Sudah terhitung dua puluh menit aku berada diparkiran kantorku karna menunggu Dion yang tadi pagi menyuruhku menunggunya untuk pulang bersama, namun lelaki itu belum juga terlihat berada diparkiran ini.
"Kemana sih Dion, kaki gue pegel nih berdiri terus dari tadi, udah kayak orang dongo gue disini."
Akhirnya lelaki yang sejak tadi kutunggu terlihat menghampiriku dengan langkah lebarnya.
"Akhirnya, ayo pulang, aku udah dari tadi lho nunggu kamu disini."
Dion terlihat menggaruk tengkuknya dengan gestur yang menunjukkan bahwa ia tengah gelisah.
"Eh, maaf Sha, kayaknya aku gak jadi pulang bareng kamu deh, aku disuruh jemput ibu tadi, soalnya ibu lagi dirumah tante aku, kamu bisa kan pulang sendiri?"
Aku menghela nafas dengan sedikit kesal, siapapun pasti akan merasa kesal sepertiku bila berdiri terlalu lama menggunakan heels, tapi tak urung juga aku mengiyakan perkataannya, toh dia menjemput ibunya kan? Bukan perkara besar untukku.
"Ya udah deh aku naik taksi aja, kamu hati-hati ya, sampai rumah kabarin aku lho, Di.."
Dion mengangguk dan setelah itu ia memasuki mobil miliknya dan mulai menyalakan mesinnya, sebelum berlalu ia menyempatkan melambaikan tangannya padaku, kubalas lambaian tangannya dan mulai bergegas meninggalkan parkiran kantorku yang sudah terlihat sepi meskipun jam tanganku baru menunjukan pukul tujuh malam lewat dua puluh menit.
Aku berdiri menunggu taksi yang lewat, namun sudah beberapa taksi yang kulihat selalu saja berpenghuni, masa iya aku harus jalan kaki pulang kerumah? Yang benar saja! Kakiku bisa berubah menjadi talas bogor kalau begitu caranya.
"Apa gue lepas aja nih sepatu kali ya, daripada gue gempor.."
Saat baru saja aku berjongkok hendak membuka kedua heelsku, kulihat sebuah mobil berhenti tepat disampingku, saat jendelanya terbuka ternyata bosku yang berada dibalik kemudi mobil itu.
"Belum pulang Sha?"
"Eh, iya pak, ini lagi nunggu taksi tapi dari tadi belum dapet taksi yang kosong, semuanya penuh."
Niatku untuk membuka sepatu akhirnya kuurungkan, malu dong masa iya didepan bos telanjang kaki sih.
"Ya sudah, ikut saya saja, daripada kamu nunggu taksi disini malah ga dapet-dapet keburu kemaleman nanti. Ayo naik!"
"Eh, gak usah pak makasih, nanti saya ngerepotin bapak lagi, rumah saya kan jauh dari sini pak."
"Kamu kayak sama siapa saja, gak perlu sungkan, lagian saya gak keberatan."
Untung saja kulihat temanku Galih tengah menyalakan mesin motornya, sepertinya ia baru selesai lembur.
"GALIIIIH.. GUE NEBENG LO YAAA.." Aku berteriak agar Galih mendengar suaraku karna jarak tempatku berdiri saat ini cukup jauh dari tempat parkir motor Galih.
Terlihat Galih menengok kearahku, diam sejenak dan tak lama mengacungkan jempolnya tanda ia setuju.
"Tuh kan pak, saya pulang bareng temen saya aja pak, makasih lho bapak udah nawarin tumpangan."
"Ya sudah tidak apa-apa, kalau begitu saya duluan ya."
Bosku menutup kembali kaca mobilnya sebelum melajukan kembali mobil berwarna hitamnya tersebut.
"Buruan naik."
Aku langsung menduduki boncengan motor Galih, setelah itu Galih langsung melajukan motornya membelah jalanan dengan kecepatan sedang.
"Tumben lho nebeng, si Dion kemana?"
"Oh iya thanks ya Gal, gue gak tau kalo ga ada lo gue pulang naik apaan, dari tadi gue nunggu taksi ga ada yang kosong."
"Biasanya kan lo bareng si Dion, kemana tuh anak?"
"Oh, dia katanya mau jemput nyokapnya dirumah tantenya, jadi dia gak bisa anterin gue pulang."
"Ya udah, nih pake helmnya, siap-siap gue mau ngebut nih."
"Ngebut aja Gal, gue gak takut, biar cepet nyampe juga."
"Gitu dong, ya udah, let's go!"
Kedua anak manusia itupun akhirnya melaju kencang dijalanan ibukota yang terlihat masih ramai meskipun hari sudah gelap.