"Selamat pagi, Pak."
Aku tersenyum padanya yang melewati mejaku dengan mengangguk sebagai balasan. Kuharap dia tidak mengungkit teleponnya yang tidak kujawab, atau kalau Tuhan berbaik hati, aku lebih senang dia mengalami amnesia selamanya untuk perihal itu. Lemari besi di samping kanan mejaku sudah memanggil untuk dibongkar isinya, dan aku beranjak ke sana.
"Komputernya belum bisa digunakan, mereka masih harus mencari sumber masalahnya," katanya tiba-tiba muncul di belakangku.
Aku berbalik dan melihatnya berdiri dengan sebuah balpoin di tangan kanan. Aku terpana. Dia memakai kemeja abu-abu gelap dengan celana katun hitam. Parfumnya masih aroma yang sama. Tampilan rambutnya lebih rapi dari kemarin. Di saat yang bersamaan, aku dilanda kebingungan. Dia baru saja lewat, tetapi sudah kembali. Bagaimana bisa? Aku mengerling ke ruangannya melalui sudut mata. Pintunya terbuka dan terang. Apa aku salah berpikir kalau dia seperti jin?
"Jadi, kamu masih harus gunakan yang di dalam," sambungnya memperhatikan laporan daftar absensi karyawan yang terletak di rak besi file di mejaku.
"Baik, Pak. O, iya, personalia butuh segera tanda tangan Bapak untuk persiapan payroll karena gajian terbentur di libur panjang tanggal merah."
"O, iya. Lupa saya. Ini sudah final ya? Tinggal saya tanda tangan, kan? Nggak ada perbaikan lagi?"
Dia mengambil laporan tersebut, mengamatinya, membolak-balik dengan gerakan mata yang cepat. Sepintas aku terhipnotis melihatnya seserius itu. Aura seorang lelaki dewasa terpancar dari dirinya.
"Saya konfirmasi sebentar ke personalia ya, Pak?"
Aku mengangkat gagang telepon interkom tanpa menunggu jawabannya, menekan tombol angka yang tersambung ke bagian HRD. Fokus perhatiannya masih terpusat ke kertas yang terdiri dari lima puluh halaman tersebut. Jam kerja memang belum mulai, masih sepuluh menit lagi, tapi karyawan di kantor ini sudah di pekerjaan masing-masing. Telingaku mendengar nada sambung.
"Bu Salsa bilang absensinya sudah deal. Tidak ada tambahan atau revisi lagi, Pak," ujarku setelah menaruh gagang interkom.
Dia manggut-manggut. Aku ingin kembali duduk, tetapi rasanya tidak sopan sementara bos hanya berdiri di depan meja. Kemudian dia berbalik masuk ke ruangan membawa bundelan kertas tersebut. Syukurlah. Hari ini harus cepat selesai supaya bisa makan siang bersama anak-anak dari divisi lain. Jadwal makan siang yang kami janjikan membuat rasa sakit di kaki lenyap entah ke mana.
Aku belum masuk ke ruangan untuk menyalakan komputer, susunan jadwal rapat dan penyusunan ulang jadwal yang tertunda menyita perhatian dan waktuku. Telepon tidak berhenti berdering untuk beberapa saat. Kertas-kertas facsimile berserakan hingga jatuh ke lantai. Jari telunjuk tidak berhenti menekan tombol angka untuk sambungan lokal dan interlokal. Sementara jari-jari kananku terus bergerak mencatat poin-poin penting dari pembicaraan di telepon. Entah kenapa pagi ini menjadi pagi yang sangat sibuk dari biasanya. Padahal bukan menjelang akhir bulan.
"Pak Rais ada di dalam?"
Pak Amir bertanya tanpa suara –hanya menggerakkan bibirnya sambil menunjuk ke ruangan. Aku mengangguk diiringi senyum. Ternyata pak wadirut sudah pulang dari cuti tahunannya. Kali ini beliau memilih Antartika sebagai destinasi liburannya. Hebat! Aku semakin termotivasi untuk menghasilkan uang lebih banyak dan menabung.
Tidak terasa satu jam berlalu. Rasa haus menggelegar di kerongkongan. Memet lewat membawa minuman ke ruangan pak direktur. Dia menyapaku dengan senyum dan sedikit mengangguk. Ah, Memet, kamu memang pahlawan hari ini. Langkahnya berhenti sebelum tangannya mengetuk pintu.
