio." ucap Calvin.
"Ya gak pa-pa. Yang penting bagiku hanya Nicho." jawab Vio.
"Memangnya kamu mau nyari pasangan yang kea gimana sih Vio?" tanya Calvin yang membuat Vio berpikir.