"Kau ke mana saja tadi?" interupsi Hazel menarik bangku di sampingnya, "aku pikir kau membarterkanku, kau tahu?"
Michelle menoleh sesaat. "Pulanglah!"
"Hah?" Alis Hazel menaut, dirinya masih belum mengerti maksud perintah Michelle yang mengusirnya secara terang-terangan padahal Michelle sendiri yang menjemputnya.
Michelle bangkit menaiki tangga menuju kamar, Hazel mengikutinya dari belakang untuk meminta penjelasan.
"Kau masih marah padaku?" cegat Hazel menarik tangan Michelle untuk berbalik utuh menghadapnya. Sorot mata tajam nan dingin milik Michelle tidak membuat nyalinya ciut, Hazel tidak memiliki ketakutan apa pun setiap kali berdekatan dengan lekaki itu.
Entahlah, Hazel tidak tahu penyebabnya padahal jujur saja sudah banyak dia bertemu dengan para mafia yang terlihat mengerikan, Michelle paling harus diwaspadai menurutnya tapi tetap saja dia tidak merasakan ketakutakan untuk menghindar, melainkan merasakan kenyamanan. Sesuatu kehangatan yang hilang dari binar mata almond itu, seperti de javu.
"Kau masih belum mengobati lukamu?" Hazel menyentuh wajah Michelle tapi lelaki itu langsung menepis tangannya.
"Pulanglah!"
Hazel mengeram kesal.
"Kau yang menjemputku."
"Ambil kunci mobil ini, pulanglah!" usir Michelle mendorong tubuh Hazel menuruni tangga, Michelle menarik tangannya ke arah pintu.
"Lepaskan!" Hazel menghentak tangan Michelle melepaskan diri, "apa aku terlihat seperti selingkuhan yang dibuang?" ucapnya miris memegangi tangan.
"Tidak akan ada pernikahan, aku membatalkan perjodohan ini," kata Michelle dingin. Hazel menaruh kunci pada nakas, berdiri menyajari Michelle.
"Kenapa?"
"Aku tidak ingin menikah denganmu."
"Ah ya? Kenapa kau tidak menolaknya malam itu. Kenapa sekarang? Apa kau tadi bertemu dengan calon tunanganmu?" desak Hazel memancing emosinya.
"Ah, kau bertemu dengan temanmu untuk mengurus pernikahanmu."
"Cerewet!" Michelle menutup mulut Hazel dengan tangan kekarnya. "Aku ingin menutup mulut cerewetmu ini tadinya dengan berpura-pura menerima perjodohan itu tapi ...." Michelle melepaskan tangannya.
"Kurasa tidak perlu lagi, kau tidak akan melakukannya. Tepatnya, tidak berani melakukannya. Kau tidak diizinkan mengintai preman, bukan?" Hazel menghela napasnya setelah mencerna paparan dosen keduanya ini. Tidak perlu ada penyanggahan toh dia juga tidak ingin perjodohan ini berlanjut.
"Boleh aku menebak?" tanya Hazel sebelum meraih pintu. "Sepertinya ada hal lain, right?"
"Pulanglah!" Michelle kembali mendorong tubuh Hazel setelah membuka pintu. Lorong sepi tiada satu orang pun di sana mengeluarkan suasana horor tengah malam.
"Setidaknya kau mengantarku, ah?"
"Ini ambil kunci!" Michelle melempar kunci mobilnya untuk digunakan Hazel.
"Kau yakin mengizinkanku pulang sendirian tengah malam begini? Kau bisa jadi tersangka kalau terjadi apa-apa denganku.''
"Dengan keahlianmu aku tidak perlu khawatir,'' jawab Michelle berbalik masuk ke apartnya, Hazel segera menyadari sesuatu. Dia menjulurkan kakinya pada pintu.
"Jadi, karena aku ahli kau takut aku menandingimu, right?" tebaknya penuh percaya diri.
"Bodoh!" umpat Michelle menarik ganggang pintu tapi Hazel mengeluarkan tenaganya sekuat mungkin untuk tetap menahan pintu agar tidak tertutup.
"Ayolah ... mengaku saja, kau takut aku jadi pengganti jabatanmu, kan?"
"Ya,'' jawab Michelle menyerah, Hazel menyeringai lebar memberi kesempatan untuk Michelle mendorong tubuh Hazel menjauh dari pintu.
"Aku tidak suka perempuan kuat." Michelle membayangkan Selena melawan tiga musuh sekaligus yang merupakan temannya sendiri.
"Kau ... sejak kapan kau menguasai itu?"
"Aku?" Selena tertawa menatap korban yang meringis kesakitan di tanah.
"Apa kau tidak ingin tahu, kenapa aku melakukan ini pada mereka?"
Bryan mencoba bangun tertatih menuju Michelle yang masih syok di atas tangga.
"Maaf, Mich, dia membawa flashdisk itu," papar Bryan. Michelle menatap Selena yang tengah menyeringai lebar penuh kemenangan.
