Dia memandangku yang berdiri di sampingnya. Ujung surai jilbabku terbang hingga aku harus mengikatnya di belakang leher. Mataku pun menyipit dan kening berkerut terkena terpaan angin. Sinar kuning di depan sana juga cukup menyilaukan penglihatanku. Aku bicara tak ubahnya orang yang sedang didera stress. Mulut berkata, tapi mata justru kosong –melamun. Mengingat semua kejadian yang menimpaku.
(Aku nggak tahu apa masalah kalian, tapi kalau menganggap aku lebih beruntung, bisa kubilang antara ya dan nggak)
(Kenapa?)
(Dia bikin harga diriku yang sudah lenyap, makin lenyap entah ke mana. Dia yang berkhianat tapi mulutnya memaki dengan kata nggak senonoh)
Dia diam seribu bahasa, kehilangan kata-kata dalam kegemingan memandangku prihatin. Aku melihatnya di sorot matanya yang terlihat sendu pada saat itu.
(Bukan lagi pengkhiatan yang bikin aku nangis sampe sekarang kalo teringat masa itu, tapi kata-kata yang dia ucapin)