***
Hazel kelaparan, tapi dia enggan untuk makan karena masih sangat mengantuk. Sejak tadi dia belum melihat Michelle. Lelaki itu menghilang begitu saja ketika dirinya selesai mandi.
"Suami macam apa pergi di malam pertama, ckckck! Eh, biarin saja tidak usah balik." Hazel meraba ponselnya ketika terdengar dering panggilan masuk.
"Hazel, gimana kamu masih ting-ting?"
"Berapa ronde Hazel?"
"Dia jago ya? Wah, Hazelku sudah tidak ting-ting."
"Kami tunggu keponakan lucu-lucu."
"Kalian itu bikin gemes ya, meski aku tidak merestui sepenuhnya Michelle menjadi suamimu tapi melihat gimana dia mengejarmu saat ke kamar, aku rasa dia sangat tidak tahan dengan tubuh seksimu. Hhaha."
"Kalian ngomong apa sih, sudah ya aku matikan. Huamm!" Kruk, perutnya berbunyi juga.
Hazel terpaksa turun ranjang, mencari sesuatu di lemari makanan.
"Lapar?" Hazel menutup lemari berisi pizza yang tidak menggiurkan baginya. Dia mengabaikan Michelle yang berdiri di samping pintu. Apa lelaki itu punya keahlian menghilang dan muncul mendadak, mengapa selalu saja sukses membuat Hazel kaget?
"Mau keluar?"
"Tidak, kau saja keluar kenapa balik lagi?"
"Kalau kangen bilang saja."
Hazel memutar mata malas menanggapi ucapan Michelle.
"Mau memakanku saja?"
Mata Hazel terbelalak kaget.
"In your dream."
"Hahaha." Michelle tertawa tidak jelas, membuat Hazel menatapnya kesal.
"Kau minum-minum?"
"Tidak sayang."
"Mabukkan kamu, jujur saja. Atau tubuhmu berganti sama seseorang?"
Sosok Michelle berbeda dengan kemarin, lelaki itu tidak terlihat sangar dan dingin seperti sebelumnya. Namun, bersikap manis secara mendadak seperti ini sangat mencurigakan menurutnya.
"Tidak istriku."
Michelle berhasil menangkap bantal yang dilemparkan oleh Hazel.
"Mamamu meminta cucu dari kita."
"Hah?"
"Mamamu dan mamaku meminta cucu dari kita." Ucapan Michelle penuh tekanan, wajahnya berubah serius semakin membuat Hazel bergidik nyeri.
Baru tadi lelaki itu bilang tidak tertarik dengan tubuhnya yang katanya tidak seksi padahal menurut Hazel suaminya itu hanya sedang berbohong saja. Badan dia proporsional, layaknya model. Ya, Hazel tidak sekadar memuji diri. Banyak temannya yang mengatakan demikian, bahkan mendukungnya untuk menjadi model. Namun, Hazel sama sekali tidak merasa tertarik kepada profesi itu. Dia lebih menyukai menyamar menjadi agen. Sayangnya, jangankan punya niat untuk mendaftarkan diri menjadi agen negara, papanya saja sangat melarang keras dia mengambil judul skripsi yang berhubungan dengan mafia.
Setelah kejadian Minggu lalu, di mana dia sekarat dan hampir saja kehilangan nyawa. Papa Hazel segera menghubungi dosen bimbingnya, meminta agar skripsi Hazel diganti judul lain saja atau papanya akan menuntut Fakultas Hukum tersebut karena telah menyebabkan Hazel koma meskipun secara tidak langsung. Hazel sendiri yang bersikeras mengambil judul tersebut dan menyelidiki sendiri layaknya seorang agen. Dan dia sangat kecewa dengan keputusan sepihak papanya karena telah menggagalkan dirinya membuat skripsi sesuai keinginan.
Hazel tidak masalah harus memulai dari awal, tapi persoalannya dia semakin tersudutkan oleh perintah papa yang terpaksa harus dituruti. Hazel dilarang mengambil judul mengenai mafia, bahkan papanya telah membeli judul lain bagi skripsi Hazel. Mau tidak mau Hazel harus menyusun ulang outline dan sebagainya.
Dia menolak untuk membayar jasa pembuatan skripsi. Meski putri tunggal kaya raya, tetapi dia tidak ingin berpangku tangan selagi otaknya masih bisa digunakan untuk berpikir maka Hazel akan mencoba menyelesaikan sarjana Hukum dengan kemampuannya sendiri. Hazel termasuk salah satu mahasiswi berprestasi di kelasnya, meskipun kadang-kadang ada yang menganggap keberhasilannya dalam memperoleh nilai karena faktor orang tua yang membantunya dengan menyogok dosen, membeli soal ujian dan lain-lain dengan tuduhan palsu yang tidak benar.
Hazel ingin membuktikan bahwa dia bukan anak manja yang tidak berwawasan.
"Jangan mendekat! Kau punya kepribadian ganda?" tuduh Hazel, "dirimu sekarang sangat berbeda dengan Michelle yang mengatakan tubuhku tidak seksi dan kau tidak tertarik padaku." Hazel menirukan suara Michelle mengatainya.
"Memang tidak seksi," sahut Michelle cepat, matanya memindai tubuh Hazel yang mengundang perempuan itu melemparinya dengan bantal.
"Tapi masih bisa 'digunakan', kenapa tidak?" lanjut Michelle semakin membuat Hazel kesal karena sadar telah dipermainkan
"Aku tidak bohong soal permintaan Mama kita, kalau kau tidak percaya kau bisa bertanya kepada mereka." Michelle duduk di ranjang dengan santai.
"Ya, bagaimanapun cepat lambat kau juga akan mengandung anakku. Meski tubuhmu ya begitu, aku juga lelaki normal bisa saja sesekali--"
"Cukup Michelle!" potong Hazel cepat, "cukup kau menghina tubuhku. Sekarang aku mau makan!" Hazel berbalik menuju nakas untuk menelepon pihak konsumsi hotel agar membawakan makanan untuknya santap di kala perut kosong.
"Kau tidak mau pesan?" Hazel masih berbaik hati menawarkannya, tetapi setelahnya dia menyesali perbuatan baiknya kepada Michelle usai lelaki itu menjawabnya.
"Tubuhmu lebih enak 'dimakan'."
"Dasar--" Hazel menggantungkan umpatannya, dia sadar tidak boleh terlalu kelewatan mengumpat ataupun mencaci maki Michelle karena bagaimanapun lelaki itu sekarang sudah sah menjadi suaminya. Hazel takut murka dan celaka karena berdosa kepada suami.