Gemericik air hujan membasahi rumah yang sederhana itu, dengan rumah yang terbuat dari kayu dan atap juga dari kayu, kayunya pun agak sedikit rapuh dikarenakan sudah berumur tua dan dimakan hewan pemakan kayu.
Sejak pagi hujannya sangat awet dan tak juga reda. Membuat seorang pemuda itu wajahnya gusar, karena saat ini ia akan melakukan meeting antar perusahaan dan ia yang akan mewakili perusahaannya.
Dia duduk di atas kursi kayu dengan menyesap kopinya, seraya mengetuk-ketuk jari-jemarinya dengan tangan yang kiri, berharap hujan akan segera reda, kalaupun hujan tak reda juga ia terpaksa akan menerjangnya, menurut dia pekerjaan lebih penting, pekerjaannya adalah hidup dan nyawanya, sumber makanan buat dia dan ibunya. Karena sejak kecil hanya dia yang mencari uang, ayahnya sudah meninggal sejak ia sudah berada di dalam kandungan. Ibunya hanya seorang penjual kue keliling.
"Hmmm bagaimana ini? Kenapa hujannya tak reda juga? Gawat ini, bisa-bisa aku dimarahin," ucapnya dengan masih sibuk menatapi jendela rumah yang masih tertetesi air hujan yang mengguyurnya.
Lalu ibu tua itu mendekat dan mengusap-usap punggung anaknya dengan sangat lembut, suaranya sudah tak tegas lagi, hanya terdengar suara serak disertai batuk-batuk yang sudah ciri khas dari orang tua.
"Bagaimana kalau bawa payung saja, Nak? Atau bawa jas hujan? Bukankah kamu punya jas hujan?"
Dia akhirnya membenarkan ucapan ibunya dan berdiri, lalu berjalan menuju kamarnya untuk mencari jas hujan yang diletakkan di pojokan kamarnya, tepat berada di atas meja. Ia tersenyum kecut saat melihat jas hujan yang sudah lusuh dan agak rusak karena sudah lama tak dipakainya. Ia mengangkatnya dengan wajah yang sedih, setelah itu menaruh kembali ke tempat asalnya dan menuju ke ruang tamu lagi untuk duduk di kursi kembali.
"Ada apa, Khai? Mana jas hujanmu?" tanya ibu Khazanah kepada anaknya yang bernama Khaibar itu. Karena Khazanah melihat Khaibar hanya membawa tangan kosong saja.
"Rusak, Bu, lagian jas hujan murah, Bu ... dan juga sudah lama, jadi sudah tak berbentuk lagi," balas Khaibar dengan malas. Ia pun mempersiapkan dirinya dengan memakai kaos kaki juga sepatunya dan berniat untuk menerjang saja tanpa pandang bulu lagi.
"Kalau payung bagaimana, Nak? Bukannya kita punya payung? Sebentar Ibu ambilkan," ujar Khazanah berjalan menuju tempat di mana payung berada. Ia mengambilnya dan terbelalak juga saat menatapi payung itu yang sudah berkarat dan sangat berdebu.
Khaibar hanya tersenyum saat memandangi ibunya seraya menggelengkan kepalanya, tanda tak apa Bu tak usah khawatir. Khazanah merasa menyesal dan bersedih, dia dari dulu belum bisa memberi kehidupan yang layak buat anak si mata wayangnya itu, jadi rasa bersalahnya selalu menumpuk di dalam wajah yang sudah tak muda dan pucat itu.
"Maafkan, Ibu ya Khai, Ibu sangat tidak becus dalam kehidupan ekonomi, kamu dari dulu selalu menderita gara-gara Ibu dan Ayah yang miskin ini, maafkan Ibu kamu terlahir dengan orang tua yang miskin, maafkan!" Khaibar yang mendengar itu ia mendekat ke arah ibunya setelah selesai merapikan dirinya. Ia memeluk ibunya dan menepuk-nepuk pundaknya.
"Sudahlah, Bu ... ini semua sudah takdir dari sang Pencipta, jadi Ibu jangan merasa bersalah dong, malah Khaibar yang minta maaf belum bisa memberi kehidupan yang layak buat Ibu, Khaibar malah berterimakasih karena Ibu sudah mau membesarkan Khaibar, jadi jangan dipikirkan lagi ya, Bu ... Ibu mending istirahat saja di cuaca seperti ini, jangan jualan ya," jelas Khaibar panjang lebar memberi pesan kepada ibunya dan tak mau dibantah sedikit pun, karena biasanya ibunya sungguh sangat keras kepala dan tak memperdulikan ucapan Khaibar. Khaibar hanya tak ingin ibunya sakit, karena siapa lagi yang akan menemani hidupnya kalau bukan ibunya, apalagi kalau nanti misal ibunya tiada.
