Ternyata Bumi salah.
Nggak perlu menunggu sampai besok, begitu dia tiba Kembali di lokasi, beritanya sudah tersebar.
"Wihh.. yang habis pacaran. Langsung glowing loh mukanya!" ucap si ember bocor alias Langit dengan wajah super ceria seakan bicara sama sohib baiknya. Apa dia lupa kalo mereka bahkan belum baikan? Kalo Bumi bahkan belum maafin dia?
"Lo lupa yang gue bilang tadi? Gue akan maafin lo, kalo lo nggak bicara lagi sama gue, tentang apapun, kecuali urusan kerjaan," Bumi sengaja bicara gamblang, biar gadis itu tau diri.
"Tapi ini kan masih di lokasi. Jadi masih nyangkut nyangkut lah sama kerjaan."
Baru kali ini Bumi mengenal gadis yang kekeh banget mempertahankan pendapatnya yang nggak masuk akal.
"Tapi yang lo bahas sekarang ini, itu masalah pribadi! Nggak ada sangkut pautnya sama kerjaan!" tukas Bumi.
"Fine! Oke! kalo gitu, anggep aja gue lagi berusaha membangun chemistry. Kalo itu, ada sangkutannya sama kerjaan kan??"
Bumi rasanya terlalu lelah untuk mendebat. Jadi dia memilih diam. Berharap, jika dia diam, Langit akan tau diri dan menyingkir.
Tapi gadis yang nggak peka itu rupanya malah menganggap Bumi menyetujui pendapatnya. Buktinya, sekarang dia dengan bersemangat melangkah jejerin Bumi dan membombardir Bumi dengan serentet pertanyaan.
"Tapi sumpah deh, rasanya gue perlu tanya ini. Cewek yang sama lo tadi itu.. dia siapa?! Cewek lo? Bukan kan? Setau gue cewek lo bukan itu deh. Apa jangan jangan lo udah putus ya? Itu pacar baru? Ck ck ck. Mantep juga lo bro! Habis putus langsung dapet gandengan baru."
"Cuma temen, Langit," jawab Bumi dengan nada males banget, sangat berharap gadis ini akhirnya sadar diri dan minggir.
Tapi bukan Langit Namanya kalo semudah itu diusir.
"Ya gapapa juga sih. Awalnya temen tapi terus tar jadi demen. Hehehee."
Bumi nggak ikut tertawa.
Tapi Langit sepertinya nggak keberatan dan nggak tersinggung. Buktinya, dia nyerocos lagi.
"By the way, mau tau pendapat gue?"
"Nggak!"
"Oke. Gapapa. tapi karena lo temen gue, gue akan tetap kasih masukan."
Satu lagi kekurangan Langit, dia nggak ngerti sarkasme. Dan nggak mudeng kalo lagi disindir.
"Gue nggak perlu masukan dari siapapun, termasuk elo," Bumi bicara to the point.
Tapi Langit terus bicara, "Menurut gue, cewek itu cantik kok!"
Bumi tarik nafas.
"Cocok sama lo. Jadi gue doain moga moga langgeng ya!"
Sepertinya memang harus tegur keras gadis ini. Daripada dia senewen sendiri.
"Lo, daripada ngurusin orang lain, gimana kalo urus aja pacar lo yang toxic itu?"
Akhirnya, Bumi berhasil mengucapkan kata kata yang mengena. Karena kinil, seperti langit yang tiba tiba menggelap karena mau hujan, wajah Langit berubah gusar. Bumi bisa merasakan kalo gadis itu marah.
Entah kenapa, ada setitik rasa bersalah di hati Bumi karena sudah menghilangkan keceriaan gadis itu. Tapi segera disingkirkannya perasaan nggak penting itu.
"Jangan sebut Billy kaya gitu!" suara renyah itu kini menukas galak.
"Terus gue harus sebut dia apa?" Sisa sisa kekesalan di hatinya bikin Bumi memutuskan untuk tetap jadi cowok rese. " Cowo gentleman? Justru itu sarkas. Karena nggak ada cowok gentleman yang tega bentak ceweknya, yang tega pukul ceweknya!"
Kemarahan di mata Langit kini nyata. Dia menatap Bumi seakan ingin membakarnya.
"Gue udah bilang kan? Billy punya alasan!"
"Gue juga udah bilang kan?" sahut Bumi nggak kalah ngototnya. "Nggak ada alasan apapun yang bikin cowok boleh mukul cewek."
"Lo nggak bisa ngerti karena lo nggak ngalamin apa yang Billy alami di hidupnya!"
"Emang dia ngalamin apa? Mau tau pendapat gue? Bukan dia yang ngalamin apa apa. Tapi elo yang bego. Berusaha cari sejuta alasan buat benarkan tindakannya. Padahal alasan sebenarnya lo bertahan, cuma karena lo cinta buta sama dia??"
"Lo nggak pernah berada di sepatunya! Makanya lo bisa ngomong kaya gini. Denger. Billy itu punya orang tua yang abusive!"
Bumi tercekat dan jadi terdiam.
