Ada aneka macam seafood, lengkap mulai dari ikan bakar, udang pancet bakar, cumi goreng tepung, kepiting lada hitam, kerrang ijo saos padang, aneka macam lalapan, plus sambal terasi di meja makan mereka malam itu, bikin Bumi heran. Terlebih karena dia tau, Cuma dia dan Mama yang akan makan malam di rumah malam itu. Kak Romi dan kak Reina ada lembur di kantor masing masing, dan Ajeng lagi bikin tugas kuliah di rumah temannya.
"Tumben mesen makanan sebanyak ini, Ma?"
"Iya, Nak. Kan udah lama kita nggak quality time berdua. Mama pengen ngobrol ngobrol sambil dinner sama kamu."
Bumi mulai merasa terintimidasi. Udah lama nggak quality time? Well, itu agak berlebihan sih. Secara biarpun sibuk syuting, tapi tiap hari dia ketemu Mama dan mereka hampir selalu ngobrol soal semua. Oke. Nggak semua. Sejak putus sama Rania, Bumi cenderung menghindari obrolan soal cewek. Bukan apa apa, tapi dia betul betul lagi nggak ada niat untuk menjalin hubungan yang baru dengan siapapun.
Tapi karena nggak mau mengecewakan Mama, Bumi tersenyum, dan setelah mencuci tangannya, dia duduk seperti anak yang patuh, mulai menikmati apa yang sudah disiapkan Mama.
Awalnya mereka ngobrol yang ringan-ringan. Soal syuting dan lain lain. Tapi lalu seperti yang udah diduga Bumi, Mama mulai bicara soal Anisa.
"Tapi aku belum pengen pacaran lagi, Ma," kata Bumi to the point.
"Kalian kan bisa berteman dekat dulu. Tapi kamu harus lebih membuka diri. Habiskan lebih banyak waktu bareng dia. Ajak dia keluar. Makan. Nonton. Hepi hepi."
Bumi nggak ingin menjawab, jadi dia pura pura sibuk makan.
"Bumi, cinta itu bisa ditumbuhkan kok. Kalo kamu udah makin dekat sama dia, Mama yakin kamu pasti akan sayang sama dia. Mama aja sekarang udah sayang banget lho sama dia. Anaknya itu baik dan sopan sekali. Bicaranya lembut, nggak neko-neko, nurut sama orang tua, pinter masak lagi. Mama bayangkan, Kalo punya mantu kayak dia, Mama pasti bakal bahagia banget, Nak."
"Cuminya enak banget, Ma."
"Ayolah, Nak. Sudah berminggu minggu lho, malam minggu Cuma kamu habiskan di kamar. Keluarlah, jalan jalan sama Anisa. Nggak perlu jadian dulu nggak apa apa yang penting kalian bahagia..."
"Sambel terasinya juga pas pedesnya."
"Malem ini kamu telepon dia ya? Bikin janji buat besok malam. Kan besok break syuting kan? Bisa dong, keluar sebentar sama Anisa?"
"Aku nambah udangnya lagi ya, Ma."
Tapi Mama malah sengaja singkirin piring udang. Dan tatap Bumi dengan pandangan "Dengerin kata kata Mama plis Nak."
Hingga Bumi mau tak mau terpaksa menarik nafas dan mengangguk.
"Iya, Ma. Habis ini aku telepon dia."
Mama tersenyum ceria sekali. Dan mengambil satu satunya udang yang tersisa di piring.
"Mama kupasin. Biar kamu tinggal makan aja."
"Makasih, Ma."
"Dan Bumi, kalo seandainya nanti habis ngobrol ngobrol kamu merasa cocok, nggak usah tunggu lama, langsung tembak aja itu si Anisa."
"Ma."
"Biar cepet jadian. Kalo bisa, cepet nikah. Inget umur kamu udah cukup lho. Itu anaknya bu Dewi tetangga sebelah yang sepantar sama kamu aja, udah punya anak 2 sekarang."
"Iya, Ma."
Akhirnya Bumi memilih kata itu, karena nggak tau harus menjawab apa.
Dan malam itu, sebelum tidur, Bumi menelpon Anisa. Mengobrol sebentar dan mengajaknya dinner besok malam. Kali ini, tentu saja dia memilih sebuah tempat yang privat dan sepi. Sebuah kafe rooftop yang indah, dengan fasilitas VIP Room, sehingga mereka bisa makan dan menikmati keindahan tanpa perlu bertemu dengan pengunjung lainnya.