Setelah banyak mobil disalip, beberapa belokan dilewati, dan berkali-kali melihat ke spion untuk memastikan Billy nggak mengejar, ketegangan di wajah Bumi maupun Langit mulai mengendur, dan kemarahan menyelinap di hati Langit lagi.
"Sekarang waktunya lo jelasin ke gue. Gimana caranya lo bisa tiba tiba muncul dan bawa gue kabur kaya gini?"
Bumi menoleh kesal ke Langit.
"Bukannya benernya, lo harusnya bilang makasih dulu ya? Secara habis ditolong gitu..."
Langit malah tertawa.
"Sori ya. Tapi basically lo nggak lakuin apapun selain memperkeruh suasana..."
"Memperkeruh suasana?" Bumi nggak percaya mendengar pilihan kata yang keluar dari mulut Langit. "Gue barusan nyelametin nyawa lo tau!"
"Lo pikir, Billy bakal beneran nyakitin gue? Dia itu cuma gertak sambal! Dia cinta sama gue. Dia nggak mungkin betulan tega celakain gue!"
"Terus kenapa lo tadi merem pas dia mau tusuk?"
Langit tercekat.
"Lo merem, artinya lo takut. Artinya, lo betulan berpikir dia mau sakitin lo."
"Gue merem karena refleks."
"Jangan denial lagi bisa nggak sih?"
Langit terdiam. Lama. Dan untuk beberapa saat, suasana jadi hening.
"Tapi yang lo bilang tadi, itu serius? Lo serius mutusin dia?"
Langit nggak menjawab. Tapi sepasang matanya tiba tiba memerah lagi. Bumi jadi merasa nggak enak sendiri.
"Kalo nggak mau jawab, gapapa."
"Dia nampar gue," Langit akhirnya bicara, sambil mengerjap ngerjapkan matanya, berusaha mengusir air matanya supaya nggak menetes. Dia nggak pernah menangis di depan siapapun. Dia nggak sudi menangis di depan siapapun. Apalagi di depan lawan mainnya yang sombong ini.
Bumi melirik pipi Langit yang masih merah, dan tiba tiba sadar, dari tadi sepasang pipi itu kemerahan bukan karena Langit sedang menahan tangis. Tapi karena habis ditampar. Bahkan masih ada bekas jari disitu. Dasar laki laki brengsek. Darah Bumi rasanya menggelegak membayangkan ada sepasang tangan besar dan kasar yang tega menyakiti pipi mungil dan rapuh itu.
"Keras sekali," Langit bicara dengan suara biasa, tapi Bumi bisa merasakan hati gadis itu sedang bergolak. "Dua kali. Dan saat itu, gue sadar, gue nggak bisa sama dia lagi."
"Keputusan yang bagus."
"Lo belum jawab pertanyaan gue. Kenapa lo bawa gue kabur?"
"Karena gue nggak mau berantem di jalanan, terus ditangkep polisi, terus terpaksa ngabisin malam ini tidur di sel, Cuma gara gara berusaha nolongin cewek sotoy yang mau nggak mau terpaksa gue tolong karena dia adalah lawan main gue, makanya gue nggak mau dia kenapa kenapa karena itu nanti pengaruhnya buruk ke sinetron kita."
Langit tatap Bumi memincing.
"Lo tau satu hal yang gue sesali?"
"Pacaran sama cowok kayak billy?" Tebak Bumi.
"Nggak sempat ngambil obeng Billy yang jatuh tadi. padahal, bisa gue pake buat nusuk lo!"
Bumi mendelik.
"Lo!!! Jadi cewek bar bar banget sih!"
"Lo!!! Jadi cowok comel banget sih mulutnya?"
Bumi mendelik kesal. Langit memelototkan matanya lebih kesal lagi.
Untuk sesaat Bumi menyesal udah susah susah nolongin Langit. Tapi sebuah guncangan keras menyadarkannya bahwa hal itu bukan sesuatu yang cocok dipikirkan sekarang.
"Bumi, awas!!!" Langit memekik keras dan sekali lagi mobil berguncang.
Bumi menoleh keluar dan jadi sadar, ternyata mobilnya sudah dipepet dua mobil lain dan digocek kanan kiri.
"BERHENTI!!!" supir mobil yang ngebut di kanannya menurunkan kaca jendela dan berteriak. Ternyata dia adalah Billy.
Dan sebelum Bumi sempat bereaksi, mobil yang melaju di kirinya sudah menggocek lagi. Bikin mobilnya oleng dan berguncang keras lagi.
"Aaaaaa!" Langit nyaris terlempar. Tapi cepat Bumi menangkapnya dan mengembalikannya ke posisi semula. "Elo. Pegangan yang kenceng!"
Langit mengangguk.
Bumi mencengkeram setirnya erat, dan SRET!!! Tiba tiba dia ngepot ke kiri. lalu ke kanan. Dengan cepat. Bikin mobil yang mengapitnya terpaksa menjauh.
Kalian pikir cuma kalian yang bisa ngegocek? Orang orang berpikiran cetek ini pasti belum pernah balapan sama gue di jalanan.
Sebelum kedua mobil itu bisa mendekat lagi, Bumi menekan gas dalam dalam dan melaju kencang sekali.
Tapi bukan Billy kalo mengalah secepat itu.
Menggerungkan mobilnya sampai ke putaran mesin tertinggi, Billy memaksa mobilnya untuk berpacu. Cowok brengsek itu. Yang sudah berani membawa kabur pacarnya. Jangan harap dia bisa kabur. Akan dia kejar sampai dapat. Lalu dia habisi.
Tidak ada apapun lagi yang tersisa di hati Billy sekarang, selain kemarahan yang terasa seperti api yang membakar, yang tak sabar untuk segera diluapkan.