"Nyokapnya udah meninggal sejak dia kecil dan dia dibesarin sama bokap yang akan mukulin dia setiap kali dia berbuat kesalahan."
Bumi tercekat. Sementara, mata Langit mulai berkaca kaca saat dia melanjutkan ceritanya.
"Bukan. Bukan setiap kali dia berbuat kesalahan. Tapi setiap kali, hampir setiap waktu. Saat dia marah. Saat dia bad mood. Saat dia lelah. Dia akan lampiaskan semuanya ke Billy. Punggung Billy. Perutnya. Dadanya. Semua penuh bekas luka. Dia udah ngerasain semua. Dicambuk pake sabuk. Ditaruh setrika panas di punggungnya. Saat umur 4 tahun bahkan dia pernah gegar otak karena kepalanya dibenturin ke dinding. Saat umur 6 tahun, livernya pernah robek. Dan hampir setiap tahun sampai usianya menginjak remaja, dia patah tulang di tempat yang berbeda."
Bumi kehilangan kata kata mendengar cerita itu.
"Sebagai anak, Billy nggak punya teladan lain untuk dicontoh jadi dia meniru Ayahnya. Dia tau itu salah. Tapi dia seperti nggak punya control buat nggak melakukan itu. Seperti.. orang yang kecanduan merokok dan ingin berhenti. Dia tau merokok itu nggak baik, dia ingin berhenti, tapi dia nggak mampu dan jatuh lagi jatuh lagi dalam perbuatan yang sama."
Langit berhenti untuk mengambil nafas. Suasana jadi hening.
"Jadi kalo dia bentak gue, kalo dia hampir pukul gue kemarin, itu bukan mau dia, tapi karena dia memang nggak mampu menahannya. Dan asal lo tau, dia bukan nggak berusaha. Dia sudah berusaha. Dia sedang jalanin terapi, dan sudah membaik, meski belum seratus persen sembuh. Jadi, instead of nyela dia kayak lo orang paling suci sedunia, kenapa lo nggak bersyukur aja bahwa lo lebih beruntung dari jutaan manusia lain di dunia ini yang punya orang tua abusive atau bahkan nggak punya orang tua?! Ngerti lo??"
Lalu gadis itu pergi meninggalkan Bumi.
Harusnya Bumi senang karena keinginannya sejak tadi akhirnya terkabul. Gadis itu menyingkir akhirnya, dan membiarkannya sendiri.
Tapi alih alih gembira, dia malah merasa tertampar.
Ternyata bukan Langit yang sotoy. Tapi dia yang sotoy.
Ternyata bukan Langit yang kekanakan. Tapi dia yang kekanakan. Bahkan sembarangan menilai orang lain yang sama sekali nggak dikenalnya.
Pasti berat buat Langit punya pacar seperti Billy. Tapi dia bertahan, bahkan tetap berusaha jadi pacar yang supportive. Cuma gadis yang sabar dan punya rasa kasih sayang besar di hatinya yang bisa melakukan itu.
Untuk pertama kalinya, sedikit rasa kagum muncul di hati Bumi untuk Langit. Gadis ini, yang dia rendahkan dan hakimi macam macam sebelumnya, ternyata jauh lebih dewasa daripada umurnya yang seharusnya. Bahkan mungkin lebih dewasa daripada Bumi.
Dari kejauhan, Bumi melihat Langit yang sekarang beranjak duduk di kursinya, sambil meraih bungkusan MCDONALDS BTS meal yang ditolak Bumi tadi, mengeluarkan sepotong nugget, hendak memakannya.
Bumi menggeleng, tersenyum, dan melangkah cepat, begitu cepat sehingga sebelum potongan nugget lezat itu sempat masuk ke mulut Langit, Bumi sudah merebutnya.
Langit mendongak dan matanya yang coklat indah membulat kesal.
"Apa-apaan?" tukas gadis itu galak.
"Gue terima ini sebagai permintaan maaf dari lo," sahut Bumi sambil mengunyah nugget itu. Lalu dia meraup semua bungkusan BTS meal berwarna ungu yang ada di pangkuan Langit dan dia bawa semuanya ke kursinya, makan isinya dengan lahap, diikuti tatapan Langit yang membelalak, bingung dan tak mengerti.
Dan berikutnya, dia dengar Langit bertanya pada kru.
"Lawan main gue, apa dia lagi puber kedua? Kenapa tingkahnya aneh gitu? Bayangin. Tadi dia marah marah nggak mau terima BTS Meal yang gue beli. Dan sekarang tiba tiba dia ambil semuanya, dan dia makan semuanya dengan rakus?"
Kali itu Bumi memutuskan bersikap baik dengan pura pura nggak mendengarnya dan terus makan.
"Jangan jangan dia diem diem ngefans sama BTS? Tapi nggak mau ngaku? Jangan jangan, diem diem dia ARMY?"
-----------------------------------------------------------------------------------
Makasih buat semua yang udah baca :)
Jangan lupa baca bab berikutnya yaa...sy usahain update tiap hari.
Jangan lupa juga vote dan tinggalin koment...