Di pinggir jendela, aku duduk melihat keluar orang-orang yang melintas. Siang yang panas, matahari yang terik, membuatku hanya bisa mengikuti perintah bosku yang ingin makan siang di kafe yang harganya lumayan. Tidak masalah, asal bukan aku yang membayar tagihan, meski aku mampu untuk itu. Tapi, aku sedang menabung untuk membeli sesuatu sebagai rewards dari hasilku bekerja.
Aku mengabaikannya yang sibuk berchating ria sejak tadi. Dari sudut mata, aku tahu dia sesekali menatapku beberapa detik. Dia membuatku jengkel selepas keluar dari kantor Pak Dian. Perut lapar, haus, panas, lelah, tapi dia justru membuatkku naik pitam. Aku tahu itu risiko bekerja dan semua orang mengalaminya, tapi berjalan terburu-buru sampai menginjak kakiku?
Sebotol air mineral yang ada di meja hampir habis kutenggak.
"Permisi, Pak, Bu, pesanannya sudah selesai."
Pelayan datang menyajikan makanan kami yang dia pesan tanpa bertanya padaku. Apakah ini kebiasaanya yang baru kuketahui? Dua piring nasi, dua piring cah kangkung, dua piring ayam gulai pedas, dan sepiring tahu dan tempe goreng. Tanpa basa-basi dia langsung menyantap jatah makan siangnya setelah mengucapkan terima kasih sebelum pelayan itu pergi.
Aku baru saja menyentuh piring ayam gulai ketika tanganku dan tangannya berhenti di piring yang sama. Jangan bilang dia juga doyan bagian yang kusuka. Aku menatapnya bingung, kuharap dia mengerti bahwa aku tidak mau mengalah.
"Kamu suka dada? Saya tidak suka sayap."
"Nggak ada yang akan terbang kalau nggak ada sayap, Pak. Sayap itu memberi perlindungan bagi si pemilik, supaya tetap seimbang selama terbang dan tetap kuat bertahan saat diterpa angin kencang."
Jawabanku kali ini membuatnya skak mat dengan gaya bicara mengintimidasi. Dia menyindirku hanya demi sepotong sayap ayam? Oh, aku tidak akan membiarkan itu terjadi. Bukannya laki-laki suka bagian dada? Atau mungkin dia yang berbeda dari yang lainnya?
Aku mengalihkan perhatian darinya ke piring sayap ayam gulai. Tanganku tidak bergeser walau satu inci. Tangannya juga masih di sana. Dia menungguku untuk mengalah? Tidak akan!
Aku kembali menatapnya tapi tanpa ekspresi. Dua detik kemudian cepat-cepat kutarik piring tersebut dekat piring nasiku.
"Ah, maaf. Untuk kamu saja," ujarnya menarik tangan.
Hah! Memang begitu seharusnya, laki-laki mengalah pada perempuan, kan? Bukannya malah egois. Mau enak sendiri setelah semua diberi.
Aku sudah selesai dengan makan siangku yang hanya butuh delapan menit. Dia sedang mengerutkan kening dan bibir saat aku meliriknya yang sedang menatap ponsel. Dia makan hanya kurang dari lima menit, karena selera makannya tiba-tiba hilang, hanya menghabiskan cah kangkung. Dan, aku tidak peduli dengan perasaannya yang mendongkol sepertiku.
Kakiku masih terasa sakit. Cukup terasa saat diinjak olehnya karena aku menggunakan sepatu flat. Semoga saja tidak bengkak apalagi berdenyut yang membuatku tidak bisa tidur nanti malam. Meski dia sudah minta maaf, tapi rasa sakit ini tidak ditanggung tunjangan kantor, asuransi apalagi BPJS, kan?
"Kaki kamu gimana? Udah baikan?"
"Belum, Pak. Kalau besok masih sakit, besok saya nggak masuk ya, Pak?" jawabku bernada sopan supaya negosiasiku berhasil.
"Loh, emang kamu nggak bisa jalan?"
Matanya bergerak-gerak menatap bingung padaku.
"Bisa sih, Pak. Tapi, ya itu, agak susah."
"Kalau masih bisa jalan, nggak boleh libur. Besok saya jemput aja!"
What?
Tunggu!
