Teman berjaket kulit menghampiri Michelle.
"Kau melihat wajahnya? Perlu aku—''
"Biarkan, hanya perempuan lemah," potong Michelle. "Apa kalian sudah membereskan semuanya?" Michelle berjalan menghampiri Bryan dan Xaver yang tengah menutup brangkas hitam.
"Kalian urus semuanya, aku ada urusan." Setelah mengatakan itu Michelle segera masuk mobil. Sedetik kemudian mobil black tersebut sudah melesat jauh.
***
Hazel tersentak ketika suara Mamanya mengetuk pintu kamar. Diliriknya jam sudah menunjukkan pukul setengah delapan. Jamuan sesuai janji adalah pada pukul tujuh tapi ketika Hazel pulang lewat sepuluh menit dia tidak mendapati tamu tersebut. Mamanya bilang, tamu mereka sedikit terlambat. Lega. Hazel bisa punya waktu untuk memperbaiki kameranya yang sudah retak. Mungkin harus dibawa ke tempat perbaikan khusus besok. Karena Hazel sendiri tidak punya keahlian di bidang tekhnologi tersebut.
"Sayang, ayo turun mereka sudah datang!" seru Clara lantas membuat Hazel segera merapikan rambut.
Melihat kembali kameranya yang rusak Hazel semakin kesal dengan lelaki bertopi tadi. Andai saja dia punya waktu lebih, mungkin sekarang dia sedang berada di depan PC. Mencari tahu tentang lelaki tersebut yang hanya diketahui nama depan, Michelle.
"Iya, Ma, ini mau keluar," sahut Hazel berjalan ke arah pintu. Mamanya langsung menyambut dengan menggandeng tangannya.
"Mama harap kali ini kamu lebih sopan ya, Sayang. Jangan seperti jamuan minggu lalu, nanti Papa bisa marah lagi. Mama juga enggak enak sama keluarga Pak Arlond."
Penuturan Clara mengehentikan langkah Hazel menuruni tangga. Pasalnya, ketika nama Pak Arlond disebut Hazel jadi mengingat lagi kejadian sejam lalu itu. Hazel ingin bertanya mengenai Pak Arlond tapi ini bukan waktu yang tepat.
"Kenapa?"
"Eh, enggak Ma. Ayo turun!" kilah Hazel kembali mengapit lengan Mamanya yang sangat cantik dengan gaun mocca. Sedangkan Hazel sendiri memakai baju dress bluberry yang sangat pas di badannya.
"Maaf, membuat kalian menunggu lama," ucap Clara merasa tidak enak kemudian menyuruh Hazel untuk bersalaman dengan kedua tamu yang sudah duduk di meja makan. Hazel dengan sopan memutari meja, menyalami pria paruh baya seumuran dengan papanya itu.
"Semakin cantik aja kamu ya, Hazel."
Hazel hanya membalas dengan seulas senyum meski dia sedikit penasaran dengan kalimat ambigu tersebut. Apakah Om Farlan sudah pernah bertemu dengannya dulu.
Ah, nanti sajalah bertanya Hazel harus bersalaman dengan tante Farah yang memeluknya.
"Tante tidak salah milih kamu, Hazel. Kamu memang cantik. Kapan-kapan kita ke salon bareng."
Lagi. Hazel hanya membalas seulas senyum. Berbeda dengan keempat orang yang mengelilingi meja makan tertawa lepas.
"Maaf ya, anakku tidak bisa tepat waktu tapi katanya dia sedang di perjalanan," ujar tante Farah tidak enak.
Clara mempersilakan mereka mencicipi jamuan dan beberapa menit kemudian di saat Hazel sedang mengambil jus lemon tea dia dikejutkan oleh suara berat yang masuk ke ruang makan.
"Maaf saya terlambat!" Hazel sedikit mendonggakkan lehernya untuk melihat dengan jelas siapa lelaki tersebut karena dari suaranya dia merasa pernah mendengar.
Benar saja perkiraan Hazel tidak melenceng.
"Ka-u!"
"Kalian sudah saling mengenal?"
Hazel melotot tajam sambil mengarahkan garpu yang dipegangnya pada lelaki yang mengulaskan senyum manis untuknya.
"Dia—'' jeda Hazel tampak berpikir. Jika dia mengatakan mereka pernah bertemu seperti tadi maka tidak menutup kemungkinan kalau dia sendiri yang akan kena getahnya. Papanya sudah pernah bilang tidak segan menghubungi dekan jika dia masih menguntit mafia atau preman jalanan. Tapi jika dia tidak mengatakan yang sebenarnya maka pertunangan ini akan tetap berjalan dengan lelaki tersebut tak acuh sama sekali. Seolah mereka baru bertemu kali ini.
