Chereads / LADUREE / Chapter 4 - Orang toxic

Chapter 4 - Orang toxic

Aku mengangkat gayung mandi berisi air tapi batal, gara-gara otakku tiba-tiba teringat si lelaki yang tadi mewawancaraiku. Padahal aku sudah di kamar mandi, sudah siap untuk cebar-cebur dengan air dingin di bak kamar mandiku, yang berasal dari mata air pegunungan sejak dulu. Persis seperti iklan air mineral di tivi.

Apalagi udara hari ini sangat tidak bersahabat. Puanasss pollll… sepanas hatiku yang melihat mantan calon suami bersama seseorang yang lain, sewaktu aku duduk di meja tengah sebuah kafe setelah keluar dari perusahaan itu.

Hah... kenapa juga aku harus sewot?

Dasar hatiku tidak bisa diajak bersohib. Kalau begini bukannya sama saja aku masih ada perasaan padanya? Oh Tuhan, mau ditaruh dimana mukaku kalau aku masih baper melihat dia sama perempuan lain? Apa kata dunia? Gengsi dunks.

Lagian, laki-laki seperti dia tidak pantas bersanding denganku. Mulutnya lemas seperti mamak-mamak yang doyan gosip di tukang ikan dan sayur keliling. Bisa-bisanya dia melontarkan kata-kata memaki dan merendahkan harkat dan martabat perempuan. Padahal dia membutuhkan perempuan buat bisa diajak mantap-mantap, kecuali dia homo sapien atau bahkan impoten. Terus terang, aku tertipu olehnya sampai bisa tertarik padanya.

Atau mungkin dia memasang topeng supaya terlihat baik untuk memikat para perempuan? Satu hal yang kusyukuri, Tuhan memberitahuku tabiat buruknya sebelum terlanjur dalam dan jauh. Meskipun, aku berhubungan dengannya baru tiga bulan lamanya. Alhamdulillah, kan? Kalau tiga tahun entah apa jadinya.

Dia tidak melihatku karena posisi duduk sudah kuubah membelakanginya. Selain karena haus, aku juga ingin bersantai di tempat yang nyaman, menikmati momen bahagia karena dapat pekerjaan di usia yang tidak sepatutnya, menikmati masa-masa terakhir bisa bersantai hidup tenang tanpa beban pikiran dan tuntutan pekerjaan, yang membuat stres dan membuat haidku menjadi tidak lancar.

Tapi, ambyarrrr.

Well, leave it behind.

Sekarang aku perlu ke dokter saraf otak sepertinya. Aku baru ingat ternyata aku tidak membawa masuk handuk tadi. Oh my, God! Bagaimana ini? Mau tidak mau, aku harus keluar, bahkan menggunakan baju kotor yang kupakai wawancara tadi. Untungnya aku belum sempat menungging gayung mandi supaya airnya membasahi tubuhku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Apalagi pakai sabun yang harganya juga tidak murah. Hah… ini sungguh acara mandi sore yang tidak menyenangkan tapi cukup mengagumkan.

Selesai sudah ritual mandi sore, karena aku juga tidak bisa berlama-lama sebab sebuah pesan masuk ke aplikasi obrolan sebelum aku ke kamar mandi. Aku harus menjemput ibuku di rumah tanteku. Padahal bermesraan dengan kasur sampai adzan Maghrib adalah angan-anganku. Aku butuh istirahat, tidur lelap satu jam saja seperti judul lagu sebuah merk mobil yang logonya sama dengan Olimpiade Olah Raga Internasional.

Selain itu, aku juga tidak mau mendapat siraman rohani dari orang-orang yang terlalu kepo dengan umurku yang 36 tahun tapi belum kunjung bersuami. Hah… sesak bukan lagi di dada, tapi di telinga dan ubun-ubun. Aku masih menaruh hormat kalau yang ceramah adalah para tetua, tapi ini yang menjadi 'ustadzah' justru yang masih muda yaitu sepupu yang lebih tua, bahkan yang di bawah umurku. Woahhh… lancang dia!

Dia pikir dia siapa?

