Rasanya waktu benar-benar berjalan lambat bagi Khaibar. Khaibar mondar-mandir dengan gelisah. Sesekali ia melihat jam yang ada di pergelangan tangannya. Berharap dokter segera keluar dan memberikan kabar baik. Padahal sudah hampir satu jam, tapi tak kunjung usai juga operasi ibunya.
Khaibar lalu iseng memainkan ponselnya barangkali ada lowongan pekerjaan untuk dirinya. Namun, sial sepertinya takdir berkata tidak, akhirnya Khaibar memutuskan untuk berjalan sebentar untuk menghilangkan penat dan gejolak di hatinya, dari pada menunggu operasi yang lama dan membosankan itu.
Khaibar pun menelusuri taman rumah sakit menuju ke jalanan kompleks perumahan yang ada di dekat rumah sakit. Ia tertegun dan tersenyum saat melihat anak kecil berbondong-bondong meminta-minta bahkan mengamen. Dalam hatinya ia sungguh beruntung dan bersyukur masih punya tempat tinggal, dari pada mereka yang berkeliaran di jalanan.
Khaibar pun duduk di trotoar tepi jalanan. Mukanya sungguh ditekuk hebat dan memikirkan solusi apa yang akan dia tempuh dengan hutang yang berceceran dan mencekiknya itu.
Idenya langsung muncul saat melihat wanita paruh baya membawa kantong besar berwarna putih dan membawa alat besi untuk mengumpulkan rosokan yang dimasukkan ke kantong itu. Khaibar berpikir berulangkali. Rasanya ia sungguh jijik dan rendah, tapi keadaan terus mendesaknya dan pikiran tentang uang menjadi-jadi, sehingga ia memutuskan akan menjadi pemulung untuk sementara waktu.
"Jadi fix aku jadi pemulung? Mencari rongsokan? Okelah kalau begitu, aku terpaksa, semoga uang bisa terkumpul sedikit demi sedikit," celoteh Khaibar dengan wajah yang masam. Ia berdiri kembali dan berjalan menuju rumah sakit untuk mengetahui bagaimana kondisi ibunya.
Untungnya dia tepat sampai di rumah sakit saat dokter juga keluar sehabis mengoperasi. Khaibar yang melihat dokter dari kejauhan langsung berlari dan mendekati dokter dengan sedikit ngos-ngosan.
"Bagaimana keadaan, Ibu saya, Dok?" tanya Khaibar. Tangannya menarik-narik bahu dokter dengan tak sabarnya.
"Alhamdulillah, operasinya berjalan dengan lancar, Pak, tapi komplikasi penyakit masih ada, jadi beliau harus cuci darah dan terapi juga, karena sekarang gara-gara komplikasi itu beliau, dia— dia lumpuh," balas dokter dengan sangat menyesal.
"Apa! Lu—lumpuh, Dok? Lalu bagaimana kemungkinan agar bisa sembuh?" tanya Khaibar yang penasaran. Dia akan melakukan apapun supaya ibunya sehat kembali dan menemaninya hingga lama.
"Iya terapi itu, Pak, sama cuci darah satunya cara, dan doa juga, semua sudah takdir-Nya, semoga Bapak kuat dan tabah ya menghadapi ini semua." Dokter menepuk-nepuk pundak Khaibar pelan. Sementara Khaibar hanya menunduk dengan mengangguk-angguk. Sampai tak lihat dokter yang sudah pergi meninggalkannya.
Khaibar lalu mengangkat kepalanya. Ia berjalan dan melihati ibunya dari balik jendela. Ibunya sungguh pucat dan masih memejamkan matanya. Mungkin efek bius jadi belum bangun juga.
Dia pun masuk ke dalam ruangan ibunya. Mengambil kursi plastik dan membawa serta ke samping ibunya. Duduk dan diam memandangi Khazanah dan menggenggam tangan Khazanah dengan erat.
"Bu, cepat sembuh ya, Khaibar akan melakukan apapun agar Ibu sembuh, Khaibar menyayangi Ibu," ujar Khaibar sembari mengecup punggung tangan ibunya dengan sangat lama, lalu beralih mencium kening ibunya dengan badan yang dibungkukkan.
Setelah itu, Khaibar pergi berniat untuk mencari uang kembali dengan mencari rongsokan dan dijual ke pengepul.
Sebelum Khaibar pergi. Ia berpesan kepada suster agar menjaga ibunya, barangkali Khazanah bangun, suster disuruh bilang kalau Khaibar lagi ada urusan di kantor, begitu pesan Khaibar.
Dalam perjalanan dengan mengendarai motornya. Khaibar tersenyum kecut. Rasanya dunia mempermainkannya. Tapi dia tak mengeluh. Ia bersungguh-sungguh dalam usaha itu, barangkali nanti dia menjadi juragan pengepul rongsokan dan bisa membantu sesama.
