"Kau tahu Mich menyuruhku?"
Hazel mengangguk ringan seraya mengelap mulutnya. Dua puluh tusuk sate telah habis dalam sepuluh menit saja. Perut karetnya bahkan mampu menampung sepiring lagi.
"Kau keluar dari lobi apart itu, kan?"
"Oke, aku ketahuan." Bryan mengulurkan tangannya untuk berkenalan.
"Bryan, sahabat Mich."
Hazel membalas jabatan tersebut tanpa menyebutkan namanya.
"Kau pasti sudah tahu semua tentangku."
Bryan tersenyum pelan, sifat Hazel sangat menarik baginya. Ponsel black Bryan berdering di atas meja, sebelum tangan kekarnya mengeser layar untuk menjawab panggilan tersebut, Hazel terlebih dulu merebut.
"Hallo, Mich, kau tidak perlu mengawatirkan Hazel karena Bryan sangat bagus dalam mengawaliku. Thanks!" Hazel memutuskan panggilan sepihak setelah mengatakan satu kalimat. Bryan berdecak kagum, baru kali ini dia melihat perempuan seberani dan seaneh Hazel.
Bryan menerima sodoran ponselnya kembali yang diambil Hazel tanpa izin.
"Aku mau pulang, kau bisa membayari sateku? Sebenarnya aku tidak bawa dompet karena Mich menjemputku tadi. Kau ada uang cash, kan?"
"Siap, laksanakan!" patuh Bryan bangkit dari kursi dan membayar pesanan Hazel.
Mich, jika kau tidak mau menikah dengannya biarkan aku menggantikanmu.
Hazel menekan klakson untuk menyadarkan lamunan Bryan dengan senyum mengerikan dekat gerobak. Lelaki jangkung itu tersadar lalu menuju mobilnya, mereka pulang dengan mobil masing-masing. Sedikit rasa kesal dalam diri Hazel berkurang karena Michelle tidak seburuk yang dia bayangkan tapi tetap saja preman itu tidak bersikap sopan santun untuk tamu yang diundangnya.
Bryan pamit setelah memastikan Hazel sampai di rumahnya dengan keadaan selamat tanpa cacat sedikit pun. Dia berbalik haluan untuk kembali ke apart Michelle, tanpa lupa memerintahkan bodyguard menjaga rumah Hazel dari luar tanpa sepengetahuan pemilik rumah. Sebenarnya, Hazel sudah memiliki banyak pengawal tapi Bryan hanya melaksanakan perintah Michelle saja.
"Apa kau ingin ke sana sekarang?"
"Iya, aku akan memastikannya langsung."
"Baiklah, aku akan ikut. Oh ya, Hazel benar-benar perempuanmu."
Bryan terkekeh karena suara mengeram di seberang, dia tahu Michelle sedang kesal karena pernyataannya tadi. Bryan semakin memanasi sahabatnya itu dengan menceritakan kebersamaannya dengan Hazel.
"Apa kau tidak takut membiarkan Hazel sendirian? Kalian akan tunangan dalam beberapa hari lagi, kau tetap ingin pergi? Biarkan saja Xaver yang mengurusnya."
"Kau saja gantikan calon dia," balas Michelle hendak memutuskan sambungan.
"Oke, aku akan menggantikannya. Kau jangan menyesal. Mich, apa aku harus—''
Panggilan darurat dari cyber-run!
Bryan menekan tombol on pada interkom, keduanya diam agar bisa mendengar jelas berita dari cyber—anggota yang tersebar dalam jaringan mereka memiliki tugas masing-masing.
"Mich, Bryan, kondisi Hazel kritis dan sedang mendapatkan pertolongan pertama dari penjaganya?"
"Apa—''
"Apa maksud kau, Ryeon?"
Bryan segera memutarkan mobilnya setelah Ryeon memberitahu semua apa yang telah menimpa Hazel di kamar. Dia merapalkan doa untuk keselamatan perempuan yang lima menit lalu berbicara dengannya begitu santai tanpa beban dan sekarang dalam keadaan tak sadarkan diri setelah menghirup gas karbonmonoksida. Baik Bryan maupun Michelle tidak percaya berita buruk itu tapi keduanya tahu pasti kalau cyber tidak ada alasan menguntungkan untuk berbohong, apalagi bermain-main memberi info palsu.
"Bryan, Max, kalian ke rumah sakit terdekat saja. Sekarang Hazel dibawa dengan ambulance. Oke, aku akan mengikutinya juga."
Bryan menginjak pedal gas dengan laju tinggi, jaraknya dengan rumah Hazel tidak begitu jauh.
"Mich, kau susul Hazel saja, aku akan mencari tahu apa yang terjadi di rumahnya sebelum bukti hilang."
Michelle melepas bluetooth headseats, membelah jalanan protokol dengan melesat secepat cahaya. Saat mendengar Hazel kritis, pikirannya kosong.
