Di dalam rumah Khaibar mondar-mandir sibuk merapikan baju ibunya untuk dibawa ke rumah sakit. Dia sudah bersih dan wangi, tak lupa dia memandangi kartu yang ditaruhnya tadi dan tergeletak di atas meja. Kartu nama yang diberikan oleh Kimberly, awalnya dia ragu, tapi teringat terus wajah ibunya yang sendu membuat hatinya tergerak dan mendekat ke arah kartu itu. Dia memungutnya dan segera meraih ponsel yang ada di atas meja sebelah kartu itu.
Hatinya benar-benar gusar. Sebelum memencet nomor yang tertera di dalam kartu itu dia berdehem terlebih dahulu, mengatur irama hati yang bergerilya berpacu bersama jantung yang berbunyi seperti genderang.
'Benarkah keputusanku ini? Jadi aku menikahi seseorang yang tak mencintaiku? Juga menjadikanku alat agar kehamilannya ada yang bertanggung jawab? Hmmm bismillah semua aku lakukan demi ibu.' Batin Khaibar. Dia sungguh memantapkan hatinya dengan memegangi dadanya. Dan dengan cepat ia memencet nomor itu agar tak bimbang lagi.
Lalu terdengar suara ketus disebrang sana. Sudah ciri khas dari Kimberly yang ketus kepada siapa pun.
"Halo, siapa di sana? Di sini Kimberly cantik." Mendengar itu Khaibar rasanya mual. Sifat Kimberly membuat Khaibar semakin geram. Memang dia mengagumi kecantikannya, tapi melihat sikapnya yang semakin jadi rasanya Khaibar mengurungkan rasa itu dan ingin membuangnya jauh-jauh.
"Ini aku, Khaibar, Nona. Bisakah Nona mentransfer aku sekarang? Aku tunggu ya, setelah ini aku kirim nomor rekeningku," balas Khaibar dengan sangat lembut. Kimberly hanya menggeram dan suaranya terdengar meremehkan Khaibar. Khaibar hanya bisa mengelus-elus dadanya agar bersabar menghadapinya.
"Kamu siapa memerintah aku hah! Sudah jangan bawel pasti nanti aku kirim, matre bener jadi cowok, ya sudah aku sibuk. Bye!" Kimberly langsung menutup teleponnya saat Khaibar ingin berbicara lagi dan terpotong. Khaibar hanya bisa menghembuskan nafasnya dengan kasar. Dia dengan cepat mengechat Kimberly, memberikan nomor rekeningnya dengan cepat.
Saat Kimberly tak membalasnya Khaibar melemparkan ponselnya di atas kasur dengan berteriak kesal.
"Heeeey Kimberly! Aku akan membuatmu bertekuk lutut padaku nanti, tunggu dan lihat saja! Menyebalkan! Aaaaaa." Khaibar mengacak-acak rambutnya. Dia hanya berdiri mematung seraya memandangi ponselnya yang berjarak beberapa sentimeter saja dari ia berdiri.
Khaibar tak juga berangkat ke rumah sakit karena hanya menunggu uang yang lama masuknya itu. Uang itu sangat penting buat ibunya agar segera sembuh, dia hanya ingin semua pembayaran cepat kelar dan membuatnya tanpa beban lagi.
Lama dia menunggu, sekitar tiga puluh menit akhirnya terdengar bunyi notif pesan. Dia berjalan ke arah ponselnya, melirik sebentar dengan perasaan cemas, takut hanya notif iseng dan membuat harapan pupus. Nyatanya dia sekarang menyunggingkan senyumannya karena yang ditunggu-tunggu akhirnya masuk juga. Notif dari bank uang sebesar 50 juta telah masuk.
Khaibar hanya mengernyit. Uangnya tidak sesuai dengan perjanjian kesepakatan kemarin, itu cuma setengah dari obrolan yang dibicarakan. Dia mengetik pesan dan akan mengechat Kimberly dan bertanya kelanjutannya. Tapi belum selesai mengetik Kimberly langsung mendahului dan mengechatnya terlebih dahulu.
"Jangan cerewet, uangnya kurang setengah lagi karena aku tau apa yang ada dipikiranmu saat ini, nanti satu minggu lagi sisanya, masih proses pencairan, mengeluarkan uang jumlah banyak tak semudah membalikkan telapak tangan, kamu mana tau orang miskin, satu lagi kesepakatan itu tak bisa diganggu gugat, kalau kamu keberatan uang kembali dua kali lipat, paham?" terang Kimberly panjang lebar disertai emoji yang tersenyum menyeringai.
Khaibar yang membaca chat itu rasanya ototnya menggeliat dan ingin keluar mengamuk dan merobohkan apapun yang ada di sampingnya. Seumur-umur dia tak pernah diatur orang sedemikian rupa, karena Khaibar orang yang benar-benar keras kepala kepada siapapun itu kecuali ibunya.
