"Apa maksudmu tadi?" potong Michelle kembali pada inti permasalahan. Hazel meneguk air menyudahi acara makannya. Hazel beranjak duduk di kursi depan.
"Sepertinya firasatku lebih tajam darimu," tutur Hazel menarik spion, "kau tidak lihat itu mobil sedari tadi membuntuti kita? Ah, jangan bilang orang yang mengejarku kemarin itu orang suruhanmu, kau menyelamatkanku agar ....''
"Pasang pengamanmu!" Michelle menghentikan ucapan panjang Hazel dengan menarik seatbealt cepat.
Hazel memegang pinggiran jok karena Michelle melajukan mobil begitu cepat, menembus kemacetan malam minggu. Dia menghiraukan umpatan pengendara karena ulahnya yang berjalan di rute bersebelahan.
"Aku seperti di film-film, kau cukup hebat ternyata," komentar Hazel di luar ekspetasi Michelle yang mengira perempuan di sebelahnya akan meraung ketakutan.
"Tapi akan lebih hebat kalau kau tidak membuat kecelakaan massal," lanjutnya mencoba mengecek mobil penguntit mereka.
"Kau tahu, kan? Kau tidak terlihat hebat kalau menimbulkan banyak korban."
Tit!
Suara klakson bersahutan mencoba menghindar dari mobil mereka yang mencari jalan keluar.
"Apa kau tidak bisa mencari masalah dengan preman?" todong Michelle membelok mobilnya ke jalan sempit rumah dusun. Lajunya sedikit melambat dengan mobil penguntit masih mengejar mereka.
"Mereka mengejar kau, tapi kau masih tenang-tenang saja?"
Michelle berdecak tidak percaya dengan sikap tak takut Hazel.
"Kau mengawatirkanku?" kekeh Hazel, "yak, biasa sih mereka mengajakku untuk menghapus rekamanku, kan?"
Mobil pengejar terlihat semakin mendekat, Michelle sepertinya sengaja memelankan mobilnya.
"Eh, kenapa kau berhenti? Michelle, apa yang kau lakukan?"
Michelle sudah keluar dari mobil, menghampiri mobil hitam yang juga berhenti di belakang mobil mereka. Dia mengetuk kaca mobil menampilkan wajah lelaki sangar. Pantang baginya terlihat pengecut.
"Keluarlah!" titah Michelle dituruti oleh keduanya. Hazel masih berdiri dekat mobil, mengawasi ketiganya yang akan bergelumut dengan perkelahian. Bahkan Hazel menghidupkan kameranya untuk merekam.
"Apa yang kalian mau?"
"Perempuanmu," jawab lelaki itu enteng sambil menunjuk Hazel.
"Matikan itu!" suruh Michelle dihiraukan Hazel.
"Kalian pergilah, dia kekanakkan," bisik Michelle dingin namun terdengar hiburan bagi mereka.
Lelaki di samping kanan Michelle menerima aba-aba dari temannya untuk memukul Michelle namun dengan tanggap Michelle menangkap tangan di udara. Gerakannya begitu cepat memelintir tangan lelaki itu ke belakang, mengaduh kesakitan. Teman lelaki itu siap melayangkan pukulan. Michelle melawan keduanya dengan tangan hampa, Hazel masih saja sibuk merekam.
"Sial," Michelle meringis ketika wajah kirinya terkena pukulan, dia menyeka darah segar di ujung bibir. Hazel seketika mengerjap dan mematikan kameranya. Hazel menendang kaki lelaki yang hendak memukul Michelle dari belakang.
"Satu lawan satu, ah!" tantang Hazel ketika lelaki itu menghadapnya. Michelle menyuruhnya menjauh dengan bahasa mata tapi Hazel mengabaikan itu. Dia sudah berancang untuk menghajar lelaki di depannya yang meremehkan keahlian yang dimilikinya tanpa sepengetahuan orang rumah.
Michelle mencoba untuk meluluhkan lawan dengan cepat agar dia bisa membantu Hazel dalam mematikan musuh lainnya. Tapi ternyata Hazel dengan tanggap bisa mengatasinya sendiri. Hazel bahkan tidak merasa getar membalas setiap pukulan lelaki itu, menangkis dan menangkap tangan lelaki itu.
"Sudah kubilang kau jangan meremehkan perempuan," cibirnya mendorong tubuh penuh memar itu ke jalanan.
Michelle sudah berhasil melumpuhkan lawannya bersamaan lawan Hazel yang tergeletak tak berdaya di jalan.
Keduanya memilih mundur sambil memberi ancaman.
"Bos tidak akan membiarkan kalian, terutama kau!" tunjuk lelaki itu pada Hazel sebelum masuk ke mobil dan mengenderainya cepat.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Hazel menyentuh luka di wajah Michelle.
