Chereads / RAHASIA CINTA AGEN / Chapter 5 - Penguntit?

Chapter 5 - Penguntit?

Hazel terus menggerutu menatap ponsel dan kamera digitalnya bergantian. Sejak sejam lalu dia menghiraukan panggilan asisten rumah tangganya yang menyuruh turun untuk makan malam tapi Hazel masih saja betah di balkon dengan angin malam yang sejuk ditemani rembulan purnama.

"Apa kau ingin mati muda karena menolak perjodohan?"

Dap.

Suara langkah bersamaan pintu dibuka semakin mendekati Hazel yang berdiri membelakangi. Perempuan dengan baju tanktop itu mencoba memastikan suara berat yang didengarnya bukanlah ilusi karena sedari tadi nama itu terus saja diumpatnya.

"Ah, kau ingin melom-''

"Enough!" Hazel berbalik, bayangan lelaki di balik tirai jendelanya berdiri tegap dengan melipat tangan di dada.

"Siapa pun kau, kau telah melanggar etika bertamu," sindir Hazel yakin sosok tinggi itu adalah Michelle.

Hazel menarik blazzer pada kursi lantas dengan cepat memakainya. Dia berjalan menghampiri bayangan tersebut sambil menenteng kameranya.

"Apa ini pekerjaanmu?" ucap Hazel menantang menarik pembatas di antara keduanya. Wajahnya terterpa angin malam membuat anak rambutnya menutup mata menyala penuh amarah.

"Kupikir setidaknya preman sepertimu punya e-Ah, sejak kapan preman punya etika, ah?" ujarnya memperbaiki kalimat dia sebelumnya. Hazel merapikan rambut berjalan ke samping.

"Kau tidak punya hak masuk ke kamarku sembarang, Mich. Oke kemarin aku mengizinkanmu ke sini tapi ...." Hazel menaruh kamera di atas kasur, berjalan ke arah pintu.

"Masuk seperti tadi itu sungguh tidak sopan apalagi aku-''

"Aku tidak mengambil kesempatan itu. Tubuhmu bukan tipeku," ungkap Michelle dengan enteng, menatap rendah diri Hazel yang tampak terenyah dengan kata-kata lelaki tanpa berperasaan itu. Hazel mengepalkan tangannya, hendak membalas.

"Ah, tidak apa-apa, terserah kau saja. Itu lebih baik, kan? Jadi, kau tidak akan menerimaku menjadi calonmu," kata Hazel menghela napas pendeknya, menutup kembali pintu. Jujur saja dia lelah harus selalu berdebat, tidak di kampus dengan dosennya yang memperlakukan mahasiswa seenaknya, ditambah makhluk absurd ini.

"Terpenting kenapa kau menghapus fileku? Aku menyuruhmu-''

"Fileku, bukan filemu. Aku tidak mengizinkanmu merekam itu, ah?"

Hazel menghela napas panjang. Duduk bersila di atas kasur. Michelle berbeda dari preman lain yang ditemuinya. Tatapan datarnya saja membuat lawan tidak berkutit. Memang dia tidak terpengaruh dengan itu, hanya saja setiap berbicara dengan Michelle tenaganya terkuras dua kali lipat. Seperti sekarang ini, Hazel merasakan kerongkongannya kering.

"Baiklah, terserah kau saja," ucap Hazel dengan suara serak, tanda-tanda flu menyerang.

"Kenapa kau ke sini, ha? Aku tidak ingin banyak bertanya, kau jelaskan saja semuanya mulai insiden sore tadi," ujarnya sulit sambil memijit leher.

"Ikut aku, tante menyuruhku menjemputmu untuk tidur di rumah. Aku tunggu dua menit di bawah, kau cepat berganti pakaian jangan membuatku menunggu. Kau merepotkanku saja," kata Michelle menutup pintu setengah menghentak tanpa memberi waktu untuk Hazel berkomentar.

Hazel jelas tahu kalau kedua orang tuanya tidak bisa pulang malam ini. Toh, sudah biasa dia sendirian di rumah ditemani pekerja rumahnya. Meski enggan, Hazel tetap saja bergerak untuk mengganti pakaiannya dengan baju tidur. Dia sadar tidak bisa menolak perintah Michelle yang diamanahkan oleh Papanya.

"Non, ini minum dulu. Bibi buatkan teh jahe bagus buat kesehatan." Bibi menyodorkan segelas teh padanya ketika menginjak ruang tamu. Hazel mengucapkan terima kasih lantas berpamitan setelah meneguk habis karena Michelle sudah menunggu di luar.