"Met, abis ini boleh tolong bawain air minum? Haus banget nih. Air di galon habis," pintaku menunjuk dispenser.
"Boleh, Mbak. Saya antar ini dulu, ya," jawabnya bersiap mengetuk pintu.
Aku mengangguk. Memet salah seorang office boy yang tidak neko-neko. Dia ulet bekerja, sopan, dan tidak suka menggoda perempuan. Umurnya masih dua puluh enam tahun dan juga masih lajang. Aku suka dia. Sering aku mengobrol dengannya tanpa tempat dan waktu yang tetap. Dia pintar menurutku, hanya saja tidak beruntung untuk bisa kuliah.
"Mau sekalian dibikinin teh, Mbak?"
Memet keluar dari ruangan membawa baki kosong. Sepintas aku mendengar gelak tawa terbahak-bahak pak Amir saat pemuda itu membuka pintu. Kebiasaan pak Amir kalau sudah bercerita bisa sampai satu jam tidak bekerja. Tapi,
"Nggak usah, Met. Air putih aja, tadi pagi udah min –"
"Ada sirup merah loh, Mbak."
"Ha? O, boleh… boleh… boleh…."
Memet memang perayu ulung. Aku goyah dibuatnya dengan sirup kesukaanku, tetes air yang membasahi gelas dari es yang mencair. Jam masih menunjukkan pukul 9.18 menit, tapi rasanya nikmat sekali bisa melepas dahaga dengan minuman tersebut. Memet, bisa-bisanya dia melakukan itu.
"Dingin nggak, Mbak?"
"Mau donk! Seger banget tuh," sahutku nyengir dengan mata melotot.
Memet menjawab 'ok' dengan senyum manisnya lantas segera berlalu, sebab panggilan lainnya sudah menunggu. Aku berpaling melihat ke ruangan dan pak wadirut masih berceloteh ria di dalam. Mungkin liburannya ke benus es di kutub selatan itu benar-benar asyik untuk disimak. Sambil menunggu minuman bening dan berwarna merah, aku duduk bersandar menarik napas. Rasa capek, penat, sesak, perlahan terasa longgar di dada. Otakku mulai tidak bisa berpikir sejak tadi karena kekurangan cairan. Kepalalu memang terasa penuh. Aku butuh air.
"Minumannya, Mbak."
Ah, Memet memang selalu bisa diandalkan. Dia datang di waktu yang tepat membawa dua gelas sumber kehidupan di dalam nampan. Aku menyambar air putih sebelum dia sempat menaruh baki di meja, kemudian turun entah untuk apa. Aku tidak peduli. Satu gelas air sudah kandas kuteguk. Sayangnya dahaga itu belum lepas. Aku masih ingin air putih.
Otakku belum bekerja dengan baik. Lagi-lagi aku menarik napas di kursi, mengurangi beban di tubuh yang perlahan terasa ringan dan plong. Memet muncul membawa satu galon air di pundaknya, kemudian menggantinya dengan yang kosong.
"Mbak, dipanggil Pak Rais."
"Oh, iya, Pak.
Aku tidak tahu kapan pintu itu terbuka, tapi suara pak Amir membuatku agak menggerutu. Begini memang reaksi alamiah manusia kalau kebutuhannya belum terpuaskan. Aku bergeming selama lima detik mewaraskan otakku agar bisa menyerap perkataan atasan ketika di ruangan.
"Iya, Pak."
Aku berdiri di belakang kursi –berpegang pada sandarannya. Pak direktur menyerahkan selembar coretan yang kuyakin sebuah konsep isi surat untuk kuketik. Aku membaca tulisan yang cantik dan rapi untuk golongan lelaki. Spontan kepalaku menoleh ke tempat komputer itu berada.
"Rangkap tiga ya, Mbak," ujar pak Amir.
"Baik, Pak."
Aku terkejut melihat komputer itu sudah menyala. Tetapi, sekarang bukan waktunya menjadi detektif untuk mencari tahu pelakunya, melainkan waktunya profesional demi penilaian kinerja yang memuaskan saat evaluasi karyawan. Tentu saja berujung pada kenaikan gaji atau penambahan fasilitas seorang karyawan.