Hari ini tepat tiga bulan sudah aku bekerja di kantor ini. Alhamdulillah, banyak perubahan yang kurasakan. Aku jadi lebih positif, semangat, dan punya tujuan hidup yang lebih teratur. Selain itu, aku tidak punya utang lagi sekarang, semua utang lunas selepas terima gaji pertama. Alhamdulillah. Nikmat Tuhan mana lagi yang aku dustakan selain hidup tenang tanpa utang?
Aku berdiri di ujung tangga menarik napas bangga sampai ke ubun-ubun, walaupun setumpuk kertas menuju deadline sedang menunggu manis di atas meja untuk kuselesaikan. Tidak sulit untukku mengerjakan pekerjaan ini. Hanya butuh dua pekan untukku bisa memahaminya.
Nyaman.
Itu yang kurasakan bekerja di kantor ini. Selain lingkungannya bersahabat, orang-orangnya juga mau membantu yang lainnya, walau sekadar. Yah, itu memang seharusnya. Karena, masing-masing karyawan dari tiap-tiap divisi sudah ada job description masing-masing. Level toxicnya juga kecil. Tidak butuh waktu lama untukku mengenal kantor ini dan orang-orangnya, lengkap dengan karakteristiknya.
"Pak Dian dari Komizane ada telepon saya gak, ya?"
"Dari dua hari yang lalu belum ada telepon masuk dari Pak Dian, Pak."
Si Bos mengetuk jari telunjuk di atas meja – berpikir, dia berdiri di depanku tapi agak ke samping kanan. Parfumnya yang sudah terekam di benakku menguar kemana-mana. Jadi, tidak perlu menoleh untuk mengetahui siapa yang lewat atau muncul. Wangi sekali dia.
Aku sangat yakin bahwa aku tidak terlambat tiba di kantor, khususnya di lantai tiga tempat meja kerjaku berada. Tapi, kenapa Si Bos sudah isi absensi ya? Tidak biasanya dia setor muka sepagi ini. Aneh.
Dia masih berdiri di sana menatapku yang berjalan menuju meja kerja. Aku tidak melihatnya melakukan itu, tapi aku bisa merasakannya. Lagi-lagi, dia memperhatikan wajahku seperti sedang mengingat sesuatu. Sampai detik ini, entah kenapa pertanyaannya terus terngiang-ngiang di kepalaku. Padahal sudah puluhan hari berlalu, bahkan berkali-kali dia sebutkan.
(Saya seperti tidak asing dengan wajah kamu.)
(Kan, Bapak lihat saya setiap hari sejak hari wawancara.)
Itu jurus jitu menjawabnya, padahal aku mengelak supaya dia tidak ingat kejadian siang itu di rumahku.
Sejak sekretarisnya resign sebulan lalu, aku lebih sering berinteraksi dengannya. Yah, mau bagaimana lagi, sekretarisnya kan sekarang cuma aku seorang. Dia banyak bercerita tanpa aku bertanya. Bahkan, dia duluan yang sering membuka percakapan. Baik banget, ya? Mau approach dengan bawahan.
Salute!
"Nanti siang kamu ikut saya ke kantor Pak Dian."
Aku tertegun.
"Saya, Pak?"
Salah tiga tugas sekretaris adalah membuat janji temu dengan orang-orang penting atau calon klien, ikut rapat – meski tidak semua rapat harus dihadiri assistant atau sekretaris, dan buat jadwal meeting. Tapi, kalau ikut bos pergi berkunjung bukan untuk urusan rapat?
"Iya, saya akan menghubunginya sebentar lagi, terus kita ke kantornya sebelum jam makan siang. Kamu siapkan saja berkas-berkasnya."
'Ha? Berkas?'
Angin apa dia mengajakku menemui calon mitra kerjasama? Si bos tidak pernah membawa sekretaris kalau urusannya di luar kantor. Jadi, kalau pergi ya pergi sendiri. Begitu kata Fany –mantan sekretarisnya. Dia masih menatapku yang melihat bola mata hitamnya sekilas saat menjawab.
"Baik, Pak."
Aku melirik jam di tangan kiriku, pukul 7.10 menit, lalu duduk. Masih banyak waktu untuk menyiapkan berkas, karena pekerjaanku lebih penting demi status professional. Setelah tas dan bekal kuletakkan di laci meja, pc komputer kunyalakan. Si Bos masih setia berdiri seperti seorang ajudan.
"Kamu bawa bekal?"
"Iya, Pak. Biar hemat waktu untuk beli makan siang. Jadi, istirahatnya bisa lebih lama."