"Awas!" Michelle menyentak tangannya, berjalan mendahuluinya. Hazel dibuat bingung namun dia segera mengejar Michelle.
"Kau kenapa marah, ha?" tahan Hazel menarik tangan Michelle.
"Sorry, aku bukan sengaja tidak membantumu dari awal tapi kupikir kau bisa mengatasinya sendiri tadi.''
"Masuklah!" titah Michelle dingin, Hazel terpaksa mengikuti kemauannya. Dia masih merasa bersalah namun memilih untuk tidak mengusik Michelle.
"Setidaknya biarkan aku mengobatimu, ah?" tawar Hazel mengusir kebekuan dalam mobil, dia segera mencari kotak P3K untuk mengobati luka memar di wajah Michelle.
"Tidak perlu," ucap Michelle menarik kotak P3K di tangan Hazel.
"Terserah kau saja, tidak perlu 'kan kau menarik itu dari tanganku, kukumu panjang sekali," sulutnya menyentuh kulit yang terkena kuku runcing Michelle.
Michelle menatapnya sekilas, setidaknya ada sedikit penyesalan karena luka kecil di tangan Hazel tapi mengingat bagaimana Hazel jago berkelahi membuatnya marah. Michelle teringat dengan keterampilan seseorang di masa lalunya-bahkan masih membayang-bayanginya sampai sekarang.
"Selena."
Michelle melirik Hazel yang tertidur di sebelahnya, wajah perempuan itu terlihat terbebani. Michelle melepas jas menyelimuti tubuh bagian atasnya.
"Nak, kamu bawa Hazel ke apart kamu saja, ya. Mama dan Papa ini ada pekerjaan mendadak. Kamar tamu juga belum sempat Mama bersihkan, tidak apa-apa, kan?"
"Hmm."
"Kalian baik-baik ya, Nak. Mama sayang kamu."
"Iya, Michelle juga," balasnya mengakhiri percakapan dengan Mamanya, dia tahu Mamanya hanya beralasan saja agar dia bisa berduaan dengan Hazel. Michelle mengangkat tubuh lelap Hazel ketika mereka sampai di apart mewah tempat tinggalnya yang ke sekian.
"Kau sudah jauh saja," sapa Bryan di lift menuju lantai dua puluh.
"Ada apa?" tanya Michelle menghiraukan tatapan menggoda Bryan pada sosok lelap Hazel.
Bryan menekan tombol pada angka 20.
"Misi baru," tuturnya melirik jam, "aku akan menunggu di bawah saja, kau bawa dia dulu ke kamarmu,'' katanya tidak ikut keluar, Bryan kembali menekan tombol lift untuk turun kembali.
Hazel berputar-putar di depan pintu, berkali-kali dia telah mencoba membuka password acak, berharap pintu logam itu terbuka. Terkunci dari dalam bukan hal menyenangkan mengingat dia tidak tahu ini apartemen siapa. Bangun dari tidurnya, tahu-tahu dia berbaring pada big size, tiada satu pun foto untuk menegaskan pemilik apart tersebut. Dia menyugeseti dirinya kalau tempat ini milik Michelle, setidaknya mengira kalau lelaki itu membawa dia saat terlelap di mobil. Namun, perkiraan negatif muncul berbarengan di pikirannya.
Hazel mengeyahkan pikiran negatif yang mengatakan dirinya dijual atau disekap. Berusaha berpikir positif, terlebih mengingat bagaimana respon Michelle dalam melumpuhkan musuh yang mengikutinya.
Ting!
"Ya, kau urus semuanya aku akan mengirim berkasnya nanti."
Hazel mencoba merapatkan telinganya pada pintu, menguping pembicaraan yang ditebaknya suara Michelle.
"Baiklah, kau bersenang-senanglah, ahaha."
Hazel menjauh dari pintu ketika merasa suara langkah kaki menjauh digantikan dengan bunyi pintu dibuka dari luar.
"Syukurlah," gumam Hazel menyambut Michelle masuk ke dalam. Michelle sempat terkejut ketika sosok Hazel muncul di balik pintu, tetapi seketika dia mencoba mengabaikannya, berjalan ke bangku bar, menuangkan air ke dalam gelas, meneguknya sampai habis.
Bertemu dengan Hazel tidak ada sedetik pun tanpa ada perang kata apalagi harus seatap dengannya, emosi Michelle benar-benar diaduk-aduk. Terlebih kejadian sejam lalu, dia sangat marah karena Hazel menyembunyikan keahliannya itu. Bukan karena merasa tersaingi ataupun rendah diri. Namun ...