Sesuai jadwal yang sudah ditentukan, pagi ini aku bersiap untuk datang guna memenuhi panggilan wawancara yang menurutku weird. Aku memang sedang butuh uang karena rekening yang kian menipis dari hari ke hari, tapi bukankah ini sebuah panggilan wawancara yang aneh?
Di depan cermin yang tingginya menampakkan diriku dari kepala sampai lutut, aku berdiri menatap penampilan formal yang sudah lama tidak kulakukan. Berdandan ala wanita kantoran dan berpakaian sepatutnya untuk ke kantor. Jam dinding di ruang tamu berdentang delapan kali, artinya masih ada satu jam lagi untukku bisa tiba di sana. Wawancara dimulai pukul sembilan pagi, menurut surel terbaru yang kuterima malam tadi.
Aku sudah membereskan rumah seperti biasa, bahkan sejak aku masih bekerja kantoran, sebelum akhirnya mengambil keputusan untuk berhenti. Berbenah rumah dan repot di dapur menjadi bagian rutinitasku pagi hari.
Kini, aku siap menuju ke gedung yang sudah ditentukan. Siap memulai hari dengan rekahan bunga bahagia yang terasa di hati, serasa mengulang masa lalu. Masa dimana aku menjadi wanita karir, pergi pagi pulang Maghrib. Menyenangkan sekaligus menyakitkan.
Motor merahku sudah siap di teras. Mengucap Basmallah, aku melajukan motor dengan gear 1 sebelum tarik gas ke gear 3 dan 4. Motorku masih manual. Harap maklum.
28 menit kemudian, aku tiba di kantor swasta lokal yang lumayan besar. Perusahaan ini sedang merambah ke tingkat nasional dengan melepas IPO di BEJ. Aku sempat mencari tahu lebih banyak tentang perusahaan ini sehari sebelumnya melalui website mereka. Lumayan, akan menjadi perusahaan besar –kupikir.
"Halo, selamat pagi. Saya ada janji interview jam sembilan," kataku pada resepsionis di lobi kantor yang cukup luas.
Pemilihan interiornya sangat bagus, sangat mendukung bagi karyawan yang baru datang untuk memberi semangat, dan karyawan yang akan pulang untuk melepas penat. Setidaknya duduk di sofa lobi yang dingin berAC dengan rancangannya yang seperti cafe minimalis, bisa membuat betah berada di sini. Apalagi kalau gajinya sepadan, wow... Aku tidak akan pernah resign kecuali umur sudah waktunya pensiun.
"Oh, silakan isi daftar hadir ya, Mbak," katanya menyodorkan satu bundel kertas guest absency yang berisi puluhan tanda tangan para tamu di kantor ini.
Resepsionis yang berdiri di depanku ini lumayan cantik, sopan pakaiannya, dan murah senyum. Aku tidak tahu murah senyumnya itu apa. Entah memang terpaksa karena peraturan demi image perusahaan, atau memang orangnya yang murah senyum. Terserah dia saja. Yang penting bukan murahan. Ups!
"Silakan naik ke lantai dua, Mbak. Dari sini terus belok kanan, tangganya di sana," lanjutnya menunjukkan arah dengan tangannya.
"Terima kasih," balasku tersenyum.
Sejak dari parkiran sampai meja resepsionis, aku melihat perusahaan ini patut diacungi jempol. Terlihat jelas bagaimana cara mereka mengatur hingga begitu tertata seperti yang kulihat sekarang ini. Tak ubahnya perusahaan berskala besar dengan good management.
Hufff... Benar-benar perusahaan bonafit walaupun lokal.
Well, sekarang aku sudah di ujung tangga lantai dua. Aku menemukan satu ruang bebas tepat di depan tangga, ke kiri ruangan para bos-bos mungkin. Ke kanan ruangan aula. Aku tidak terlalu memperhatikan. Tapi, seperti itu yang tampak sekilas di mataku dari beberapa pintu-pintu yang tertutup rapat.
Lantai dua itu cukup luas, dengan jendela setinggi dinding tanpa gorden kain. Terpampang transparan dari kaca putih yang menjadi penghalang.