"Hei, aku Michelle."
Tangan Michelle teranggur hingga Clara menyuruh Hazel untuk membalas uluran tersebut. Terpaksa Hazel harus menjabat tangan lelaki itu, hangat. Hazel bergidik ketika kulit mereka bersentuhan. Seringaian Michelle membuat Hazel segera melepaskan tangan mereka.
"Duduk dulu, Nak Michelle," tutur Clara.
Hazel mencoba mencuri pandang dengan Michelle yang selalu menghiraukan kode isyaratnya. Perasaan Hazel sudah berkali menginjak kaki Michelle, memancing lelaki itu melihat ke arahnya.
"Kau menggodaku, Hazel," ucap Michelle membuat semua mata memandang pada Hazel.
"Kau bahkan sedari tadi menyolekku terus," lanjutnya membuat pipi Hazel bersemu karena malu.
"Jangan buru-buru, Nak Hazel."
"Ih, Tan, Hazel enggak bermaksud begitu," sangkalnya melotot ke arah Michelle. Kedua pasang orang tua itu tertawa melihat gelagat Hazel. Mereka saling menatap dengan bahasa mata.
'Tidak salahnya mereka dipersatukan lagi.'
"Hazel ajak Michelle ke taman belakang atau ke kolam, kami ingin berbincang sebentar. Nak Michelle anggap saja rumah sendiri," kata Papa Hazel sebelum meninggalkan dua insan tersebut di ruang tamu. Hazel menghela napasnya memandangi punggung orang yang menaiki tangga. Kini, hanya ada Michelle dan Hazel yang terdiam.
"Ikut aku!" titah Hazel bangkit menaiki tangga menuju kamarnya. Michelle mengikuti di belakang.
"Kau terlihat sangat terburu-buru, belum apa-apa sudah mengajakku masuk kamar, kau—''
"Simpan pikiran burukmu itu," potong Hazel mengunci pintu kamarnya.
"Aku hanya ingin meminta tanggung jawabmu untuk memperbaiki kameraku yang rusak karenamu." Hazel mengambil kamera di atas nakas, menyodorkannya pada Michelle.
"Kau tahu itu berisi banyak file yang belum sempat kucopy. Jika kamera itu rusak, sangat fatal buatku."
"Aku bukan teknisi."
"Ya, tampak jelas dengan wajah premanmu itu. Kau hanya tahu berkelahi, bukan?" sindir Hazel, "sekarang gunakan otakmu sekali saja jika kau memang manusia," lanjutnya.
"Jaga omonganmu nona kecil." Michelle menarik tubuh Hazel merapatkan ke bidang datarnya.
"Ckkc, kau bahkan berani juga berlaku kasar terhadap perempuan apalagi ini di rumahku," ucap Hazel tak gentar membalas tatapan tajam Michelle.
"Kau harus sudah memperbaikinya besok jika tidak."
"Jika tidak?"
"Aku akan memberi tahu pekerjaanmu pada mereka." Michelle melepaskan Hazel kemudian berjalan ke arah pintu.
"Kau bisa mengambilnya sendiri, bukan?" ucap Michelle mengacungkan kamera di tangannya. "Aku akan mengirimmu alamat. Dan silakan kau beri tahu sesuka hatimu pada mereka. Aku tidak takut dan tidak perlu takut," pungkas Michelle sebelum keluar dari kamar Hazel.
"Berengsek!" umpat Hazel. Mereka akan sering bertemu. Tidak pernah terbayangkan olehnya dia akan menikahi seorang ketua preman. Seharusnya dia menerima lamaran dari pelamar sebelumnya saja. Seandainya waktu bisa diputar. Hazel merebahkan tubuh penatnya ke atas big size.
"Kau belum memberitahunya?" Alis Hazel menaut ketika pesan masuk ke ponselnya.
"Kau siapa?" balasnya untuk memastikan meski tebakannya menuju pada nama Michelle.
"Calon suamimu."
Deg.
Hazel melemparkan ponselnya sembarang, tidak ingin membalas lagi meski dia sangat penasaran sumber Michelle mendapatkan nomornya. Tapi kemudian dia sadar. Bahwa untuk seorang preman hal tersebut tidaklah sulit.
"Olive, Crsytal, Cerlyn, Alexa ... Apa yang harus aku lakukan sekarang?"