"Kamu dipecat karena kamu tidak salah, tapi maafkan kami, kami saat ini mengurangi beberapa karyawan karena dananya kurang, akibat covid ini, jadi harap anda memakluminya," ucap Direktur kepada Khaibar. Rasanya Khaibar sungguh lemas mendengar ucapan itu. Ia berfikir ke mana kakinya akan berpijak untuk mencari uang.
"Ta—tapi, Pak, kenapa harus saya, Pak? Bukankah kinerjaku selama ini baik? Kenapa bukan orang lain saja? Aku sungguh membutuhkan pekerjaan ini, Pak, saya mohon beri saya kesempatan, dan juga maafkan saya, Pak, hari ini saya emang telat, tapi kan baru sekali, Pak? Apa karena ini jadi saya dipecat?" balas Khaibar yang tak terima. Ia sungguh memprotes atasannya itu. Wajahnya benar-benar sungguh kacau. Matanya sudah dipenuhi kenanaran yang akan siap jatuh kapan saja.
"Bukan Khai, tapi memang ini sudah keputusan dari pusat juga, jadi kamu harus menerima keputusannya, siapa tau nanti kami akan memanggilmu kembali, sekali lagi saya minta maaf dan ini uang pesangon kamu." Direktur itu menyodorkan amplop coklat di atas meja ke arah Khaibar yang duduk termangu dan tak bisa berkata-kata lagi. Ia pun pasrah dengan menundukkan kepalanya sejenak. Setelah itu ia berdiri dan mengangguk-angguk tanda hormat.
"Baiklah, Pak, terima kasih kalau begitu, saya minta maaf telah cerewet, kalau begitu saya permisi," pamit Khaibar yang diangguki oleh Direkturnya. Ia berjalan ke arah ruangannya dengan gontai. Rasanya tulangnya remuk dan ia mau berkata apa kepada ibunya, takutnya ibunya juga akan syok dan sakit pula.
"Baiklah, mungkin ini sudah suratan takdir dari Tuhan, semoga ke depannya aku bisa terbaik lagi, semangat Khai," ucap kepada diri sendiri. Ia pun berjalan dipercepat berpura-pura semangat dan senyuman masih terukir dengan kepalsuan. Dia seperti itu karena semua memandanginya. Jadi dia tidak mau semua tau tentang permasalahannya, cukup dia dan Tuhannya saja yang tau.
Khaibar pun sibuk membereskan barang-barangnya dengan ulet. Ia tak mau ada barang yang tinggal satu pun. Sambil membereskan Khaibar menghibur diri dengan nyanyian kecil. Tapi seseorang pun mendekat dan mencekal tangan Khaibar dengan lembut.
Khaibar menoleh dan berusaha melepaskan diri, tapi tak bisa karena dia benar-benar menjengkelkan. Kuku-kukunya sangat panjang dan mencengkeram tangan Khaibar. Membuatnya mendesis dan kesakitan.
"Ada apa kamu ke sini? Lepaskan! Ayo lepaskan! Atau kalau enggak aku akan berteriak," ancam Khaibar. Ia sungguh malah berdebat dengan wanita pula. Rasanya ia kehilangan kekuatannya setelah mendengar kata pecat. Sehingga dia tak bisa melawan bahkan cewek sekali pun. Padahal biasanya dia sangat jago bela diri."
"Baiklah, baiklah, Khai, maafkan aku, aku suka sekali menggodamu, emangnya ada apa? Kenapa kamu sungguh sensitif sekali seperti perempuan, lalu kenapa kamu beres-beres? Ini kan waktunya jam kerja, nanti dimarahin bos lho," balas cewek itu yang bernama Kelly. Ia adalah sahabat Khaibar selama di kantor itu.
"Aku dipecat, jangan tanya kenapa, itu karena covid sialan itu, kapan perginya sih dia, bandel sekali, apa menunggu kamu pacari ya Kel baru dia akan pergi." Omongan ngaco selalu keluar dari bibir Khaibar bahkan Kelly sekalipun. Mereka benar-benar tak pernah akur bagaikan kucing dan tikus yang siap menerkam.
"Baiklah, aku gak akan bertanya lagi, kamu yang sabar ya, jangan nangis di pojokan nanti kalau sudah di rumah."
"Ya baiklah, aku pulang dulu! Kamu hati-hati ya di sini, jangan pacaran melulu, fokus lah dalam bekerja!" ceramah Khaibar dengan benar-benar. Membuat Kelly menatapnya judes dan melempar Khaibar dengan buku yang ada di atas meja beberapa itu.
