Hari ini Usman diajak bicara tentang rencana pernikahan oleh Farisha. Tidak banyak yang dikatakan wanita itu karena dirinya malas untuk mengungkapkannya.
"Intinya saja, kita menikah dalam waktu tiga minggu lagi. Kamu hanya perlu mempersiapkan diri kamu. Soal biaya pernikahan, soal pakaian dan semuanya, ibuku yang akan mengurus semua. Dan kamu harus janji, nggak bakan mengkhianatiku!"
"Iya, Tante. Aku berjanji akan selalu ingat itu. Tante jangan khawatir karena aku bisa diandalkan." Usman walaupun bodoh, ia yakin bisa melakukan yang terbaik. Yang pasti dirinya akan menjadi bagian dari keluarga itu. Hanya saja itu bukanlah sesuatu yang mudah.
Setelah menyelesaikan apa yang ingin dikatakannya, Farisha mengajak Usman keluar dari kamar. Usman masih menunduk untuk menutupi kegugupannya.
"Hari ini kamu masih tetap bekerja! Meskipun jadi suami pura-pura, tugas utama kamu ya kerja. Apakah kamu terima?" Setelah mengatakan itu, ia mendesah, menghela nafasnya. Tak pernah terpikirkan akan menikah juga dengan seorang lelaki. Walaupun nantinya hanya pernikahan yang hanya sebagai formalitas saja, ia merasa gugup.
"Iya, Tante. Aku akan kerja terus. Jangan khawatir soal ini. Akan aku pastikan, akan terus melayanimu sampai tidak diperlukan lagi." Usman memberi hormat dengan mengangkat tangannya di depan pelipis.
"Sudah, aku harus percaya padamu. Kita keluar untuk makan di ruang makan." Farisha keluar dari kamar, mengajak pemuda yang menjadi calon suami pura-puranya.
Tidak perlu waktu yang lama buat Azhari untuk membuat makanan di dapur. Apalagi dirinya hampir setiap kali memasak untuk diri sendiri dan anaknya. Hari ini ia sudah selesai memasak dan meletakannya di meja makan.
Wanita itu tersenyum ketika melihat anak dan calon menantunya datang kepadanya. Sementara Erni yang dari belakang membantu menyiapkan piring dan peralatan makan.
"Kalian mau makan? Hari ini ibu sudah masakin buat kita semua. Ayo kita makan dulu!" ajak Azhari dengan senyuman disertai kedipan mata kepada Usman.
Usman tidak mengerti mengapa Azhari seperti itu. Ia gugup dan tidak berani menatap calon mertuanya itu. Jangan sampai kesalahpahaman tadi, dikatakan oleh wanita itu.
"Bu, kita sudah bicara, akan menikah dengan Usman dalam tiga minggu lagi, di hari yang sama," kata Farisha yang langsung duduk di meja makan. Tanpa ia sadari, dirinya merasa lega. Nantinya ia tidak akan dijodohkan lagi oleh Benny yang kejam itu. Setidaknya ia sudah memiliki alasan untuk menolak semua lelaki yang dijodohkan dengan dirinya.
"Kenapa kamu senyam-senyum gitu, Nak? Hayoo, kamu pasti sudah memikirkan malam pertamamu, yah? Pokoknya kalian tahan sampai tiga minggu, yah? Ibu pasti akan mengurus semuanya. Ayahmu pasti senang, kamu akan menikah sebentar lagi."
"Jangan sebut dia ayahku, Bu! Aku tidak punya ayah seperti dia! Ibu juga nggak perlu khawatir dengan anakmu, pasti akan bahagia!" Farisha sangat sensitif jika mendengar ibunya menyebut Benny sebagai ayahnya. Ia lebih suka menyebut namanya saja. Itupun dengan nada emosi.
"Ya Allah ... kamu kenapa sampai sekarang masih seperti itu? Ibu hanya ingin kalian akur, itu saja. Tapi kenapa ayah kamu, nggak kamu anggap?"
Sakit yang dirasakan dalam hatinya adalah ketika mendengar anaknya tidak mengakui orang tuanya. Meskipun itu seorang ayah dari anak yang ia kandung dan ia lahirkan. Seumur hidup, ia tidak ingin apapun di dunia kecuali pengakuan Farisha kepada Benny. Tapi walaupun di depan calon suaminya, Farisha tetap keras kepala.
