Chereads / RAHASIA CINTA AGEN / Chapter 4 - Pengintai

Chapter 4 - Pengintai

Michelle mengerjap untuk kedua kalinya ketika handphone di atas nakas bergetar.

04.15

Dua puluh menit kemudian dia sudah rapi dengan setelan jasnya. Turun ke lantai bawah dengan menggeser tab sedangkan tangan yang lain memanggang roti.

"Bentar lagi kamu tidak sendirian di rumah, Max Tapi jangan terusan di apart, ya. Mama pengen juga Hazel nginap di rumah."

Michelle menaruh piring setengah menghentak. Perkataan Mamanya kembali tergiang, dia menjabak rambut frustrasi. Menikah adalah hal yang dihindarinya. Dia ingin bebas dari yang namanya makhluk perempuan.

Awalnya Michelle hanya sebatas ingin menghadiri undangan jamuan saja. Ditambah dia sudah memikirkan matang-matang perihal menolak perjodohan itu seperti sebelumnya. Namun, ketika wajah calon istrinya dilihat ketika masuk ke rumah itu, dia mendadak berubah pikiran.

"Hazel Gate ..."

Perempuan yang mendapatinya telah melakukan pekerjaan kotor. Michelle harus membungkam mulut Hazel agar tidak membocorkannya pada siapa pun. Dan dia menerima perjodohan itu hanya untuk kepentingannya sendiri.

"Apa kau tidak ingin berangkat?'' Ucapan Bryan yang masuk tiba-tiba ke rumahnya menghentikan Michelle memasukkan sereal ke dalam mulut.

"Mereka pada nunggu di luar. Ayo lima menit lagi!"

"Kau tahu kan kita harus pergi pagi sekali ke Los Angeles tapi jika ka-''

"Apa kau akan terus menceramahiku? Aku baru telat sekali." Michelle bangkit diikuti Bryan keluar menghampiri kedua teman lain yang sudah menunggu di mobil.

"Jangan bersikap protektif lagi, Bryan. Dia akan segera punya warning alarm sendiri," goda Xaver mengenai persetujuannya tentang perjodohan dengan Hazel. Michelle tidak menanggapi, dia segera masuk ke mobil pada kursi kemudi.

•••

Ruangan berkaca yang mulanya digunakan untuk aula kedap suara menjadi tempat interograsi bagi terdakwa dadakan. Hazel duduk di kursi utama sedangkan temannya mengelilingi di meja bundar.

"Ka-u menerimanya? Hahaa, sudah kuduga, karena dia tampan, kan?"

"Katakan Hazel, bagaimana wajahnya, tubuhnya."

"Minum dulu, Hazel." Olive menyodorkan secangkir teh untuk Hazel. Menyuruhnya menarik napas dalam dan kembali diembuskan. Hal pertama yang harus dilakukan Hazel adalah tenang, baru menceritakannya dengan perlahan.

"Jadi, seminggu lagi kau akan tunangan? Aku turut senang, Hazel," ucap Cerlyn memeluknya riang, "doakan aku cepat nyusul."

"Nyusul kayak keong, kau. Punya pacar saja tidak," ejek Crsytal mendapat jitakan dari Cerlyn. Melihat kelakuan temannya seperti anak kecil. Hazel meminta izin untuk pamit karena harus pergi ke suatu tempat. Olive mengantarnya sampai ke depan.

"Kalau kau butuh apa-apa, katakan saja," kata Olive memberinya semangat. "Jika kau ingin kabur, aku akan membantumu."

Hazel tertawa lepas, Olive memang yang lebih tua di antara mereka. Dia pun yang lebih dewasa dalam berpikir.

"Kau sepertinya ketularan Alexa."

"Ya, mungkin," sahut Olive sambil menyodorkan sesuatu.

"Ini! Aku sudah menelpon bagian arsip agar mengizinkanmu masuk ke sana. Pakai ID-ku, jangan sampai ada yang melihatmu. Good luck!"

Hazel mengucapkan terima kasih karena telah banyak membantunya selama ini. Dia hanya menceritakan hal yang sebenarnya pada Olive tentang kejadian tadi malam. Hazel melambaikan tangannya sebelum melajukan mobil ke alamat tujuan.

Gedung berjulang tinggi dengan papan iklan menyala terang pada bagian luar. Di sisi lain para pedagang kaki tengah mencari tempat teduh dari sengatan matahari. Lalu lalang orang dengan segala kesibukannya menjadi pemandangan Hazel menunggu lampu berubah hijau.

Hazel turun lantas segera masuk, menyerahkan IDnya ketika tugas memeriksa. Dia bernapas lega ketika sudah dipersilakan, bergegas menaiki lift dan segera ke ruang arsip di lantai tiga.

