(Itu Bos kita, Mbak. Namanya Pak Rais.)
(What?)
Jadi, yang wawancara kemarin itu dirut? Terus, kenapa wawancaranya di ruangan wadirut? Kenapa bukan di ruangannya sendiri? At least, di ruangan HRD. Dan, dia adalah dirutnya? Oh, my God.
Jujur aku membisu saat Fany memberitahu siapa Direktur Utama perusahaan ini. Rasanya kepalaku berputar-putar, tidak lagi konsentrasi sampai harus minum minuman kaleng mengandung ion yang dijual di tivi-tivi. Padahal masih jam 8.30 pagi.
Rais Darmawan – nama yang diberikan orang tuanya ketika lahir. Aku melihat nama lengkapnya ketika masuk ke ruangannya untuk kali pertama di hari ke tiga bekerja.
"Silakan dipakai, komputernya juga sudah terhubung internet. Tapi, tidak semua jaringan bisa masuk. Karena, ini internal network."
Dia membuyarkan lamunanku setelah membongkar komputer yang akan kugunakan. Kemudian, menghubungi IT untuk memeriksa komputerku yang pagi-pagi sudah merajuk.
"Oh, baik, Pak. Terima kasih."
Aku duduk memulai pekerjaanku setelah mengambil beberapa berkas dari meja kerjaku di luar. Dia meminta persiapan surat kontrak dengan pihak supplier harus selesai dalam satu jam. Well, pekerjaan pagi ini dimulai. Tidak sulit buatku mengetik surat itu karena aku punya kemampuan mengetik sepuluh jari, tanpa melihat teks/konsep. Yap, sepuluh menit selesai dengan konsep kontrak yang kubuat.
Aku berjalan ke meja printer menyalakan mesin cetak tersebut, melintasinya yang tengah fokus mengetik di laptop dengan tampang serius. Tampan sekali dia.
(Tahan, Ree. Tahan. Jaga mata. Ada pihak ke tiga setelah berdua.)
Aku kembali ke meja.
"Maaf, Pak. Passwordnya apa ya, Pak?"
Dia menoleh.
"Milikkitabersama."
"Euh?"
"Huruf kecil semua, Pak?"
(Dia termenung.)
"Coba saja, saya lupa."
Baiklah, mari kita coba! Dan, mesin pun mencetak surat yang sudah kuketik dengan segenap rasa hati yang risih karena satu ruangan dengan dia.
"Pak, suratnya sudah selesai. Silakan ditanda tangan."
Dia membacanya sebelum menarik garis pena di atas kertas mengukir nama indahnya. Aku mencuri-curi pandang melihat barang-barang di ruangannya. Sangat rapi. Kertas-kertas pun tidak ada yang berserak. Aku kagum padamu, Bos!
"Pak Dian ada di kantornya, jam sebelas kita akan ke sana."
"Baik, Pak. Ada lagi, Pak?"
Dia melihatku sesaat sebelum menandatangani surat tersebut. Ah, kupikir tadi sudah diparaf. Aku tidak tahu, apakah ini hanya perasaanku saja atau memang adanya demikian. Di balik kacamataku, aku sering mendapatinya menatapku diam-diam. Dia menatapku dengan cara yang berbeda ketika menatap Fany dan karyawan perempuan lainnya. Apa dia masih penasaran dengan wajahku yang familier baginya? Entahlah.
"Nggak ada."
Aku mengangguk sebelum melangkah keluar ruangan untuk mengambil berkas Pak Dian. Kenapa dia menatapku seperti itu? Kata orang-orang di sini, dia bukan tipe jelalatan. Bercengkerama sering dia lakukan. Melihatnya tertawa dan mengobrol dengan karyawan saat jam istirihat, adalah pemandangan biasa bagi orang-orang di sini. Dia baik sebagai atasan. Mungkin juga sebagai laki-laki. Dari gosip-gosip yang beredar, dia seperti tidak pernah terlibat hubungan dengan perempuan setelah bercerai.
(What?)
Tunggu! Cerai?
Ya, dari kabar burung yang sampai ke telingaku seorang Rais Darmawan Putra adalah seorang duda. Dia resmi bercerai dua tahun silam. Aku pernah kepo dengan alasannya, tapi karyawan di sini tidak ada yang tahu pasti penyebab dia dan istrinya bercerai. Selingkuh?