"Maafkan Farisha ya, Nak Usman," tutur Azhari, melihat ke arah pemuda itu."Ibu nggak tahu harus bicara apa lagi. Ya, inilah keluarga kami. Mungkin dia tidak terima dengan perlakuan ayahnya. Kuharap kamu masih tetap mau mendampingi anak saya. Ibu tidak ingin anak ibu hidup seorang diri saja."
Dirinya bodoh, tidak tahu menahu soal yang seperti itu. Sebagai pemuda yang kurang pendidikan dan kasih sayang, Usman merasakan bagaimana diperlakukan buruk oleh seorang lelaki. Bahkan seringkali ia juga mendapat perlakuan yang sama dengan Farisha.
"Aku mengerti apa yang dirasakan oleh Farisha, Bu. Memang sulit untuk memaafkan seseorang yang berbuat tidak adil. Tapi saat ini aku juga tidak bisa berbuat apapun," pungkas Usman.
Usman masih melihat makanan di meja. Ia melirik ke arah Farisha yang lebih pendiam. Melihat dua wanita yang tidak saling berbicara itu. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Ia hanya bisa menjadi orang yang akan ada untuk wanita yang akan menikah dengannya.
"Tidak apa-apa, Usman. Kamu yang penting akan ada disaat Farisha membutuhkan. Ini adalah dorongan agar dia tidak selamanya membenci lelaki. Aku yakin dia tidak akan salah pilih. Kamu yang dipilih oleh anak saya, pasti kamu memiliki apa yang tidak dimiliki oleh pria lain. Intinya kamu yang paling spesial bagi Farisha."
Begitulah yang dikatakan oleh Azhari kepada Usman. Sekali lagi wanita itu menyungginkan senyum sambil mengedipkan matanya pada lelaki itu. Usman menjadi salah tingkah dibuatnya. Bukan hanya kecantikannya saja. Ia merasa malu karena dikira melakukan sesuatu yang tidak benar.
"Sudah, kalian jangan berisik saja! Aku sudah tidak ingin berdebat lagi! Kita makan lalu pergi ke swalayan!" Tanpa basa-basi, Farisha mengambil makanan yang dimasak oleh ibunya.
Hari ini jelas Benny tidak akan pulang ke rumah. Setiap ia tidak bekerja, ia akan ada di tempat wanita selingkuhannya. Tidak ambil pusing, dua wanita itu hanya bisa menjalani hidup yang keras itu.
Mereka begitu menikmati apa yang tersaji di meja makan. Tiga minggu dari sekarang, akan mengubah mereka. Akan berganti status pernikahan. Usman maupun Farisha harus siap menjalaninya.
Begitu selesai menghabiskan makan paginya, Farisha dan Usman siap untuk berangkat bekerja. Azhari juga sudah menyiapkan makan siang untuk keduanya. Mereka hanya tinggal menghangatkan makanan itu saja nantinya.
"Ini kalian bawa makanan untuk kalian, yah! Tapi kalau nasi, kalian masak sendiri bisa, kan?" Azhari selalu menyiapkan makanan untuk anaknya. Karena anaknya itu malas untuk memasak.
"Iya, Bu. Kalau begitu, kami pergi ke swalayan dulu yah, Bu." Farisha pamit pada ibunya dan mencium pipinya.
"Iya, semoga sukses ya, Nak. Ingat, kalian masih ada tiga minggu lagi. Tapi kalau tidak tahan segera, kita bisa menikahkan kalian besok? Terus kita bisa adakan resepsinya tiga minggu lagi, hem?"
"Nggak usah, Bu. Lagian aku sudah tahu apa yang harus kulakukan. Tidak mungkin aku melakukan hal-hal yang tidak berguna itu. Ibu, aku berangkat, yah!"
"Kamu jagain anak saya, Nak Usman!" perintah Azhari pada pemuda itu. Ia masih mengingat kejadian tadi pagi. Mengira kalau pemuda itu sudah tidak sabar menikahi anaknya yang berusia sepuluh tahun lebih tua.
"Iya, Bu. Aku akan melakukan yang aku bisa. Jangan khawatir, aku akan berusaha untuk menjaganya." Usman sebenarnya juga tidak bisa menjaga diri sendiri. Tapi untuk menjaga Farisha, ia hanya bisa mempertaruhkan hidupnya yang kecil itu.
"Sudahlah, Bu. Lagian tidak akan terjadi apapun padaku. Sebaiknya kamu khawatirkan dirimu sendiri, Bu. Aku tidak mau ibu kepikiran terus. Ah, kapan kita berangkatnya?"
"Ya sudah! Kalian berangkat saja!" tandas Azhari. Ia membiarkan mereka pergi meninggalkan rumah itu.
***