"Baiklah, Nona cantik yang baik hati, terima kasih," balas Khaibar dengan berpura-pura manis. Dengan ditambahi emoji mencium. Khaibar benar-benar gila memancing macan yang sedang tidur. Kimberly yang membaca pesan Khaibar di rumahnya dia meremas ponselnya dengan erat dan gigi yang digerutukkan.
Wajahnya memerah padam. Dia saat ini menselonjorkan kakinya dan bersandar di dinding ranjang seraya tangan kirinya mengelus-elus perut yang masih rata itu.
"Sialan dia, apa dia mencoba merayuku? Benar-benar cowok murahan, aku gak akan gampang dirayu, kalau gak gara-gara anak ini aku gak akan sudi menikahinya, tapi dipikir-pikir dia gak jelek-jelek amat sih, nanti dipoles sedikit lah biar gak malu-maluin kalau temanku tau," celoteh Kimberly dengan senyuman tipis. Dia langsung menutupi mukanya dengan bantal, karena merasa omongannya ngaco dan sungguh gila. Wajahnya dipukul-pukul dengan bantal agar tak berfikir macam-macam.
Dia pun teringat pacarnya yang sudah menghamilinya. Dia memukul bantal itu disertai tangisan yang lirih dan sendu.
"Koko, teganya kamu meninggalkanku, aku kurang apa hah! Padahal katamu kamu sungguh mencintaiku, nyatanya setelah kamu mencicipiku kamu menghilang dengan uang yang aku beri 100 juta aaaaa, sial sekali sih hidupku!" teriak Kimberly dengan mengacak-acak rambutnya.
Saat sibuk membayangkan fatamorgana masa lalu. Keysa datang langsung masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, karena pintu sudah agak terbuka sedikit sehingga teriakan Kimberly terdengar hingga ke kamar Keysa.
Keysa mendekat dan menepuk bahu Kimberly dengan keras. "Heeeey, ada apa, Nak? Teriak kayak orang gila, berisik tau? Untung papa belum datang, coba sudah dia bisa mendengar ocehanmu, apa karena pacar kamu gila itu? Sudah berapa kali Mama katakan, jangan mengingat dia lagi, dia benar-benar brengsek tau! Kamu juga sangat bodoh! Kok bisa kamu dibohongin dia, dasar! Kalau Mama tak sayang sama kamu, sudah Mama lemparkan kamu ke jalanan tau! Jadi patuhlah kamu sama Mama!" Kimberly hanya mengangguk dengan penyesalan. Dia membuang bantalnya dan menatapi mamanya dengan nanar. Saat sudah tak bisa ditahannya, dia memeluk mamanya dengan tangisan yang keras.
Keysa membalas pelukan Kimberly dengan menepuk-nepuk punggungnya seraya berusaha menenangkan anaknya itu.
"Sudahlah, jangan menangis lagi, nasi sudah menjadi bubur, yang penting ke depannya kamu jangan bodoh lagi, katanya angkuh tak mudah ditaklukkan, tapi nyatanya kalah dengan bajingan Koko, nanti apalagi sama Khaibar yang tampannya melebihi Koko jelek itu, bisa-bisa kamu bertekuk lutut padanya." Ucapan Keysa membuat Kimberly langsung melepaskan pelukannya. Dia menatap Keysa dengan sorotan tajam. Keysa hanya tertawa terbahak-bahak.
"Ma, gak ada yang lucu ya, sembarangan! Amit-amit jabang bayi aku bisa mencintai gembel itu, tapi demi kewaspadaan Mama ingatin aku terus ya nanti, agar tak terjerumus," ucap Kimberly dengan memukul Keysa pelan.
"Baiklah, sudah sana kamu mandi! Setelah itu ayo sama Mama ke rumah sakit, Mama mau menjenguk teman Mama yang lagi sakit, uangnya sudah kamu transfer kan?"
"Sudah, Ma, setengahnya nanti satu minggu lagi, setelah beres langsung menikah kan, Ma?" tanya Kimberly yang sudah berdiri dan siap untuk menuju kamar mandi.
"Kenapa? Kamu sudah tak sabar menikah dengan gembel itu?" canda Keysa dengan tawanya. Kimberly hanya berdecih dan pergi begitu saja menuju ke kamar mandi.
"Haha ngambek, sudah gak usah dipikirkan, nanti dibahas lagi kesepakatan selanjutnya, lagian ibunya dia kan sakit, jadi gak mungkin kan menikah dalam dekat ini, sudah cepat mandi! Mama mau bersiap-siap," teriak Keysa saat sudah melihat Kimberly di depan pintu kamar mandi. Kimberly hanya melirik dan langsung masuk ke dalam kamar mandi. Keysa pun pergi dengan cepat.