"Good bye, my prince, so stupid boy," cibir Selena sebelum berbalik meninggalkan gedung tua dengan menembakkan pegait pada helikopter penunggu. Michelle berusaha berlari mengejar namun usahanya gagal, dia sudah terlambat.
"Mich, dia menghianatimu, menghianati kita," kata Xaver memberitahu, "dia agent SUN."
"Kau benar-benar preman kekanakkan, Mich. Haha!" teriak Hazel dari luar menatap lorong sepi, dia masih belum percaya kalau Michelle setega itu padanya membiarkan dirinya pulang sendirian.
"Ya, kau ikuti dia."
"Tenanglah, aku akan memastikannya pulang dengan selamat," balas Bryan di seberang menghidupkan mobilnya ketika terdengar suara jejak menuju mobil biru.
"Dia sudah menaikinya. Aku tutup nanti aku kabari lagi. Xaver juga bilang dia sudah menuju bandara."
"Baiklah, thanks." Michelle melempar ponselnya di atas ranjang, menatap layar PC yang menampilkan kode-kode merah-hijau.
Target on TIMOR LESTE
Woman-Selena, 22 th
Email from Xaver
Max, Butterfly black
Email to Xaver
Thank you
Michelle tersenyum karena misi temannya itu berhasil dalam dua puluh menit, tinggal menunggu kabar selanjutnya mengenai target yang sudah dilumpuhkan. Jemarinya menggeser kursor pada biografis perempuan berkacamata. Setahun sudah berlalu, penampilan Selena agak berbeda dengan rambutnya lebih pendek juga pakaian hitam yang dikenakan jauh dari kata feminim dengan dress yang membaluti tubuh seksinya dulu saat mereka bersama.
"Aku akan menemukanmu, Selena," gumamnya menuju kamar mandi membasuh tubuhnya pada dini pagi sebelum ikut menyusul ke Timur Leste.
***
Tiada hentinya Hazel mengumpati Michelle karena telah tega membiarkannya mengemudi tengah malam seorang diri padahal beberapa jam lalu lelaki itu menyaksikan sendiri bahwa Hazel diikuti oleh orang suruhan. Setidaknya, Michelle simpati padanya toh bukan dia yang meminta untuk dijemput. Terlebih lagi dia serasa diusir bak pelakor.
Tapi bukan Jakarta namanya kalau midnight senyap seperti di kampung. Semakin larut semakin hingar-binar ibu kota. Sepanjang jalan dilewati Hazel kendaraan berlalu lalang dan beberapa penjual kaki lima pun sibuk melayani para pelanggan.
"Ah, aku lapar." Hazel menghentikan mobil ke tepi trotoar, berjalan ke salah satu penjual pinggir jalan yang terlihat agak sepi. Dia segera memesan sate ayam bumbu padang.
"Pedas ya, Pak. Porsinya banyak, minumnya es teh dingin sama es kosong. Jangan lama."
"Iya, Dik, tunggu sebentar."
Lima menit berselang penjual menghidangkan pesanan Hazel langsung disantapnya, tidak peduli jika tatapan merendahkan dari pelanggan lain tertuju untuknya karena mencibir cara dia makan. Hidup Hazel begitu simple, apa-adanya, selain keras kepala tidak suka diatur dia juga tidak peduli apa omongan orang tentang hidupnya. Jadi, bukan kerjaan Hazel membalas komentator. Lebih baik menyantap makanan tusuk ini dan pulang merebahkan tubuh penatnya. Dia bisa makan dalam porsi double ketika perasaannya berkecamuk tak menentu.
Wangi parfum mask menggelitik penciuman Hazel, dia sejenak menghentikan makannya lalu mendonggak untuk melihat siapa sosok yang duduk berhadapan di kursi seberang. Bryan mengulas senyum ketika mata mereka bersitatap, Hazel membalasnya tapi kemudian dia melanjutkan menikmati sate yang begitu mengunggah selera hanya mencium aroma bakar.
"Kau tidak pesan? Apa dia tidak memberimu uang untuk memesan, hanya fee mengikutiku saja?"
Hazel begitu santai ketika melontarkan pertanyaan mendadak pada Bryan yang diam-diam mengamati dirinya begitu lahap memakan sate. Lelaki itu bahkan memuji bagaimana tenangnya diri Hazel berada di luar saat malam hari, tidak takut jika ada lelaki hidung belang mengganggunya. Bryan sudah memberi isyarat ancaman pada beberapa lelaki usil yang hendak menghampiri Hazel agar mengurungkan niat mereka. Karena itu, Bryan keluar dari pengintaiannya, duduk berhadapan dengan Hazel untuk menegaskan kalau perempuan berambut ikal itu tidak sendirian.
Bryan tergelak mendengar pertanyaan Hazel tapi sedetik kemudian dia terkekeh garing. Hazel melebihi apa yang dibayangkannya.