"Teman, Pak."
Kupikir aku cukup menjawab seadanya, karena memang tidak perlu dia tahu. Terlalu berat untuk tahu yang bukan menjadi urusanmu, bukan?
Kami tiba di kantor pak Dian setelah hampir satu jam berkendara. Aku berdiri menatap gedung berarsitektur yang tidak biasa untuk jenis bangunan perkantoran, karena bentuknya justru seperti museum. Bangunan rumah juga banyak dijadikan kantor, bahkan gudang atau garasi mobil. Tapi, untuk gedung kantor yang berlantai-lantai? Persis seperti lirik lagunya Obbie yang berjudul Sungguh aneh tapi nyata.
Lupakan tentang itu. Sekarang aku harus fokus pada pekerjaan sebagai sekretaris, setelah dia berhasil mengacaukan pikiranku dengan ocehannya sepanjang jalan setelah di lampu merah. Baiklah, aku tidak akan main-main untuk ini. Terima kasih untuk peringatanmu, Pak Bos!
"Mari silakan."
Pak Dian menyambut kami di ruang kerjanya dengan senyum canggung, aku melihatnya dengan jelas. Entah dia terkejut dengan kedatangan kami yang lebih cepat atau Pak Dian terkejut karena dia membawa seseorang bersamanya? Hanya dirinya dan Tuhan yang tahu.
"Sebuah kejutan! Saya pikir kita bisa makan siang bersama tadinya."
Tepat seperti dugaanku! Tapi, aku juga melihat ada yang tidak lazim di sini. Pimpinan perusahaan Komizane itu berbicara sambil menatapku. Senyumnya seperti menyindir atau bagaimana, aku tidak tahu. Senyumnya sungguh misteri seperti kisah April sang jurnalis yang memiliki hubungan dengan salah satu personil Kura-Kura Ninja.
Kami duduk di sofa yang ada di seberang meja kerjanya. Ruangannya tidak terlalu besar, tapi bagus dan nyaman. Pemilihan cat dinding dan dekorasi ruangan sangat klop. Putih sedikit kebiruan. Dari apa yang kutahu dari teman-teman arsitek dan teknik sipil, warna itu bagus untuk mengurangi tekanan stres dan lelah pada mata. Dekorasinya tidak murni gaya kantoran yang minimalis dan kaku. Ini sedikit homey karena hiasan bambu di beberapa sudut ruangan dan dindingnya.
Ah, iya, aku baru ingat, bosku belum memperkenalkanku padanya. Aku melirik sekilas, tapi bukan wajah yang manis untuk dilihat. Iya, aku akui, dia memang memikat secara fisik, tapi tidak untuk kali ini. Dia sedang berada di perusahaan lain untuk melobi, kan? Lantas, kenapa mukanya masam seperti sedang duduk di klub malam karena pikiran penat?
"Sedang melakukan perubahan, Pak Rais?"
Pak Dian menatapnya dengan senyuman yang masih sama. Ingin sekali aku menyenggolnya yang terlalu fokus pada ponsel, sampai mengabaikan pertanyaan rekan kerjanya. Benar-benar tidak sopan! Apa dia tidak mendengar?
"Boleh saya tahu Mbak siapa?"
Lagi-lagi dugaanku benar, kan? Dan, Pak Dian tidak basa-basi. Sewajarnya beliau bertanya, karena memang sudah seharusnya diperkenalkan, supaya orang-orang tahu siapa aku. Sekretaris. Hanya sekretaris. Tidak lebih! Jangan sampai tersebar isu-isu miring hanya karena aku sering pergi dengannya, walau hanya urusan kantor. Oh, tidak, aku tidak mau itu terjadi. Telingaku tidak sanggup untuk mendengar itu.
"Ah, iya, saya Laduree, Pak. Sekretaris baru Pak Rais," jawabku disertai senyum.
Jangan lupakan tata krama dalam berinteraksi. Senyum tetap harus dipatrikan. Itu salah satu etika bisnis yang kupelajari sewaktu kuliah. Tidak ada berjabat tangan juga tadi sewaktu masuk ruangan, karena aku tidak melakukan itu lagi sejak bertransformasi menjadi lebih baik dalam penampilan.
"Oh, sekretaris baru?" keningnya berkerut. Aku tidak tahu apakah dia tidak tahu sama sekali, atau mungkin lupa berita pergantian sekretris di perusahaan kami. Entahlah.