Ah, aku lupa. Harusnya tadi kutanya dimana tepatnya ruangan wawancaranya. Sekarang aku yang pusing mencari sampai celingak-celinguk di ruangan sepi itu. Mana waktu sudah mepet lagi. Tanganku reflek mengambil ponsel dari dalam tas, untuk melihat penunjuk waktu. Aku tidak pakai arloji sejak lama.
Hufff... Lima belas menit lagi. Baiklah, aku kembali ke bawah ke meja resepsionis.
"Permisi, ruangan wawancaranya dimana ya? Saya lihat di atas sepi."
"Oh, sebentar, Mbak. Saya hubungi HRD dulu."
Dia mengangkat gagang telepon, dan menyahut dengan 'baik Bu' setelah memberitahu perihal kedatanganku.
"Mbak, ke lantai dua langsung ke ruangan HRD di sebelah kanan, nanti mbak akan diantar ke ruangan pak Rais," ujarnya tetap ramah seperti tadi.
"Oh, ok. Terima kasih, Mbak," balasku senyum.
Cepat-cepat aku naik ke atas menuju ruangan HRD, waktuku tersisa lima menit lagi. Aku mengetuk pintu, suara dari dalam memintaku masuk. Kusampaikan maksudku, dan salah seorang dari mereka berdiri menyambutku.
"Oh, yang mau walk in interview, ya? Ayo, ikut saya," ucapnya ramah dengan senyum manis. Sayang, bapak-bapak!
Selama aku berjalan mengekorinya, kuperhatikan dia dari ujung kepala sampai ujung kaki.
Pada dasarnya, si bapak-bapak ini orangnya cakep meski umurnya nampak 40-an. Cuma, orangnya lebih memilih duduk-duduk manis di kursi sambil minum teh manis dan kue manis. Mungkin supaya dia tetap manis, karena sadar umurnya yang sudah tuwir mengurangi kadar manis. Jadi, tidak sudi mempertahankan kadar manis atau mempermanis dirinya dengan berolah raga.
Jadi, ya, begitu. Seperti bapak-bapak kebanyakan, apalagi kalau bukan perutnya yang buncit, meski dandanan rapi dan wangi, rambut di kepalanya belum pada rontok, cuma ada ubanan sedikit di beberapa tempat.
Aku mengikuti si bapak-bapak yang membawaku ke satu ruang yang di pintunya tertulis WADIRUT.
"Permisi, Pak. Kandidat wawancara sudah datang."
Dia berdiri di pintu setelah pintu dibukanya sendiri. Tidak ada satpam yang membukakan pintu seperti di film-film action yang sering kutonton.
"Oh, iya, Pak. Suruh masuk saja."
Sayup-sayup kudengar percakapan singkat lelaki tua itu dan... Aku tidak tahu. Karena aku tidak melihat lelaki yang di dalam, jadi tidak bisa kubilang kalau yang duduk di dalam juga lelaki tua.
"Masuk, Mbak. Silakan."
"Oh, terima kasih, Pak."
Si Bapak-Bapak keluar mundur selangkah memberi akses untukku, dan menutup pintu setelah aku berada di dalam. Kulihat Si Bos yang duduk di kursi empuk sedang menghadap ke belakang sedikit ke samping. Aku tahu dia sedang ngeprint, karena suara halus printer merek HengPon menggaung ke telingaku, dan dia sedang memeriksa hasil printingnya.
Sekilas mataku melirik ke kotak nama yang ada di meja, yang selalu letaknya di depan di setiap ruangan bos-bos. Name tag, name tag gitu dech namanya.
AMIRUDDIN RAMADHANSYAH
Namanya tidak keren sekali–pikirku. Tapi, dilihat-lihat, kok sepertinya masih muda ya? Apa jangan-jangan...
"Selamat pagi, Pak."
Aku masih berdiri di ujung pintu, menenteng tas dengan kedua tangan menyatu di handlenya, dan tidak akan berjalan mendekat ke kursi kalau orang yang kusapa belum menjawab. Kebiasaanku seperti itu dari dulu kalau urusan wawancara kerja.
Dia memutar kursi saat mendengar suaraku. Saat mata kami bertemu sewaktu dia melihat siapa tamunya....
DEG
Innalillah!