"Dua men-''

"Ayo!" potong Hazel menghiraukan ocehan Michelle karena keterlambatannya, dia masuk ke dalam mobil duduk di kursi belakang.

"Apa yang kau lihat, ha? Cepat jalan, aku tidak punya banyak waktu."

"Kau pikir aku sopirmu duduk di bekakang?"

Hazel menaut alisnya. "Ah, kau menganggapku sebagai calonmu?" goda Hazel, "bukankah kau bilang kau tidak bisa menerima perjodohan ini? Atau sekarang kau sudah jatuh cinta padaku?"

"Never." Michelle menancap gasnya begitu Hazel berhenti bicara omong kosong. Dia menghiraukan tawa dari belakang, fokus pada jalanan basah.

"Ya, Lex, apa kau masih kencan dengan tom & jerrymu? Haha, tidak aku tidak bersama dia. Aku sedang bersama hulk." Hazel menghiraukan tatapan membunuh dari Michelle melalui kaca spion, dia melanjutkan percakapan udara dengan temannya.

"Crystal, kau cari saja teman kencan barumu jangan ganggu adik kecil kita. Kau pura-pura jual mahal sih, padahal aku sudah mengenalkanmu dengan lelaki baik itu, ya meski dia tidak kaya," Hazel menekankan kata terakhir untuk menyindir lelaki di balik kursi pengemudi, "terpenting 'kan dia bisa mencintaimu."

"Kau ingin aku mencintaimu?" sela Michelle menoleh padanya sedikit.

"Ahaha, bukan Crystal, itu suara mobil torton di jalan, ya aku sedang di luar sekarang." Hazel mengabaikan keprotesan Michelle.

"Crystal, sudah ya aku harus mencari makan dulu, bye," tutupnya mematikan ponsel.

"Kau bisa berhenti di depan resto, aku belum makan."

"Hei, Max, kau dengar, kan? Aku lapar!" teriaknya ketika Michelle seolah tidak mendengar suaranya.

"Ka-u, uhuk," Hazel terbatuk-batuk, dia menyandarkan kepalanya di jok mobil, lelah harus berbicara dengan makhluk abstrak yang kini membalas dendam mendiamkannya.

"Ckck, baru kena angin begitu saja, percobaan membunuh diri karena menolak dijodohkan hampir berhasil, seharusnya kau meneguk racun saja," cerocos Michelle memancing emosi yang sudah dipendamnya. Hazel memijit kepala.

Dia hendak memejamkan mata, pecuma meladeni Michelle. Saat diajak bicara, lelaki itu akan diam tapi ketika dia diam maka Michelle akan bersuara.

"Kau tunggu di sini, aku akan membelikanmu makanan," kata Michelle kemudian membuka pintu mobil, dia melenggang keluar menuju resto.

Hazel memandang ke luar jendela, menunggu lelaki itu kembali hampir setengah jam berlalu, perutnya sudah keroncongan. Hazel mengerjap untuk memastikan penglihatannya pada sosok lelaki berjas dari belakang mobil. Lelaki yang mengejarnya kemarin masuk ke dalam mobil mengintai mobilnya yang berjarak dua mobil berselang. Dia diikuti lagi.

"Ini makan," Michelle masuk menyodorkan bungkusan makanan.

"Kenapa kau lama sekali, ha? Ah kau sedang menghabisi orang-orang di dalam kah?"

Tap. Michelle menjitak kepalanya. "Makanlah, suaramu tidak enak didengar."

Michelle duduk kembali pada kursi kemudi, dia tidak sadar ada yang mengikutinya dari belakang. Pemikiran negatif Hazel padanya tentulah tidak benar. Nyatanya, Michelle terlambat karena menunggu pesanannya matang dulu. Michelle memesan menu khusus untuk pasien flu seperti Hazel hanya saja perempuan pecinta makanan itu tidak sadar, menyantapnya lahap sampai habis.

"Rumahmu masih jauh?" tanya Hazel dengan mulut menguyah makanan, suaranya semakin aneh didengar.

"Bisa kau bawa cepat, aku tidak mau ditangkap orang itu."

"Kau bilang apa? Tangkap?" tanya Michelle balik, kalimat yang diucapkan Hazel tidak terdengar jelas akibat mulutnya penuh makanan.

"Kau tidak ada elegannya."

"Haha, apa aku harus menarik perhatianmu? Be your self, Max. Aku tidak peduli kau suka dengan caraku makan atau tidak, ak-''