"Dia menggantikan Fany. Sekretaris lama yang resign karena menikah," celetuknya tiba-tiba.
Aku melirik ke arahnya yang sudah selesai dengan gawai, kemudian menatap Pak Dian yang manggut-manggut. Berkas rencana kerjasama dengan Komizane masih berada di pangkuanku. Rapi di dalam map plastik berwarna biru, yang secara psikologi bermakna kepercayaan.
"Oh, iya, maaf, apa kita bisa mulai rapat ini?" lanjutnya mengulurkan tangan meminta map. Aku memberikannya.
"Nggak masalah, Pak Rais."
Pak Dian yang duduk di seberang kami, berdiri kemudian melangkah ke meja kerjanya. Mengambil berkas yang sudah disiapkan beserta pena dan pensil, sebelum bicara melalui pengeras suara.
"Yas, tolong bawakan kopi dua gelas dan satu teh panas manis. Gulanya dipisah," ucapnya melalui interkom yang langsung terhubung ke pantry.
Pak Dian ini sepertinya sosok yang bisa menebak apa yang orang lain suka dan tidak suka. Tanpa bertanya beliau memesan teh untukku yang tidak suka terlalu manis. Beliau juga terlihat masih muda dari fisiknya, hanya sedikit lebih tua dari bosku dan lebih muda sekitar tiga atau empat tahun dariku. Orangnya tipikal rapi dan bersih kelihatannya, selera seninya juga bagus, dan aku harus memusatkan fokusku untuk memastikan apa yang kulihat bukanlah ilusi.
Mataku terpaku di bagian itu, bagian yang seharusnya membius para wanita karena bentuknya yang rata karena sit up atau bahkan six pack. Tapi, detik ini tatapanku terpenjara karena perutnya terlihat sedikit buncit.
Oh, tidak! Kau memalukan, Laduree.
Cepat-cepat kualihkan perhatianku darinya yang pasti sudah beristri dan punya anak. Aku menoleh pada bosku yang sedang membuka lembaran berkas tadi. Serius sekali wajahnya. Suara hentakan sepatu Pak Dian memberitahu bahwa beliau sedang berjalan kembali ke sofa.
Aku mengeluarkan notebook yang selalu siap di dalam tas, mencatat segala hal yang diperlukan dan poin-poin penting dari setiap perintah, serta rapat di kantor.
"Mereka sudah memberi kabar harga jual gedung itu. Nilai pasarnya sekitar 2,2 milyar Rupiah," ucap Pak Dian menempel bokongnya ke sofa. Beliau menyodorkan kertas berisi informasi nilai jual beberapa aset dari perusahaan pailit.
"Nilai saham merekak anjlok, cuma Rp. 1.500,- per lembar, tapi cukup membantu karena jumlahnya ada dua juta lembar, termasuk treasury di dalamnya," lanjutnya bangkit ke meja kerja.
"Oh, ya?"
Bosku terkejut sampai perhatiannya berpaling dari kertas yang dipegang. Keningnya berkerut menatap Pak Dian yang kembali ke sofa bersama laptop.
"Tapi, di sini nggak tercantum, Pak Dian. Hanya obligasi yang nilainya juga nggak menguntungkan," lanjutnya tanpa mengalihkan perhatian.
"Saya baru terima kabar tadi pagi, laporan itu mereka kirim tadi malam ke email saya," elaknya memberi penjelasan.
Sekarang aku hanya menyimak pembicaraan mereka, belum waktunya memberi pendapat. Tapi, melihat mereka bicara seperti adu debat, aku merasa tidak nyaman. Semacam nyamuk yang mengelilingi dua orang yang darahnya akan kuisap. Atau, seperti kucing peliharaan manis yang sedang menemani tuannya.
Pak Rais kembali memfokuskan pikirannya pada kertas itu. Keningnya kembali mengerut, memahami deret angka yang tercetak di sana. Dia menyerahkannya padaku untuk kucermati. Sebuah perusahaan yang sedang menyelamatkan diri dari kebangkrutan. Nilai aset-asetnya cukup lumayan meski tidak disajikan lengkap. Hanya gedung tiga lantai yang luasnya lima ratus meter persegi, sepuluh unit kendaraan, tiga unit mesin foto copy, lima belas unit komputer dan lima belas unit printer.