"Kalau begitu, Khaibar pergi dulu ya Bu ... Assalamu'alaikum," pamit Khaibar dengan meraih tangan ibunya. Ia mengecup punggung tangan ibunya dengan sangat manis. Khazanah hanya tersenyum dan mengusap-usap puncak kepala Khaibar.
"Iya, Nak, hati-hati ya ... jaga diri ya, Nak ... yang rajin ya, Nak!" Khaibar mengangguk menanggapi pesan ibunya. Ia pun melambaikan tangannya sambil menjinjing tas kerjanya beserta menggulung lengan bajunya, celananya pun sedari tadi sudah digulungnya karena takut terkena cipratan air hujan dan kotor.
Ia pun berjalan pelan dan bersiap mengendarai motor bututnya yang berwarna hitam itu. Menancap gasnya dengan laju yang sangat kencang, disamping takut telat juga takut sampai kantor bajunya basah kuyup. Karena jalan rumah menuju kantornya sekitar 20 menit.
Dan saat di jalan Khaibar sangat kesal karena celananya sedikit kotor gara-gara ada mobil Jazz merah melintasinya dan memberikan percikan air ke arahnya.
"Wooooe menjengkelkan! Siapa sih kamuuu! Benar-benar gila di jalanan yang sempit dan becek masih sempat-sempatnya mengemudi dengan cepat, dasar aneh! Lain kali hati-hati!" omel Khaibar kepada mobil itu. Namun, tak direspon oleh mobil itu, dikarenakan mobil itu sudah berjalan dengan sangat cepat.
"Sial sekali sih hidupku ini, bagaimana bisa sih aku diperciki oleh mobil, mentang-mentang aku miskin gitu kah? Tuhaaan berikanlah keadilanmuuu, jawablah kapan aku bisa kaya, Tuhaaaaan," teriak Khaibar yang sedikit frustasi dengan masih melajukan motornya.
Akhirnya ia sampai juga di depan kantornya dan bisa bernafas lega. Senyumannya yang sedari tadi redup, kini terukir kembali di wajahnya. Wajah yang terukir lesung pipi dengan sangat indah, ketampanannya sungguh tak usah diragukan lagi, banyak yang ingin menjadikannya pacar. Namun, Khaibar menolak dan tak memikirkan itu, yang hanya ia pikirkan adalah ibunya dan bagaimana dia bisa membahagiakan ibunya, itu saja.
"Pagi, Pak, pagi semuanya ..." sapa Khaibar dengan sangat ramah disertai menaruh jari jempolnya di atas alat absensi. Banyak cewek-cewek terpukau oleh ketampanannya. Dan berlomba-lomba untuk disapa oleh Khaibar.
"Pagi juga, Mas Khaibar, eh ... itu kenapa kotor semua celananya? Apa kamu habis jatuh? Mana yang sakit?" tanya seorang gadis mendekatinya disertai sangat genit dan mencoba merangkul Khaibar. Khaibar hanya acuh tak acuh dengan senyuman tipis yang hanya dia dan Tuhannya saja yang melihatnya.
"Gak apa-apa, sudah kalian semua kerja lagi saja, aku juga mau kerja, terima kasih atas perhatiannya," seru Khaibar dengan sangat lembut dan membuka komputernya, setelah itu ia memulai mengecek pekerjaannya.
Tak lama kemudian terdengar bunyi ponselnya menderu di dalam tas tentengan Khaibar. Ia mengangkatnya dan tersenyum ramah saat mendapati yang meneleponnya adalah direkturnya.
"Khaibar, ke ruanganku sekarang!" perintahnya.
"Baiklah, Pak." Akhirnya Khaibar berdiri dan berjalan menuju ruangan direkturnya.
Tok, tok, tok!
"Pak, ini Khaibar." Khaibar mengetuk pintu seraya bersuara.
"Oh iya, silahkan masuk!" Khaibar masuk dan tersenyum. Ia pun duduk setelah dipersilahkan oleh direkturnya.
"Khaibar, dengan sangat menyesal aku memecatmu." Suara direktur itu sangat tegas dan jelas. Rasanya Khaibar tak percaya dengan pendengarannya, ia mematung dan tak bisa bersuara apapun, tenggorokannya tercekat dan hatinya sungguh teriris.
"A—apa, Pak! Pe—pecat? Kenapa, Pak?"