"Jika terjadi sesuatu padaku, kau akan menyesal, Mich!"
Teriakan Hazel melayang-layang di pikirannya, andai saja dia bisa menangkap alarm bahaya itu tapi Michelle terlalu tersulut emosi ditambah lagi dengan surel Xaver. Michelle berlari dari mobilnya, memasuki bangsal rumah sakit seperti orang kerasukan. Dia berteriak menanyakan keberadaan Hazel.
"Mich!" panggil Ryeon baru saja keluar dari lift dan melihat Michelle hendak menaiki tangga darurat.
"Di mana Hazel?" Ryeon menyuruhnya tenang dulu, dia menarik Michelle ke dalam lift agar bisa cepat sampai ke lantai atas.
"Sedang mendapat perawatan intensif, detak jantungnya sangat lemah."
Pintu lift terbuka, keduanya segera keluar menuju ICU. Tampak suster baru saja keluar dari ruang gawat darurat, Michelle tidak sempat bertanya kondisi terkini karena suster tampak terburu-buru memasuki kembali ruangan ICU. Hampir sejam Michelle menunggu seraya bersandaran punggung pada dinding dingin. Lampu di atas pintu padam bersamaan terbukanya pintu kaca tersebut dan ujung brankar muncul oleh dorongan suster.
Michelle mencegat untuk melihat Hazel sebentar. Wajah Hazel tampak pucat, dia mengelusnya lembut dan mengenggam tangan perempuan bawel itu.
Kau sengaja 'kan bikin aku bersalah? Hazel, kau kuat. Bangunlah dan pukul aku saja!
"Beruntung gas belum masuk ke paru-paru, pertolongan pertama sangat baik. Kami harus memindahkannya karena dia masih belum stabil," tutur suster meminta izin agar mereka bisa segera membawa Hazel ke ruangan.
"Mohon maaf, tidak ada yang diperbolehkan masuk termasuk walinya. Kalian bisa tunggu di sini kami akan memastikan pasien baik-baik saja."
Ryeon menepuk bahu Michelle agar mematuhi aturan rumah sakit. Keduanya duduk di bangku besi seraya menunggu kedua pasang orang tua yang segera bergegas pulang ketika mendapat kabar tersebut.
"Hazel! Hazelku!" Crystal berteriak memanggil nama Hazel dalam isakannya, diikuti Alexa dan Cerlyn yang memakai baju piyama karena tidak sempat berganti pakaian lain. Mereka begitu syok ketika menerima panggilan Olive. Macet di malam Minggu menyebabkan mereka baru sampai dua menit lalu padahal Alexa sang pembalap handal karena dia labil dan emosional, Crystal terpaksa mengambil alih meskipun ketiganya sama-sama shock tapi dia berusaha tetap fokus.
"Tenang dulu, Crsytal."
Olive mendekati Michelle karena di antara sahabatnya dialah yang paling bisa menahan emosional. Dia berusaha tegar.
"Kau Michelle, kan? Aku Olive, sahabat Hazel," sapanya menjabat tangan dengan Michelle dan Ryeon.
"Bagaimana kondisinya?"
"Dia akan baik-baik saja, dokter telah mengeluarkan racun dari paru-parunya. Hazel masih belum siuman karena obat bius, kalian tidak perlu khawatir," beber Ryeon memberitahu sedangkan Michelle menunduk penuh penyesalan, semua terjadi secara tidak langsung karena dirinya.
"Kenapa kau biarkan Hazel, Max?! Kenapa?" Cerlyn kalang kabut mengetuk dada tegap Michelle.
"Cer, jangan berlebihan. Tidak ada yang ingin Hazel dalam bahaya. Mending kita berdoa," kata Alexa menariknya ke bangku seberang untuk menenangkan Cerlyn.
Michelle menjauh dari ruangan biru untuk mengangkat panggilan dari Bryan yang memberitahu tentang kronologis kejadian beberapa menit lalu itu.
"Gas racun berasal dari boilpoint, Max. Mereka menukar tinta dengan gas. Ya, forensik sedang menyelidiki jejak pen. Aku akan memeriksa CCTV."
"Bisakah kau periksa juga keseharian Hazel hari ini?"
"Baik, Mich. Aku akan melaporkannya padamu segera setelah menemukan sesuatu. Ya, aku akan ke sana begitu menyelesaikan tugas ini. Kau tenanglah, Hazel gadis kuat dia bisa melawannya. Aku tutup."
Ryeon menyentuh pundak Michelle. "Mich, orang tua Hazel dan orang tuamu sudah sampai."
Michelle mengusap wajahnya, dia harus siap menerima semua konsekuensi akibat kelalaiannya ini. Dia sudah tidak beramanah terhadap sang Mama dan tante Carla yang menyuruhnya menjaga Hazel.
"Ayo!"