"Sudah pergi sana! Aku tak butuh bantuanmu!" usir Khaibar dan itu benar-benar membuat Kelly terusir, disamping itu karena Kelly juga sangat sibuk jadi ia mau pergi. Biasanya kalau dia gak sibuk, pasti akan menggangu Khaibar terus menerus.
Menit per menit pun berlalu. Khaibar pun selesai juga beres-beresnya. Ia pun memangku barangnya dan siap pergi dari kantor. Wajahnya benar-benar memelas dan ia hanya bisa tersenyum saat orang-orang bertanya di lobi kantor itu.
Saat Khaibar sudah ada di depan gedung kantor yang menjulang tinggi nan megah itu. Ia menatapi gedung itu dengan sangat nana, tapi tetap saja senyuman di bibirnya tak akan lupa, karena ia memang murah senyum.
"Selamat tinggal kantor, aku akan sangat merindukanmu. Do'akan suatu saat aku bisa kembali ke sini lagi," pamit Khaibar dengan melambaikan tangannya ke arah gedung itu. Ia pun berjalan ke arah parkiran motornya dan mengendarainya dengan sangat pelan. Bahkan hujan pun diterjangnya karena ia benar-benar kacau dan sangat gelisah.
Khaibar pun berteduh di bawah ruko kosong. Ia duduk termenung dengan melipat kedua kakinya sesudah memarkir sepeda di depan ruko itu. Rasanya ia tak akan pulang sebelum jam kerja selesai. Ia harus menjelaskan ke ibunya bagaimana, karena ia benar-benar belum siap.
Beberapa jam kemudian. Jam menunjukkan pukul 5 sore. Waktunya Khaibar pulang, setelah ia hanya termenung di ruko itu, dengan melupakan sholatnya dan semuanya. Ia benar-benar hancur sehingga tak mau melakukan apapun. Namun, jam yang menunjukkan waktu pulang kerja, membuat Khaibar tersadar kalau ia sudah melamun selama hampir seharian dengan sangat betah.
Sewaktu mengendarai motornya. Khaibar terus menerus berfikir. Air matanya tiba-tiba menetes dan ia usapi dengan cepat.
"Bagaimana aku bisa secengeng ini sekarang? Benar-benar menjengkelkan! Aku yang sekarang sungguh lemah aaaa, haruskah aku berubah ganas? Agar disegani dan dihormati? Hah." Khaibar berceloteh dalam mengendarai motornya. Dia berhenti saat sudah berada di depan rumahnya dalam waktu 20 menit.
Khaibar menaruh motornya di depan halaman rumahnya. Ia pun mengetuk pintu dengan sangat pelan dan lembut. Namun, tetap saja ibunya tak menyahuti.
"Assalamu'alaikum, ibu, ibu di mana ya? Ibu," teriak Khaibar ke sana sini. Sambil menoleh ke sana ke mari mencari keberadaan ibunya barangkali ada di rumah tetangga atau ada di dekat rumah, tapi tak ada, sehingga membuat Khaibar cemas, takut terjadi apa-apa kepada ibunya.
"Khaibar? Apa kamu mencari ibumu? Ibumu sekarang ada di rumah sakit, dia sakit tiba-tiba pingsan, dan kami tadi yang membawanya," seru tetangga Khaibar yang tiba-tiba muncul di belakangnya.
"Apa! Bagaimana bisa? Aaaaaaa. Baiklah, terima kasih ya, Bu, kalau begitu saja permisi ke rumah sakit dulu," pamit Khaibar tanpa berganti pakaian terlebih dahulu. Ia pun mengambil motornya dan mengendarai dengan cepat.
"Hati-hati Khaibar!"
Sepanjang perjalanan pemikiran Khaibar selalu buruk tentang kehidupannya. Rasanya ia benar-benar jengkel. Ia pun berteriak saat mengendarai motornya.
"Tuhaaaan, berikan keadilanmuuuu! Aku ingin kaya, kayaaaaa! Apa bisa?"
Sesekali Khaibar memejamkan matanya dan ketawa atas ucapan kegilaannya. Ia pun berhenti mendadak dengan rem cakramnya saat sudah berada di depan rumah sakit tempat ibunya dirawat. lalu Khaibar pun berjalan dipercepat setelah memarkirkan motornya.
"Auw. Punya mata gak sih!"