Khaibar pun sampai di rumah dalam waktu setengah jam. Lalu Khaibar mengganti bajunya dengan baju santai yang agak kucel. Menurutnya tukang rongsokan kan gak perlu baju bagus jadi dia memakai baju itu dan berjalan dengan percaya diri saja. Meskipun sesekali orang-orang menatapnya dengan remeh dan saling berbisik.
"Mau ke mana tuh Khaibar, kucel begitu, tumben ya, biasanya kan pakai baju juga berdasi, ini kok seperti gembel begini." Begitulah bisikan orang-orang yang didengar Khaibar. Tapi Khaibar tak perduli, baginya keselamatan ibunya lebih penting.
Khaibar menelusuri trotoar demi trotoar dan mengaduk tempat sampah milik orang-orang yang ada di gang-gang kompleks, meskipun dia seperti gembel dengan membawa kantong putih yang di taruh di pundaknya, tetap saja ketampanan terpancar. Kulit putihnya, hidung mancungnya, mata bulat dan berwarna biru itu, sungguh sempurna untuk seorang Khaibar.
Khaibar pun duduk di kursi panjang yang dekat dengan tong sampah. Wajahnya diusap dengan sapu tangan karena keringatnya yang bercucuran.
Saat ia hendak pergi. Seorang wanita paruh baya menepuk pundak Khaibar dengan lembut. Khaibar menoleh dengan mengernyitkan dahinya karena tak paham dengan arti senyuman wanita itu.
"Ada apa, Tante? Ada yang bisa saya bantu?" tanya Khaibar dengan ramah. Wanita itu berdesir senang mendengar jawaban Khaibar yang sungguh manis.
Wanita itu lalu berdehem keras seraya mengatur pernafasannya. Dia sungguh canggung dan seperti bingung mau memulai ucapannya dari mana, tapi dengan segenap keberaniannya akhirnya wanita itu membuka suaranya dengan menggandeng putri simata wayangnya yang ada di belakangnya.
"Nak, bisakah kita bicara sebentar? Dari tadi aku memperhatikanmu dari kejauhan."
"Iya, boleh Tante, duduk sini saja!" ajak Khaibar yang saat ini sudah menoleh dan menepuk-nepuk kursi kayu yang ada di sebelahnya kosong, barangkali wanita itu mau duduk.
"Gak usah, Nak, hanya sebentar saja kok." Nafasnya memburu cepat dengan tangan yang memegang dadanya dengan tangan kanan, satunya sibuk di belakang memegangi anaknya yang tak sudi menatap Khaibar.
"Nak, sudikah kau menikah dengan anakku? Hanya untuk menutupi status janin yang dikandungnya? Berapapun kau meminta uang akan aku kasih!" pinta wanita itu yang bernama Keysa.
"Apa! Bagaimana bisa, Tante? Apa Tante sakit jiwa? Bahkan aku tak mengenalnya sedikitpun." Namun Khaibar terbelalak saat melihat gadis yang ada di belakang wanita itu, kini gadis itu menatap Khaibar dengan wajah yang bercahaya. 'Dia benar-benar sangat cantik.' Batin Khaibar dengan senyuman tipis terukir di wajahnya.
"Apa, Ma? Aku harus menikahi gembel itu? Ogah!" tolak Kimberly dengan ketus. Mata indahnya menatap Khaibar dari atas hingga ke bawah dengan rasa jijik dan bibir yang dimiringkan.
"Sudah diam! Dari pada kau membesarkan anakmu sendiri!" bisik Keysa dan mencubit pinggang Kimberly dengan kencang. Kimberly hanya diam dan tak mau membantah lagi. Karena percuma membantah mamanya, dia takut akan diusir dan tak diampuni oleh papanya.
Terlihat Khaibar terus berfikir. Dalam hati dan pikirannya tentang uang berkeliaran menjerit dan mencekiknya. Khaibar lalu mengulurkan tangannya kepada wanita paruh baya itu, berniat membuat kesepakatan.
Keysa mau tak mau membalas uluran tangan itu dengan menahan rasa jijiknya dan menunggu keputusan Khaibar.
"Emmm boleh, Tante, kata Tante berapapun yang aku minta Tante akan mengabulkannya kan?" Keysa mengangguk dengan mantap.
"Baiklah, saya meminta uang 100 juta, bagaimana, Tante? Apa bisa?" tanya Khaibar dengan malu-malu dan menundukkan wajahnya, karena ia benar-benar sangat terpaksa, demi ibunya ia rela melakukan apapun kali ini.
"Apa! Kau benar-benar matre!"