"Arlond. Arlond." Hazel menyapu pandangannya pada indeks rak milineum yang berjajar rapi. Tangannya leluasa memilah buku besar dari tahun 2012-2016. Periode bagi jabatan Mr.Arlond sebagai kementrian Ekonomi.

Hazel bergerak cepat memfoto semua file yang dirasa penting. Lima menit telah terlewati, petugas berusia sekitar tiga puluhan menghampirinya. Lelaki itu menyuruh Hazel agar cepat menyelesaikan urusannya karena waktu sudah habis dari janji awal.

"Mereka akan curiga jika kau lama." Petugas terlihat ketakutan celingak-celinguk ke arah luar.

"Terima kasih, aku sudah selesai." Hazel menepuk pundak lelaki itu sebelum keluar dari ruang rahasia.

Hazel melirik jam lengan kiri, menunjukkan sudah sore saja. Waktu cepat sekali berlalu. Dia melenggang masuk ke dalam toko sesuai alamat yang diterimanya sebagai tempat perjanjian bertemu dengan Michelle.

"Selamat datang, Mbak. Ayo!" sapa pekerja yang menunggunya dekat pintu masuk. Hazel mengikuti Mbak berseragam tersebut yang membawanya ke lantai atas. Hazel terkesiap melihat desain unik tangga yang menghubungkan ke sebuah ruangan penuh buku.

"Ini Mbak sudah diperbaiki," serahnya pada Hazel.

"Saya permisi, kalau perlu apa-apa panggil saja saya, Mbak."

Hazel mengucapkan terima kasih lantas membuka kotak hitam yang berisikan kameranya yang sudah utuh kembali. Hazel memeriksa secara detail.

Drrtt.

Ponsel Hazel bergetar pertanda pesan masuk.

Kau senang sekarang?

Hazel terkesiap, menyusuri ruangan dinamis tersebut. Menerka apakah ada kamera pengintai yang bisa menghubungkan kepada Michelle. Hazel menggerutu baru menyadari kalau lelaki itu tidak akan menemuinya.

"Ah, yang penting kameraku utuh lagi. Awas saja kalau ada file yang hilang."

Hei! Kau apakan file terbaruku, hah?

Hei! Jangan bilang kau sudah menghapusnya! Jawab Michelle!!

Hazel berdecak kesal karena Michelle tidak membalas satu pun pesannya. Dia bangkit keluar dari toko alat teknik tersebut.

"Kau Hazel?"

"Siapa kalian?"

Hazel mundur beberapa langkah menghindari dua lelaki bersetelan jas hitam yang menghadang jalannya. Lima langkah lagi dia akan mencapai mobilnya, dia berniat berlari saja karena penampilan lelaki tersebut tampak mencurigakan.

"Kami hanya ingin berbicara sebentar denganmu, ayo!" Lelaki berjangkung menarik tangannya. Hazel memberontak, menginjak kaki lelaki itu lantas segera berlari menuju mobil. Mengendarai dengan kecepatan tinggi, melaju secepat mungkin dari kejaran mereka di belakang.

"Halo? Kau jangan menelponku dulu. Apa?"

"Sepuluh meter lagi ada belokan, kau belok ke kiri jangan lurus!"

"Halo? Michelle! Kau?!"

Tut.

Hazel membanting stirnya ke kiri mengikuti aba-aba Michelle yang menghubungi dan memutuskan panggilan secara sepihak. Hazel melirik ke belakang lewat spion, tidak ada lagi mobil hitam yang mengejarnya. Hazel bernapas lega, merogoh ponselnya di dashboard. Hazel mendial nomor Michelle berkali-kali tapi tidak satu kali pun tersambung.

Baiklah, kau tidak perlu mengangkatnya. Aku tidak perlu mengucapkan terima kasih, bukan? Aku tidak meminta bantuanmu.

Hei, apa kau tidak bisa mengetik pesan? Ah, bagaimana kau bisa tau aku dikejar?

Michelle! Apa kau memata-mataiku?

Ahah! Kau memasang alat pelacak padaku?

Hazel menepikan mobilnya, memeriksa setiap sudut mobil juga pada tubuhnya. Bisa saja alat pengintai itu ada di tempat tersembunyi namun dia tidak menemukannya.

Baiklah, kau tidak perlu membalasnya. Aku akan menemukan alat itu.

Terima kasih kau sudah menyelamatkanku, Michelle.

Hazel tersenyum simpul menatap layar ponselnya yang tidak menyala. Dia kembali menjalankan mobil ke arah rumahnya.