Oh, astaga!
Bahkan karyawan di sini tidak membenarkan hal itu. Mereka tahu benar siapa bos mereka. Baiklah, aku tidak akan ikut campur. Lagi pula itu bukan ranahku untuk mengetahui, pun dia juga tidak pernah bercerita tentang statusnya pernikahannya.
Aku melihat Mas Romi dari kejauhan. Lelaki itu seperti tersenyum padaku dengan sebuah paper bag bersamanya. Semacam buah tangan.
"Reeeee…."
Dia menyapa. Aku tersenyum membalas senyum manisnya yang membuatku melupakan nikmatnya es kelapa muda dicampur sirup merah dan perasan jeruk nipis.
"Eh, Mas Romi."
"Gimana kabarmu, Zeyenk?"
Begini kebiasaannya kalau ketemu perempuan yang menurutnya asyik diajak ngobrol. Dia tidak akan segan yayang-yayangan walaupun di depan umum, padahal sudah punya calon istri. Sering aku berpikir, apa calonnya tahu dia begitu? Kalau pun tahu, apa dia tidak marah calon suaminya begituan ke perempuan lain?
"Bos ada, nggak?"
"Ada, Mas. Masuk aja."
Dia meninggalkanku dengan pertanyaan menari-nari di kepala. Tersenyum-senyum seperti orang menang lotre. Fakta yang beredar dari divisi marketing, mas Romi memang tipe pecicilan tapi tidak suka menggombal. Karena tidak semua perempuan mengerti arti gombalannya yang bisa salah ditafsirkan. Tidak cukup sampai di situ, mas Romi juga tidak sungkan untuk 'berkedip mata' kalau sudah ketemu yang 'klik' untuk berbicara.
"Zeyenk, kamu dipanggil Si Bos!"
Tiba-tiba badannya sudah berdiri di pintu dengan senyumnya yang 11-12 dengan si bos. Aku beranjak dari lemari yang berada di pinggir dinding. Lemari yang berisi map folder dari atas ke bawah. Arsipnya sudah tersusun rapi, jadi aku tidak perlu lagi merapikannya sesuai susunan yang pernah kupelajari dulu sewaktu sekolah. Entah Fany yang menyusunnya, atau memang begitu pengaturan dari kantor. Sangat sedap dipandang mata.
"Besok kita meeting dengan pihak procurement, Pak Romi sudah menyiapkan semua keperluan untuk pengembangan proyek yang sempat tertunda. Tolong jadwalkan setelah makan siang saja. Umumkan ke pihak terkait."
"Baik, Pak. Noted."
Aku bingung dengan kelakuannya yang tidak bisa ditebak. Seperti ini, dia berdiri lalu keluar ruangan tanpa basa-basi, tidak seperti waktu aku wawancara tiga bulan lalu. Mataku melirik Mas Romi yang duduk santai dengan wajah datar. Tidak ada reaksi apa pun darinya. Aku tahu dia tengah menunggu perintah tambahan yang akan diterima sesaat lagi.
Kakiku lelah berdiri walaupun belum lima menit. Kuputuskan duduk kembali ke meja di samping si bos yang membuat Mas Romi diliputi kekepoan yang lumayan tinggi. Dia datang mendekat melihat yang kulakukan di komputer si bos. Yang dia tahu, komputer ini tidak pernah dipakai oleh Fany selama menjadi sekretaris. Kalaupun komputernya rusak, akan diganti dengan monitor lain sementara waktu.
"Kenapa nggak dipindahin aja komputernya ke meja kamu, Ree? Kamu nyaman seruangan sama si bos?"
Mas Romi berbicara sangat pelan seperti bergosip biar tidak terdengar si bos yang datang dan pergi kapan pun dia mau seperti jailangkung. Mas Romi berdiri sedikit membungkuk di samping mejaku bertopang dengan kedua tangannya di atas meja.
"Iya, ya. Nggak terpikir, Mas. Untung Mas kasih tahu."
"Terus komputermu kenapa belum diambil sama IT?"
"Mungkin sebentar lagi, Mas. Tadi sudah ditelepon kok."
Mas Romi mengintip layar monitor yang membuat jaraknya semakin dekat denganku. Tanpa sengaja, mataku menangkap sesuatu di pintu saat tanganku akan mengambil pena di sebelah kiri.
(Rais Darmawan berdiri mematung di pintu.)