"Loh, kok mati?"
Aku kaget melihat komputerku yang bahkan belum dibuka file apa pun, malah layarnya sudah hitam tiba-tiba. Dia memiringkan tubuhnya mengintip ke komputerku. Aku kembali menekan tombol ON/OFF di pc. Layarnya kembali menyala, Alhamdulillah, kemudian padam lagi. Astaga!
Kenapa dia berulah pagi ini?
Dia mendekat ke posisiku yang masih duduk di kursi, lantas mengulang apa yang kulakukan dengan hasil yang sama. Dia mencoba memeriksa kabel-kabel di belakang pc yang tersambung ke desktop mungkin saja renggang, jadi outputnya tidak diterima oleh layar. Dia melakukan itu tanpa canggung. Aku terkesima. Jujur saja, aku terpesona.
"Kenapa bisa begini ya?" ujarnya bingung.
Melihatnya repot dengan hal-hal teknis yang bukan urusannya sebagai atasan, tapi hal lumrah bagi semua pengguna komputer, membuatku menyingkir dari kursi untuk memberinya ruang gerak. Tanpa sengaja aku meliriknya, sayangnya mataku terkunci pada wajahnya. Bersih, terawat, tidak klimis karena ada jambang yang baru tumbuh menghiasi rahangnya. Perlahan tapi pasti, keringat mulai membasahi. Aku melihat bagian punggung bajunya sudah mulai basah.
Ah, aku lupa. Jendela belum terbuka! Pantas saja dari tadi terasa gelap walaupun terang, karena diterangi lampu ruangan yang cuma 5 watt. Aku membuka tirai jendela, perlahan sinar si Raja siang itu menerobos masuk menerangi ruangan yang membuat dia semakin berkeringat karena terkena sinarnya. Oh, maafkan aku, Pak Bos. Tapi, sinar pagi hari sangat bervitamin untuk kesehatan tulang.
"Nggak bisa juga, ya? Telepon pihak IT aja sebentar lagi. Kamu pakai komputer saya yang di ruangan aja."
Begitu katanya sambil ngelap keringatnya yang bercucuran di kening turun ke pipi. Aku terhipnotis.
"Tapi, untuk deadline, filenya ada di sini, Pak."
"Aduh!" dia menyesali.
"Nggak ada backup di tempat lain yang bisa ditarik oleh IT?"
"Kalau pun ada, ngambilnya juga harus di computer network, tapi monitornya kan gak nyala, Pak."
Dia memejam mata.
Terlihat sekali dia bingung dari embusan napasnya yang seperti orang putus asa. Cepat-cepat aku menyodorkan tisu yang kuambil dari laci meja, saat kulihat dia menyeka keringatnya menggunakan tangan.
"Terima kasih."
Aku melihat jam di tangan, sekarang pukul 7.34 menit. Tidak terasa waktu sudah sangat pagi, pantas saja banyak kulihat orang lalu lalang dan langit sangat terang saat membuka tirai jendela tadi.
"Ikut saya!"
Aku mengikutinya yang masuk ke dalam ruangan. Dia menyalakan komputer yang berada di meja satunya – terpisah dari meja kerjanya. Komputer itu sudah dipindahkan sebulan lalu, hanya untuk cadangan katanya. Masuk ke ruangan ini mengingatkanku pada hari pertama aku bekerja, hari dimana aku terperangah mengetahui bahwa orang yang mewawancaraiku bukanlah Wadirut dengan nama kolotnya Amiruddin Ramadhansyah.
Oh Tuhan, jiwaku benar-benar terguncang waktu itu. Padahal orang lain yang disakiti karena ketahuan selingkuh, tapi aku yang tidak bisa tidur dari malam ke malam. Semua terjadi begitu saja, tanpa aba-aba saat Fany membimbingku untuk hand over pekerjaannya.
(Selamat pagi, Pak.)
Fany menegur seperti biasanya saat dia datang. Aku pun melakukan hal yang sama tanpa melepas pandanganku padanya yang masuk ke ruang yang bertuliskan DIREKTUR UTAMA. Aku tidak berpikir lain-lain setelah informasi yang kudapat saat wawancara kemarin.
Dan masuk ke ruangan itu, itu sudah biasa bagi seorang karyawan terpercaya. Pun dengan office boy untuk membersihkan ruangan. Tapi, yang aku heran, kenapa dia tidak keluar-keluar? Dia bahkan duduk di sana bagaikan bos yang sedang duduk di kursinya.