Telingaku yang salah dengar atau dia yang salah bicara? Tapi, sepanjang aku hidup dan berinteraksi dengan banyak manusia di planet Bumi, telinga adalah organ yang tidak pernah salah. Justru lidah yang banyak melakukan kesalahan sampai membuat orang lain membunuh dan bunuh diri.
"Kamu naik motor, kan? Bahaya kalau kaki kamu sakit apalagi motor kamu 4tak. Gear dan remnya kan ada di kaki," sambungnya meyakinkanku.
"Nggak apa-apa, Pak. Saya bisa naik ojek kalau memang nggak boleh libur," jawabku dengan senyum kecut.
Salah satu nasib seorang karyawan yang harus diterima. Sakit tapi tidak diizinkan libur. Walaupun karyawan tersebut menggunakan hak cutinya di waktu yang tepat, tetapi ada banyak perusahaan yang tidak memberikan hak tersebut sesuai porsinya. Termasuk perusahaan tempatku mencari uang, aku kecewa.
"Kita ke belakang dulu, ada mushalla di sana," ajaknya sambil berdiri.
Wah, aku terpana! Dia tidak ubahnya paket komplit combo ayam goreng dengan ikon kakek berjanggut yang digemari dari anak-anak sampai orang dewasa. Aku mengikutinya di belakang membawa tas dan map biru yang tadi tergeletak di meja.
"Oh, iya, boleh tolong pegangin notebook saya?" ucapnya sambil menyodorkannya padaku.
"Boleh, Pak," jawabku tersenyum keberatan.
Nasib karyawan, apa boleh buat.
Dua puluh menit kemudian, aku duduk di teras mushalla mengenakan kaus kaki sembari menunggunya. Seharusnya salat Dzuhur sudah selesai, tetapi aku belum melihatnya. Sebab, tempat ini ternyata harus melewati bagian perempuan untuk menuju ke tempat laki-laki. Ah, sangat tidak recommended tempat salat seperti ini. Apa mereka tidak tahu bahwa perempuan muslim yang menjaga auratnya sangat tidak nyaman dengan bentukan bangunan seperti ini?
'Ah, itu dia! Waktunya kembali ke kantor. Ke ruangan ber-AC dan komputer.'
Ah, aku lupa.
Tiba-tiba saja teringat dengan bekal makan siangku yang ada di laci. Semoga saja salah satu dari mereka ada yang belum makan, atau lebih baik belum membeli makan siang. Bekalku tidak akan terbuang karena basi, dan aku tidak akan berkata 'bekalku yang malang.'
Sambil jalan ke parkiran, aku memeriksa ponsel yang sudah kuabaikan sekian jam lamanya. Ada banyak pesan yang masuk, tetapi tidak ada yang penting untuk dijawab. Hanya ada panggilan telepon masuk yang tidak kumau kujawab.
Ting!
[Ree, hari ini pulang cepat, gak? Nongki, yok. Gue suntuk banget, nih].
Pesan chating dari Noni yang membuatku menghela napas. Bagaimana mungkin dia yang IRT malah menunggu jadwalku hanya untuk hang out menghilangkan suntuknya? Bukannya seharusnya aku yang seperti itu?
Bug!
Astaga, kepalaku sakit ditabrak seseorang. Terasa keras sekali, sepertinya bagian dada. Aku meringis kesakitan sambil mengusap kepalaku. Tidak mengangkat kepala untuk melihat siapa gerangan yang membuatku bernasib kurang beruntung untuk ke dua kali hari ini. Tapi, aroma parfumnya menjelaskan bahwa sosok itu adalah lelaki. Mataku justru tertuju pada ponselku yang jatuh tersungkur hingga telungkup.
(Jangan sampai dia lecet).
Cepat-cepat aku mengambilnya yang tergeletak di semen, kemudian mengusapnya sebelum mendongak dan terbodoh-bodoh melihat sosok yang berdiri di hadapanku. Napasku seperti enggan untuk dihirup beberapa detik. Aku kehilangan kata-kata karena mata kami bersitatap dan sorot matanya memancarkan kekesalan. Rais Darmawan membuatku tercengang.
"Jalan itu mata lurus ke depan, ke kiri, dan ke kanan, bukan ke bawah pelototin hp."