Mentang-mentang sudah menikah, punya anak, merasa hidupnya sudah benah. Selamanya akan tetap bersama pasangannya. Lalu, ceramah sana sini, memberi nasehat seolah-olah sudah berpengalaman urusan pernikahan karena sudah menjalaninya puluhan tahun. Apa dia tidak berpikir bahwa bulan depan mungkin saja dia bercerai karena suaminya punya istri baru?

Belum lagi kata-kata yang terlontar dari teman atau tetangga atau kolega keluarga.

Udah, gak usah banyak milih-milih, kalau ada yang mau, ambil aja terus.

Holahhhh… enak sekali dia bicara mentang-mentang lidah tak bertulang. Dia umpamakan perempuan yang belum menikah sebuah 'barang' yang bahkan belum laku. Jadi, diobral saja daripada tidak laku. Ingin aku menjawab yang membuat mereka diam seribu bahasa.

Kenapa bukan adik kalian saja yang dinikahkan tanpa pilih-pilih? Bahkan, kalian sendiri milih-milih sebelum menjatuhkan pilihan. Kalau tidak milih, mana mungkin kalian melamar pasangan kalian, atau menerima lamaran orang yang menjadi pasangan kalian? Itu kan kalian milih-milih namanya, cuma kaliannya saja yang tidak sadar!

Tapi, sayangnya aku masih mempunyai kewarasan otak yang mumpuni. Jadi, aku menjawab dengan cara yang lebih berpendidikan.

Gak usah cari yang kayak gini kayak gitu, gak ada yang sempurna.

Helehh… terlihat sekali bahwa dia bernasib tidak beruntung. Dia punya banyak kelebihan tapi malah mendapat suami yang serba kekurangan. Lantas, dia ingin orang lain bernasib sama sepertinya. Menderita sepertinya. Merasakan penderitaan yang dia alami. Oh, tidak, Nona-Nona. Itu nasib yang Anda pilih sendiri, dan aku tidak mau seperti itu.

Oh, Tuhan. Betapa sakitnya akal mereka, padahal Engkau memberikan akal yang sehat. Aku sangat paham bahwa tidak ada yang sempurna, karena memang tidak ada yang abadi. Tapi, aku adalah aku yang hidup dengan jalan pikiranku, bukan pikiran orang lain. Titik, tidak pakai koma!

Waktunya meluncur ke rumah tanteku. Kuharap mulai hari ini telingaku tidak lagi mendengar ocehan-ocehan dari mereka yang membuatku lepas kendali. Aku harus menghindar dari toxic people yang menghancurkan hidupku. Aku tidak ambil pusing kalau mereka berkata bahwa aku sombong, aku tidak peduli. Aku menyayangi hidupku dan diriku. Aku tidak mau sakit gara-gara ocehan mereka, yang terdengar tak ubahnya sampah di telingaku, yang bahkan mereka tidak peduli saat aku sedang kesusahan.

Aku harus menata hidupku, membuat diriku sehat dan bahagia. Memulai hari baru, lembaran baru, diari baru, dengan semangat baru, orang-orang baru, lingkungan baru, pekerjaan baru, perusahaan baru. Bukankah ini sebuah keputusan terbaik untuk mengobati mental yang terluka?

Baiklah, kalau begitu besok sudah bisa masuk ya, nanti ada pihak HRD yang akan urus kontrak kamu. Biar selesai semua hari ini. Mudah-mudahan kamu menjadi sekretaris yang solid.

Nah, begitu kata si lelaki tadi. Artinya, ada harapan besar yang dijatuhkan kepadaku di kalimat terakhirnya. Jadi, aku harus terlihat profesional dengan pengalaman kerjaku yang beberapa tahun, meski menjadi sekretaris akan menjadi pengalaman pertamaku. Menarik, bukan?

Artinya, aku harus dan hanya fokus pada pekerjaan baruku. Fokus pada hidupku tanpa sempat memikirkan 'sampah-sampah' yang membentuk bara api yang membakar hati, padahal bukan cinta yang menggelora seperti lagunya Anugerah Musik Indonesia yang legendaris.

Siapa tahu aku akan bertemu dengan jodohku selama di perusahaan itu, atau mungkin di dalam perusahaan itu sendiri. Tidak ada yang tahu, karena Tuhan merahasiakannya. Dan, ini menjadi salah satu ikhtiarku mencari sosok yang bisa menjadi pendamping hidup – tanpa kusadari.